KETIDAKTEGASAN APARAT PENAGAK HUKUM
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis penjatkan kehadirat Alloh SWT, yang atas rahmat-Nya
maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul
Ketidaktegasan Aparat Penagak Hukum.
Dalam penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak
kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan
kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak
sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini. Dan tak lupa,
pada kesempatan kali ini, penulis mengucapkan banyak tertima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal
pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan
ini sebagai ibadah, Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin.
Pangandaran, Agustus 2017
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................. i
DAFTAR ISI........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................... 1
A.
Latar
Belakang............................................................................................. 1
B.
Rumusan
Masalah........................................................................................ 2
C.
Tujuan.......................................................................................................... 2
D.
Manfaat........................................................................................................ 3
BAB II PEMBAHASAAN..................................................................................... 4
A.
Kebijakan
Penegak Hukum.......................................................................... 4
B.
Problematika
Penegakan Hukum di Indonesia............................................ 6
C.
Dampak
dalam Penegakan Hukum di Indonesia....................................... 16
D.
Ketidakpuasan
Masyarakat Terhadap Penegakan Hukum di Indonesia.... 17
E.
Pemecahan
Problematika Penegakan Hukum di Indonesia....................... 18
BAB III PENUTUPAN........................................................................................ 22
A.
Kesimpulan................................................................................................ 22
B.
Kritik Dan
Saran........................................................................................ 23
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 24
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saat ini tidak
mudah untuk memaparkan kondisi hukum di Indonesia tanpa adanya keprihatinan
yang mendalam mendengar ratapan masyarakat yang terluka oleh hukum, dan
kemarahan masyarakat pada mereka yang memanfaatkan hukum untuk mencapai tujuan
mereka tanpa menggunakan hati nurani. Dunia hukum di Indonesia tengah mendapat
sorotan yang amat tajam dari seluruh lapisan masyarakat, baik dari dalam negeri
maupun luar negeri. Dari sekian banyak bidang hukum, dapat dikatakan bahwa
hukum pidana menempati peringkat pertama yang bukan saja mendapat sorotan
tetapi juga celaan yang luar biasa dibandingkan dengan bidang hukum lainnya.
Bidang hukum pidana merupakan bidang hukum yang paling mudah untuk dijadikan
indikator apakah reformasi hukum yang dijalankan di Indonesia sudah berjalan
dengan baik atau belum. Hukum pidana bukan hanya berbicara tentang putusan
pengadilan atas penanganan perkara pidana, tetapi juga meliputi semua proses
dan sistem peradilan pidana. Proses peradilan berawal dari penyelidikan yang
dilakukan pihak kepolisian dan berpuncak pada penjatuhan pidana dan selanjutnya
diakhiri dengan pelaksanaan hukuman itu sendiri oleh lembaga pemasyarakatan.
Semua proses pidana itulah yang saat ini banyak mendapat sorotan dari
masyarakat karena kinerjanya, atau perilaku aparatnya yang jauh dari kebaikan.
Hukum di
Indonesia yang bisa kita lihat saat ini bisa dikatakan sebagai hukum yang carut marut, mengapa?
Karena dengan adanya pemberitaan mengenai tindak pidana di televisi, surat kabar, dan media elektronik lainnya kita dapat mengambil kesimpulan
bahwa hukum di Indonesia carut marut. Banyak sekali kejadian yang
menggambarkannya, mulai dari tindak pidana yang diberikan oleh maling sandal
hingga maling uang rakyat. Sebenarnya permasalahan hukum di Indonesia dapat
disebabkan oleh beberapa hal diantaranya yaitu sistem
peradilannya, perangkat hukumnya, inkonsistensi penegakan hukum, intervensi
kekuasaan, maupun perlindungan hukum.
Hukum Negara ialah aturan bagi negara itu sendiri, bagaimana suatu negara
menciptakan keadaan yang relevan, keadaan yang menentramkan kehidupan sosial
masyarakatnya, menghindarkan dari segala bentuk tindak pidana maupun perdata. Namun tidak di Indonesia dalam
beberapa tahun terakhir ini, pemberitaan di media masa sungguh tragis. Bahkan
dari Hasil survei terbaru dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyebutkan bahwa
56,0 persen publik menyatakan tidak puas dengan penegakan hukum di Indonesia,
hanya 29,8 persen menyatakan puas, sedangkan sisanya 14,2 persen tidak
menjawab. Sebuah fenomena yang menggambarkan
betapa rendahnya wibawa hukum di mata publik.
Dengan landasan pemikiran ini, penulis akan
mencoba memaparkan mengenai kebijakan, problematika, dampak dan
pemecahan penegakan hukum di Indonesia. Selain itu
penulis juga akan memaparkan ketidakpuasan masyarakat terhadap penegakan hukum
di Indonesia.
B. Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah dalam perkara ini adalah
sebagai berikut.
1.
Definisi kebijakan
penegak hukum.
2.
Problematika penegakan hukum di Indonesia.
3.
Dampak yang timbul dari penegakan hukum di Indonesia.
4.
Ketidakpuasan masyarakat terhadap penerapannya.
5.
Solusi dan
cara menghadapai permasalahan dalam penegakan hukum di Indonesia.
C.
Tujuan
Tujuan dalam pembahasan ini adalah interpretasi
terhadap rumusan permasalahan ini, yaitu.
1.
Untuk
mengetahui definisi kebijakan
penegak hukum.
2.
Untuk
mengetahui problematika penegakan
hukum di Indonesia.
3.
Untuk
mengetahui dampak yang
timbul dari penegakan hukum di Indonesia.
4.
Untuk
mengetahui ketidakpuasan masyarakat terhadap penerapannya.
5.
Untuk
mengetahui solusi dan cara menghadapai permasalahan dalam penegakan hukum di
Indonesia.
D. Manfaat
Adapun manfaat yang diharapkan dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut.
1.
Dapat
mengetahui dasar-dasar dalam pembentukan hukum Negara Indonesia.
2.
Dapat
mengetahui problematika penegakan
hukum yang berlaku di Indonesia.
3.
Dapat
mengetahui dampak dalam penegakan hukum di Indonesia.
4.
Dapat
mengetahui kenapa masyarakat tidak puas dengan penegakan hukum di Indonesia.
5.
Dapat
mengetahui dan menilai bagaimana solusi dalam pemecahan permasalahan hukum di
Indonesia.
6.
Khusus bagi
pemerintahan, memberikan gambaran mengenai sistem penegakan hukum yang berlaku
dalam masyarakat, serta diharapkan dapat menilai, menelaah dan membuat suatu
keputusan dalam pemecahan masalah penegakan hukum tersebut.
