Pencarian

Saturday, August 26, 2017

Demokrasi Dan Kedaulatan Rakyat



Demokrasi Dan Kedaulatan Rakyat

Satu lagi pemikiran yang kita patut bangakan dari pemikir Indonesia yaitu Jimly Asshiddiqie yang mengangkat pembahasan tentang demokrasi dan kedaulatan Rakyat yang dijelaskan diantaranya sebagai berikut. Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi penganut paham demokrasi. Seperti dapat diketahui dari penelitian Amos J. Peaslee pada tahun  950, dari 8  UUD negara-negara yang diperbandingkannya, terdapat 74 negara yang konstitusinya secara resmi menganut prinsip kedaulatan rakyat (90%). Memang harus diakui sampai sekarang istilah demokrasi itu sudah menjadi bahasa umum yang menunjuk kepada pengertian sistem politik yang diidealkan dimana-mana.
Padahal dulunya, pada zaman Yunani kuno, dari mana istilah demokrasi itu pada awalnya berasal, istilah demokrasi itu mempunyai konotasi yang sangat buruk. Demokrasi (demos + cratos atau demos + kratien) dibayangkan orang sebagai pemerintahan oleh semua orang yang merupakan kebalikan dari konsep pemerintahan oleh satu orang (autocracy). Baik demokrasi maupun otokrasi, menurut pengertian umum di zaman Yunani kuno sama-sama buruknya. Karena itu, yang diidealkan adalah ‘plutokrasi’ (pluto + cracy), yaitu pemerintahan oleh banyak orang, bukan hanya dikendalikan oleh satu orang; tetapi banyaknya orang itu tidak berarti semua orang ikut memerintah, sehingga keadaan menjadi kacau dan tidak terkendali.
Sekarang, konsep demokrasi itu dipraktekkan di seluruh dunia secara berbeda-beda dari satu negara ke negara lain. Setiap negara dan bahkan setiap orang menerapkan definisi dan kriterianya sendiri-sendiri mengenai demokrasi itu. Sampai sekarang, negara komunis seperti Kuba dan RRC juga tetap mengaku sebagai negara demokrasi. Ia sudah menjadi paradigma dalam bahasa komunikasi dunia mengenai sistem pemerintahan dan sistem politik yang diangap ideal, meskipun dalam prakteknya setiap orang menerapkan standar yang berbeda-beda, sesuai kepentingannya masing-masing.
Oleh karena itu, bisa saja pada suatu hari nanti, timbul kejenuhan atau bahkan ketidakpercayaan yang luas mengenai kegunaan praktis konsep demokrasi modern ini. Jika itu terjadi, niscaya orang mulai akan menggugat kembali secara kritis keberadaannya sebagai sistem yang dianggap ideal. Sekarang saja, sudah makin banyak sarjana yang mulai menaruh kecurigaan dan bahkan menilai bahwa sebenarnya konsep demokrasi itu sendiri juga hanya mitos. Mimpi demokrasi hanyalah utopia, yang kenyataannya di lapangan tidaklah seindah gagasan abstraknya.

