Pencarian

Sunday, August 23, 2015

Makalah Perekonomian Indonesia


MAKALAH PEREKONOMIAN INDONESIA

Disusun untuk memenuhi tugas Ilmu Pengetahuan Sosial
Dosen Pengampu : NImas Puspitasari, M.Pd



Disusun Oleh :
1.   Tika Luthfi Mahartin         ( 02 / 1401414056 )
2.   Hilda Isma                ( 26 / 1401414297 )
3.   Nurlita Rindariyatni         ( 40 / 1401414438 )
4.   Rilo Eko Pambudi              
5.   Restuta A                          

Rombel 1B


PGSD UPP TEGAL
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2014




Bab I
Pendahuluan

Dalam mengamati sejarah perkembangan ekonomi Indonesia sejak lahirnya orde baru sampai sekarang ini dapat dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Pada dasarnya setiap pemerintahan didunia ini selalu bertujuan mengembangkan perekonomiannya sedemikian rupa sehingga taraf hidup bangsa yang bersangkutan meningkat. Orde baru mulai berkiprah pada tahun 1967 dan berakhir pada Mei 1998. Pada awalnya orde baru mewarisi kondisi perekonomian yang tidak menguntungkan dengan tingkat inflasi yang tinggi ( 600% per tahun pada tahun 1966) dan mengalami tingkat kemunduran ekonomi dan pengangguran yang parah. Namun sejak 1967 sampai menjelang akhir kekuasaan (1997), pemerintah orde baru bekerja keras dan mampu menciptakan laju pertumbuhan ekonomi rata- rata sekitar 7% per tahun. Namun, perekonomian Indonesia terjerembab pada tahun 1997 dengan adanya krisis moneter disusul dengan krisis ekonomi dan akhirnya krisis politik yang berkepanjangan.




Bab II
Pembahasan

PEREKONOMIAN INDONESIA

Sejarah ekonomi Indonesia dapat dibagi dalam empat orde/masa:

A.   Masa Pemerintahan Orde Lama
B.   Masa Pemerintahan Orde Baru
C.   Masa Pemerintahan Transisi
D.   Masa Pemerintahan Reformasi hingga Kabinet SBY

A. PEMERINTAHAN ORDE BARU

CCC orde lama terutama diebabkan oleh hancurnya infrastruktur ekonomi, fisik maupun nonfisik, selama pendudukan Jepang, Perang Dunia II, dan Perang Revolusi, serta gejolah politik di dalam negeri (termasuk sejumlah pemberontakan di daerah) ditambah lagi dengan manajemen ekonomi yang sangat jelek selama rezim tersebut.  Dapat dimengerti bahwa dalam kondisi politik dan social dalam negeri seperti ini, sangat sulit sekali bagi pemeringah untuk mengatur roda perekonomian dengan baik.

Menurut pengamatan Higgins (1957) sejak kabinet pertama dibentuk setelah merdeka, pemerintah Indonesia memberikan prioritas pertama terhadap stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, pembangunan industri, unifikasi, dan rekonstruksi. Akan tetapi, akibat keterbatasan akan faktor-faktor tersebut di atas dan dipersulit lagi oleh kekacauan politik nasional setelah perang revolusi tidak pernah terlaksana dengan baik.

Pada akhir September 1965 ketidakstabilan politik di Indonesia mencapai puncaknya dengan terjadinya kudeta yang gagal dari Partai Komunis Indonesia (PKI).  Sejak peristiwa tersebut terjadi suatu perubahan politik yang drastik di dalam negeri, yang selanjutnya juga mengubah system ekonomi yang dianut Indonesia pada masa orde lama, yakni dari pemikiran-pemikiran sosialis ke semikapitalis (kalau tidak dapat dikatakan ke system kapitalis sepenuhnya).

Sebenarnya perekonomian Indonesaia menurut UUD 1945 pasal 33 mengatur suatu sistem yang dilandasi oleh prinsip-prinsip kebersamaan atau koperasi berdasarkan ideologi Pancasila. Akan tetapi, dalam praktik sehari-hari pada masa pemerintahan orde baru dan hingga saat ini pola perekonomian nasional cenderung memihak sistem kapitalis, seperti di AS atau Negara-negara industri maju lainnya, yang karena pelaksanaanya tidak baik mengakibatkan munculnya kesenjangan ekonomi di tanah air yang terasa saat ini semakin besar, terutama setelah krisis ekonomi.

B.   MASA PEMERINTAHAN ORDE BARU

          Maret 1966 Indonesia memasuki pemerintahan orde baru.  Pada era orde baru perhatian pemerintah lebih ditujukan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat lewat pembangunan ekonomi dan social di tanah air.   Pemerintah orde baru menjalin kembali hubungan baik dengan pihak Barat dan menjauhi pengaruh ideologi komunis.  Indonesia juga kembali menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan lembaga-lembaga dunia lainnya, seperti Bank Dunia dan IMF.

          Sebelum rencana pembangunan lewat repelita dimulai, terlebih dahulu pemerintah melakukan pemulihan stabilitas ekonomi, social, dan politik, serta rehabilitasi ekonomi di dalam negeri.  Sasaran dari kebijakan tersebut terutama adalah untuk menekan kembali tingkat inflasi, mengurangi defisit keuangan pemerintah dan menghidupkan kembali kegiatan produksi, termasuk ekspor, yang sempat mengalami stagnasi pada masa orde lama. Usaha pemerintah tersebut ditambah lagi dengan penyusunan rencana pembanguan lima tahun (repelita) secara bertahap dengan target-target yang jelas sangat dihargai oleh Negara-negara Barat.  Seperti yang kita tahu, menjelang akhir dekade 1960, atas kerja sama dengan Bank Dunia, IMF, dan ADB dibentuk suatu kekompok konsorsium yang desebut dengan Inter-Government Group on Indonesia (IGGI) dengan tujuan membiayai ekonomi di Indonesia.

