BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah
pedoman bagi manusia yang ingin memilih jalan kebenaran daripada jalan
kesesatan (al-Baqarah :185), pembimbing (guidance) untuk membina ketakwaan
(al-Baqarah: 2). Namun, hidup yang taqwa bukan semata harapan atau angan-angan
untuk meraih kebahagiaan, tetapi merupakan medan dan cara kerja yang
sebaik-baiknya untuk merealisasikan kehidupan yang berjaya di dunia dan
memperoleh balasan yang lebih baik lagi di akhirat (an-Nahl: 97).
Bekerja adalah
kodrat hidup, baik kehidupan spiritual, intelektual, fisik biologis, maupun
kehidupan individual dan sosial dalam berbagai bidang (al-Mulk: 2). Seseorang
layak untuk mendapatkan predikat yang terpuji seperti potensial, aktif,
dinamis, produktif atau profesional, semata-mata karena prestasi kerjanya.
Karena itu, agar manusia benar-benar “hidup”, dalam kehidupan ini ia memerlukan
ruh (spirit). Untuk ini, Al Qur’an diturunkan sebagai “ruhan min amrina”, yakni
spirit hidup ciptaan Allah, sekaligus sebagai “nur” (cahaya) yang tak kunjung
padam, agar aktivitas hidup manusia tidak tersesat (asy-Syura: 52).
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan perilaku taat pada
aturan ?
2.
Apa yang dimaksud dengan etos kerja ?
3.
Bagaimana cara kompetisi dalam kebaikan ?
4.
Bagaimana taar aturan sebagai kualitas etik
kerja ?
C. Tujuan
1.
Mengetahui tentang perilaku taat pada aturan.
2.
Mengetahui tentang etos kerja.
3.
Mengetahui tentang Bagaimana cara kompetisi dalam kebaikan.
4.
Mengetahui tentang Bagaimana taar aturan sebagai kualitas etik
kerja.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perilaku Taat Pada Aturan
Taat memiliki arti
tunduk, tidak berlaku curang, dan atau setia. Aturan adalah tindakan atau
perbuatan yang harus dijalankan. Taat pada aturan adalah sikap tunduk kepada
tindakan atau perbuatan yang telah dibuat baik oleh Allah Swt., nabi, pemimpin,
atau yang lainnya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا
الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ
إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ
ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Artinya: “Wahai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul Muhammad, dan Ulil
Amri di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kamu beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.” (Q.S.
An-Nisa/4: 59)
Perilaku mulia ketaatan yang perlu dilestarikan adalah:
1.
Selalu menaati perintah Allah Swt. dan
rasul-Nya, serta meninggalkan larangan-Nya, baik di waktu lapang maupun di
waktu sempit.
2.
Merasa menyesal dan takut apabila melakukan
perilaku yang dilarang oleh Allah dan rasul-Nya.
3.
Menaati dan menjujung tinggi aturan-aturan yang
telah disepakati, baik di rumah, di sekolah maupun di lingkungan masyarakat.
4.
Menaati pemimpin selagi perintahnya sesuai
dengan tuntutan dan syariat agama.
5.
Menolak dengan cara yang baik apabila pemimpin
mengajak kepada kemaksiatan.
Peranan pemimpin sangatlah penting. Sebuah institusi,
dari terkecil sampai Pada suatu negara sebagai institusi terbesar, tidak akan
tercapai kestabilannya tanpa ada pemimpin. Tanpa adanya seorang pemimpin dalam
sebuah negara, tentulah negara tersebut akan menjadi lemah dan mudah terombang-ambing
oleh kekuatan luar. Oleh karena itu, Islam memerintahkan umatnya untuk taat
kepada pemimpin karena dengan ketaatan rakyat kepada pemimpin (selama tidak
maksiat), akan terciptalah keamanan dan ketertiban serta kemakmuran.
B. Etos Kerja
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, etos adalah pandangan hidup yangg khas dari suatu golongan
sosial. Jadi, pengertian Etos Kerja adalah semangat kerja yg menjadi ciri khas
dan keyakinan seseorang atau suatu kelompok. Etos berasal dari bahasa Yunani
yang berarti sesuatu yang diyakini, cara berbuat, sikap serta persepsi terhadap
nilai bekerja. Sedangkan Etos Kerja Muslim dapat didefinisikan sebagai cara
pandang yang diyakini seorang muslim bahwa bekerja tidak hanya bertujuan
memuliakan diri, tetapi juga sebagai suatu manifestasi dari amal sholeh dan
mempunyai nilai ibadah yang luhur.
