Pencarian

Sunday, February 21, 2016

Makalah Sejarah Kampung Panjalu



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Panjalu adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu yang terletak di kaki Gunung Sawal (1764 m dpl) Jawa Barat. Secara geografis pada abad ke-13 sampai abad ke-16 (tahun 1200-an sampai dengan tahun 1500-an) Kerajaan Panjalu berbatasan dengan Kerajaan Talaga, Kerajaan Kuningan, dan Cirebon di sebelah utara. Di sebelah timur Kerajaan Panjalu berbatasan dengan Kawali (Ibukota Kemaharajaan Sunda 1333-1482), wilayah selatannya berbatasan dengan Kerajaan Galuh, sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan Kerajaan Galunggung dan Kerajaan Sumedang Larang.
Panjalu berasal dari kata jalu (bhs. Sunda) yang berarti jantan, jago, maskulin, yang didahului dengan awalan pa (n). Kata panjalu berkonotasi dengan kata-kata: jagoan, jawara, pendekar, warrior (bhs. Inggeris: pejuang, ahli olah perang), dan knight (bhs. Inggeris: kesatria, perwira).
Ada pula orang Panjalu yang mengatakan bahwa kata panjalu berarti “perempuan” karena berasal dari kata jalu yang diberi awalan pan, sama seperti kata male (bhs. Inggeris : laki-laki) yang apabila diberi prefiks fe + male menjadi female (bhs.Inggeris : perempuan). Konon nama ini disandang karena Panjalu pernah diperintah oleh seorang ratu bernama Ratu Permanadewi.
Mengingat sterotip atau anggapan umum watak orang Panjalu sampai sekarang di mata orang Sunda pada umumnya, atau dibandingkan dengan watak orang Sunda pada umumnya, orang Panjalu dikenal lebih keras, militan juga disegani karena konon memiliki banyak ilmu kanuragan warisan dari nenek moyang mereka, oleh karena itu arti kata Panjalu yang pertama sepertinya lebih mendekati kesesuaian.
Menurut Munoz (2006) Kerajaan Panjalu Ciamis (Jawa Barat) adalah penerus Kerajaan Panjalu Kediri (Jawa Timur) karena setelah Maharaja Kertajaya Raja Panjalu Kediri terakhir tewas di tangan Ken Angrok (Ken Arok) pada tahun 1222, sisa-sisa keluarga dan pengikut Maharaja Kertajaya itu melarikan diri ke kawasan Panjalu Ciamis. Itulah sebabnya kedua kerajaan ini mempunyai nama yang sama dan Kerajaan Panjalu Ciamis adalah penerus peradaban Panjalu Kediri.
Nama Panjalu sendiri mulai dikenal ketika wilayah itu berada dibawah pemerintahan Prabu Sanghyang Rangga Sakti dan penerusnya Prabu Sanghyang Rangga Gumilang; sebelumnya kawasan Panjalu lebih dikenal dengan sebutan Kabuyutan Sawal atau Kabuyutan Gunung Sawal. Istilah Kabuyutan identik dengan daerah Kabataraan yaitu daerah yang memiliki kewenangan keagamaan (Hindu) seperti Kabuyutan Galunggung atau Kabataraan Galunggung.
Kabuyutan adalah suatu tempat atau kawasan yang dianggap suci dan biasanya terletak di lokasi yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya, biasanya di bekas daerah Kabuyutan juga ditemukan situs-situs megalitik (batu-batuan purba) peninggalan masa prasejarah.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang uraian di atas maka kami akan mengambil judul Tujuh Unsur Kebudayaan Kampung Panjalu Ciamis Jawa Barat.


B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sistem religi dan kepercayaan kampung panjalu ?
2.      Bagaimana sistem sosial dan organisasi kemasyarakatan kampung panjalu?
3.      Bagaimana sistem  ilmu pengetahuan kampung panjalu ?
4.      Bahasa apa yang digunakan kampung panjalu ?
5.      Apa saja kesenian kampung panjalu ?
6.      Apa mata pencaharian kampung panjalu ?
7.      Bagaimana system teknologi peralatan yang digunakan kampung panjalu ?