BAB II
PEMBAHASAAN
A. Kebijakan
Penegak Hukum
Kebijakan
adalah kepandaian, kemahiran, kebijaksanaan; rangkaian konsep dan asas yang
menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan,
kepemimpinan, dan cara bertindak pemerintah; pernyataan cita-cita, tujuan,
prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai
sasaran dari haluan-haluan pemerintah mengenai moneter perlu dibahas oleh DPR
(Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III, 2005: 149).
Sedangkan
penegakan adalah proses, cara, perbuatan, menegakkan. (Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi III, 2005: 1155). Selain itu hukum memiliki beberapa pengertian
atau definisi dari hukum, antara lain:
Hukum adalah:
1.
Peraturan atau adat yang secara
resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah;
2.
Undang-undang, peraturan, dsb untuk
mengatur pergaulan hidup masyarakat;
3.
Patokan (kaidah,ketentuan) mengenai
peristiwa (alam, dsb) yang tertentu;
4.
Keputusan (pertimbangan) yang
diterapkan oleh hakim (di pengadilan); vonis. (Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi III, 2005: 410)
Hukum adalah
keseluruhan peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama:
keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang erlaku dalam suatu kehidupan
bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi (Sudikno,
1999: 40).
Jadi, kebijakan
penegakan hukum adalah usaha-usaha yang diambil oleh pemerintah atau suatu
otoritas untuk menjamin tercapainya rasa keadilan dan ketertiban dalam
masyarakat dengan menggunakan beberapa perangkat atau alat kekuasaan negara
baik dalam bentuk undang-undang, sampai pada para penegak hukum antara lain
polisi, hakim, jaksa, serta pengacara.
Bangsa yang
beradab adalah bangsa yang menjalankan fungsi hukumnya secara merdeka dan
bermartabat. Merdeka dan bermartabat berarti dalam penegakan hukum wajib
berpihak pada keadilan, yaitu keadilan untuk semua. Sebab apabila penegakan
hukum dapat mengaplikasikan nilai keadilan, tentulah penerapan fungsi hukum
tersebut dilakukan dengan cara-cara berpikir yang filosofis.
Hukum berfungsi
sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi,
hukum harus dilaksanakan. Dalam penegakan hukum ada tiga unsur yang selalu
harus diperhatikan, yaitu: kepastian hukum (Rechtssicherheit),
kemafaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit)
(Sudikno, 1999: 145).
Kepastian hukum
merupakan perlindungan yustisiable terhadap tindakan sewenang-wenang, yang
berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam
keadaan tertentu. Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan
atau penegakkan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau
penegakan hukum harus memberi manfaat bagi masyarakat. Selain itu masyarakat
sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaaan atau penegakan hukum keadilan
diperhatikan. Dalam pelaksanaan atau penegakan hukum harus adil (Sudikno, 1999:
146).
Dalam pasal 27
UUD 1945 dengan jelas tercantum:
“Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Rumusan
tersebut mengandung makna bahwa semua warga negara Republik Indonesia memiliki
persamaan hukum dan hak-hak yang sama di hadapan pemerintah. Dengan demikian
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak boleh ada yang dinamakan
diskriminasi terhadap warga negara. Bahkan tafsiran tersebut juga menyangkut
prinsip persamaan itu berlaku bagi siapa saja, apakah ia seorang warga negara
atau bukan, selama mereka adalah penduduk Negara Republik Indonesia (Jimly,
2011: 110).
B. Problematika Penegakan Hukum di
Indonesia
Masalah utama
penegakan hukum di negara-negara berkembang khususnya Indonesia bukanlah pada
sistem hukum itu sendiri, melainkan pada kualitas manusia yang menjalankan
hukum (penegak hukum). Dengan demikian peranan manusia yang menjalankan hukum
itu (penegak hukum) menempati posisi strategis. Masalah transparansi penegak
hukum berkaitan erat dengan akuntabilitas kinerja lembaga penegak hukum.
Undang-undang No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan
bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, telah menetapkan beberapa asas.
Asas-asas tersebut mempunyai tujuan, yaitu sebagai pedoman bagi para
penyelenggara negara untuk dapat mewujudkan penyelenggara yang mampu
menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab
(Siswanto, 2005: 50).
Penegak hukum
merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai
kemampuan-kemampuan tertentu, sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus
dapat berkomunikasi dan mendapatkan pengertian dari golongan sasaran
(masyarakat), di samping mampu membawakan atau menjalankan peranan yang dapat
diterima oleh mereka. Selain itu, maka golongan panutan harus dapat
memanfaatkan unsur-unsur pola tradisional tertentu, sehingga menggairahkan
partispasi dari golongan sasaran atau masyarakat luas. Golongan panutan juga
harus dapat memilih waktu dan lingkungan yang tepat di dalam memperkenalkan
norma-norma atau kaidah-kaidah hukum yang baru serta memberikan keteladanan
yang baik (Soerjono, 2002: 34).
Namun
sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa salah satu penyebab lemahnya penegakan
hukum di Indonesia adalah masih rendahnya moralitas aparat penegak hukum
(hakim, polisi, jaksa dan advokat ) serta judicial corruption yang sudah
terlanjur mendarah daging sehingga sampai saat ini sulit sekali
diberantas. Adanya judicial corruption jelas menyulitkan penegakan hukum di
Indonesia karena para penegak hukum yang seharusnya menegakkan hukum terlibat
dalam praktek korupsi, sehingga sulit diharapkan bisa ikut menciptakan
pemerintahan yang baik atau good governance. Penegakan hukum hanya bisa
dilakukan apabila lembaga-lembaga hukum (hakim, jaksa, polis dan advokat)
bertindak profesional, jujur dan menerapkan prinsip-prinsip good governance.
Beberapa
permasalahan mengenai penegakan hukum, tentunya tidak dapat terlepas dari
kenyataan, bahwa berfungsinya hukum sangatlah tergantung pada hubungan yang
serasi antara hukum itu sendiri, penegak hukum, fasilitasnya dan masyarakat
yang diaturnya. Kepincangan pada salah satu unsur, tidak menutup kemungkinan
akan mengakibatkan bahwa seluruh sistem akan terkena pengaruh negatifnya
(Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, 1987: 20). Misalnya, kalau hukum
tertulis yang mengatur suatu bidang kehidupan tertentu dan bidang-bidang
lainnya yang berkaitan berada dalam kepincangan. Maka seluruh lapisan
masyarakat akan merasakan akibat pahitnya.