Etos Kerja
merupakan totalitas kepribadian diri serta cara mengekspresikan, memandang,
meyakini, dan memberikan sesuatu yang bermakna, yang mendorong dirinya untuk
bertindak dan meraih amal yang optimal (high performance). Etos Kerja Muslim didefenisikan sebagai sikap
kepribadian yang melahirkan keyakinan yang sangat mendalam bahwa bekerja itu
bukan saja untuk memuliakan dirinya, menampakkan kemanusiaannya, melainkan juga
sebagai suatu manifestasi dari amal sholeh. Sehingga bekerja yang didasarkan
pada prinsip-prinsip iman bukan saja menunjukkan fitrah seorang muslim,
melainkan sekaligus meninggikan martabat dirinya sebagai hamba Allah yang
didera kerinduan untuk menjadikan dirinya sebagai sosok yang dapat dipercaya,
menampilkan dirinya sebagai manusia yang amanah, menunjukkan sikap pengabdian
sebagaimana firman Allah, “Dan tidak Aku
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”, (QS.
adz-Dzaariyat : 56).
Bekerja adalah fitrah
dan merupakan salah satu identitas manusia, sehingga bekerja yang didasarkan
pada prinsip-prinsip iman tauhid, bukan saja menunjukkan fitrah seorang muslim,
tetapi sekaligus meninggikan martabat dirinya sebagai hamba Allah SWT.
Apabila bekerja
itu adalah fitrah manusia, maka jelaslah bahwa manusia yang enggan bekerja,
malas dan tidak mau mendayagunakan seluruh potensi diri untuk menyatakan
keimanan dalam bentuk amal kreatif, sesungguhnya dia itu melawan fitrah dirinya
sendiri, dan menurunkan derajat identitas dirinya sebagai manusia. Setiap muslim selayaknya tidak asal bekerja,
mendapat gaji, atau sekedar menjaga gengsi agar tidak dianggap sebagai
pengangguran. Karena, kesadaran bekerja secara produktif serta dilandasi
semangat tauhid dan tanggung jawab merupakan salah satu ciri yang khas dari
karakter atau kepribadian seorang muslim.
Tidak ada alasan
bagi seorang muslim untuk menjadi pengangguran, apalagi menjadi manusii yang
kehilangan semangat inovatif. Karena sikap hidup yang tak memberikan makna,
apalagi menjadi beban dan peminta-minta, pada hakekatnya merupakan tindakan
yang tercela. Seorang muslim yang memiliki etos kerja adalah mereka yang selalu
obsesif atau ingin berbuat sesuatu yang penuh manfaat yang merupakan bagian amanah
dari Allah. Dan cara pandang untuk melaksanakan sesuatu harus didasarkan kepada
tiga dimensi kesadaran, yaitu : dimensi ma’rifat (aku tahu), dimensi hakikat
(aku berharap), dan dimensisyariat (aku berbuat).
Hikmah Bekerja
Keras Allah SWT memerintahkan supaya kita bekerja keras karena banyak himah dan
manfaatnya, baik bagi orang yang bekera keras maupun terhadap lingkungannya. Di
antara hikmah bekerja keras tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Mengembangkan potensi diri, baik berupa bakat,
minat, pengetahuan, maupun keterampilan.
2.
Membentuk pribadi yang bertanggung jawab dan
disiplin.
3.
Mengangkat harkat martabat dirinya baik sebagai
makhluk individu maupun sebagai anggota masyarakat.
4.
Meningkatkan taraf hidup orang banyak serta
meningkatkan kesejahteraan.
5.
Kebutuhan hidup diri dan keluarga terpenuhi.
6.
Mampu hidup layak.
7.
Sukses meraih cita-cita
8.
Mendapat pahala dari Allah, karena bekerja keras
karena Allah merupakan bagian dari ibadah.
Perilaku mulia dalam etos kerja yang
perlu dilestarikan adalah:
1.
Meyakini bahwa dengan kerja keras, pasti ia akan
mendapatkan sesuatu yang diinginkan (“man jada wa jada” – Siapa yang giat,
pasti dapat)
2.
Melakukan sesuatu dengan prinsip: “Mulai dari
diri sendiri, mulai dari yang terkecil, dan mulai dari sekarang.”
3.
Pentang menyerah dalam melakukan suatu
pekerjaan.