          Tujuan jangka panjang dari pembangunan ekonomi di Indonesia pada masa orde baru adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui suatu proses industrialisasi dalam skala besar, yang pada saat itu dianggap sebagai satu-satunya cara yang paling tepat dan efektif untuk menanggulangi masalah-masalah ekonomi, seperti kesempatan kerja dan defisit neraca pembayaran.  Dengan kepercayaan yang penuh bahwa akan ada efek “cucuran ke bawah” pada awalnya pemerintah memusatkan pembangunan hanya di sektor tertentu yang secara potensial dapat menyumbang nilai tambah yang besar dalam waktu yang tidak panjang dan hanya di Pulau Jawa kerena pada saat itu fasilitas-fasilitas infrastruktur dan sumber daya manusia relative lebih baik dibandingkan di provinsi-provinsi lainnya di luar Pulau Jawa.

          Tujuan utama pada pelaksanaan repelita I, adalah membuat Indonesia menjadi swasembada, terutama dalam kebutuhan beras. Untuk mencapai tujuan tersebut pemerintah melakukan program penghijauan (“revolusi hijau”) di sektor pertanian.  Dengan dimulainya program penghijauan tersebut sektor pertanian nasional memasuki era modernisasi dengan penerapan teknologi baru, khususnya dalam pengadaan sistem irigasi, pupuk, dan tata cara menanam.

          Pada bulan April 1969 repelita I dimulai dan dampaknya juga dari repelita-repelita berikutnya selama orde baru terhadap perekonomian Indonesia cukup mengagumkan terutama dilihat dari tingkat makro.  Proses pembanguna sangat cepat dengan laju pertumbuhan rata-rata pertumbuhan yang cukup tinggi, jauh lebih baik daripada selama orde lama, dan juga relative lebih tinggi daripada laju rata-rata pertumbuhan ekonomi dari kelompok NSB. Pada awal repelita I PDB Indonesia tercatat 2,7 trilliun rupiah pada harga berlaku atau 4,8 trilliun rupiah pada harga konstan, dan pada tahun 1990 menjadi 188,5 trilliun rupiah pada harga berlaku atau 112,4 tririliun rupiah pada harga konstan. Selama periode 1969–1990 laju pertumbuhan PDB pada harga konstan rata-rata per tahun di atas 7% (Lihat Tabel 4).

Keberhasilan pembangunan ekonomi di Indonesia pada zaman Soeharto disebabkan:
-         Kemampuan kabinet yang dipimpin oleh Presiden Soeharto yang jauh lebih baik/solid dibanding pada masa orde lama dalam menyusun rencana, strategi dan kebijakan pembangunan ekonomi.
-         Penghasilan ekspor yang sangat besar dari minyak, terutama pada periode oil boom pertama pada tahun 1973/74.
-         Pinjaman luar negeri
-         PMA yang khususnya sejak decade 1980-an peranannya di dalam pembangunan ekonomi Indonesia meningkat tajam.

          Kebijakan Soeharto yang mengutamakan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi yang didasarkan pada sistem ekonomi liberal dan stabilitas politik yang pro Barat, telah membuat kepercayaan pihak Barat terhadap prospek pembangunan ekonomi Indonesia jauh lebih kuat.

Tabel 4
PDB dan Laju Pertumbuhan per Tahun: 1969-1990
Tahun
PDB (triliun)*
Laju Pertumbuhan
Harga Berlaku
Harga Konstan
Harga Berlaku
Harga Konstan
1969
2,7
4,8


1970
3,2
5,2
19,1
7,5
1971
3,7
5,6
13,4
7,0
1972
4,6
6,1
24,3
9,4
1973
6,8
6,8
48,0
11,3
1974
10,7
7,3
58,6
7,6
1975
12,6
7,6
18,1
5,0
1976
15,5
8,2
22,3
6,9
1977
19,0
8,9
23,1
8,9
1978
22,8
9,6
19,5
7,7
1979
32,0
10,2
40,8
6,3
1980
45,5
11,2
41,9
9,9
1981
54,0
12,1
18,9
7,9
1982
59,6
12,3
10,4
2,2
1983
77,6
12,8/77,6**
30,2
4,2
1984
89,9
83,0
15,8
7,0
1985
97,0
85,1
7,9
2,5
1986
102,7
90,1
5,9
5,9
1987
124,8
94,5
21,6
4,9
1988
142,0
99,9
13,8
5,8
1989
162,6
104,5
14,5
7,5
1990
188,5
112,4
15,9
7,2
Keterangan :
*Angka dibulatkan, **tahun-tahun setelah itu atas dasar harga 1983 (sebelumnya atas dasar harga 1973).  Sumber:  Nota Keuangan dan APBN 1991/1992 dan 1995/1996.

          Pada tingkat meso dan mikro, hasil pembangunan selama masa itu dapat dikatakan tidak terlalu memukau seperti pada tingkat makro.  Walaupun jumlah orang miskin mengalami penurunan selama orde baru, tetapi jumlahnya masih besar dan kesenjagan ekonomi dan social cenderung melebar.

          Paradigma pembangunan ekonomi Indonesia pada era orde baru telah diwadahi dengan baik dalam konsep politik “Triologi Pembangunan” yaitu tiga prasyarat  yang  terkait erat saling memperkuat dan saling mendukung yakni:

1.     Stabilitas nasional yang mantap dan dinamis dalam bidang politik dan ekonomi
2.     Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan
3.     Pemerataan pembangunan.

          Di dalam GBHN dinyatakan secara tegas pentingnya usaha-usaha untuk menghilangkan kemiskinan dan kesenjangan dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada waktu yang bersamaan. Dalam repelita VI orientasi kebijakan-kebijakannya mengalami perubahan dari penekanan hanya pada pertumbuhan ke pertumbuhan dengan pemerataan.

