PEMBAHASAN
Teori tentang masuk dan berkembangnya kebudayaan Hindu-Buddha di Indonesia
didasarkan pada hipotesis-hipotesis yang dikemukakan oleh beberapa ahli tentang
proses masuk dan berkembangnya agama dan kebudayaan Hindu-Buddha di Indonesia.
Hipotesis-hipotesis tersebut dibagi ke dalam dua kelompok besar yaitu teori
kolonisasi dan teori arus balik.
1. Teori kolonisasi
Teori ini berusaha menjelaskan proses masuk dan berkembangnya agama dan
kebudayaan Hindu-Buddha di Indonesia dengan menekankan pada peran aktif dari
orang-orang India dalam menyebarkan pengaruhnya di Indonesia. Berdasarkan teori
ini, orang Indonesia sendiri sangat pasif, artinya mereka hanya menjadi objek
penerima pengaruh kebudayaan India tersebut. Teori kolonisasi ini terbagi dalam
beberapa hipotesis, yaitu sebagai berikut.
a. Hipotesis Waisya
Menurut NJ. Krom, proses terjadinya hubungan antara India dan
Indonesia karena adanya hubungan perdagangan, sehingga orang-orang India yang
datang ke Indonesia sebagian besar adalah para pedagang. Perdagangan yang
terjadi pada saat itu menggunakan jalur laut dan teknologi perkapalan yang
masih banyak tergantung pada angin musim. Hal ini mengakibatkan dalam proses
tersebut, para pedagang India harus menetap dalam kurun waktu tertentu sampai
datangnya angin musim yang memungkinkan mereka untuk melanjutkan perjalanan.
Selama mereka menetap, memungkinkan terjadinya perkawinan dengan
perempuan-perempuan pribumi. Mulai dari sini pengaruh kebudayaan India menyebar
dan menyerap dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pendapat Krom tersebut
didasarkan penelaahan dia pada proses Islamisasi di Indonesia yang dilakukan
oleh para pedagang Gujarat. Bukan hal yang mustahil, proses masuknya budaya Hindu-Buddha
di Indonesia dilakukan dengan cara yang sama.
Namun, teori ini memiliki kelemahan, yaitu para pedagang yang termasuk
dalam kasta Waisya tidak menguasai bahasa Sanskerta dan huruf Pallawa yang
umumnya hanya dikuasai oleh kasta Brahmana. Namun bila menilik peninggalan
prasasti yang dikeluarkan oleh negara-negara kerajaan Hindu-Buddha di
Indonesia, sebagian besar menggunakan bahasa Sanskerta dan berhuruf Pallawa.
Dengan demikian, timbul pertanyaan: Mungkinkah para pedagang India mampu
membawa pengaruh kebudayaan yang sangat tinggi ke Indonesia, sedangkan di
daerahnya sendiri kebudayaan tersebut hanya milik kaum Brahmana? Selain itu,
terdapat kelemahan lain dalam hipotesis ini yaitu dengan melihat peta
persebaran kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia yang lebih banyak berada
di pedalaman. Namun apabila pengaruh tersebut dibawa oleh para pedagang India,
tentunya pusat kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha akan lebih banyak berada di
daerah pesisir pantai.
b. Hipotesis Ksatria
Ada tiga ahli yang mengemukakan pendapatnya mengenai proses penyebaran
agama dan kebudayaan Hindu-Buddha dilakukan oleh golongan ksatria, yaitu
sebagai berikut.
1) C.C Berg
C.C. Berg mengemukakan bahwa golongan yang turut menyebarkan kebudayaan
Hindu-Buddha di Indonesia adalah para petualang yang sebagian besar berasal
dari golongan Ksatria. Para Ksatria ini ada yang terlibat konflik dalam masalah
perebutan kekuasaan di Indonesia. Bantuan yang diberikan oleh para Ksatria ini
sedikit banyak membantu kemenangan bagi salah satu kelompok atau suku yang
bertikai. Sebagai hadiah atas kemenangan itu, ada di antara mereka yang
dinikahkan dengan salah seorang putri dari kepala suku yang dibantunya. Dari
perkawinannya ini memudahkan bagi para Kesatrian untuk menyebarkan tradisi
Hindu Buddha kepada keluarga yang dinikahinya tadi. Berkembanglah tradisi
Hindu-Buddha dalam masyarakat Indonesia.
2) Mookerji
Dia mengatakan bahwa golongan Ksatria (tentara) dari India yang membawa
pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha ke Indonesia. Para Ksatria ini kemudian membangun
koloni-koloni yang akhirnya berkembang menjadi sebuah kerajaan. Para koloni ini
kemudian mengadakan hubungan perdagangan dengan kerajaan-kerajaan di India dan
mendatangkan para seniman yang berasal dari India untuk membangun candi-candi
di Indonesia.
3) J.L Moens
Dia mencoba menghubungkan proses terbentuknya kerajaan-kerajaan di
Indonesia pada awal abad ke-5 dengan situasi yang terjadi di India pada abad
yang sama. Perlu diketahui bahwa sekitar abad ke-5, banyak kerajaan-kerajaan di
India Selatan yang mengalami kehancuran. Ada di antara para keluarga kerajaan
tersebut, yaitu para Ksatrianya yang melarikan diri ke Indonesia. Mereka ini
selanjutnya mendirikan kerajaan di kepulauan Nusantara. Kekuatan hipotesis
Ksatria terletak pada kenyataan bahwa semangat berpetualang pada saat itu
umumnya dimiliki oleh para Ksatria (keluarga kerajaan).