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ
وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ ۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ
فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Artinya: “Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah
akan melihat pekerjaanmu, begitu juga rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan
kamu akan dikembalikan kepada Allah yang maha mengetahui yang gaib dan yang
nyata, lalu diberitahukan-Nya kepada kamu apa yang telah kemu kerjakan.” (Q.S. At-Taubah/9 : 105)
Pada Q.S. At-Taubah/9: 105 menjelaskan, bahwa Allah
Swt. memerintahkan kepada kita untuk semangat dalam melakukan amal saleh
sebanyak-banyaknya. Allah Swt. akan melihat dan menilai amal-amal tersebut.
Pada akhirnya, seluruh manusia akan dikembalikan kepada Allah Swt. dengan
membawa amal perbuatannya masing-masing. Mereka yang berbuat baik akan diberi
pahala atas perbuatannya itu. Mereka yang berbuat jahat akan diberi siksaan
atas perbuatan yang telah mereka lakukan selama hidup di dunia.
C. Kompetisi Dalam Kebaikan
Allah SWT. telah
memberikan pengarahan bahkan penekanan kepada orang-orang beriman untuk
berkompetisi dalam kebaikan sebagaimana firman-Nya:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا
بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ ۖ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا
أَنْزَلَ اللَّهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ ۚ
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ
أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَٰكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ
ۚ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
Artinya: “Dan Kami telah menurunkan Kitab Al-Qur’an
kepadamu Muhammad dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang
diturunkan sebelumnya dan menjaganya maka putuskanlah perkara mereka menurut
apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka
dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di
antara kamu, Kami memberikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat, tetapi Allah hendak menguji
kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah
berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu
diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan.” (Q.S.
Al-Maidah/5: 48)
Pada Q.S. Al-Maidah/5: 48 Allah Swt. Menjelaskan bahwa
setiap kaum diberikan aturan atau syariat. Syariat setiap kaum berbeda beda
sesuai dengan keadaan waktu dan keadaan hidupnya. Meskipun mereka berbeda-beda,
yang terpenting adalah semuanya beribadah dalam rangka mencari rida Allah Swt.,
atau berlomba-lomba dalam kebaikan. Akhir ayat ini juga mengatakan, perbedaan
syariat tersebut seperti layaknya perbedaan manusia dalam penciptaannya, bersuku-suku,
berbangsa-bangsa. Ayat ini juga mendorong pengembangan berbagai macam kemampuan
yang dimiliki oleh manusia, bukan malah menjadi ajang perdebatan.
Hikmah perilaku berkompetensi dalam kebaikan.
1.
Setiap orang mempunyai kewajiban untuk beribadah
kepada Allah dan berbuat kebaikan kepada sesama.
2.
Terhadap kebaikan kita dapat berkompetisi atau
bersaing dengan orang lain.
3.
Memahami bahwa perbuatan ibadah dan kebajikan
sangat diperlukan bagi manusia.
4.
Sebagai muslim kita meyakini bahwa Allah
mahakuasa atas segala sesuatu yang dikehendaki-Nya.
5.
Mempraktikan perilaku berkompetisi dalam
kebaikan seperti yang terkandung dalam Q.S. Al-baqarah : 148.
6.
Tanamkan keimanan yang kuat di dalam hati agar
tidak mudah tergoda oleh bujuk rayu setan yang hendak menjerumuskan manusia ke
jurang kenistaan.
7.
Pahami dengan seksama, mana perilaku yang baik
dan manapula yang buruk agar kita dapat memilih dan menentukan perbuatan yang
pantas dan tidak pantas dilakukan.
8.
Tanamkan keyakinan dalam hati bahwa berkompetisi
atau bersaing secara sehat untuk menjadi yang terbaik dan dalam hal kebaikan
sangat dianjurkan dalam agama islam.
9.
Pandanglah semua orang sebagai pesaingmu dalam
berbuat kebaikan sehingga kamu mempunyai motivasi untuk berlomba dalam hal
kebaikan.
Setiap orang harus berlomba lomba dalam kebaikan,
seperti berprestasi baik dalam bidang orahraga, seni, ilmu pengetahuan. Alasan mengapa kita diperintahkan untuk berlomba-lomba
dalam kebaikan adalah:
1.
Bahwa melakukan kebaikan tidak bisa
ditunda-tunda, melaikan harus segera dikerjakan. Sebab kesempatan hidup sangat
terbatas, begitu juga kesempatan berbuat baik belum tentu setiap saat kita
dapatkan.