Penegak hukum
yang bertugas menerapkan hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas,
meliputi: petugas strata atas, menengah dan bawah. Maksudnya adalah sampai
sejauhmana petugas harus memiliki suatu pedoman salah satunya peraturan
tertulis yang mencakup ruang lingkup tugasnya. Dalam penegakkan hukum, menurut
Soerjono Soekanto sebagaimana dikutip oleh Zainuddin Ali, kemungkinan penegak
hukum mengahadapi hal-hal sebagai berikut:
a)
Sampai sejauhmana petugas terikat
dengan peraturan yang ada,
b)
Sampai batas-batas mana petugas
berkenan memberikan kebijakan,
c)
Teladan macam apakah yang sebaiknya
diberikan oleh petugas kepada masyarakat,
d)
Sampai sejauhmanakah derajat
sinkronisasi penugasan yang diberikan kepada para petugas sehingga memberikan
batas-batas yang tegas pada wewenangnya (Zainuddin, 2006: 95).
Lemahnya
mentalitas aparat penegak hukum mengakibatkan penegakkan hukum tidak berjalan
sebagaimana mestinya. Banyak faktor yang mempengaruhi lemahnya mentalitas
aparat penegak hukum diantaranya lemahnya pemahaman agama, ekonomi, proses
rekruitmen yang tidak transparan dan lain sebagainya. Sehingga dapat dipertegas
bahwa faktor penegak hukum memainkan peran penting dalam memfungsikan hukum.
Kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas penegak hukum rendah maka akan ada
masalah. Demikian juga, apabila peraturannya buruk sedangkan kualitas penegak
hukum baik, kemungkinan munculnya masalah masih terbuka.
Kondisi riil
yang terjadi saat ini di Indonesia mengindikasikan adanya kegagalan
aparat-aparat penegak hukum dalam menegakan hukum. Kegagalan penegakan hukum
secara keseluruhan dapat dilihat dari kondisi ketidakmampuan (unability) dan
ketidakmauan (unwillingness) dari aparat penegak hukum itu sendiri.
Ketidakmampuan penegakan hukum diakibatkan profesionalisme aparat yang kurang,
sedangkan ketidakmauan penegakan hukum berkait masalah KKN (korupsi kolusi dan
nepotisme) yang dilakukan oleh aparat hukum sudah menjadi rahasia umum.
Terlepas dari dua hal di atas lemahnya penegakan hukum di Indonesia juga dapat
kita lihat dari ketidakpuasan masyarakat karena hukum yang nota benenya sebagai
wadah untuk mencari keadilan bagi masyarakat, tetapi malah memberikan rasa
ketidakadilan.
Akhir-akhir ini
banyak isu yang sedang hangat-hangat di perbincangkan salah satunya adalah
permasalahan korupsi. Kasus ini seakan sudah menjadi tradisi yang mendarah
daging di bangsa ini. Penyakit korupsi melanda seluruh lapisan masyarakat
bahkan yang menjadi perhatian saat ini adalah para aparat yang seharusnya
menjadi penegak dalam kasus ini juga ikut terkait di dalamnya. Salah satu
lembaga yang menjadi perhatian adalah lembaga peradilan.
Korupsi telah
merambat dan mengotori hampir seluruh institusi penegakan hukum kita termasuk
lembaga peradilan. Misalnya saja tentang salahnya penegakan hukum di Indonesia
seperti saat seseorang mencuri sandal, ia disidang dan didenda hanya karena
mencuri sandal seorang briptu yang harganya bisa dibilang murah, sedangkan para
koruptor di Indonesia bisa dengan leluasa merajalela, menikmati hidup seakan
tanpa dosa, karena mereka memandang rendah hukum yang ada di Indonesia. Kita
ambil contoh Arthalyta Suryani, yang menempati ruang tahanan yang terbilang
mewah dari tahanan yang lain karena lengkap dengan fasilitas televisi, kulkas,
AC, bahkan sampai ruang karokean. Hal ini kemudian memperlihatkan diskriminasi
di dalam pemutusan perkara oleh lembaga peradilan kita dimana rakyat miskin
yang tidak mempunyai kekuatan financial seakan hukum begitu runcing kepadanya
sedangkan para orang-orang yang berduit menganggap hukum itu bisa dibeli bahkan
saya anggap bahwa sel tahanan mereka tidak layaklah dikatakan sebagai sel
tetapi hotel sementara sedangkan rakyat miskin begitu merasakan yang namanya
sel tahanan
Hukum di negara
kita ini dapat diselewengkan atau disuap dengan mudahnya, dengan inkonsistensi
hukum di Indonesia. Selain lembaga peradilan, ternyata aparat kepolisianpun
tidak lepas dari penyelewengan hukum. Misalnya saat terkena tilang polisi
lalu lintas, ada beberapa oknum polisi yang mau atau bahkan terkadang minta
suap agar kasus ini tidak diperpanjang, polisinya pun mendapatkan keuntungan
materi dengan cepat namun salah tempat. Ini merupakan contoh kongkrit di
lingkungan kita.
Persamaan di
hadapan hukum yang selama ini di kampanyekan oleh pemerintah nyatanya tidak
berjalan dengan efektif. Hukum yang berlaku sekarang di Indonesia seakan-akan
berpihak kepada segelintir orang saja. Supremasi hukum di Indonesia masih harus
diperbaiki untuk mendapat kepercayaan masyarakat dan dunia internasional
tentunya terhadap sistem hukum Indonesia. Masih banyak kasus-kasus
ketidakadilan hukum yang terjadi di negara kita. Keadilan harus diposisikan
secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang
sama tanpa kecuali. Namun, keadaan yang sebaliknya terjadi di Indonesia. Hukum
seakan tajam kebawah namun tumpul keatas. Ini terbukti dengan banyaknya kasus
yang terjadi, contohnya saja kasus nenek Minah yang divonis 1,5 bulan penjara
karena mencuri tiga buah kakao. Dari segi manapun mencuri memang tidak dibenarkan.
Namun, kita juga harus melihat dari sisi kemanusiaan. Betapa tidak adilnya
ketika rakyat kecil seperti itu betul-betul ditekan sedangkan para pejabat yang
korupsi jutaan bahkan miliaran rupiah bebas begitu saja, walaupun ada yang
terjerat hukuman tapi penjaranya bagaikan kamar hotel.
Sebenarnya apa
yang terjadi dengan lembaga penegak hukum kita, sehingga justice for all
(keadilan untuk semua) berubah menjadi justice not for all (keadilan untuk
tidak semua). Hukum di negara kita ini seakan tidak memperlihatkan cerminan
terhadap kesamaan di depan hukum yang merata kepada semua lapisan masyarakat
tetapi terkesan tajam kebawah kepada rakyat miskin tetapi tumpul keatas
terhadap mereka yang mempunyai uang. Berbagai kasus terkait dengan penegakan
hukum di Indonesia yang sangat memprihatinkan menjadi cambuk atau pukulan telak
serta menjadi potret buram bagi kita semua sebagai satu kesatuan dalam bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini menjadi ironi tersendiri bagi kita.