          Sebagai suatu rangkuman bahwa Indonesia  telah mengalami dua orientasi kebijakan ekonomi yang berbeda, yakni dari ekonomi tertutup yang berorientasi sosialis pada zaman rezim Soekarno ke ekonomi terbuka berorientasi kapitalis pada masa pemerintahan Soeharto.  Perubahan orientasi kebijakan ini membuat kinerja ekonomi nasional pada masa pemerintahan orde baru menjadi  lebih baik dibandingkan pada masa pemerintahan orde lama.

          Dari pengalaman keberhasilan pembangunan ekonomi pada masa pemerintahan Soeharto maka dapat disimpulkan bahwa ada beberapa kondisi utama yang harus dipenuhi terlebih dahulu agar suatu usaha membangun ekonomi dapat berjalan dengan baik yaitu:
1.     Kemauan politik yang kuat
Presiden Soeharto memiliki kemauan politik yang kuat untuk membangun ekonomi Indonesia. Pada masa orde lama, mungkin Indonesia baru saja merdeka, emosi nasionalisme baik dari pemerintah maupun kalangan masyarakat masih sangat tinggi, dan yang ingin ditonjolkan pertama kepada kelompok Negara-negara Barat adalah “kebesaran bangsa” dalam bentuk kekuatan militer dan pembangunan proyek-proyek mercusuar.
2.     Stabilitas politik dan ekonomi.
Pemerintah orde baru berhasil dengan baik menekan infalsi dari sekitar 500% pada tahun 1966 menjadi hanya sekitar 5% hingga pada awal decade 1970-an. Pemerintah orde baru juga berhasil menyatukan bangsa dan kelompok-kelompok masyarakat dan meyakinkan mereka bahwa pembangunan ekonomi dan sosial adalah jalan satu-satunya agar kesejahteraan masyarakat di Indonesia dapat meningkat.
3.     Sumber daya manusia yang lebih baik.
Dengan SDM yang semakin baik pemerintahan orde baru memiliki kemampuan untuk menyusun program dan strategi pembangunan dengan kebijakan-kebijakan yang terkait serta mampu mengatur ekonomi makro secara baik.
4.     Sistem politik dan ekonomi terbuka yang berorientasi ke Barat.
Pemerintahan orde baru menerapkan sistem politik dan ekonomi terbuka yang berorientasi ke Barat.  Hal ini sangat membantu, khususnya dalam mendapatkan pinjaman luar negeri, penanaman modal asing, dan transfer teknologi dan ilmu pengetahuan.
5.     Kondisi ekonomi dan politik dunia yang lebih baik.
Selain oil boom, juga kondisi ekonomi dan politik dunia pada era orde baru, khususnya setelah perang Vietnam berakhir atau lebih lagi setelah perang dingin berakhir, jauh lebih baik daripada semasa orde lama.

Kebijakan-kebijakan ekonomi selama masa orde baru memang telah menghasilkan suatu proses transformasi ekonomi yang pesat dan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi dengan biaya ekonomi tinggi dan fundamental ekonomi yang rapuh.  Hal terakhir ini dapat dilihat antara lain buruknya kondisi sektor perbankan nasional dan semakin besarnya ketergantungan Indonesia terhadap modal asing, termasuk pinjaman dan impor. Ini semua membuat Indonesia dilanda suatu krisis ekonomi yang besar yang diawali oleh krisis nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada pertengahan tahun 1997.

C. MASA PEMERINTAHAN TRANSISI

          Pada tanggal 14 dan tanggal 15 Mei 1997 nilai tukar Bath Thailand terhadap dolar AS mengalami suatu goncangan hebat akibat para investor asing mengambil keputusan “Jual”.  Mereka mengambil sikap demikian karena tidak percaya lagi terhadap prospek perekonomian Negara tersebut, paling tidak untuk jangka pendek.  Untuk mempertahankan nilai tukar Bath agar tidak jatuh terus, pemerintah Thailand melakukan intervensi dan didukung oleh intervensi yang dilakukan oleh bank sentral Singapura.  Akan tetapi, pada hari Rabu, 2 Juli 1997, bank sentral Thailand terpaksa mengumumkan bahwa nilai tukar baht dibebaskan dari ikatan dengan dolar AS.  Sejak itu nasibnya diserahkan sepenuhnya kepada pasar.  Hari itu juga pemerintah Thailand meminta bantuan IMF. Pengumuman ini mendepresiasikan nilai bath sekitar 15% hingga 20% hingga mencapai nilai terendah, yakni 28,20 bath per dolar AS.

          Apa yang terjadi di Thailand akhirnya merembet ke Indonesia dan beberapa Negara Asia lainnya, awal dari krisis keuangan di Asia. Rupiah Indonesia mulai terasa goyang sekitar bulan Juli 1997, dari Rp.2.500 menjadi Rp.2.650 per dolas AS.  Sejak saat itu, posisi mata uang Indonesia mulai tidak tabil.  Menanggapi perkembangan itu, pada bulan Juli 1997 BI melakukan empat kali intervensi, yakni memperlebar rentang intervensi. Akan tetapi, pengaruhnya tidak banyak, nilai rupiah dalam dolar terus tertekan, dan tanggal 13 Agustus 1997 rupiah mencapai rekor terendah dalam sejarah, yakni Rp.2.682 per dolar AS sebelum akhirnya ditutup Rp.2.655 per dolar AS.  Dalam aksinya, pertama-tama BI memperluas rentang intervensi rupiah dari 8% menjadi 12%, tetapi akhirnya juga menyerah dengan melepas rentang intervensinya, dan pada hari yang sama Rupiah anjlok ke Rp.2.755 per dolar AS.  Hari-hari dan bulan-bulan berikutnya kurs rupiah terus melemah, walaupun sekali-sekali mengalami penguatan beberapa poin.  Pada bulan Maret 1998 nilai rupiah mencapai Rp.10.550 untuk satu dolas AS, walaupun sebelumnya, antara bulan Januarai – Februari, sempat menembus 11.000 rupiah pe dolar AS.

