Pencarian

Thursday, August 24, 2017

Kompensasi dalam Etos Kerja



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al-Qur’an adalah pedoman bagi manusia yang ingin memilih jalan kebenaran daripada jalan kesesatan (al-Baqarah :185), pembimbing (guidance) untuk membina ketakwaan (al-Baqarah: 2). Namun, hidup yang taqwa bukan semata harapan atau angan-angan untuk meraih kebahagiaan, tetapi merupakan medan dan cara kerja yang sebaik-baiknya untuk merealisasikan kehidupan yang berjaya di dunia dan memperoleh balasan yang lebih baik lagi di akhirat (an-Nahl: 97).
Bekerja adalah kodrat hidup, baik kehidupan spiritual, intelektual, fisik biologis, maupun kehidupan individual dan sosial dalam berbagai bidang (al-Mulk: 2). Seseorang layak untuk mendapatkan predikat yang terpuji seperti potensial, aktif, dinamis, produktif atau profesional, semata-mata karena prestasi kerjanya. Karena itu, agar manusia benar-benar “hidup”, dalam kehidupan ini ia memerlukan ruh (spirit). Untuk ini, Al Qur’an diturunkan sebagai “ruhan min amrina”, yakni spirit hidup ciptaan Allah, sekaligus sebagai “nur” (cahaya) yang tak kunjung padam, agar aktivitas hidup manusia tidak tersesat (asy-Syura: 52).

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan perilaku taat pada aturan ?       
2.      Apa yang dimaksud dengan etos kerja ?       
3.      Bagaimana cara kompetisi dalam kebaikan ? 
4.      Bagaimana taar aturan sebagai kualitas etik kerja ?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui tentang  perilaku taat pada aturan.
2.      Mengetahui tentang  etos kerja.         
3.      Mengetahui tentang  Bagaimana cara kompetisi dalam kebaikan.
4.      Mengetahui tentang  Bagaimana taar aturan sebagai kualitas etik kerja.
  
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Perilaku Taat Pada Aturan
Taat memiliki arti tunduk, tidak berlaku curang, dan atau setia. Aturan adalah tindakan atau perbuatan yang harus dijalankan. Taat pada aturan adalah sikap tunduk kepada tindakan atau perbuatan yang telah dibuat baik oleh Allah Swt., nabi, pemimpin, atau yang lainnya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul Muhammad, dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. An-Nisa/4: 59)
Perilaku mulia ketaatan yang perlu dilestarikan adalah:
1.         Selalu menaati perintah Allah Swt. dan rasul-Nya, serta meninggalkan larangan-Nya, baik di waktu lapang maupun di waktu sempit.
2.         Merasa menyesal dan takut apabila melakukan perilaku yang dilarang oleh Allah dan rasul-Nya.
3.         Menaati dan menjujung tinggi aturan-aturan yang telah disepakati, baik di rumah, di sekolah maupun di lingkungan masyarakat.
4.         Menaati pemimpin selagi perintahnya sesuai dengan tuntutan dan syariat agama.
5.         Menolak dengan cara yang baik apabila pemimpin mengajak kepada kemaksiatan.
Peranan pemimpin sangatlah penting. Sebuah institusi, dari terkecil sampai Pada suatu negara sebagai institusi terbesar, tidak akan tercapai kestabilannya tanpa ada pemimpin. Tanpa adanya seorang pemimpin dalam sebuah negara, tentulah negara tersebut akan menjadi lemah dan mudah terombang-ambing oleh kekuatan luar. Oleh karena itu, Islam memerintahkan umatnya untuk taat kepada pemimpin karena dengan ketaatan rakyat kepada pemimpin (selama tidak maksiat), akan terciptalah keamanan dan ketertiban serta kemakmuran.