Di Indonesia
sendiri hukum dibuat berlandaskan Pancasila serta UUD 1945. Dalam penegakkan
hukum di Indonesia memang terjadi beberapa masalah seperti ketidakmampuan suatu
lembaga keadilan dalam memberikan keadilan itu sendiri bagi masyarakat.
Keadilan dianggap suatu yang sulit untuk didapatkan terutama bagi masyarakat
kelas bawah yang sekiranya merupakan golongan yang tidak mampu dalam segi
materi. Sekiranya kita dapat melihat fakta yang terjadi di lapangan dengan
berbagai macam kasus yang ada dan melibatkan masyarakat kelas bawah. Beberapa
kasus seperti pencurian sendal yang dilakukan oleh seorang murid terhadap salah
satu anggota kepolisian misalnya, terdapat berbagai kejanggalan dalam kasus
tersebut seperti berbedanya sandal yang dimaksud serta adanya penganiayaan
terhadap sang pelaku oleh oknum polisi tersebut. Dengan hanya mencuri sepasang
sendal jepit yang kemungkinan pula bukan anak tersebut pelakunya, malah
diberikan tuntutan hukuman 5 tahun penjara. Adilkah itu ? Masyarakat awam pun
pasti mengetahui apa yang dimaksud keadilan. Berbeda dengan kasus yang
melibatkan rakyat kecil yang seharusnya memang bisa diselesaikan dengan rasa
keadilan serta kekeluargaan, para pimpinan negara yang terhormat malah
melakukan banyak korupsi dan tak terselesaikan masalahnya.
Para penegak
hukum antara lain hakim, jaksa, polisi, advokat dan penasihat hukum. Di tangan
merekalah terletak suatu beban kewajiban untuk mengimplementasikan suatu
prinsip keadilan sebagaimana yang tercantum dalam sila kedua secara optimal dan
maksimal. Namun , hal sebaliknya terjadi di Indonesia. Banyak kasus penegakan
hukum yang tidak berjalan semestinya. Banyak keganjalan yang terjadi didalam
penegakan hukum itu seperti dengan mudahnya seseorang yang mempunyai uang
mendapatkan fasilitas di ruang tahanan atau ada beberapa kasus yang sangat
mengganjal keputusan yang di putuskan seperti kasus pencurian sandal diatas.
Penegakkan
hukum dari aparat kepolisian juga dinilai sangat kurang, bisa dilihat dengan
banyaknya penilangan kepada kendaraan bermotor yang berakhir dengan istilah UUD
(Ujung-Ujungnya Duit) atau biasa disebut uang sogokkan. Serta ada pula masalah
tentang kebijakkan-kebijakkan pemerintah yang dinilai kurang serta tidak
didasari dengan landasan hukum yang tepat. Seperti kebijakkan bagi pengendara
motor yang diharuskan menyalakan lampu utama pada siang hari yang dinilai
kurang realistis. Karena menyalakan lampu pada siang hari sama saja dengan
pemborosan energi, sesungguhnya cahaya matahari sudah cukup terang bagi
pengguna jalan. Dan alasan karena banyaknya terjadi kecelakaan siang hari oleh
para pengguna sepeda motor tentu bukan karena lampu atau cahaya yang kurang.
Dengan adanya
pemanasan global dan yang dicanangkan pemerintah tentang save energy-pun
dipertanyakan karena memang menyalakan lampu pada siang hari adalah pemborosan
energi. Beberapa Undang-undang yang seharusnya dibuat setiap tahun dengan
jumlah yang sudah ditetapkan pun molor sehingga hanya ada sedikit Undang-undang
yang sudah terealisasikan. Hal ini tentu menjadi catatan bagi pemerintah yang
seharusnya hukum itu untuk keteraturan serta tercipta kedamaian di negara kita
menjadi begitu tidak dapat diandalkan.
Selain dengan
masalah-masalah tersebut tentu dengan adanya hukum yang lemah maka ketahanan
negara juga akan lemah. Bisa kita lihat dari berbagai macam kasus tentang
perbatasan negara maupun pencaplokan wilayah dan budaya yang dilakukan oleh
negara tetangga. Pemerintah Indonesia sangat lamban dalam mengambil sikap dalam
hal pertahanan dan keamanan negara, adanya kesenjangan sosial di wilayah
perbatasan Indonesia serta kota-kota lain di Indonesia serta sarana dan
infrastruktur di daerah perbatasan yang sangat kurang menjadi masalah yang
harus ditanggapi serius oleh pemerintah. Masyarakat perbatasan tentu merasa
dianak tirikan oleh pemerintah karena tidak adanya peran pemerintah dalam
mengatasi hal tersebut, dan tentu hal ini menjadi senjata bagi negara lain
untuk dengan mudah mencaplok daerah perbatasan sebagai daerah negaranya karena
negara tersebut mengambil hati masyarakat dengan memberi berbagai macam kebutuhan
oleh negara tersebut berbeda dengan apa yang diberikan oleh pemerintah
Indonesia.
Hal tersebut
menyebabkan bahwa suatu hukum di Indonesia walaupun dibuat dengan berlandaskan
pancasila serta UUD 1945 namun dalam pelaksanaannya tidak ada jiwa pancasila yang
melekat dalam setiap penegak hukum serta pemerintah Indonesia. Dengan
melemahnya hukum di Indonesia tentu sedikit demi sedikit maka keadilan di
Indonesia akan terkikis dengan adanya sikap pemerintah yang seakan hanya
mementingkan dirinya sendiri, jabatan dan kekuasaan politik bagi diri dan
partainya
Sungguh menjadi
sesuatu yang ironis ketika kepercayaan masyarakat kepada pemimpinnya menjadi
berkurang, dan ketika itulah masyarakat akan menjadi merasa tersakiti serta tak
mempercayai kepemerintahan negara, karena kepercayaan adalah salah satu tiang
keadilan dan kemakmuran. Ketika hukum yang hanya memihak golongan tertentu maka
keadilan juga akan memudar dan akan meruntuhkan derajat dan martabat negara.
Dengan runtuhnya derajat negara, runtuh pula negara tersebut dan akan mudah
bagi pihak-pihak yang merasa diuntungkan dengan situasi ini yaitu adanya
intervensi asing dalam masalah negara.
Karena
intervensi itu sendiri sudah mulai muncul ketika banyaknya media asing yang
memberitakan tentang bobroknya negara ini. Sebagai salah satu contohnya dimana
ada media asing yang memberitakan tentang masalah jembatan yang tak layak di
Indonesia. Masyarakat terutama para siswa yang ingin bersekolah harus menantang
nyawa dengan menyebrangi sungai hanya dengan seutas tali. Dimana peran
pemerintah? Hanya ada janji yang entah kapan akan ditepati. Hukum memang salah
satu cara untuk memberikan keadilan, dan hukum seharusnya ditegakkan dengan
bijaksana, tegas dan apa adanya.