          Sekitar bulan September 1997, nilai tukar rupiah yang terus melemah mulai menggoncang perekonomian nasional.   Untuk mencegah agar keadaan tidak tambah buruk, pemerintah orde baru mengambil beberapa langkah konkret, diantaranya menunda proyek-proyek senilai Rp.39 triliun dalam upaya mengimbangi keterbatasan anggaran belanja Negara yang sangat dipengaruhi oleh perubahan nilai rupiah tersebut.   Pada awalnya pemerintah berusaha untuk menangani masalah krisis rupiah ini dengan kekuatan sendiri.  Akan tetapi, setelah menyadari bahwa merosotnya nilai tukar rupiah  terhadap dolar AS tidak dapat dibendung lagi dengan kekuatan sendiri, lebih lagi karena cadangan dolar AS di BI sudah mulai menipis karena digunakan untuk intervensi untuk menahan atau mendongkrak kembali nilai rupiah,   tanggal 8 Oktober 1997 pemerintah Indonesia akhirnya menyatakan secara resmi akan meminta bantuan keuangan dari IMF. Hal ini juga dilakukan oleh pemerintah Thailand, Filipina, dan Korea Selatan.

          Pada akhir bulan Oktober 1997, lembaga keuangan internasional itu mengumumkan paket bantuan keuangannya pada Indonesia yang mencapai 40 miliar dolaar AS, 23 miliar di antaranya adalah pertahanan lapis pertama (front-line defence).  Sehari setelah pengumuman itu, seiring dengan paket reformasi yang ditentukan oleh IMF, pemerintah Indonesia mengumumkan pencabutan izin usaha 16 bank swasta yang dinilai tidak sehat.  Ini merupakan awal dari kehancuran perekonomian Indonesia. Paket program pemulihan ekonomi yang disyaratkan IMF pertama kali diluncurkan pada bulan November 1997, bersama pinjaman angsuran pertama senilai 3 miliar dolar AS. Pertama diharapkan bahwa dengan disetujuinya paket tersebut oleh pemerintah Indonesia, nilai rupiah akan menguat dan stabil kembali. Akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa nilai rupiah terus melemah sampai pernah mencapai Rp.15.000 per dolar AS.  Kepercayaan masyarakat di dalam dan luar negeri terhadap kinerja ekonomi Indoneisa yang pada waktu itu terus merosot membuat kesepakatan itu harus ditegaskan dalam nota kesepakatan (letter of intent; LoI) yang ditandatangani bersama antara pemerintah Indonesia dan IMF pada bulan Januari 1998. Nota kesepakatan itu terdiri dari 50 butir kebijaksanaan-kebijaksanaan mencakup ekonomi makro (fiscal dan moneter), restrukturisasi sector keuangan, dan reformasi structural.

Butir-butir dalam kebijaksanan fiskal mencakup:
a.     Penegasan tetap menggunakan prinsip anggaran berimbang (pengeluaran pemerintah sama dengan pendapatannya).
b.     Usaha-usaha pengurangan pengeluaran pemerintah  (menghilangkan subsidi bahan baker minyak (BBM) dan listrik.
c.      Membatalkan sejumlah proyek infrastruktur besar.
d.     Peningkatan pendapatan pemerintah dengan berbagai cara; menaikkan cukai terhadap sejumlah barang tertentu; mencabut semua fasilitas kemudahan pajak (penangguhan pajak pertambahan nilai (PPN); fasilitas pajak serta tariff yang selama ini diberikan antara lain kepada industri mobil nasional (Timor), mengenakan pajak tambahan terhadap bensin; memperbaiki audit PPN, dan memperbanyak objek pajak.

Korea Selatan dan Thiland sangat serius dalam melaksanakan program reformasi, sementara pemerintah Indonesia tidak melakukan reformasi sesuai kesepakatannya dengan IMF, akhirnya pencairan pinjaman angsuran kedua senilai 3 miliar dolar AS yang seharusnya dilakukan pada bulan Maret 1998 terpaksa ditunda.  Indoneisa harus bekerjasama sepenuhnya dengan IMF dikarenakan dua hal:

1.     Berbeda dengan kondisi krisis di Thailand, Korea Selatan dan Malaysia, krisis ekonomi di Indonesia sebenarnya sudah menjelma menjadi krisis kepercayaan.  Masyarakat dan dunia usaha, baik di dalam maupun di luar negeri (termasuk bank-bank di Negara mitra dagang Indonesia yang tidak lagi menerima letter of credit (L/C) dari bank-bank nasional dan investor-investor dunia) tidak lagi percaya akan kemampuan Indonesia untuk menaggulangi sendiri krisisnya; bahkan mereka juga tidak lagi percaya pada niat baik atau keseriusan pemerintah dalam nenagani krisis ekonomi di dalam negeri.  Oleh karena itu, satu-satunya yang masih bisa menjamin atau memulihkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap Indonesia adalah melakukan “kemitraaan usaha” sepenuhnya antara pemerintah Indonesia dan IMF
2.     Indonesia sangat membutuhkan dolar AS.  Pada awal tahun 1998 kebutuhan itu diperkirakan sebesar 22,4 miliar dolas AS atau rata-rata 1,9 miliar dolar AS per bulan. Sementara posisi cadangan devisa bersih yang dimiliki BI hingga awal Juni 1998 hanya 14.621,4 juta dolas AS, naik 13.179,7 juta dolar AS pada akhir Maret 1998.  Kebutuhan itu digunakan terutama untuk membayar ULN jangka pendek yang diperkirakan pada pertengahan tahun 1998 sebesar 20 miliar dolar AS, membayar bunga atas pinjaman jangka panjang 0,9 miliar dolar AS, dan sisanya sebanyak 1,5 miliar dolar AS untuk kegiatan ekonomi di dalam negeri yang juga sangat diperlukan untuk memacu laju pertumbuhan ekonomi.

