AKULTURASI ISLAM
DALAM BIDANG
SENI
BANGUNAN
Akulturasi Islam dalam Bidang Seni
Bangunan Seni dan arsitektur bangunan Islam di Indonesia sangat
unik, menarik dan akulturatif. Seni bangunan yang menonjol di zaman
perkembangan Islam ini terutama masjid dan menaranya serta makam.
a. Masjid dan Menara
Dalam seni bangunan di zaman
perkembangan Islam, nampak ada perpaduan antara unsur Islam dengan kebudayaan
praIslam yang telah ada. Seni bangunan Islam yang menonjol adalah masjid.
Fungsi utama dari masjid,adalah tempat beribadah bagi orang Islam. Masjid atau
mesjid dalam bahasa Arab mungkin berasal dari bahasa Aramik atau bentuk bebas
dari perkataan sajada yang artinya merebahkan diri untuk bersujud. Dalam bahasa
Ethiopia terdapat perkataan mesgad yang dapat diartikan dengan kuil atau
gereja. Di antara dua pengertian tersebut yang mungkin primair ialah tempat
orang merebahkan diri untuk bersujud ketika salat atau sembahyang.
Pengertian tersebut dapat dikaitkan
dengan salah satu hadis sahih al-Bukhârî yang menyatakan bahwa “Bumi ini
dijadikan bagiku untuk masjid (tempat salat) dan alat pensucian (buat tayamum)
dan di tempat mana saja seseorang dari umatku mendapat waktu salat, maka
salatlah di situ.” Jika pengertian tersebut dapat dibenarkan dapat pula diambil
asumsi bahwa ternyata agama Islam telah memberikan pengertian perkataan masjid
atau mesjid itubersifat universal.
Dengan sifat universal itu, maka
orang-orang Muslim diberikan keleluasaan untuk melakukan ibadah salat di tempat
manapun asalkan bersih. Karena itu tidak mengherankan apabila ada orang Muslim
yang melakukan salat di atas batu di sebuah sungai, di atas batu di tengah
sawah atau ladang, di tepi jalan, di lapangan rumput, di atas gubug penjaga
sawah atau ranggon (Jawa, Sunda) di atas bangunan gedung dan sebagainya.
Meskipun pengertian hadist tersebut memberikan keleluasaan bagi setiap Muslim
untuk salat, namun dirasakan perlunya mendirikan bangunan khusus yang disebut
masjid sebagai tempat peribadatan umat Islam.
Masjid sebenarnya mempunyai fungsi
yang luas yaitu sebagai pusat untuk menyelenggarakan keagamaan Islam, pusat
untuk mempraktikkan ajaran-ajaran persamaan hak dan persahabatan di kalangan
umat Islam. Demikian pula masjid dapat dianggap sebagai pusat kebudayaan bagi
orang-orang Muslim.
Di Indonesia sebutan masjid serta
bangunan tempat peribadatan lainnya ada bermacam-macam sesuai dan tergantung
kepada masyarakat dan bahasa setempat. Sebutan masjid, dalam bahasa Jawa lazim
disebut mesjid, dalam bahasa Sunda disebut masigit, dalam bahasa Aceh disebut
meuseugit, dalam bahasa Makassar dan Bugis disebut masigi.
Bangunan masjid-masjid kuno di
Indonesia memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
- Atapnya berupa atap tumpang, yaitu atap yang bersusun, semakin ke atas semakin kecil dan tingkat yang paling atas berbentuk limas. Jumlah tumpang biasanya selalu gasal/ ganjil, ada yang tiga, ada juga yang lima. Ada pula yang tumpangnya dua, tetapi yang ini dinamakan tumpang satu, jadi angka gasal juga. Atap yang demikian disebut meru. Atap masjid biasanya masih diberi lagi sebuah kemuncak/ puncak yang dinamakan mustaka.
- Tidak ada menara yang berfungsi sebagai tempat mengumandangkan adzan. Berbeda dengan masjidmasjid di luar Indonesia yang umumnya terdapat menara. Pada masjid-masjid kuno di Indonesia untuk menandai datangnya waktu salat dengan memukul bedhug atau kenthongan. Yang istimewa dari Masjid Kudus dan Masjid Banten adalah menaranya yang bentuknya begitu unik. bentuk menara Masjid Kudus merupakan sebuah candi langgam Jawa Timur yang telah diubah dan disesuaikan penggunaannya dengan diberi atap tumpang. Pada Masjid Banten, menara tambahannya dibuat menyerupai mercusuar.
- Masjid umumnya didirikan di ibu kota atau dekat istana kerajaan. Ada juga masjid-masjid yang dipandang keramat yang dibangun di atas bukit atau dekat makam. Masjidmasjid di zaman Wali Sanga umumnya berdekatan dengan makam.
b. Makam
Bangunan makam muncul saat
perkembangan Islam pada periode perkembangan kerajaan Islam. Bahkan kalau yang
meninggal itu orang terhormat wali atau raja, bangunan makamnya nampak begitu
megah bahkan ada bangunan semacam rumah yang disebut cungkup. Kemudian kalau kita
perhatikan letak makam orang-orang yang dianggap suci biasanya berada di dekat
masjid di dataran rendah dan ada pula di dataran tinggi atau di atas bukit.