Selain beberapa
faktor diatas, faktor uang juga mempengaruhi penegakan hukum di Indonesia.
Beberapa kasus bisa menjadi cerminan lemahnya hukum di Indonesia ketika sudah
berbenturan dengan uang, misalnya saja kasus korupsi yang menjerat nama Gayus
Tambunan. Kasus ini memang sudah di selesaikan dipengadilan, tetapi walaupaun
Gayus telah ditempatkan di dalam penjara, nyatanya dia masih bebas untuk
berwisata ke Bali bahkan sampai keluar negeri yaitu Makau. Ini karena
lemahnya iman para petugas yang seharusnya menegakkan keadilan hukum
setegak-tegaknya kalau sudah dihadapkan dengan uang. Mereka tentunya
mengabulkan permintaan Gayus tersebut tidak dengan cuma-cuma, tetapi ada
imbalan yang diberikan kepada para petugas tersebut. Beberapa kasus yang
diungkapkan sebelumnya seperti kasus Artalita, ini semua tidak lepas dari
lemahnya iman aparat yang bertugas menegakkan hukum ketika sudah di hadapkan
dengan uang. Apakah ini yang di namakan “uang berbicara”? Dan apakan hukum di
negeri ini semudah itu menjadi lunak?. Kalau sudah seperti itu Anda pun dapat
menilainya sendiri sebenarnya apa yang telah melanda hukum di negeri tercinta
kita ini, sehingga jangan heran kalau ada istilah yang kemudian muncul di
masyarakat kita tentang penegakkan hukum di Indonesia yaitu KUHP (Kasih Uang
Habis Perkara). Ini adalah cerminan bahwa rakyat Indonesia sudah mulai hilang
kepercayaan dengan penegakan hukum yang ada di Indonesia.
Penegakan hukum
yang carut-marut, kacau, dan mengesampingkan keadilan tersebut bisa saja
diminimalisir kalau seandainya hukum dikembalikan kepada fungsi aslinya, yaitu
untuk untuk menciptakan keadilan, ketertiban serta kenyamanan. Selain itu
sebagaimana menurut Soerjono Soekanto, hukum dapat berfungsi dengan baik
diperlukan keserasian dan hubungan antara empat faktor, yakni:
1. Hukum
dan peraturan itu sendiri.
Kemungkinannya
adalah bahwa terjadi ketidak cocokan dalam peraturan perundang-undangan
mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu. Kemungkinan lainnya adalah
ketidakcocokan antara peraturan perundang-undangan dengan hukum tidak tertulis
atau hukum kebiasaan. Kadangkala ketidakserasian antara hukum tertulis dengan
hukum kebiasaan, dan seterusnya.
2. Mentalitas
Petugas yang menegakkan hukum.
Penegak hukum
antara lain mencakup hakim, polisi, jaksa, pembela, petugas pemasyarakatan, dan
seterusnya. Apabila peraturan perundang-undangan sudah baik, akan tetapi jika
mental penegak hukum kurang baik, maka akan terjadi pada sistem penegakkan
hukum.
3. Fasilitas
yang diharapkan untuk mendukung pelaksanaan hukum.
Kalau peraturan
perundang-undangan sudah baik dan juga mentalitas penegaknya baik, akan tetapi
fasilitas kurang memadai, maka penegakkan hukum tidak akan berjalan dengan
semestinya.
4. Kesadaran
dan kepatuhan hukum dari para warga masyarakat.
Namun dipihak
lain perlu juga disadari bahwa penegakan hukum bukan tujuan akhir dari proses
hukum karena keadilan belum tentu tercapai dengan penegakan hukum, padahal
tujuan akhirnya adalah keadilan. Pernyataan di atas merupakan isyarat bahwa
keadilan yang hidup di masyarakat tidak mungkin seragam. Hal ini disebabkan
keadilan merupakan proses yang bergerak di antara dua kutub citra keadilan.
Naminem Laedere semata bukanlah keadilan, demikian pula Suum Cuique Tribuere
yang berdiri sendiri tidak dapat dikatakan keadilan. Keadilan bergerak di
antara dua kutub tersebut. Pada suatu ketika keadilan lebih dekat pada satu
kutub, dan pada saat yang lain, keadilan lebih condong pada kutub lainnya.
Keadilan yang mendekati kutub Naminem Laedere adalah pada saat manusia
berhadapan dengan bidang-bidang kehidupan yang bersifat netral. Akan tetapi
jika yang dipersoalkan adalah bidang kehidupan spiritual atau sensitif, maka
yang disebut adil berada lebih dekat dengan kutub Suum Cuique Tribuere.
Pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa hanya melalui suatu tata hukum yang
adil orang dapat hidup dengan damai menuju suatu kesejahteraan jasmani maupun
rohani (Abdul Ghofur, 2006: 55-56).
Penegakan hukum
yang acap kali menciderai rasa keadilan, baik keadilan menurut pandangan
yuridis maupun keadilan menurut masyarakat. Hal inilah salah satu pemicu
ketidakpercayaan masyarakat terhadap kinerja aparat penegak hukum dalam
menegakan hukum di tengah masyarakat. Jika kita pandang dari kacamata sosiologi
hukum, kita dapat mengasumsisikan bahwa ada dua faktor yang paling menonjol
yang mempengaruhi aparat penegak hukum dalam menegakan hukum yaitu faktor
internal dan eksternal. Adapun faktor internal (yang berasal dari penegak hukum
itu sendiri) salah satu contoh, adanya kecenderungan dari aparat penegak hukum
dalam menegakan hukum berpedoman pada undang-undang semata sehingga
mengesampingkan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Selanjutnya
faktor eksternal (yang berasal dari luar penegak hukum itu sendiri) misalnya
ketika terjadi peristiwa hukum adanya kecenderungan masyarakat yang menyelasaikan
dengan caranya sendiri.
Lembaga hukum
merupakan lembaga penegak keadilan dalam suatu masyarakat, lembaga di mana
masyarakat memerlukan dan mencari suatu keadilan. Idealnya, lembaga hukum tidak
boleh sedikitpun bergoyah dalam menerapkan keadilan yang didasarkan atas
ketentuan hukum dan syari’at yang telah disepakati bersama. Hukum menjamin agar
keadilan dapat dijalankan secara murni dan konsekuen untuk seluruh rakyat tanpa
membedakan asal-usul, warna kulit, kedudukan, keyakinan dan lain sebagainya.
Jika keadilan sudah tidak ada lagi maka masyarakat akan mengalami ketimpangan.