B.       Etos Kerja
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etos adalah pandangan hidup yangg khas dari suatu golongan sosial. Jadi, pengertian Etos Kerja adalah semangat kerja yg menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau suatu kelompok. Etos berasal dari bahasa Yunani yang berarti sesuatu yang diyakini, cara berbuat, sikap serta persepsi terhadap nilai bekerja. Sedangkan Etos Kerja Muslim dapat didefinisikan sebagai cara pandang yang diyakini seorang muslim bahwa bekerja tidak hanya bertujuan memuliakan diri, tetapi juga sebagai suatu manifestasi dari amal sholeh dan mempunyai nilai ibadah yang luhur.
Etos Kerja merupakan totalitas kepribadian diri serta cara mengekspresikan, memandang, meyakini, dan memberikan sesuatu yang bermakna, yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal (high performance).  Etos Kerja Muslim didefenisikan sebagai sikap kepribadian yang melahirkan keyakinan yang sangat mendalam bahwa bekerja itu bukan saja untuk memuliakan dirinya, menampakkan kemanusiaannya, melainkan juga sebagai suatu manifestasi dari amal sholeh. Sehingga bekerja yang didasarkan pada prinsip-prinsip iman bukan saja menunjukkan fitrah seorang muslim, melainkan sekaligus meninggikan martabat dirinya sebagai hamba Allah yang didera kerinduan untuk menjadikan dirinya sebagai sosok yang dapat dipercaya, menampilkan dirinya sebagai manusia yang amanah, menunjukkan sikap pengabdian sebagaimana firman Allah, “Dan tidak Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”, (QS. adz-Dzaariyat : 56).
Bekerja adalah fitrah dan merupakan salah satu identitas manusia, sehingga bekerja yang didasarkan pada prinsip-prinsip iman tauhid, bukan saja menunjukkan fitrah seorang muslim, tetapi sekaligus meninggikan martabat dirinya sebagai hamba Allah SWT.
Apabila bekerja itu adalah fitrah manusia, maka jelaslah bahwa manusia yang enggan bekerja, malas dan tidak mau mendayagunakan seluruh potensi diri untuk menyatakan keimanan dalam bentuk amal kreatif, sesungguhnya dia itu melawan fitrah dirinya sendiri, dan menurunkan derajat identitas dirinya sebagai manusia.  Setiap muslim selayaknya tidak asal bekerja, mendapat gaji, atau sekedar menjaga gengsi agar tidak dianggap sebagai pengangguran. Karena, kesadaran bekerja secara produktif serta dilandasi semangat tauhid dan tanggung jawab merupakan salah satu ciri yang khas dari karakter atau kepribadian seorang muslim.
Tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk menjadi pengangguran, apalagi menjadi manusii yang kehilangan semangat inovatif. Karena sikap hidup yang tak memberikan makna, apalagi menjadi beban dan peminta-minta, pada hakekatnya merupakan tindakan yang tercela. Seorang muslim yang memiliki etos kerja adalah mereka yang selalu obsesif atau ingin berbuat sesuatu yang penuh manfaat yang merupakan bagian amanah dari Allah. Dan cara pandang untuk melaksanakan sesuatu harus didasarkan kepada tiga dimensi kesadaran, yaitu : dimensi ma’rifat (aku tahu), dimensi hakikat (aku berharap), dan dimensisyariat (aku berbuat).
Hikmah Bekerja Keras Allah SWT memerintahkan supaya kita bekerja keras karena banyak himah dan manfaatnya, baik bagi orang yang bekera keras maupun terhadap lingkungannya. Di antara hikmah bekerja keras tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Mengembangkan potensi diri, baik berupa bakat, minat, pengetahuan, maupun keterampilan.
2.      Membentuk pribadi yang bertanggung jawab dan disiplin.
3.      Mengangkat harkat martabat dirinya baik sebagai makhluk individu maupun sebagai anggota masyarakat.
4.      Meningkatkan taraf hidup orang banyak serta meningkatkan kesejahteraan.
5.      Kebutuhan hidup diri dan keluarga terpenuhi.
6.      Mampu hidup layak.
7.      Sukses meraih cita-cita
8.      Mendapat pahala dari Allah, karena bekerja keras karena Allah merupakan bagian dari ibadah.