          Kegagalan kesepakatan pertama Indonesia dan IMF pada bulan Maret 1998 maka dicapai lagi suatu kesepakatan baru pada bulan April 1998.  Kesepakatan baru merupakan kelanjutan, pelengkap dan modifikasi dari 50 butir LoI pada bulan Januari 1977, ada yang ditunda yaitu penghapusan subsidi BBM dan Listrik serta penambahan butir-butir baru ada 5 yaitu:
1.     Program stabilisasi, dengan tujuan utama menstabilkan pasar uang dan mencegah hipertensi.
2.     Restrukturisasi perbankan, dengan tujuan utama untuk rangka penyehatan system perbankan nasional.
3.     Reformasi structural, yang mana disepakati agenda baru yang mencakup upaya-upaya dan sasaran yang telah disepakati dalam kesepakatan pertama (15 Januari 1998)
4.     Penyelesaian ULN swasta (corporate debt).  Dalam hal ini disepakati perlunya dikembangkan kerangka penyelesaian ULN swasta dengan keterlibatan pemerintah yang lebih besar, tetapi tetap dibatasi agar proses penyelesaiannya teetap dapat berlangsung lebih cepat.
5.     Bantuan untuk rakyat kecil (kelompok ekonomi lemah).  Penyelesaian ULN swasta dan bantuan untuk rakyat kecil merupakan dua  hal yang di dalam kesepakatan pertama (Januari 1998) belum ada.

          Krisis rupiah yang menjelma menjadi suatu krisis ekonomi, akhirnya juga memunculkan suatu krisis politik yang dapat dikatakan terbesar dalam sejarah Indonesia sejak merdeka tahun 1945. Krisis politk tersebut diawali dengan penembakan oleh tentara terhadap empat mahasiswa Universitas Trisakti, tepatnya tanggal 13 Mei 1998, yang dikenal dengan sebutan Tragedi Trisakti.  Kemudian pada tanggal 14 dan 15 Mei kota Jakarta dilanda suatu kerusuhan yang juga dapat dikatakan paling besar dan paling sadis yang pernah dialami Indonesia.  Setelah kedua peristiwa tersebut, gerakan mahasiswa yang sebelumnya sudah berlangsung semakin gencar.

          Menjelang minggu-minggu terakhir bulan Mei 1998, DPR untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia dikuasai/diduduki oleh ribuan mahasiswa/siswi dari puluhan perguruan tinggi dari Jakarta dan luar Jakarta.  Puncak dari keberhasilan gerakan mahasiswa tersebut di satu pihak dan dari krisis politik di pihak lain, adalah pada tanggal 21 Mei 1998, yakni Presiden Soeharto mengundurkan diri dan diganti oleh wakilnya Dr. Habibie.   Tanggal 23 Mei 1998 Presiden Habibie membentuk kabinet baru, awal dari terbentuknya pemerintahan transisi.

          Pada awalnya pemerintahan yang dipimpin oleh Habibie disebut pemerintahan reformasi.  Akan tetapi, setelah setahun berlalu, masyarakat mulai melihat bahwa sebenarnya pemerintahan baru ini tidak berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, mereka juga orang-orang rezim orde baru, dan tidak ada perubahan-perubahan yang nyata. Bahkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) semakin menjadi-jadi, kerusuhan muncul di mana-mana, dan masalah Soeharto tidak terselesaikan.  Akibatnya, banyak kalangan masyarakat lebih suka menyebutnya pemerintahan transisi daripada pemerintahan reformasi.

D.  PEMERINTAHAN REFORMASI HINGGA KABINET SBY
         
          Pertengahan tahun 1999 dilakukan pemilihan umum, yang akhirnya dimenangi oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan IPDI-P).   Partai Golkar mendapat posisi ke dua. Bulan Oktober 1999 dilakukan SU MPR. Tanggal 20 Oktober 1999 diselenggarakan pemilihan presiden.  KH Abdulrrachman Wahid atau dikenal dengan sebutan Gus Dur terpilih sebagai Presiden RI ke-empat dan Megawati Soekarno Putri sebagai wakil presiden.  Tanggal 20 Oktober menjadi akhir daripada pemerintahan transisi dan awal dari pemerintahan Gus Dur yang sering disebut juga pemerintahan reformasi.

          Awal pemerintahan reformasi yang dipimpin oleh presiden Wahid, masyarakat umum dan investor termasuk investor asing menaruh pengharapan besar terhadap kemampuan dan kesungguhan Gus Dur untuk membangkitkan kembali perekonomian nasional dan menuntaskan semua permasalahan yang ada  di dalam negeri warisan rezim orde baru, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), supermasi hukum, hak azasi manuria (HAM), penembakan tragedy Trisakti dan Semanggi I dan II, peranan ABRI di dalam politik, masalah disintegrasi dan lainnya.

          Dalam hal ekonomi dibandingkan tahun sebelumnya, tahun 1999 kondisi perekonomian mulai menunjukkan adanya perbaikan. Laju pertumbuhan PDB mulai positif, walau tidak jauh dari 0%, tahun 2000 proses pemulihan perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi dengan laju pertumbuhan hamper 5%, laju inflasi dan tingkat suku bunga (SBI) juga rendah yang mencerminkan bahwa kondisi moneter di dalam negeri sudah mulai stabil.

          Ketenangan masyarakat setelah Gus Dur terpilih menjadi presiden tidak berlangsung lama.  Gus Dur mulai menunjukkan sikap dan mengeluarkan ucapan-ucapan yang kontroversial yang membingungkan pelaku-pelaku bisnis. Gus Dur cenderung Diktator dan praktik KKN di lingkungannya semakin intensif, bukannya semakin berkurang yang merupakan salah satu tujuan daripada gerakan reformasi (yang berarti pemerintahan Gus Dur tidak berbeda dengan rezim orde baru).

          Sikap GusDur tersebut menimbulkan perseteruan dengan DPR yang klimaksnya DPR mengeluarkan peringatan resmi kepada Gus Dur lewat memorandum I dan II.  Dengan dikeluarkannya memorandum II, Gus Dur terancam akan diturunkan dari jabatannya sebagai presiden Republik Indonesia, jika usulan percepatan sidang MPR jadi dilaksanakan pada bulan Agustus 2001.