Oleh karena itu, lembaga hukum dalam masyarakat madani harus menjadi tempat
mencari keadilan. Hal ini bisa diciptakan jika lembaga hukum tersebut
dihormati, dijaga dan dijamin integritasnya secara konsekuen (Miftah, 2003:
218).
Jika kita
berkaca kepada potret penegakan hukum di Indonesia setelah menilik dari
berbagai kasus (menurut penulis) belumlah berjalan dengan baik, bahkan bisa
dikatakan buruk. Lemahnya penegakan hukum di Indonesia saat ini dapat tercermin
dari berbagai penyelesaian kasus besar yang belum tuntas salah satunya praktek
korupsi yang menggurita, namun ironisnya para pelakunya sangat sedikit yang
terjerat oleh hukum. Kenyataan tersebut justru berbanding terbalik dengan
beberapa kasus yang melibatkan rakyat kecil, dalam hal ini aparat penegakkan
hukum cepat tanggap, karena sebagaimana kita ketahui yang terlibat kasus
korupsi merupakan kalangan berdasi alias para pejabat dan orang-orang berduit
yang memiliki kekuatan (power) untuk menginterfensi efektifitas dari penegakan
hukum itu sendiri.
Realita
penegakan hukum yang demikian sudah pasti akan menciderai hati rakyat kecil
yang akan berujung pada ketidakpercayaan masyarakat pada hukum, khususnya
aparat penegak hukum itu sendiri. Sebagaimana sama-sama kita ketahui para
pencari keadilan yang note bene adalah masyarakat kecil sering dibuat frustasi
oleh para penegak hukum yang nyatanya lebih memihak pada golongan berduit.
Sehingga orang sering menggambarkan kalau hukum Indonesia seperti jaring
laba-laba yang hanya mampu menangkap hewan-hewan kecil, namun tidak mampu
menahan hewan besar tetapi hewan besar tersebutlah yang mungkin menghancurkan
seluruh jaring laba-laba (Jimly, 2011: 156).
Problematika
penegakan hukum yang mengandung unsur ketidakadilan mengakibatkan adanya
isu mafia peradilan, keadilan dapat dibeli, munculnya bahasa-bahasa yang
sarkastis dengan plesetan HAKIM (Hubungi Aku Kalau Ingin Menang), KUHAP
diplesetkan sebagai Kurang Uang Hukuman Penjara, UUD (Ujung-Ujungnya Duit)
tidaklah muncul begitu saja. Kesemuanya ini merupakan “produk sampingan” dari
bekerjanya lembaga-lembaga hukum itu sendiri. Ungkap-ungkapan ini merupakan
reaksi dari rasa keadilan masyarakat yang terkoyak karena bekerja
lembaga-lembaga hukum yang tidak profesional maupun putusan hakim/putusan
pengadilan yang semata-mata hanya berlandaskan pada aspek yuridis. Berlakunya
hukum di tengah-tengah masyarakat, mengemban tujuan untuk mewujudkan keadilan,
kepastian hukum dan kemanfaatan dan pemberdayaan sosial bagi masyarakatnya.
C. Dampak dalam Penegakan Hukum di Indonesia
Penyelewengan atau inkonsistensi di Indonesia berlangsung lama
bertahun-tahun hingga sekarang, sehingga bagi masyarakat Indonesia ini
merupakan rahasia umum, hukum yang dibuat berbeda dengan hukum yang dijalankan,
contoh paling dekat dengan lingkungan adalah, penilangan pengemudi kendaraan
yang melanggar tata tertib lalu lintas. Mereka yang melanggar tata tertib lalu
lintas tidak jarang ingin berdamai di tempat atau menyelewengkan hukum,
kemudian seharusnya aparat yang menegakkan hukum tersebut dapat menangi secara
hukum yang berlaku di Indonesia, namun tidak jarang penegak hukum tersebut
justru mengambil kesempatan yang tidak terpuji itu untuk menambah pundi-pundi
uangnya.
Oleh karena itu, akibat-akibat
yang ditimbulkan dari masalah penyelewengan hukum tersebut diantaranya, yaitu:
1.
Ketidakpercayaan masyarakat pada hukum
Masyarakat berependapat hukum banyak merugikan mereka, terlebih lagi soal
materi sehingga mereka berusaha untuk menghindarinya. Karena mereka percaya
bahwa uanglah yang berbicara, dan dapat meringankan
hukuman mereka, fakta-fakta yang ada diputar balikan dengan materi yang siap
diberikan untuk penegak hukum. Kasus-kasus korupsi di Indonesia tidak terselesaikan
secara tuntas karena para petinggi Negara yang terlibat di dalamnya
mempermainkan hukum dengan menyuap sana sini agar kasus ini tidak terungkap,
akibatnya kepercayaan masayarakatpun pudar.
2.
Penyelesaian konflik dengan kekerasan
Penyelesaian konflik dengan kekerasan contohnya ialah
pencuri ayam yang dipukuli warga, pencuri sandal yang dihakimi warga. Konflik
yang terjadi di sekelompok masyarakat di Indonesia banyak yang diselesaikan
dengan kekerasan, seperti kasus tawuran antar pelajar, tawuran antar suku yang
memperebutkan wilayah, atau ada salah satu suku yang tersakiti sehingga dibalas
degan kekerasan. Mereka tidak mengindahkan peraturan-peraturan kepemerintahan,
dengan masalah secara geografis, mereka. Ini membuktikan masayarakat Indonesia
yang tidak tertib hukum, seharusnya masalah seperti maling sandal atau ayam
dapat ditangani oleh pihak yang yang berwajib, bukan dihakimi secara
seenakanya, bahkan dapat menghilangkan nyawa seseorang.
3. Pemanfaatan Inkonsistensi Penegakan
Hukum untuk Kepentingan Pribadi
Dari beberapa kasus di Indonesia, banyak warga Negara
Indonesia yang memanfaatkan inkonsistensi penegakan hukum untuk kepentingan
pribadi. Contohnya ialah pengacara yang menyuap polisi ataupun hakim untuk
meringankan terdakwa, sedangkan polisi dan hakim yang seharusnya bisa menjadi
penengah bagi kedua belah pihak yang sedang terlibat kasus hukum bisa jadi
lebih condong pada banayknya materi yang diberikan oleh salah satu pihak yang
sedang terlibat dalam kasus hukum tersebut.
4. Penggunaan Tekanan Asing dalam
Proses Peradilan
Dalam hal ini kita dapat mengambil contoh pengrusakan
lingkungan yang diakibatkan oleh suatu perusahaan asing yang membuka usahanya
di Indonesia, mereka akan minta bantuan dari negaranya untuk melakukan upaya
pendekatan kepada Indonesia, agar mereka tidak mendapatkan hukuman yang berat,
atau dicabut izin memproduksinya di Indonesia (Supriadi, 2008: 312).