2.
Bahwa untuk berbuat baik hendaknya saling
memotivasi dan saling tolong-menolong, di sinilah perlunya kolaborasi atau
kerja sama.
3.
Bahwa kesigapan melakukan kebaikan harus
didukung dengan kesungguhan. Allah Swt. bersabda:“...Dan tolong-menolonglah kamu
dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan permusuhan...”
Perilaku mulia kompetisi dalam kebaikan yang perlu
dilestarikan adalah:
1.
Meyakini bahwa hidup itu perjuangan dan di dalam
perjuangan ada kompetisi.
2.
Berkolaborasi dalam melakukan kompetisi agar
pekerjaan menjadi ringan, mudah, dan hasilnya maksimal.
3.
Dalam berkolaborasi, semuanya diniatkan ibadah,
semata-mata mengharap rida Allah SWT.
4.
Selalu melihat sesuatu dari sisi positif, tidak
memperbesar masalah perbedaan, tetapi mencari titik persamaan.
5.
Ketika mendapatkan keberhasilan, tidak tinggi
hati; ketika mendapatkan kekalahan, ia selalu sportif dan berserah diri kepada
Allah SWT.
D. Taar Aturan Sebagai Kualitas Etik Kerja
Al-Qur’an
menanamkan kesadaran bahwa dengan bekerja berarti kita merealisasikan fungsi
kehambaan kita kepada Allah, dan menempuh jalan menuju ridha-Nya, mengangkat
harga diri, meningkatkan taraf hidup, dan memberi manfaat kepada sesama, bahkan
kepada makhluk lain. Dengan tertanamnya kesadaran ini, seorang muslim atau
muslimah akan berusaha mengisi setiap ruang dan waktunya hanya dengan aktivitas
yang berguna. Semboyangnya adalah “tiada waktu tanpa kerja, tiada waktu tanpa
amal.’ Adapun agar nilai ibadahnya tidak luntur, maka perangkat kualitas etik
kerja yang Islami harus diperhatikan.
Berikut ini adalah
kualitas etik kerja yang terpenting untuk dihayati.
1.
Ash-Shalah (Baik dan Bermanfaat)
Islam hanya
memerintahkan atau menganjurkan pekerjaan yang baik dan bermanfaat bagi
kemanusiaan, agar setiap pekerjaan mampu memberi nilai tambah dan mengangkat
derajat manusia baik secara individu maupun kelompok. “Dan masing-masing orang
memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya.”
(al-An’am: 132).
Ini adalah pesan
iman yang membawa manusia kepada orientasi nilai dan kualitas. Al Qur’an
menggandengkan iman dengan amal soleh sebanyak 77 kali. Pekerjaan yang standar
adalah pekerjaan yang bermanfaat bagi individu dan masyarakat, secara material
dan moral-spiritual. Tolok ukurnya adalah pesan syariah yang semata-mata
merupakan rahmat bagi manusia. Jika tidak diketahui adanya pesan khusus dari
agama, maka seseorang harus memperhatikan pengakuan umum bahwa sesuatu itu
bermanfaat, dan berkonsultasi kepada orang yang lebih tahu. Jika hal ini pun
tidak dilakukan, minimal kembali kepada pertimbangan akal sehat yang didukung secara
nurani yang sejuk, lebih-lebih jika dilakukan melalui media shalat meminta
petunjuk (istikharah). Dengan prosedur ini, seorang muslim tidak perlu bingung
atau ragu dalam memilih suatu pekerjaan.
2.
Al-Itqan (Kemantapan atau perfectness)
Kualitas kerja yang itqan atau perfect merupakan sifat
pekerjaan Tuhan (baca: Rabbani), kemudian menjadi kualitas pekerjaan yang
islami (an-Naml: 88). Rahmat Allah telah dijanjikan bagi setiap orang yang
bekerja secara itqan, yakni mencapai standar ideal secara teknis. Untuk itu,
diperlukan dukungan pengetahuan dan skill yang optimal. Dalam konteks ini,
Islam mewajibkan umatnya agar terus menambah atau mengembangkan ilmunya dan
tetap berlatih. Suatu keterampilan yang sudah dimiliki dapat saja hilang,
akibat meninggalkan latihan, padahal manfaatnya besar untuk masyarakat. Karena
itu, melepas atau menterlantarkan ketrampilan tersebut termasuk perbuatan dosa.