Selama pemerintahan Gus Dur:
1.     Praktis tidak ada satupun masalah di dalam negeri yang dapat terselesaikan dengan baik.
2.     Kerusuhan social yang bernuansa disintegrasi dan secara terus berlanjut, (pembrontakan Aceh, konflik Maluku, dan pertikaian etnis di Kalimantan Tengah).
3.     Demostrasi buruh semakin gencar yang mencerminkan semakin tidak puasnya mereka terhadap kondisi perekonomian di dalam negeri.
4.     Pertikaian elit politik semakin besar.
5.     Hubungan dengan IMF tidak baik, terutama mengenai amandemen UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Penerapan Otonomi Daerah terutama menyangkut kebebasan Daerah untuk pinjam uang dari luar negeri dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda pelaksanaannya.  Tidak tuntasnya revisi tersebut mengakibatkan IMF menunda pencairan bantuannya kepada pemerintah Indonesia (roda perekonomian nasional saat ini sangat tergantung pada bantuan IMF.
6.     Indonesia terancam dinyatakan bangkrut oleh Paris Club (Negara donor) diprediksi tidak mampu membayar kembali utangnya yang sebagian besar akan jatuh tempo tahun 2002.
7.     Bank Dunia mengancam akan menghentikan pinjaman baru, jika kesepakatan IMF dengan pemerintah Indonesia macet.

          Ketidak stabilan politik dan sosial yang tidak semakin surut selama pemerintahan Abdurrachman Wahid menaikan tingkat Country Risk Indonesia.  Ditambah buruknya hubungan antara pemerintah Indonesia dengan IMF membuat pelaku-pelaku bisnis termasuk investor asing, menjadi enggan melakukan kegiatan bisnis atau menanam modalnya di Indonesia. Akibatnya kondisi perekonomian Nasional pada masa Gus Dur cenderung lebih buruk daripada saat pemerintahan Habibie.

          Lembaga pemeringkat Internasional Moody’s Investor Service menginforamasikan bertambah buruknya resiko Negara Indonesia, meskipun beberapa indikator ekonomi makro mengalami perbaikan tetapi kekhawatiran kondisi politik dan social lembaga rating lainnya, seperti Standart & Poor, menurunkan prospek jangka panjang Indonesia dari stabil ke negative.

Tabel 5
Perkembangan Beberapa Indikator Ekonomi Indonesia Sejak Krisis Ekonomi 1998

Indikator
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Pertumbuhan PDB riil (%)
-13,1
0,8
4,9
3,8
4,3
4,9
5,1
5,7
5,5
6,3
6,0
PDB nominal (miliar US$)
96
140
166
164
200
239
258
287
364
433
497
PDB per kapita (US$)
977
694
742
697
948
1117
1191
1308
1641
1925
2183
Pertumbuhan Ekspor (%)
-8,6
-0,4
27,7
-9,3
5,0
8,4
12,0
19,7
17,7
13,2
7,0
Pertumbuhan Import (%)
-34,4
-12,2
39,6
-7,6
15,1
10,9
27,8
24,0
5,8
22,0
12,0
Neraca Perdaganan (miliar US$)
21,5
24,7
28,6
25,4
23,5
24,6
21,2
28,0
39,7
39,6
39,1
Transaksi berjalan (% PDB)
4,3
4,1
4,8
4,2
3,9
3,4
1,1
0,1
3,0
2,5
1,6

Gus Dur dan kabinetnya tidak menunjukkan keinginan politik yang sungguh-sungguh untuk menyelesaikan krisis ekonomi hingga tuntas dengan prinsip “Once and for all”

Beberapa hal yang mengakibatkan kehancuran ekonomi pada saat Pemerintahan GUS DUR:
1.     Menyederhanakan krisis ekonomi dengan menganggap persoalannya hanya terbatas pada agenda masalah amandemen UU BI, masalah desentralisasi fiscal, masalah restrukturisasi utang, dan masalah BCA dan Bank Niaga. 
2.     Kebijakan yang controversial dan inkonsisten.
3.     Pengenaan bea masuk impor mobil mewah untu kegiatan KTT G-15 yang hanya 5% (nominalnya 75%).
4.     Pembebasan pajak atas pinjaman luar negeri dan hibah.
5.     Indikator ekonomi  yakitu pergerakan Indeks Harga Sahan Gabungan (IHSG) dari Maret 2000 hingga 8 Maret 2001 menunjukkan tren pertumbuhan ekonomi yang negative.  Selama periode itu IHSG merosoh hingga lebih dari 300 poin yang disebabkan leh lebih besarnya kegiatan penjualan daripada kegiatan pembelian di  dalam perdaganan saham di dalam negeri.
6.     Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus melemah. Awal tahun 2000 kurs rupiah sekitar Rp.7000 dan pada tanggal 7 Maret 2001 menembus Rp.10.000 per dolar AS.   Keadaan ini dicatat  hari bersejarah sebagai awal kejatuhan GUS DUR.
7.     Pada tanggal 12 Maret 2001 ketika istana presiden dikepung para demonstran yang menuntuk presiden Gus Dus mundur, nilai tukar rupiah semakin merosot.  Pada bulan April 2001 kurs rupiah telah menyentuk Rp.12.000 per dolar AS.
8.     Angka inflasi diprediksi mencapai dua digit.
9.     Cadangan devisa pada minggu akhir Maret 2000 menurun dari 29 miliar dolar AS menjadi 28,875 dolar AS.

Setelah presiden Gus Dur turun, Megawati menjadi presiden yang kelima diangkat melalui Sidang Istimewa (SI) MPR,  keadaan perekonomian jauh lebih buruk daripada masa pemerintahan Gus Dur. 