D. Ketidakpuasan
Masyarakat Terhadap Penegakan Hukum di Indonesia
Ketidakpuasan
masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia ini merupakan fakta dan data
yang ditunjukkan dari hasil survei terhadap masyarakat oleh Lembaga Survei
Indonesia (LSI) yang menyebutkan bahwa 56,0 persen publik menyatakan tidak puas
dengan penegakan hukum di Indonesia, hanya 29,8 persen menyatakan puas,
sedangkan sisanya 14,2 persen tidak menjawab. Mereka yang tak puas terhadap penegakan hukum di Indonesia merata di semua
segmen. Mereka yang tinggal di kota maupun desa, berpendidikan tinggi maupun
rendah, mereka yang berasal dari ekonomi atas maupun ekonomi bawah.
Namun demikian,
mereka yang tinggal di desa, berasal dari ekonomi bawah, dan berpendidikan
rendah lebih tak puas jika dibandingkan dengan mereka yang berada di kota dan
berpendidikan tinggi. Hal ini
disebabkan karena mereka yang berada di desa dan kelompok ekonomi bawah lebih
sering menghadapi kenyataan merasa diperlakukan tidak adil jika berhadapan
dengan aparat hukum. Ketidakpuasaan
responden terhadap penegakan hukum di Indonesia cenderung meningkat dari tahun
ke tahun yaitu 37,4 persen (Survei LSI Januari 2010), sebesar 41,2 persen
(Oktober 2010), sebesar 50,3 persen (September 2011), sebesar 50,3 persen
(Oktober 2012), dan terakhir 56,6 persen (April 2013) (http://www.lsi.or.id/riset/).
Uraian di atas
menunjukkan betapa rusaknya hukum di Indonesia. Mungkin yang tidak mendapat
sorotan adalah lembaga pemasyarakatan karena tidak banyak orang yang
mengamatinya. Tetapi lembaga ini sebenarnya juga tidak dapat dikatakan
sempurna. Lembaga yang seharusnya berperan dalam memulihkan sifat para warga
binaan (terpidana) ternyata tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik.
Jumlah narapidana yang melebihi dua kali lipat dari kapasitasnya menjadikan
nasib narapidana juga semakin buruk. Mereka tidak tambah sadar, tetapi justru
belajar melakukan tindak pidana baru setelah berkenalan dengan narapidana
lainnya. Tentunya ini jauh dari konsep pemidanaan yang sesungguhnya bertujuan
untuk merehabilitasi terpidana. Bahkan fakta yang ada hari ini, beberapa
narapidana dengan leluasanya membuat “aturan” sendiri dengan merubah hotel
prodeo tersebut menjadi hotel bak bintang lima.
E. Pemecahan
Problematika Penegakan
Hukum di Indonesia
Berbagai
realita yang terjadi di era reformasi sampai sekarang terkait dengan penegakan
hukum yang terdapat di Indonesia sudah tidak relevan dengan apa yang tertuang
dalam kontitusi negara ini. Indonesia dengan berbagai macam problem tentang
anarkisnya para penegak hukum, hal ini sudah tidak sesuai dengan apa yang di
cita-citakan oleh para pendiri bangsa terdahulu. Berbagai hal sudah bergeser
dari amanah konstitusi namun kita tidak sepantasnya untuk menyalahkan
sepenuhnya kegagalan tersebut kepada para penegak hukum atau pihak-pihak yang
menjalankan hukum karena bagaimana pun masyarakat adalah pemegang hukum dan
tempat hukum tersebut berpijak.
Semboyan
“Bhineka Tunggal Ika” merupakan entri yang sangat menuju masyarakat kewargaan.
Masyarakat kewargaan pertama-tama akan mempersoalkan siapa-siapa yang termasuk
ke dalam kategori warga atau kewargaan dalam masyarakat. Reformasi hukum
hendaknya secara sungguh-sungguh menjadikan “eksistensi kebhinekaan” menjadi
agenda dan bagaimana mewujudkan ke dalam sekalian fundamental hukum. Kalau kita
belajar dari pengalaman, maka semboyan “Bhineka Tunggal Ika” lebih memberi
tekanan pada aspek ”Tunggal”, sehingga memperkosa eksistensi pluralism. Demi
ketunggalan atau kesatuan, pluralism tidak dibiarkan ada.
Bertolak dari
pengakuan terhadap eksistensi pluralism tersebut, maka konflik adalah
fungsional bagi berdirinya masyarakat. Konflik bukan sesuatu yang harus
ditabukan, sebab mengakui kebhinekaan adalah mengakui konflik, sebagai sesuatu
yang potensial. Dengan demikian, filsafat yang dipegang adalah menyalurkan
konflik sedemikian rupa sehingga menjadi produktif buat masyarakat.
Masalah tentang
problematika penegakan hukum telah menjadi sebuah tema yang sangat menarik
untuk diangkat dalam berbagai seminar. Salah satu diantaranya tidak ada
kepuasaan yang dicapai subjek hukum yang tidak lain adalah manusia serta
berbagai badan-badan hukum.
Saya mencoba
untuk memberikan beberapa pemecahan dari berbagai problematika penegakan hukum
di Indonesia. Yang pertama yakni bagaimana sikap serta tindakan para sarjana
hukum untuk lebih memperluas cakrawalanya dalam memahami atau menganalisis
masalah-masalah yang terjadi sekarang ini. Di sini dibutuhkan sebuah pandangan
kritis akan makna atau arti penting penegakan hukum yang sebenarnya. Selain itu
dibutuhkan ilmu-ilmu sosial lainnya seperti sosiologi dalam mengidentifikasi
masalah-masalah sosial serta penegakan hukum yang ada dalam masyarakat agar
dalam pembuatan hukum ke depannya dapat menjadikan kekurangan atau kegagalan di
masa lalu sebagai bahan pembelajaran.
Namun yang
perlu diingat bersama adalah adanya kesadaran dalam pelaksanaaan hukum serta
adanya keadilan tanpa memandang suku, agama, ras, serta budaya seperti yang
terkandung di dalam pasal 27 ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut: “Segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Kemudian yang
kedua, cara untuk menyelesaikan berbagai masalah terkait hal tersebut
yakni bagaimana tindakan para aparat penegak hukum mulai dari polisi, hakim,
jaksa, serta pengacara dalam menangani setiap kasus hukum dengan dilandasi
nilai-nilai kejujuran, sadar akan namanya keadilan, serta melakukan
proses-proses hukum sesuai dengan aturan yang ada di dalam undang-undang negara
kita. Bukan hanya itu filosofi Pancasila sebagai asas kerohanian dan sebagai
pandangan hidup dalam bertindak atau sebagai pusat dimana pengamalannya sesuai
dengan cita-cita dan tujuan negara kita sebagaimana telah dijelaskan dalam pembukaan
UUD 1945 yang terdapat pada alinea ke-IV. Hukum seharusnya tidak ditegakkan
dalam bentuknya yang paling kaku, arogan, hitam putih. Tapi harus berdasarkan
rasa keadilan yang tinggi, tidak hanya mengikuti hukum dalam konteks
perundang-undangan hitam putih semata. Karena hukum yang ditegakkan yang hanya
berdasarkan konteks hitam putih belaka hanya akan menghasilkan putusan-putusan
yang kontoversial dan tidak memenuhi rasa keadilan yang sebenarnya.