Namun, terlepas dari kritik-kritik itu, yang jelas, dalam sistem kedaulatan rakyat itu, kekuasaan tertinggi dalam suatu negara dianggap berada di tangan rakyat negara itu sendiri. Kekuasaan itu pada hakikatnya berasal dari rakyat, dikelola oleh rakyat, dan untuk kepentingan seluruh rakyat itu sendiri. Jargon yang kemudian dikem- bangkan sehubungan dengan ini adalah “kekuasaan itu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Bahkan, dalam sistem ‘participatory democracy’, dikembangkan pula tambahan ‘bersama rakyat’, sehingga menjadi “kekuasaan pemerintahan itu berasal dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat dan bersama rakyat”.
Pengertian mengenai kekuasaan tertinggi itu sendiri, tidak perlu dipahami bersifat monistik dan mutlak dalam arti tidak terbatas, karena sudah dengan sendirinya kekuasaan tertinggi di tangan rakyat itu dibatasi oleh kesepakatan yang mereka tentukan sendiri secara bersama-sama yang dituangkan dalam rumusan konstitusi yang mereka susun dan sahkan bersama, terutama mereka mendirikan negara yang bersangkutan. Inilah yang disebut dengan ‘kontrak sosial’ antara warga masyarakat yang tercermin dalam konstitusi. Konstitusi itulah yang membatasi dan mengatur bagaimana kedaulatan rakyat itu disalurkan, dijalankan dan diselenggarakan dalam kegiatan kenegaraan dan kegiatan berpemerintahan sehari-hari.
Pada hakikatnya, dalam ide kedaulatan rakyat itu, tetap harus dijamin bahwa rakyatlah yang sesungguhnya pemilik negara dengan segala kewenangannya untuk menjalankan semua fungsi kekuasaan negara, baik di bidang legislatif, eksekutif, maupun judikatif. Rakyatlah yang berwenang merencanakan, mengatur, melaksanakan, dan melakukan pengawasan serta penilaian terhadap pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan itu.
Bahkan lebih jauh lagi, untuk kemanfaatan bagi rakyatlah sesungguhnya segala kegiatan ditujukan dan diperuntukkannya segala manfaat yang didapat dari adanya dan berfungsinya kegiatan bernegara itu. Inilah gagasan kedaulatan rakyat atau demokrasi yang bersifat ‘total’ dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat dan bersama rakyat.
Hanya saja, karena kebutuhan yang bersifat praktis, gagasan demokrasi ini dianggap perlu dilakukan melalui prosedur perwakilan. Dari sinilah munculnya ide lembaga perwakilan atau lembaga parlemen dalam sejarah. Dalam sistem ‘representative democracy’ ini tentu ada saja usaha untuk mengebiri pengertian kedaulatan rakyat itu. Karena itu, dalam sejarah pernah muncul pengertian kedaulatan rakyat yang bersifat totaliter. Bung Karno dan Soepomo pernah terjebak dalam pengertian totaliter ini ketika mereka berdua pernah mengidealkan konsep negara yang disebut oleh Soepomo sebagai negara integralistik. Dalam konsep integralistik itu diidealkan bahwa rakyat dan pemimpinnya bersatu padu, yang secara bersama-sama menjadi satu kesatuan organis yang membentuk negara, sehingga rakyat yang berdaulat dalam sistem demokrasi atau kedaulatan rakyat itu adalah rakyat dalam arti keseluruhan, bukan orang per orang rakyat.
Jika kedaulatan rakyat dipahami dalam konteks orang per orang, maka pandangan demikian dianggap oleh Soekarno dan Soepomo sebagai pandangan yang dipengaruhi oleh paham individualisme dan liberalisme. Atas dasar pengertian demikian itu pulalah maka semula Soekarno dan Soepomo sama-sama menolak ide untuk mencantumkan pasal-pasal tentang hak asasi manusia ke dalam UUD. Atas dasar itu juga Soepomo, pada tanggal  8 Agustus,  945, masih mengusulkan agar ketentuan Pasal   yang menegaskan bahwa “segala keputusan MPR ditetapkan dengan suara yang terbanyak” supaya dihapus dari UUD. Untungnya, Bung Hatta menolak pencoretan itu dengan menyatakan: “Saya tidak setuju kalau dicoret, sebab ketentuan itu berdasarkan kedaulatan rakyat.
Meskipun kedua soal itu akhirnya terselesaikan dalam arti berhasil disepakati tidak seperti usulan Soekarno dan Soepomo, tetapi sejarah telah mencatat bahwa ide semacam itu pernah muncul dalam awal perjalanan sejarah pemikiran kenegaraan kita di Indonesia. Karena itu, ketika pada zaman Orde Baru, paham semacam itu muncul kembali, mudah dimengerti. Seperti dimaklumi, pandangan integralistik ten- tang negara kembali muncul di zaman Orde Baru dalam bentuknya yang baru. MPR dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat, dan DPR dianggap sudah menjadi perwakilan rakyat yang bersifat mutlak. Apapun aspirasi rakyat dituntut supaya disalurkan hanya kepada dan melalui MPR dan DPR. Hak mogok ataupun unjuk rasa dilarang. Kebebasan pers juga dibungkam, kemerdekaan berserikat dibatasi. Pluralisme horizontal ataupun vertikal diseragamkan di bawah jargon pentingnya memelihara ‘persatuan dan kesatuan’.