C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui Bagaimana sistem religi dan kepercayaan kampung panjalu
2.      Untuk mengetahui bagaimana sistem sosial dan organisasi kemasyarakatan kampung panjalu
3.      Untuk mengetahui bagaimana sistem  ilmu pengetahuan kampung panjalu
4.      Untuk mengetahui bahasa apa yang digunakan kampung panjalu
5.      Untuk mengetahui apa saja kesenian kampung panjalu
6.      Untuk mengetahui apa mata pencaharian kampung panjalu
7.      Untuk mengetahui bagaimana system teknologi peralatan yang digunakan kampung panjalu.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kampung Panjalu
Kampung Panjalu merupakan sebuah daerah yang berlokasi di kecamatan Panjalu Kabupaten Ciamis yang menurut sejarah dahulu kala terdapat sebuah kerajaan di daerah tersebut yang disebut dengan kerajaan Panjalu. Kebudayaan dan kesenian daerah ini masih melekat kental pada masyarakatnya dan masih dilakukan upacara adat tradisional. Masyarakat kampung Panjalu berbahasa sunda dan mayoritas bekerja sebagai petani.
Merupakan sebuah daerah yang berlokasi di kecamatan Panjalu Kabupaten Ciamis yang menurut sejarah dahulu kala terdapat sebuah kerajaan yang disebut kerajaan Panjalu. Panjalu adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu yang berada di kaki Gunung Sawal (1764 m dpl) Jawa Barat. Posisi Panjalu dikelilingi oleh benteng alamiah berupa rangkaian pegunungan , dari sebelah selatan dan timur berdiri kokoh Gunung Sawal yang memisahkannya dengan wilayah Galuh, bagian baratnya dibentengi oleh Gunung Cakrabuana yang dahulu menjadi batas dengan Kerajaan Sumedang Larang dan di sebelah utaranya memanjang Gunung Bitung yang menjadi batas Kabupaten Ciamis dengan Majalengka yang dahulu merupakan batas Panjalu dengan Kerajaan Talaga.

B.     Sistem Religi Dan Kepercayaan
Menurut tradisi setempat, Prabu Sanghyang Borosngora adalah penyebar Islam pertama di Panjalu. Dialah yang telah meletakkan dasar  untuk pengembangan agama Islam disana. Selanjutnya diteruskan oleh anak dan keturunannya. Penyebaran Islam di Panjalu tergolong cepat karena didukung oleh para mubaligh-mubaligh dari luar Panjalu. Menurut R.H Atong Tjakradinata, sesepuh adat Panjalu, ajaran Islam dengan mudah diterima oleh masyarakat Panjalu karena ajaran Islam mencakup persoalan ketuhanan, kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan sesame manusia, dan dengan alam.
Proses pengembangan Islam di desa Panjalu menurut bapak R.H Atong melalui empat tahap. Pertama, tahap perkenalan agama Islam kepada penduduk setempat. Tahap pertama ini tentu dimulai oleh Prabu Sanghyang Borosngora setelah berguru ke Mekkah. Sejak itu, dia memperkenalkan ajaran Islam dengan mengajak orang satu persatu. Kedua, tahap penyiaran Islam secara masal dan terbuka kepada masyarakat. Setelah Prabu Borosngora mempunyai beberapa pengikut, beliau mengadakan tabligh dan pertemuan-pertemuan untuk memperdalam dan memperluas jangkauan dakwahnya. Ketiga, memperbesar pengaruh Islam kedalam berbagai aspek kehidupan dan berupaya mengurangi pengaruh ajaran agama sebelumnya. Di samping itu Prabu Borosngora memperlihatkan ilmu-ilmu yang bersumber dari Islam yang dapat mempertunjukkan kesaktiannya. Keempat, membina dan memperkokoh persatuan dan kesatuan masyarakat Islam.
Kepercayaan maung panjalu, menurut Babad Panjalu kisah Maung Panjalu berawal dari Dewi Sucilarang puteri Prabu Siliwangi yang dinikahi Pangeran Gajah Wulung putera mahkota Raja Majaphit Prabu Brawijaya yang diboyong ke Keraton Majapahit. Dalam kisah-kisah tradisional Sunda nama Raja-raja Pajajaran (Sunda) disebut secara umum sebagai Prabu Siliwangi sedangkan nama Raja-raja Majapahit disebut sebagai Prabu Brawijaya.