Cara yang
ketiga yakni program jangka panjang yang perlu dilakukan yakni penerapan
pendidikan karakter dalam setiap tingkatan pendidikan. Untuk mengetahui tingkat
keefektifan program tersebut dalam membangun atau menguatkan mental anak bangsa
ditengah penurunan kualitas sumber daya manusia bangsa Indonesia tidak semudah
membalikkan telapak tangan. Namun perlu kita pupuk dulu agar nantinya
generasi-generasi penerus bangsa tidak salah langkah dalam mengambil setiap
keputusan. Program ini juga mempunyai implikasi positif terhadap penegakan
hukum yang dijalankan di Indonesia karena para penegak hukum telah dibekali
pembangunan karakter yang akan melahirkan atau menciptakan manusia Indonesia
yang unggul.
Untuk cara
keempat yakni adanya penghargaan bagi jaksa dan hakim berprestasi yang
memberikan terobosan-terobosan dalam
penegakan hukum di Indonesia. Dengan adanya penghargaan ini diharapkan setiap
jaksa maupun hakim berlomba untuk memberikan terobosan yang bermanfaat bagi
penegakan hukum di Indonesia.
Meskipun saat
ini kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum masih sangat rendah.
Keberanian lembaga-lembaga hukum bangsa ini akan menjadi titik cerah bagi
penegakan hukum. Namun selain itu kesadaran masyarakat dalam menaati hukum akan
menjadi hal yang mempengaruhi penegakkan hukum di Indonesia. Karena lemahnya
penegakan hukum selama ini juga akibat masyarakat yang kurang menaati hukum.
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Masalah penegakan hukum di Indonesia merupakan
masalah yang sangat serius dan akan terus berkembang jika unsur di dalam sistem
itu sendiri tidak ada perubahan, tidak ada reformasi di bidang itu sendiri.
Karakter bangsa Indonesia yang kurang baik merupakan aktor utama dari segala
ketidaksesuaian pelaksanaan hukum di negari ini. Perlu ditekankan sekali lagi,
walaupun tidak semua penegakan hukum di Indonesia tidak semuanya buruk, Namun keburukan penegakan ini seakan menutupi
segala keselaran hukum yang berjalan di mata masyarakat. Begitu banyak
kasus-kasus hukum yang silih berganti dalam kurun waktu relatif singkat, bahkan
bersamaan kejadiaannya. Perlu ada reformasi yang sebenarnya, karena
permasalahan hukum ini merupakan permasalahan dasar suatu negara, bagaimana masyarakat bisa terjamin
keamanannya atau bagaimana masyarakat bisa merasakan keadilan yang sebenarnya,
hukumlah yang mengatur semua itu, dan perlu digaris-bawahi bahwa hukum sebanarnya telah sesuai
dengan kehidupan masyarakat, tetapi pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan
baik pribadi maupun kelompok merupakan penggagas segala kebobrokan hukum di
negeri ini.
Perlu banyak evaluasi-evaluasi yang harus
dilakukan, harus ada penindaklanjutan yang jelas mengenai penyelewengan hukum
yang kian hari kian menjadi. Perlu ada ketegasan tersendiri dan kesadaran yang
hierarki dari individu atau kelompok yang terlibat di dalamnya. Perlu
ditanamkan mental yang kuat, sikap malu dan pendirian iman dan takwa yang sejak
kecil harus diberikan kepada kader-kader pemimpin dan pelaksana aparatur negara atau pihak-pihak berkepentingan lainnya.
Karena baik untuk hukum Indonesia, baik pula untuk bangsanya dan buruk untuk
hukum di negeri ini, buruk pula konsekuensi yang akan diterima oleh masayarakat
dan Negara.
Jadi, penerapan dalam
pasal 1 ayat (3) UUD 1945 perubahan ketiga yang berbunyi “Negara Indonesia
adalah Negara hukum”, harus dilaksanakan, karena sudah demikian ketetapan itu
berlaku. Merupakan karekteristik yang harus tertanam dalam diri pribadi ataupun
kelompok kepentingan. Kita harus malu dengan Undang-Undang tersebut, harus malu
dengan pendiri bangsa yang rela menumpahkan darah demi memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia, kita harus menghargai semua perjuangan itu dengan hal
yang tidak dapat membuat negeri ini malu di mata masyarakat ini sendiri bahkan
dunia luar. Bangsa yang besar tidak hanya berdasarkan luasan wilayahnya ataupun
betapa banyaknya jumlah penduduk, tetapi dengan menghargai perjuangan para
pahlawan terdahulu dengan menjalankan ketentuan hukum yang berlaku demi
terciptanya keamanan, ketentraman dan kesejahteraan masyarakat.
B. Kritik
Dan Saran
Kritik dan saran sangat saya harapkan dalam makalah ini, segala kekurangan
yang ada dalam makalah ini mungkin karena kelalaian atau ketidaktahuan saya dalam penyusunannya. Segala hal yang tidak
relevan, kekurangan dalam pengetikan atau bahkan ketidakjelasan dalam makalah ini
merupakan proses saya dalam
memperlajari bidang studi ini dan diharapkan saya yang menulis ataupun bagi pembaca dapat mengambil manfaat dari makalah
ini.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly. 2012. Pengantar
Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada
Ghofur, Abdul Anshori. 2006. Filsafat
Hukum Sejarah, Aliran dan Pemaknaan. Yogyakarta:
Gajah Mada
University Press
Mertokusumo, Sudikno. 1999. Mengenal
Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty
Yogyakarta
Soekanto, Soerjono. 2011. Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta:
PT.
RajaGrafindo Persada
Soekanto,Soerjono dan Mustafa
Abdullah. 1987. Sosiologi Hukum dalam Masyarakat.
Jakarta:
Rajawali Press
Sunarso, Siswanto. 2005. Penegakan
Hukum Psikotropika, Kajian Sosiologi Hukum. Jakarta:
PT RajaGrafindo
Persada
Supriadi. 2008. Hukum Lingkungan
di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika
Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi
dan Politik di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Pers
No comments:
Post a Comment