Ciri Khas Teater Nusantara
1. Longser (Teater tradisional nusantara di
Jawa Barat)
Teater Longser
berasal dari daerah Jawa Barat. Pengertian longser dapat kita lihat dari asal
katanya, kata Longser berasal dari kata "melong" yang memiliki arti
melihat dan "seredet" yang artinya tergugah. Secara umum Longser
berarti bahwa barang siapa yang melihat
atau menonton pertunjukan tersebut, maka hatinya akan tergugah. Sama halnya
dengan teater-teater tradisional yang lain, Longser dari Sunda ini juga
bersifat hiburan yang sederhana, jenaka dan menghibur.
Tontonan
Longser dapat diselenggarakan di mana saja, karena tidak memerlukan dekorasi
yang rumit. Penonton bisa menyaksikan Longser dengan posisi duduk melingkar.
Berbicara tentang sejarah longser, puncak popularitas teater Longser berada
pada tahun 1920 – 1960. Tokoh- tokohnya, antara lain; Ateng Japar, Bang Tawes,
Tilil Bang, Bang Soang, dan lain-lain.
Seni Longser
yang sampai sekarang masih dilestarikan oleh beberapa kelompok seniman di Jawa
Barat, Kesenian Longser saat ini dipadukan dengan kondisi jaman, selain untuk
melestarikan seni budaya teater longser, sekaligus agar teater ini dapat
dicintai dan diminati oleh generasi saat ini, agar seni tradisi ini dapat abadi
dengan bumbu modernisasi yang tidak menghilangkan keaslian dari seni budaya itu
sendiri.
2. Ketoprak (Teater Tradisional di Jawa
Tengah)
Ketoprak
adalah teater rakyat yang paling populer, terutama di daerah Yogyakarta dan
daerah Jawa Tengah. Namun di Jawa Timur pun dapat ditemukan ketoprak. Di
daerah-daerah itu ketoprak adalah kesenian rakyat yang menyatu dalam kehidupan
mereka dan mengalahkan kesenian rakyat lainnya seperti srandul dan emprak.
Kata
‘kethoprak’ berasal dari nama alat yaitu Tiprak. Kata Tiprak ini bermula dari
prak. Karena bunyi tiprak adalah prak, prak, prak. Serat Pustaka Raja Purwa
jilid II tulisan pujangga R. Ng. Rangga Warsita dalam bukunya Kolfbunning tahun
1923 menyatakan “… Tetabuhan ingkang nama kethoprak tegesipun kothekan” ini
berarti kethoprak berasal dari bunyi prak, meskipun awalnya bermula dari alat
bernama tiprak.
Kethoprak juga
berasal dari kothekan atau gejogan. Alat bunyi-bunyian yang berupa lesung oleh
pencipta kethoprak ditambah kendang dan seruling. Ketoprak adalah salah satu
bentuk teater rakyat yang sangat memperhatikan bahasa yang digunakan. Bahasa
sangat mendapat perhatian, walaupun yang digunakan bahasa Jawa, namun harus
diperhitungkan masalah unggahungguh bahasa. Dalam bahasa Jawa terdapat
tingkat-tingkat bahasa yang digunakan, yaitu:
- Bahasa Jawa
biasa (sehari-hari)
- Bahasa Jawa
kromo (untuk yang lebih tinggi)
- Bahasa Jawa
kromo inggil (yaitu untuk tingkat yang tertinggi)
Menggunakan
bahasa dalam ketoprak, yang diperhatikan bukan saja penggunaan tingkat-tingkat
bahasa, tetapi juga kehalusan bahasa. Karena itu muncul yang disebut bahasa
ketoprak, bahasa Jawa dengan bahasa yang halus dan spesifik. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa Kethoprak adalah seni pertunjukan teater atau drama
yang sederhana yang meliputi unsur tradisi jawa, baik struktur lakon, dialog,
busana rias, atau bunyi-bunyian musik tradisional yang dipertunjukan oleh
rakyat.
Teater
ketoprak berasal dari Jawa Tengah, pada mulanya Ketoprak hanyalah permainan
para penduduk desa yang sedang menghibur diri mereka dengan menggunakan lesung
yang ditabuh di bulan Purnama, hiburan ini disebut gejogan. Pada
perkembangannya, hiburan Ketoprak menjadi suatu bentuk tontonan teater
tradisional yang lengkap dan paling populer di Jawa Tengah.
Ketoprak
pertama kali dipentaskan sekitar tahun 1909. Awalnya teater ini disebut
ketoprak lesung, tapi setelah musik gendang, terbang, suling, nyanyian dan
lakon yang menggambarkan kehidupan rakyat di pedesaan dimasukkan sebagai
unsurnya, maka lengkaplah Ketoprak sebagaimana yang kita kenal saat ini.
3. Ludruk (Teater tradisional nusantara Jawa
Timur)
Ludruk adalah
teater yang bersifat kerakyatan yang berasal dari kota Jombang yang dikenal
dengan kota santri. Ludruk menggunakan bahasa Jawa dialek Jawa Timuran. Sejalan
dengan waktu, Ludruk kemudian menyebar ke daerah-daerah di sebelah barat,
karesidenan Madiun, Kediri hingga ke Jawa Tengah. Pada teater Ludruk, semua
perwatakan dimainkan oleh pria.
Cerita yang
dilakonkan mumnya tentang sketsa
kehidupan rakyat atau masyarakat, yang dibumbui dengan perjuangan melawan
penindasan. Unsur parikan di dalam teater Ludruk pengaruhnya sangat besar.
Misalnya, parikan yang dilantunkandi zaman penjajahan Jepang oleh Cak Durasim,
yang membuat Cak Durasim berurusan dengan kempetei Jepang. Begini bunyi parikan
itu: “Pagupon omahe doro melok Nipon tambah soro”
4. Arja (Teater tradisional nusantara Bali)
Di Bali sangat
banyak bentuk teater tradisional. Salah satu diantaranya adalah Arja. Arja juga
merupakan teater tradisional Bali yang bersifat kerakyatan. Arja menekankan
tontonannya pada tarian dan nyanyian. Pada awalnya tontonan Arja dimainkan oleh
laki-laki, tapi pada perkembangannya lebih banyak dilakukan oleh pemain wanita,
karena penekanannya pada tari. Arja umumnya mengambil lakon dari Gambuh yang
bertolak dari cerita Gambuh. Namun pada perkembangannya dimainkan juga lakon
dari Ramayana dan Mahabharata.
Tokoh- tokoh
yang muncul dalam Arja adalah Melung (Inye, Condong) pelayan wanita, Galuh atau
Sari, Limbur atau Prameswari, Raja Putri, mantri dan lain sebagainya.
No comments:
Post a Comment