Konsep itqan memberikan penilaian lebih terhadap hasil pekerjaan yang sedikit
atau terbatas, tetapi berkualitas, daripada output yang banyak, tetapi kurang
bermutu (al-Baqarah: 263).
3.
Al-Ihsan (Melakukan yang Terbaik atau Lebih Baik
Lagi)
Kualitas ihsan mempunyai dua makna dan memberikan dua pesan,
yaitu sebagai berikut.
Pertama, ihsan berarti ‘yang terbaik’ dari yang dapat
dilakukan. Dengan makna pertama ini, maka pengertian ihsan sama dengan ‘itqan’.
Pesan yang dikandungnya ialah agar setiap muslim mempunyai komitmen terhadap
dirinya untuk berbuat yang terbaik dalam segala hal yang ia kerjakan.
Kedua ihsan mempunyai makna ‘lebih baik’ dari prestasi atau
kualitas pekerjaan sebelumnya. Makna ini memberi pesan peningkatan yang
terus-menerus, seiring dengan bertambahnya pengetahuan, pengalaman, waktu, dan
sumber daya lainnya. Adalah suatu
kerugian jika prestasi kerja hari ini menurun dari hari kemarin, sebagaimana
dinyatakan dalam sebuah hadits Nabi saw. Keharusan berbuat yang lebih baik juga
berlaku ketika seorang muslim membalas jasa atau kebaikan orang lain. Bahkan,
idealnya ia tetap berbuat yang lebih baik, hatta ketika membalas keburukan
orang lain (Fusshilat :34, dan an Naml: 125)
Semangat kerja yang ihsan ini akan dimiliki manakala
seseorang bekerja dengan semangat ibadah, dan dengan kesadaran bahwa dirinya
sedang dilihat oleh Allah SWT.
4.
Al-Mujahadah (Kerja Keras dan Optimal)
Dalam banyak ayatnya, Al-Qur’an meletakkan kulaitas mujahadah
dalam bekerja pada konteks manfaatnya, yaitu untuk kebaikan manusia sendiri,
dan agar nilai guna dari hasil kerjanya
semakin bertambah. (Ali Imran: 142, al-Maidah: 35, al-Hajj: 77, al-Furqan: 25, dan al-Ankabut: 69).
Mujahadah dalam maknanya yang luas seperti yang didefinisikan
oleh Ulama adalah ”istifragh ma fil wus’i”, yakni mengerahkan segenap daya dan
kemampuan yang ada dalam merealisasikan setiap pekerjaan yang baik. Dapat juga
diartikan sebagai mobilisasi serta optimalisasi sumber daya. Sebab,
sesungguhnya Allah SWT telah menyediakan fasilitas segala sumber daya yang
diperlukan melalui hukum ‘taskhir’, yakni menundukkan seluruh isi langit dan
bumi untuk manusia (Ibrahim: 32-33). Tinggal peran manusia sendiri dalam
memobilisasi serta mendaya gunakannya secara optimal, dalam rangka melaksanakan
apa yang Allah ridhai.
Bermujahadah atau bekerja dengan semangat jihad (ruhul jihad)
menjadi kewajiban setiap muslim dalam rangka tawakkal sebelum menyerahkan
(tafwidh) hasil akhirnya pada keputusan Allah (Ali Imran: 159, Hud: 133).
5.
Tanafus dan Ta’awun (Berkompetisi dan
Tolong-menolong)
Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyerukan persaingan dalam
kualitas amal solih. Pesan persaingan ini kita dapati dalam beberapa ungkapan
Qur’ani yang bersifat “amar” atau perintah. Ada perintah “fastabiqul khairat”
(maka, berlomba-lombalah kamu sekalian dalam kebaikan) (al-Baqarah: 108).
Begitu pula perintah “wasari’u ilaa magfirain min Rabbikum wajannah” `bersegeralah
lamu sekalian menuju ampunan Rabbmu dan surga` Jalannya adalah melalui kekuatan
infaq, pengendalian emosi, pemberian maaf, berbuat kebajikan, dan bersegera
bertaubat kepada Allah (Ali Imran 133-135). Kita dapati pula dalam ungkapan
“tanafus” untuk menjadi hamba yang gemar berbuat kebajikan, sehingga berhak
mendapatkan surga, tempat segala kenikmatan (al-Muthaffifin: 22-26). Dinyatakan
pula dalam konteks persaingan dan ketaqwaan, sebab yang paling mulia dalam
pandangan Allah adalah insan yang paling taqwa (al Hujurat: 13). Semua ini
menyuratkan dan menyiratkan etos persaingan dalam kualitas kerja.