Sementara itu, kelemahan hipotesis yang dikemukakan oleh Berg, Moens, dan
Mookerji yang menekankan pada peran para Ksatria India dalam proses masuknya
kebudayaan India ke Indonesia terletak pada hal-hal sebagai berikut, yaitu:
1) Para Ksatria tidak menguasai bahasa Sanskerta dan huruf Pallawa;
2) Apabila daerah Indonesia pernah menjadi daerah taklukkan
kerajaan-kerajaan India, tentunya ada bukti prasasti yang menggambarkan
penaklukkan tersebut. Akan tetapi, baik di India maupun Indonesia tidak
ditemukan prasasti semacam itu. Adapun prasasti Tanjore yang menceritakan
tentang penaklukkan kerajaan Sriwijaya oleh salah satu kerajaan Cola di India,
tidak dapat dipakai sebagai bukti yang memperkuat hipotesis ini. Hal ini
disebabkan penaklukkan tersebut terjadi pada abad ke-11 sedangkan bukti-bukti
yang diperlukan harus menunjukkan pada kurun waktu yang lebih awal.
c. Hipotesis Brahmana
Hipotesis ini menyatakan bahwa tradisi India yang menyebar ke Indonesia
dibawa oleh golongan Brahmana. Pendapat ini dikemukan oleh JC.Van Leur.
Berdasarkan pada pengamatannya terhadap sisa-sisa peninggalan kerajaan-kerajaan
yang bercorak Hindu-Buddha di Indonesia, terutama pada prasasti-prasasti yang
menggunakan bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa, maka sangat jelas itu adalah
pengaruh Brahmana. Oleh karena itu, dia berpendapat bahwa kaum Brahmana-lah
yang menguasai bahasa dan huruf itu, sehingga pantas jika mereka yang memegang
peranan penting dalam proses penyebaran agama dan kebudayaan Hindu-Buddha di
Indonesia.
Akan tetapi, bagaimana mungkin para Brahmana bisa sampai ke Indonesia yang
terpisahkan dengan India oleh lautan. Dalam tradisi agama Hindu terdapat
pantangan bagi kaum Brahmana untuk menyeberangi lautan, sehingga hal ini
menjadi kelemahan hipotesis ini.
2. Teori Arus Balik
Pendapat yang dikemukakan tersebut di atas mendapat kritikan dari F.D.K
Bosch. Adapun kritikan yang dikemukakannya adalah sebagai berikut.
1. Berdasarkan
pada peninggalan-peninggalan yang ada, ternyata teori kolonisasi tidak
mempunyai bukti yang kuat. Untuk hipotesa Waisya, tidak terbukti bahwa kerajaan
awal di Indonesia yang bercorak Hindu-Buddha ditemukan di pesisir pantai,
melainkan terletak di pedalaman. Kritikan untuk hipotesa
2. Ksatria,
ternyata tidak ada jaya prasasti yang menyatakan daerah atau kerajaan yang ada
di Indonesia pernah ditaklukkan atau dikuasai oleh para Ksatria dari India.
3. Bila ada
perkawinan antara golongan Ksatria dengan putri pribumi dari Indonesia,
seharusnya ada keturunan dari mereka yang ditemukan di Indonesia. Pada
kenyataannya, hal itu tidak ditemukan.
4. Dilihat dari
hasil karya seni, terdapat perbedaan pembangunan antara candi-candi yang
dibangun di Indonesia dengan candi-candi yang dibangun di India.
5. Kritikan yang
lain adalah dilihat dari sudut bahasa. Bahasa Sanskerta hanya dikuasai oleh
para Brahmana, tetapi kenapa bahasa yang digunakan oleh masyarakat pada waktu
itu adalah bahasa yang digunakan oleh kebanyakan orang India.
Selanjutnya, F.D.K Bosch punya pendapat lain. Teori yang dikemukakan oleh
Bosch ini dikenal dengan teori Arus Balik. Menurut teori ini, yang
pertama kali datang ke Indonesia adalah mereka yang memiliki semangat untuk
menyebarkan Hindu-Buddha, yaitu para intelektual yang ikut menumpang
kapal-kapal dagang. Setelah tiba di Indonesia, mereka menyebarkan
ajarannya. Karena pengaruhnya itu, ada di antara tokoh masyarakat yang tertarik
untuk mengikuti ajarannya tersebut. Pada perkembangan selanjutnya banyak orang
Indonesia sendiri yang pergi ke India untuk berkunjung dan belajar agama
Hindu-Buddha di India. Sekembalinya di Indonesia, merekalah yang mengajarkannya
kepada masyarakat Indonesia yang lain. Bukti-bukti dari pendapat di atas adalah
adanya prasasti Nalanda yang menyebutkan bahwa Balaputradewa (raja
Sriwijaya) telah meminta kepada raja di India untuk membangun wihara di Nalanda
sebagai tempat untuk menimba ilmu para tokoh dari Sriwijaya. Permintaan raja
Sriwijaya itu ternyata dikabulkan.
No comments:
Post a Comment