Perilaku mulia dalam etos kerja yang perlu dilestarikan adalah:
1.         Meyakini bahwa dengan kerja keras, pasti ia akan mendapatkan sesuatu yang diinginkan (“man jada wa jada” – Siapa yang giat, pasti dapat)
2.         Melakukan sesuatu dengan prinsip: “Mulai dari diri sendiri, mulai dari yang terkecil, dan mulai dari sekarang.”
3.         Pentang menyerah dalam melakukan suatu pekerjaan.
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ ۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Artinya: “Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah yang maha mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitahukan-Nya kepada kamu apa yang telah kemu kerjakan.”  (Q.S. At-Taubah/9 : 105)
Pada Q.S. At-Taubah/9: 105 menjelaskan, bahwa Allah Swt. memerintahkan kepada kita untuk semangat dalam melakukan amal saleh sebanyak-banyaknya. Allah Swt. akan melihat dan menilai amal-amal tersebut. Pada akhirnya, seluruh manusia akan dikembalikan kepada Allah Swt. dengan membawa amal perbuatannya masing-masing. Mereka yang berbuat baik akan diberi pahala atas perbuatannya itu. Mereka yang berbuat jahat akan diberi siksaan atas perbuatan yang telah mereka lakukan selama hidup di dunia.

C.      Kompetisi Dalam Kebaikan
Allah SWT. telah memberikan pengarahan bahkan penekanan kepada orang-orang beriman untuk berkompetisi dalam kebaikan sebagaimana firman-Nya:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ ۖ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ ۚ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَٰكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
Artinya: “Dan Kami telah menurunkan Kitab Al-Qur’an kepadamu Muhammad dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu, Kami memberikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan.” (Q.S. Al-Maidah/5: 48)
Pada Q.S. Al-Maidah/5: 48 Allah Swt. Menjelaskan bahwa setiap kaum diberikan aturan atau syariat. Syariat setiap kaum berbeda beda sesuai dengan keadaan waktu dan keadaan hidupnya. Meskipun mereka berbeda-beda, yang terpenting adalah semuanya beribadah dalam rangka mencari rida Allah Swt., atau berlomba-lomba dalam kebaikan. Akhir ayat ini juga mengatakan, perbedaan syariat tersebut seperti layaknya perbedaan manusia dalam penciptaannya, bersuku-suku, berbangsa-bangsa. Ayat ini juga mendorong pengembangan berbagai macam kemampuan yang dimiliki oleh manusia, bukan malah menjadi ajang perdebatan.
Hikmah perilaku berkompetensi dalam kebaikan.
1.      Setiap orang mempunyai kewajiban untuk beribadah kepada Allah dan berbuat kebaikan kepada sesama.
2.      Terhadap kebaikan kita dapat berkompetisi atau bersaing dengan orang lain.
3.      Memahami bahwa perbuatan ibadah dan kebajikan sangat diperlukan bagi manusia.
4.      Sebagai muslim kita meyakini bahwa Allah mahakuasa atas segala sesuatu yang dikehendaki-Nya.
5.      Mempraktikan perilaku berkompetisi dalam kebaikan seperti yang terkandung dalam Q.S. Al-baqarah : 148.
6.      Tanamkan keimanan yang kuat di dalam hati agar tidak mudah tergoda oleh bujuk rayu setan yang hendak menjerumuskan manusia ke jurang kenistaan.
7.      Pahami dengan seksama, mana perilaku yang baik dan manapula yang buruk agar kita dapat memilih dan menentukan perbuatan yang pantas dan tidak pantas dilakukan.
8.      Tanamkan keyakinan dalam hati bahwa berkompetisi atau bersaing secara sehat untuk menjadi yang terbaik dan dalam hal kebaikan sangat dianjurkan dalam agama islam.
9.      Pandanglah semua orang sebagai pesaingmu dalam berbuat kebaikan sehingga kamu mempunyai motivasi untuk berlomba dalam hal kebaikan.