Oleh karena dasar semangat dalam kompetisi islami adalah
ketaatan kepada Allah dan ibadah serta amal shalih, maka wajah persaingan itu
tidaklah seram; saling mengalahkan atau mengorbankan. Akan tetapi, untuk saling
membantu (ta’awun). Dengan demikian, obyek kompetisi dan kooperasi tidak
berbeda, yaitu kebaikan dalam garis horizontal dan ketaqwaan dalam garis
vertikal (al-Maidah: 3), sehingga orang yang lebih banyak membantu dimungkinkan
amalnya lebih banyak serta lebih baik, dan karenanya, ia mengungguli score
kebajikan yang diraih saudaranya.
6.
Mencermati Nilai Waktu
Keuntungan atau pun kerugian manusia banyak ditentukan oleh
sikapnya terhadap waktu. Sikap imani adalah sikap yang menghargai waktu sebagai
karunia Ilahi yang wajib disyukuri. Hal ini dilakukan dengan cara mengisinya
dengan amal solih, sekaligus waktu itu pun merupakan amanat yang tidak boleh
disia-siakan. Sebaliknya, sikap ingkar adalah cenderung mengutuk waktu dan
menyia-nyiakannya. Waktu adalah sumpah Allah dalam beberapa ayat kitab suci-Nya
yang mengaitkannya dengan nasib baik atau buruk yang akan menimpa manusia,
akibat tingkah lakunya sendiri. Semua macam pekerjaan ubudiyah (ibadah vertikal)
telah ditentukan waktunya dan disesuaikan dengan kesibukan dalam hidup ini.
Kemudian, terpulang kepada manusia itu sendiri: apakah mau melaksanakannya atau
tidak.
Mengutip al-Qardhawi dalam bukunya “Qimatul waqti fil Islam”:
waktu adalah hidup itu sendiri, maka jangan sekali-kali engkau sia-siakan,
sedetik pun dari waktumu untuk hal-hal yang tidak berfaidah. Setiap orang akan
mempertanggung jawabkan usianya yang tidak lain adalah rangkaian dari waktu.
Sikap negatif terhadap waktu niscaya membawa kerugian, seperti gemar
menangguhkan atau mengukur waktu, yang berarti menghilangkan kesempatan. Namun,
kemudian ia mengkambing hitamkan waktu saat ia merugi, sehingga tidak punya
kesempatan untuk memperbaiki kekeliruan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Etos kerja merupakan
semangat untuk bekerja. Bekerja itu sendiri merupakan melakukan usaha kegiatan
untuk mencapai tujuan. Adapun hadist mengenai etos kerja diantaranya: Hadist
mengenai pekerjaan yang paling baik, larangan meminta-minta. Adapun pekerjaan
yang paling baik adalah seseorang yang bekerja dengan tangannya sendiri dan
apabila berdagang ataupun berjualan yang bersih. Adapun pekerjaan yang kurang
disukai Allah SWT ataupun dilarang adalah meminta-minta atau mengemis.
Etika kerja dalam
Islam yang perlu diperhatikan adalah (1) Adanya keterkaitan individu terhadap
Allah sehingga menuntut individu untuk bersikap cermat dan bersungguh-sungguh
dalam bekerja, berusaha keras memperoleh keridhaan Allah dan mempunyai hubungan
baik dengan relasinya. (2) Berusaha dengan cara yang halal dalam seluruh jenis
pekerjaan. (3) tidak memaksakan seseorang, alat-alat produksi atau binatang
dalam bekerja, semua harus dipekerjakan secara professional dan wajar. (4)
tidak melakukan pekerjaan yang mendurhakai Allah yang ada kaitannya dengan
minuman keras, riba dan hal-hal lain yang diharamkan Allah. (5)
Professionalisme dalam setiap pekerjaan.
B. Saran
Aturan yang
tertinggi adalah aturan yang dibuat oleh Allah Swt., yaitu aturan-aturan yang
terdapat pada al-Qur’an. Sementara di bawahnya ada aturan yang dibuat oleh Nabi
Muhammad saw., yang disebut sunah atau hadis. Di bawahnya lagi ada aturan yang
dibuat oleh para pemimpin (amir), baik pemimpin pemerintah, negara, daerah,
maupun pemimpin yang lain, termasuk pemimpin keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
No comments:
Post a Comment