Seolah-olah adanya sistem dan lembaga perwakilan rakyat bersifat mutlak. Namun, di masa reformasi dewasa ini, semua itu sudah berlalu. Kedaulatan rakyat sesuai dengan hakikatnya, tidaklah berkurang sedikitpun hanya karena ada lembaga perwakilan rakyat. Badan-badan perwakilan itu hanyalah sarana atau bahkan salah satu bagi rakyat untuk menjalankan kedaulatannya. Selain badan atau lembaga perwakilan rakyat itu, masih ada media komunikasi massa, yang disebut sebagai pers yang secara bebas dapat dijadikan sarana mengungkapkan dan menyalurkan aspirasi, pendapat, dan pikiran-pikiran yang didasarkan atas kehendak bebas setiap rakyat sendiri.
Di samping itu, masih tetap ada kebebasan untuk berserikat, berunjuk rasa, dan sebagainya, yang dalam literatur disebut sebagai ‘representation in ideas’ yang tetap dimungkinkan meskipun sudah ada lembaga parlemen. Dengan perkataan lain, keberadaan badan atau lembaga perwakilan rakyat itu sama sekali tidak dapat mengurangi makna kedaulatan yang dimiliki oleh rakyat yang berdaulat itu.
Selain itu, seperti disebut di atas, kedaulatan dan dalam hal ini kedaulatan rakyat sebagai konsep tentang kekuasaan tertinggi yang ada di tangan rakyat dapat dilihat dari segi ruang lingkupnya (scope of power), dan juga dapat dilihat dari segi jangkauan kekuasaannya (domain of power). Lingkup kedaulatan rakyat itu menyangkut kegiat- an apa saja yang dilakukan dalam lingkup kedaulatan rakyat itu, sedangkan jangkauan kedaulatan menyangkut siapa yang menjadi ‘penguasa’ atau pemegang kekuasaan tertinggi itu dan siapa ‘subjek’ yang dijangkau oleh pengaruh kekuasaan itu. Yang terakhir ini berkenaan dengan hubungan kekuasaan antara “the subjects” dan “the sovereign”.
Dalam hubungan dengan lingkup kegiatannya, ide kedaulatan rakyat meliputi proses pengambilan keputusan, baik di bidang legislatif maupun di bidang eksekutif. Artinya, rakyat mempunyai otoritas tertinggi untuk menetapkan berlaku tidaknya suatu ketentuan hukum dan mempunyai otoritas tertinggi untuk menjalankan dan mengawasi pelaksanaan ketentuan hukum itu. Dengan perkataan lain, rakyat berdaulat, baik dalam perencanaan, penetapan, pelaksanaan, maupun evaluasi dan pengawasan terhadap pelaksanaan produk hukum yang mengatur proses pengambilan keputusan dalam dinamika penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang berkaitan dengan nasib dan masa depan mereka sendiri sebagai rakyat negara yang bersangkutan.
Dengan demikian, dalam konsep demokrasi, pemerintahan suatu negara merupakan pemerintahan oleh rakyat. Hanya saja, dalam pengertian zaman sekarang, pengertian pemerintahan disini tidak lagi diharuskan bersifat langsung melainkan dapat pula bersifat tidak langsung atau perwakilan (representative government). Atas dasar prinsip demikian itulah, kekuasaan pemerintahan dibagi-bagi ke dalam beberapa fungsi, yang atas pengaruh Montesquieu, terdiri atas fungsi-fungsi legislatif, eksekutif, dan judikatif. Dalam negara yang menganut kedaulatan rakyat, pembagian ketiga fungsi itu tidak mengurangi makna bahwa yang sesungguhnya berdaulat adalah rakyat. Semua fungsi kekuasaan itu tunduk pada kemauan rakyat yang disalurkan melalui institusi yang mewakilinya. Di bidang legislatif, rakyat mempunyai otoritas tertinggi untuk menetapkan berlaku tidaknya produk legislatif.
Di bidang eksekutif, rakyat mempunyai kekuasaan untuk melak- sanakan atau setidak-tidaknya mengawasi jalannya roda pemerintahan, serta melaksanakan peraturan yang ditetapkannya sendiri. Demikian pula di bidang judikatif, pada hakikatnya, rakyatlah yang mempunyai kekuasaan tertinggi untuk mengambil keputusan akhir dan tertinggi mengenai fungsi judikatif. Artinya, siapapun yang melaksanakan fungsi-fungsi itu di dalam praktek penyelenggaraan negara, sumber kekuasaan yang dimilikinya pada dasarnya adalah daulat rakyat. Sementara itu, konsep jangkauan kedaulatan (domain of sovereignty), mempersoalkan hubungan antara ‘subject’ dan ‘sovereign’, yaitu soal apa atau siapa yang didaulat dan apa atau siapa yang berdaulat. Mengenai siapa atau apa yang berdaulat, seperti diuraikan di atas, dikenal adanya lima teori kedaulatan dalam sejarah, yaitu Kedaulatan Tuhan, Kedaulatan Raja, Kedaulatan Negara, dan Kedaulatan Rakyat serta Kedaulatan Hukum.
Namun, sejauh mengenai apa atau siapa yang didaulat oleh pemegang kedaulatan ini, timbul problem ilmiah yang tidak mudah. Secara teoritis atau demikianlah kenyataannya dalam sejarah, yang dapat didaulat itu adalah orang atau barang (benda kekayaan). Dalam sejarah, kedua hal itu dibedakan orang sejak zaman Romawi kuno melalui konsep ‘imperium’ versus ‘dominium’. ‘Dominium’ merupakan konsep mengenai ‘the rule over things by the individuals’, sedangkan ‘imperium’ merupakan konsep mengenai ‘the rule over all individuals by the prince’. Kedua hal inilah yang menurut pendapat saya berperan penting dalam perkembangan pemikiran di kemudian hari mengenai demokrasi politik dan demokrasi ekonomi sebagai fenomena mengenai kedaulatan rakyat di bidang politik dan kedaulatan rakyat di bidang ekonomi.

No comments:

Pencarian isi Blog