Buruknya perekonomian pada masa pemerintahan Megawati adalah karena warisan dari pemerintahan Gus Dur.  Pada masa pemerintahan Megawati dengan Kabinet Gotong Royong menunjukkan keadaan ekonomi  seperti:
1.      IHSG dan Nilai Tukar rupiah meningkat cukup significan, walupun posisinya belum kembali ke tingkat pada saat Gus Gudur terpilih menjadi presiden.
2.      Suku Bunga SBI mencapai 17%,  padahal awal pemerintahan Gus Dur hanya sekitar 13%.  Bersamaan dengan itu, tingkat suku bunga deposito perbangkan juga ikut naik menjadi sekitar 18%.
3.      Inflasi mencapai 7,7%, pada masa awal pemerintahan Gus Dur sekitar 2%, bahkan laju inflasi tahunan year on year selama periode 2000 – Juli 2001 sudah mencapai 13,5%.  Dalam APBN 2001 inflasi ditargetkan hanya 9,4%.
4.      Pertumbuhan PDB pada tahun 2002 (table 5) tumbuh 4,3% dibandingkan 3,8% tahun sebelumnya kemajuan ini berlangsung terus hingga akhir periode Megawati yang mencapai 5,1%.
5.      PDB nominal meningkat dari 164 miliar dolar AS tahun 2001 menjadi 258 miliar dolar AS tahun 2004.
6.      Pendapatan perkapita meningkat dengan persentase yang cukup besar dari 697 dolar AS ke 1.191 dolar selama periode Megawati.
7.      Kinerja ekspor membaik dengan pertumbuhan 5% tahun 2002 dibandingkan -9,3% tahun 2001 dan terus naik hingga mencapai 12% tahun 2004.
8.      Neraca perdagangan (NP) saldo ekspor (X) – impor (M) barang maupun transaksi berjalan (TB) sebagai persentase dari PDB mengalami penurunan.

          Pada awal pemerintahan SBY, rakyat Indonesia, pelaku usaha luar dan dalam negeri maupun Negara-negara donor serta lembaga-lembaga dunia, seperti IMF, Bank Dunia, dan ADB, sempat optimis bahwa kinerja ekonomi Indonesia 5 tahun ke depan akan jauh lebih baik dibandingkan pada masa pemerintahan-pemerintahan sebelumnya sejak Soeharto lengser. Kabinet SBY dan lembaga-lembaga dunia menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2005 akan berkisar di atas 6%.
Namun pertengahan tahun 2005 ekonomi Indonesia diguncang oleh dua peristiwa yang tak terduga sama sekali, yakni naiknya harga minyak mentah (BBM) di pasar internasional dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.  Dua hal ini membuat realisasi pertumbuhan PDB tahun 2005 lebih rendah dari target tersebut (5,7).
          Kenaikan BBM di pasar internasional dari 45 dolar AS per barrel awal tahun 2005 menjadi 70 dolar AS per barrel awal Agustus 2005 sangat tidak menguntungkan Inoensia. Indonesia tidak seperti pada masa oil boom pertama tahun 1973, kedua tahun 80-a.  Indonesia tidak saja menjadi net oil importer, tetapi sudah menjadi pengimpor BBM terbesar di Asia, jauh melebihi impor BBM Jepang yang bukan penghasil minyak.   Tahun 2010 impor BBM Indonesia diprediksi akan mencapai sekitar 60% dan tahun 2015 akan menjadi sekitar 70% dari kebutuhan BBM dalam negeri (Kurtubi, 2005).
          Akibat harga minyak ini menimbulkan tekanan yang sangat berat terhadap keuangan pemerintah (APBN), akibatnya pemerintah terpaksa mengeluarkan suatu kebijakan yang tidak populis, yakni mengurangi subsidi BBM, yang membuat harga BBM di pasar dalam negeri meningkat tajam.
          Kenaikan harga BBM sejak 1 Juli 2005, harga solar untuk industri dari Rp.2.200 per liter menjadi Rp.4.750 per liter (naik 115%).  Tanggal 1 Agustus 2005  kenaikan harga minyak tanah untuk industri dari Rp.2.200 per liter menjadi Rp.5.490 per liter (naik 93%).  Tanggal 1 Oktober 2005, pemerintah menaikkan lagi harga BBM yang berkisar antara 50% hingga 80%.

Dampak negative dari kenaikan BBM terhadap  kegiatan atau pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, dan keminskinan diilustrasikan dalam suatu system keterkaitan:

 




















Gambar 1:           Efek kenaikan harga BBM terhadap Ekonomi dan Kemiskinan di Indonesia suatu Ilusustrasi Teoritis
Kenaikan harga BBM di pasar dunia jelas akan membuat defisit APBN tambah besar terhadap impor BBM.  Defisit APBN yang meningkat selanjutnya akan mengurangi kemampuan pemerintah lewat sisi pengeluarannya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, sementara di sisi lain, kenaikan BBM akan mengurangi kegiatan produksi (Q) di dalam negeri akibat biaya produksi (BP) meningkat, yang selanjutnya berdampak negative terhadap ekspor (X)  yang berarti pengurangan cadangan devisa (CD). Menurunnya kegiatan ekonomi/produksi menyebabkan berkurangnya pendapatan usaha yang selanjutnya akan memperbesar deficit APBN karena pendapaptan pajak berkurang.  Harga BBM yang tinggi juga akan mendorong inflasi di dalam negeri.  Semua ini akan berpengaruh negative terhadap kesempatan kerja atau akan meningkatkan pengangguran (U) dan kemiskinan (P). Kenaikan peganggruan atau kemiskinan juga akan menambah deficit APBN karena menurunnya pendapatan pemerintah dari pajak pendapatan, sementara, disisi lain, pengeluaran pemerintah terpaksa ditambah untuk membantu orang miskin.  Juga peningkatan kemiskinan akan memperburuk pertumbuhan ekonomi lewat efek permintaan, yakni permintaan di dalam negeri berkurang.