Setiap orang harus berlomba lomba dalam kebaikan, seperti berprestasi baik dalam bidang orahraga, seni, ilmu pengetahuan.  Alasan mengapa kita diperintahkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan adalah:
1.         Bahwa melakukan kebaikan tidak bisa ditunda-tunda, melaikan harus segera dikerjakan. Sebab kesempatan hidup sangat terbatas, begitu juga kesempatan berbuat baik belum tentu setiap saat kita dapatkan.
2.         Bahwa untuk berbuat baik hendaknya saling memotivasi dan saling tolong-menolong, di sinilah perlunya kolaborasi atau kerja sama.
3.         Bahwa kesigapan melakukan kebaikan harus didukung dengan kesungguhan. Allah Swt. bersabda:...Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan...”
Perilaku mulia kompetisi dalam kebaikan yang perlu dilestarikan adalah:
1.        Meyakini bahwa hidup itu perjuangan dan di dalam perjuangan ada kompetisi.
2.        Berkolaborasi dalam melakukan kompetisi agar pekerjaan menjadi ringan, mudah, dan hasilnya maksimal.
3.        Dalam berkolaborasi, semuanya diniatkan ibadah, semata-mata mengharap rida Allah SWT.
4.        Selalu melihat sesuatu dari sisi positif, tidak memperbesar masalah perbedaan, tetapi mencari titik persamaan.
5.        Ketika mendapatkan keberhasilan, tidak tinggi hati; ketika mendapatkan kekalahan, ia selalu sportif dan berserah diri kepada Allah SWT.

D.      Taar Aturan Sebagai Kualitas Etik Kerja
Al-Qur’an menanamkan kesadaran bahwa dengan bekerja berarti kita merealisasikan fungsi kehambaan kita kepada Allah, dan menempuh jalan menuju ridha-Nya, mengangkat harga diri, meningkatkan taraf hidup, dan memberi manfaat kepada sesama, bahkan kepada makhluk lain. Dengan tertanamnya kesadaran ini, seorang muslim atau muslimah akan berusaha mengisi setiap ruang dan waktunya hanya dengan aktivitas yang berguna. Semboyangnya adalah “tiada waktu tanpa kerja, tiada waktu tanpa amal.’ Adapun agar nilai ibadahnya tidak luntur, maka perangkat kualitas etik kerja yang Islami harus diperhatikan.
Berikut ini adalah kualitas etik kerja yang terpenting untuk dihayati.
1.      Ash-Shalah (Baik dan Bermanfaat)
Islam hanya memerintahkan atau menganjurkan pekerjaan yang baik dan bermanfaat bagi kemanusiaan, agar setiap pekerjaan mampu memberi nilai tambah dan mengangkat derajat manusia baik secara individu maupun kelompok. “Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya.” (al-An’am: 132).
Ini adalah pesan iman yang membawa manusia kepada orientasi nilai dan kualitas. Al Qur’an menggandengkan iman dengan amal soleh sebanyak 77 kali. Pekerjaan yang standar adalah pekerjaan yang bermanfaat bagi individu dan masyarakat, secara material dan moral-spiritual. Tolok ukurnya adalah pesan syariah yang semata-mata merupakan rahmat bagi manusia. Jika tidak diketahui adanya pesan khusus dari agama, maka seseorang harus memperhatikan pengakuan umum bahwa sesuatu itu bermanfaat, dan berkonsultasi kepada orang yang lebih tahu. Jika hal ini pun tidak dilakukan, minimal kembali kepada pertimbangan akal sehat yang didukung secara nurani yang sejuk, lebih-lebih jika dilakukan melalui media shalat meminta petunjuk (istikharah). Dengan prosedur ini, seorang muslim tidak perlu bingung atau ragu dalam memilih suatu pekerjaan.
2.      Al-Itqan (Kemantapan atau perfectness)
Kualitas kerja yang itqan atau perfect merupakan sifat pekerjaan Tuhan (baca: Rabbani), kemudian menjadi kualitas pekerjaan yang islami (an-Naml: 88). Rahmat Allah telah dijanjikan bagi setiap orang yang bekerja secara itqan, yakni mencapai standar ideal secara teknis. Untuk itu, diperlukan dukungan pengetahuan dan skill yang optimal. Dalam konteks ini, Islam mewajibkan umatnya agar terus menambah atau mengembangkan ilmunya dan tetap berlatih. Suatu keterampilan yang sudah dimiliki dapat saja hilang, akibat meninggalkan latihan, padahal manfaatnya besar untuk masyarakat. Karena itu, melepas atau menterlantarkan ketrampilan tersebut termasuk perbuatan dosa. Konsep itqan memberikan penilaian lebih terhadap hasil pekerjaan yang sedikit atau terbatas, tetapi berkualitas, daripada output yang banyak, tetapi kurang bermutu (al-Baqarah: 263).
3.      Al-Ihsan (Melakukan yang Terbaik atau Lebih Baik Lagi)
Kualitas ihsan mempunyai dua makna dan memberikan dua pesan, yaitu sebagai berikut.
Pertama, ihsan berarti ‘yang terbaik’ dari yang dapat dilakukan. Dengan makna pertama ini, maka pengertian ihsan sama dengan ‘itqan’. Pesan yang dikandungnya ialah agar setiap muslim mempunyai komitmen terhadap dirinya untuk berbuat yang terbaik dalam segala hal yang ia kerjakan.
Kedua ihsan mempunyai makna ‘lebih baik’ dari prestasi atau kualitas pekerjaan sebelumnya. Makna ini memberi pesan peningkatan yang terus-menerus, seiring dengan bertambahnya pengetahuan, pengalaman, waktu, dan sumber daya  lainnya. Adalah suatu kerugian jika prestasi kerja hari ini menurun dari hari kemarin, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits Nabi saw. Keharusan berbuat yang lebih baik juga berlaku ketika seorang muslim membalas jasa atau kebaikan orang lain. Bahkan, idealnya ia tetap berbuat yang lebih baik, hatta ketika membalas keburukan orang lain (Fusshilat :34, dan an Naml: 125)
Semangat kerja yang ihsan ini akan dimiliki manakala seseorang bekerja dengan semangat ibadah, dan dengan kesadaran bahwa dirinya sedang dilihat oleh Allah SWT.
4.      Al-Mujahadah (Kerja Keras dan Optimal)
Dalam banyak ayatnya, Al-Qur’an meletakkan kulaitas mujahadah dalam bekerja pada konteks manfaatnya, yaitu untuk kebaikan manusia sendiri, dan agar   nilai guna dari hasil kerjanya semakin bertambah. (Ali Imran: 142, al-Maidah: 35,  al-Hajj: 77, al-Furqan: 25,  dan al-Ankabut: 69).
Mujahadah dalam maknanya yang luas seperti yang didefinisikan oleh Ulama adalah ”istifragh ma fil wus’i”, yakni mengerahkan segenap daya dan kemampuan yang ada dalam merealisasikan setiap pekerjaan yang baik. Dapat juga diartikan sebagai mobilisasi serta optimalisasi sumber daya. Sebab, sesungguhnya Allah SWT telah menyediakan fasilitas segala sumber daya yang diperlukan melalui hukum ‘taskhir’, yakni menundukkan seluruh isi langit dan bumi untuk manusia (Ibrahim: 32-33). Tinggal peran manusia sendiri dalam memobilisasi serta mendaya gunakannya secara optimal, dalam rangka melaksanakan apa yang Allah ridhai.
Bermujahadah atau bekerja dengan semangat jihad (ruhul jihad) menjadi kewajiban setiap muslim dalam rangka tawakkal sebelum menyerahkan (tafwidh) hasil akhirnya pada keputusan Allah (Ali Imran: 159, Hud: 133).