Makam-makam yang lokasinya di
dataran dekat masjid agung, bekas kota pusat kesultanan antara lain makam
sultansultan Demak di samping Masjid Agung Demak, makam rajaraja Mataram-Islam
Kota Gede (D.I. Yogyakarta), makam sultan-sultan Palembang, makam sultan-sultan
di daerah Nanggroe Aceh, yaitu kompleks makam di Samudera Pasai, makam
sultan-sultan Aceh di Kandang XII, Gunongan dan di tempat lainnya di Nanggroe
Aceh, makam sultan-sultan Siak- Indrapura (Riau), makam sultan-sultan
Palembang, makam sultan-sultan Banjar di Kuin (Banjarmasin), makam sultansultan
di Martapura (Kalimantan Selatan), makam sultansultan Kutai (Kalimantan Timur),
makam sultan Ternate di Ternate, makam sultan-sultan Goa di Tamalate, dan
kompleks makam raja-raja di Jeneponto dan kompleks makam di WatanG Lamuru
(Sulawesi Selatan), makam-makam di berbagai daerah lainnya di Sulawesi Selatan,
serta kompleks makam Selaparang di Nusa Tenggara.
Di beberapa tempat terdapat
makam-makam yang meski tokoh yang dikubur termasuk wali atau syaikh namun,
penempatannya berada di daerah dataran antara lain, yaitu makam Sunan Bonang di
Tuban, makam Sunan Derajat (Lamongan), makam Sunan Kalijaga di Kadilangu
(Demak), makam Sunan Kudus di Kudus, makam Maulana Malik Ibrahim dan makam
Leran di Gresik (Jawa Timur), makam Datuk Ri Bandang di Takalar (Sulawesi
Selatan), makam Syaikh Burhanuddin (Pariaman), makam Syaikh Kuala atau Nuruddin
ar-Raniri (Aceh) dan masih banyak para dai lainnya di tanah air yang dimakamkan
di dataran.
Makam-makam yang terletak di
tempat-tempat tinggi atau di atas bukit-bukit sebagaimana telah dikatakan di
atas, masih menunjukkan kesinambungan tradisi yang mengandung unsur kepercayaan
pada ruh-ruh nenek moyang yang sebenarnya sudah dikenal dalam pengejawantahan
pendirian punden-punden berundak Megalitik. Tradisi tersebut dilanjutkan pada
masa kebudayaan Indonesia Hindu-Buddha yang diwujudkan dalam bentuk
bangunan-bangunan yang disebut candi. Antara lain Candi Dieng yang
berketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut, Candi Gedongsanga, Candi
Borobudur. Percandian Prambanan, Candi Ceto dan Candi Sukuh di daerah
Surakarta, Percandian Gunung Penanggungan dan lainnya. Menarik perhatian kita
bahwa makam Sultan Iskandar Tsani dimakamkan di Aceh dalam sebuah bangunan
berbentuk gunungan yang dikenal pula unsur meru.
Setelah kebudayaan Indonesia
Hindu-Buddha mengalami keruntuhan dan tidak lagi ada pendirian bangunan
percandian, unsur seni bangunan keagamaan masih diteruskan pada masa tumbuh dan
berkembangnya Islam di Indonesia melalui proses akulturasi. Makam-makam yang
lokasinya di atas bukit, makam yang paling atas adalah yang dianggap paling
dihormati misalnya Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah di Gunung
Sembung, di bagian teratas kompleks pemakaman Imogiri ialah makam Sultan Agung
Hanyokrokusumo. Kompleks makam yang mengambil tempat datar misalnya di Kota
Gede, orang yang paling dihormati ditempatkan di bagian tengah. Makam walisongo
dan sultansultan pada umumnya ditempatkan dalam bangunan yang disebut cungkup
yang masih bergaya kuno dan juga dalam bangunan yang sudah diperbaharui.
Cungkup-cungkup yang termasuk kuno antara lain cungkup makam Sunan Giri, Sunan
Derajat, dan Sunan Gunung Jati. Demikian juga cungkup makam sultan-sultan yang
dapat dikatakan masih menunjukkan kekunoannya walaupun sudah mengalami
perbaikan contohnya cungkup makam sultan-sultan Demak, Banten, dan Ratu Kalinyamat
(Jepara).
Di samping bangunan makam, terdapat
tradisi pemakaman yang sebenarnya bukan berasal dari ajaran Islam. Misalnya,
jenazah dimasukkan ke dalam peti. Pada zaman kuno ada peti batu, kubur batu dan
lainnya. Sering pula di atas kubur diletakkan bunga-bunga. Pada hari ke-3,
ke-7, ke- 40, ke-100, satu tahun, dua tahun, dan 1000 hari diadakan selamatan.
Saji-sajian dan selamatan adalah unsur pengaruh kebudayaan praIslam, tetapi
doa-doanya secara Islam. Hal ini jelas menunjukkan perpaduan. Sesudah upacara
terakhir (seribu hari) selesai, barulah kuburan diabadikan, artinya diperkuat
dengan bangunan dan batu. Bangunan ini disebut jirat atau kijing. Nisannya
diganti dengan nisan batu. Di atas jirat sering didirikan semacam rumah yang di
atas disebut cungkup. Dalam kaitan dengan makam Islam ada juga istilah masjid
makam.
No comments:
Post a Comment