Menjelang akhir masa jabatan SBY yang akan berakhir tahun 2009, perekonomian Indonesia menghadapi dua goncangan eksternal, yakni harga BBM yang terus naik dan kenaikan harga pangan di pasar global. Kenaikan harga BBM yang terus-menerus sejak tahun 2005 memaksa pemerintah menaikkan BBM, terutama premium, di dalam negeri pada tahun 2008.  Kedua goncangan eksternal tersebut sangat mengancam kestabilan perekonomian nasional, khususnya tingkat  inflasi. Secara kumulatif inflasi ada periode Januari – Februari 2008 sudah mencapai 2,44% yang merupakan angka tertinggi sejak tahun 2003. Dengan inflasi year on year yang mencapai 7,4%, maka ancaman inflasi yang lebih tinggi selama tahun 2008 bukanlah suatu hal yang mustahil.

Sedangkan pada saat ini pada masa pemerintahan Jokowi-JK terdapat tiga buah tantangan. Pertama, oposisi yang kuat dan agresif. Namun bisa menjadi counterpart check and balance.
Kedua, warisan SBY yang bisa jadi bom waktu seperti quatro (4) defisits. Defisit Perdagangan, Current Accounts, Balance of Payments, Anggaran Pendapatan Belanja Negara(APBN.
Ketiga, ekonomi Asia seperti China dan Jepang sedang mengalami koreksi dan perlambatan. Tapi ini juga momentum untuk menjadi top performer di Asia.



Bab  III
 Penutup

Kesimpulan
Kesimpulan secara keseluruhan dari tulisan ini adalah :
Pada masa pemerintahan Presiden Suharto (yang diambil pada paruh waktu 1982 – 1983) terlihat :
1.     Kondisi normal tetapi fluktuatif, namun kecenderungan interest rate nya tinggi.
2.     Pada saat-saat tertentu (menjelang pemilu 1986-1987, 1992-1993) terjadi sesuatu yang menyimpang. Dimana tingkat konsumsi nasional melebihi dari pendapatan nasional. Berarti ada sumber dana lain (non budgeter) di luar pendapatan nasional yang dibelanjakan pada saat itu.
3.     Mulai tahun 1994 – 1996 sudah tampak gejala akan timbulnya krisis moneter. Dari data terlihat kebijakan fiskal maupun moneter tidak efektif karena pada saat itu pemerintah dalam posisi yang sulit untuk mengendalikan kebijakan perekonomian.
4.     Tahun 1996 – 1998 : Kebijakan fiskal seolah-olah normal, namun kondisi moneter sangat memprihatinkan. Pada saat inilah terjadi reformasi yang mengakibatkan terjadinya pergantian pemerintahan.
Pada Masa pemerintahan Presiden Habibie (1998 – 1999) :
Kondisi fiskal normal. Kondisi Moneter cenderung masih sensitif terhadap perubahan. Hal Kondisi ini merupakan dampak dari kebijakan moneter pemerintahan sebelumnya yang sangat memprihatinkan. Namun dalam kurun waktu satu tahun, kondisi moneter sudah lebih membaik.
Pada Masa Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (1999 – 2001).
Kondisi kebijakan fiskal normal, namun kebijakan moneter tidak efektif (tidak berjalan dengan normal).

Saran
Untuk lebih mempertajam analisa tulisan ini pada tinjauan selanjutnya, maka perlu ada beberapa data tambahan, seperti :
1.     Perhitungan tingkat inflasi terhadap pendapatan nasional.
2.     Perhitungan nilai transfer secara real, dan ini akan berimplikasi terhadap perhitungan pendapatan pemerintah dari pajak.
3.     Tinjauan nilai kurs mata uang rupiah terhadap mata uang asing.
4.     Untuk masa pemerintahan sekarang disarankan agar data yang dikeluarkan sesuai dengan kondisi yang ada pada saat itu.









DAFTAR PUSTAKA

2.     Asian Development Bank. Asian Development Outlook 1997 and 1998 : Special Chapter As The Century Turns The Social Challenge in Asia. Oxford University Press. 1997.
3.     Asian Development Bank. Asian Development Outlook 1998 : Special Chapter As The Century Turns The Social Challenge in Asia. Oxford University Press. 1998.
4.     Asian Development Bank. Asian Development Outlook 2000 : Special Chapter As The Century Turns The Social Challenge in Asia. Oxford University Press. 2000.
5.     Bank Indonesia, Laporan Tahunan, tahun 1987.
6.     Bank Indonesia, Laporan Tahunan, tahun 1992.
7.     Bank Indonesia, Laporan Tahunan, tahun 1996.
8.     Bank Indonesia, Laporan Tahunan, tahun 2001.
9.     Dernbusg, Thomas F. (terjemahan edisi ke – 7). Makroekonomi : Konsep, Teori dan Kebijakan. PT. Gelora Aksara Pratama. 1994.
10.                        Dornbusch, Rudiger, Stanley Fischer and Richard Startz. 7th edition. Makroekonomics. Irwin McGraw – Hill . 1998.
11.                        Dornbusch, Rudiger dan Stanley Fischer. (terjemahan edisi ke – 4). Makroekonomi. Penerbit Erlangga. 1987.
12.                        Dornbusch, Rudiger dan Stanley Fischer. (terjemahan edisi ke – 5 - Jilid 1). Makroekonomi. Penerbit Rineka Cipta. 1997.
13.                        Hicks, JR. Rangka Dasar Penghidupan Masyarakat. PT. Pembangunan Jakarta. 1981.
14.                        Johnson, Bryan T. et. al. 1996 Index of Economic Freedom. The Heritage Foundation – The Wall Street Journal. 1998.
15.                        Johnson, Bryan T. et. al. 1998 Index of Economic Freedom. The Heritage Foundation – The Wall Street Journal. 1998.
16.                        Schultze, Charles L. Memos to The President : A guide through Macroeconomiscs for the Busy Policy Maker. The Brooking Institution. Washington D.C. 1992.




Pencarian isi Blog