5.      Tanafus dan Ta’awun (Berkompetisi dan Tolong-menolong)
Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyerukan persaingan dalam kualitas amal solih. Pesan persaingan ini kita dapati dalam beberapa ungkapan Qur’ani yang bersifat “amar” atau perintah. Ada perintah “fastabiqul khairat” (maka, berlomba-lombalah kamu sekalian dalam kebaikan) (al-Baqarah: 108). Begitu pula perintah “wasari’u ilaa magfirain min Rabbikum wajannah” `bersegeralah lamu sekalian menuju ampunan Rabbmu dan surga` Jalannya adalah melalui kekuatan infaq, pengendalian emosi, pemberian maaf, berbuat kebajikan, dan bersegera bertaubat kepada Allah (Ali Imran 133-135). Kita dapati pula dalam ungkapan “tanafus” untuk menjadi hamba yang gemar berbuat kebajikan, sehingga berhak mendapatkan surga, tempat segala kenikmatan (al-Muthaffifin: 22-26). Dinyatakan pula dalam konteks persaingan dan ketaqwaan, sebab yang paling mulia dalam pandangan Allah adalah insan yang paling taqwa (al Hujurat: 13). Semua ini menyuratkan dan menyiratkan etos persaingan dalam kualitas kerja.
Oleh karena dasar semangat dalam kompetisi islami adalah ketaatan kepada Allah dan ibadah serta amal shalih, maka wajah persaingan itu tidaklah seram; saling mengalahkan atau mengorbankan. Akan tetapi, untuk saling membantu (ta’awun). Dengan demikian, obyek kompetisi dan kooperasi tidak berbeda, yaitu kebaikan dalam garis horizontal dan ketaqwaan dalam garis vertikal (al-Maidah: 3), sehingga orang yang lebih banyak membantu dimungkinkan amalnya lebih banyak serta lebih baik, dan karenanya, ia mengungguli score kebajikan yang diraih saudaranya.
6.      Mencermati Nilai Waktu
Keuntungan atau pun kerugian manusia banyak ditentukan oleh sikapnya terhadap waktu. Sikap imani adalah sikap yang menghargai waktu sebagai karunia Ilahi yang wajib disyukuri. Hal ini dilakukan dengan cara mengisinya dengan amal solih, sekaligus waktu itu pun merupakan amanat yang tidak boleh disia-siakan. Sebaliknya, sikap ingkar adalah cenderung mengutuk waktu dan menyia-nyiakannya. Waktu adalah sumpah Allah dalam beberapa ayat kitab suci-Nya yang mengaitkannya dengan nasib baik atau buruk yang akan menimpa manusia, akibat tingkah lakunya sendiri. Semua macam pekerjaan ubudiyah (ibadah vertikal) telah ditentukan waktunya dan disesuaikan dengan kesibukan dalam hidup ini. Kemudian, terpulang kepada manusia itu sendiri: apakah mau melaksanakannya atau tidak.
Mengutip al-Qardhawi dalam bukunya “Qimatul waqti fil Islam”: waktu adalah hidup itu sendiri, maka jangan sekali-kali engkau sia-siakan, sedetik pun dari waktumu untuk hal-hal yang tidak berfaidah. Setiap orang akan mempertanggung jawabkan usianya yang tidak lain adalah rangkaian dari waktu. Sikap negatif terhadap waktu niscaya membawa kerugian, seperti gemar menangguhkan atau mengukur waktu, yang berarti menghilangkan kesempatan. Namun, kemudian ia mengkambing hitamkan waktu saat ia merugi, sehingga tidak punya kesempatan untuk memperbaiki kekeliruan.

 BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Etos kerja merupakan semangat untuk bekerja. Bekerja itu sendiri merupakan melakukan usaha kegiatan untuk mencapai tujuan. Adapun hadist mengenai etos kerja diantaranya: Hadist mengenai pekerjaan yang paling baik, larangan meminta-minta. Adapun pekerjaan yang paling baik adalah seseorang yang bekerja dengan tangannya sendiri dan apabila berdagang ataupun berjualan yang bersih. Adapun pekerjaan yang kurang disukai Allah SWT ataupun dilarang adalah meminta-minta atau mengemis.
Etika kerja dalam Islam yang perlu diperhatikan adalah (1) Adanya keterkaitan individu terhadap Allah sehingga menuntut individu untuk bersikap cermat dan bersungguh-sungguh dalam bekerja, berusaha keras memperoleh keridhaan Allah dan mempunyai hubungan baik dengan relasinya. (2) Berusaha dengan cara yang halal dalam seluruh jenis pekerjaan. (3) tidak memaksakan seseorang, alat-alat produksi atau binatang dalam bekerja, semua harus dipekerjakan secara professional dan wajar. (4) tidak melakukan pekerjaan yang mendurhakai Allah yang ada kaitannya dengan minuman keras, riba dan hal-hal lain yang diharamkan Allah. (5) Professionalisme dalam setiap pekerjaan.

B.     Saran
Aturan yang tertinggi adalah aturan yang dibuat oleh Allah Swt., yaitu aturan-aturan yang terdapat pada al-Qur’an. Sementara di bawahnya ada aturan yang dibuat oleh Nabi Muhammad saw., yang disebut sunah atau hadis. Di bawahnya lagi ada aturan yang dibuat oleh para pemimpin (amir), baik pemimpin pemerintah, negara, daerah, maupun pemimpin yang lain, termasuk pemimpin keluarga.
 
DAFTAR PUSTAKA



No comments:

Pencarian isi Blog