C.    Kisah Maung Panjalu
Ketika Dewi Sucilarang telah mengandung dan usia kandungannya semakin mendekati persalinan, ia meminta agar dapat melahirkan di tanah kelahirannya di Pajajaran, sang pangeran mau tidak mau harus menyetujui permintaan isterinya itu dan diantarkanlah rombongan puteri kerajaan Pajajaran itu ke kampung halamannya disertai pengawalan tentara kerajaan.
Suatu ketika iring-iringan tiba di kawasan hutan belantara Panumbangan yang masuk ke dalam wilayah Kerajaan Panjalu dan berhenti untuk beristirahat mendirikan tenda-tenda. Di tengah gelapnya malam tanpa diduga sang puteri melahirkan dua orang putera-puteri kembar, yang lelaki kemudian diberi nama Bongbang Larang sedangkan yang perempuan diberi nama Bongbang Kancana. Ari-ari kedua bayi itu disimpan dalam sebuah pendil (wadah terbuat dari tanah liat) dan diletakkan di atas sebuah batu besar.
Kedua bocah kembar itu tumbuh menuju remaja di lingkungan Keraton Pakwan Pajajaran. Satu hal yang menjadi keinginan mereka adalah mengenal dan menemui sang ayah di Majapahit, begitu kuatnya keinginan itu sehingga Bongbang Larang dan Bongbang Kancana sepakat untuk minggat, pergi secara diam-diam menemui ayah mereka di Majapahit.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh mereka tiba dan beristirahat di belantara kaki Gunung Sawal, Bongbang Larang dan Bongbang Kancana yang kehausan mencari sumber air di sekitar tempat itu dan menemukan sebuah pendil berisi air di atas sebuah batu besar yang sebenarnya adalah bekas wadah ari-ari mereka sendiri.
Bongbang Larang yang tak sabar langsung menenggak isi pendil itu dengan lahap sehingga kepalanya masuk dan tersangkut di dalam pendil seukuran kepalanya itu. Sang adik yang kebingungan kemudian menuntun Bongbang Larang mencari seseorang yang bisa melepaskan pendil itu dari kepala kakaknya. Berjalan terus kearah timur akhirnya mereka bertemu seorang kakek bernama Aki Ganjar, sayang sekali kakek itu tidak kuasa menolong Bongbang Larang, ia kemudian menyarankan agar kedua remaja ini menemui Aki Garahang di pondoknya arah ke utara.
Aki Garahang yang ternyata adalah seorang pendeta bergelar Pendita Gunawisesa Wiku Trenggana itu lalu memecahkan pendil dengan sebuah kujang sehingga terbelah menjadi dua (kujang milik sang pendeta ini sampai sekarang masih tersimpan di Pasucian Bumi Alit). Karena karomah atau kesaktian sang pendeta, maka pendil yang terbelah dua itu yang sebelah membentuk menjadi selokan Cipangbuangan, sedangkan sebelah lainnya menjadi kulah (kolam mata air) bernama Pangbuangan.
Sebagai tanda terima kasih, kedua remaja itu kemudian mengabdi kepada Aki Garahang di padepokannya, sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke Majapahit. Suatu ketika sang pendeta bepergian untuk suatu keperluan dan menitipkan padepokannya kepada Bongbang Larang dan Bongbang Kancana dan berpesan agar tidak mendekati kulah yang berada tidak jauh dari padepokan.
Kedua remaja yang penuh rasa ingin tahu itu tak bisa menahan diri untuk mendatangi kulah terlarang yang ternyata berair jernih, penuh dengan ikan berwarna-warni. Bongbang Larang segera saja menceburkan diri kedalam kulah itu sementara sang adik hanya membasuh kedua tangan dan wajah sambil merendamkan kedua kakinya.
Betapa terkejutnya sang adik ketika Bongbang Larang naik ke darat ternyata wajah dan seluruh tubuhnya telah ditumbuhi bulu seperti seekor harimau loreng. Tak kalah kagetnya ketika Bongbang Kancana bercermin ke permukaan air dan ternyata wajahnya pun telah berubah seperti harimau sehingga tak sadar menceburkan diri kedalam kulah. Keduanyapun kini berubah menjadi dua ekor harimau kembar jantan dan betina.
Hampir saja kedua harimau itu akan dibunuh oleh Aki Garahang karena dikira telah memangsa Bongbang Larang dan Bongbang Kancana. Namun ketika mengetahui kedua harimau itu adalah jelmaan dua putera-puteri kerajaan Pajajaran yang menjaga padepokannya sang Pendeta tidak bisa berbuat apa-apa. Ia berpendapat bahwa kejadian itu sudah menjadi kehendak Yang Mahakuasa, ia berpesan agar kedua harimau itu tidak mengganggu hewan peliharaan orang Panjalu, apalagi kalau mengganggu orang Panjalu maka mereka akan mendapat kutukan darinya.
Kedua harimau jejadian itu berjalan tak tentu arah hingga tiba di Cipanjalu, tempat itu adalah kebun milik Kaprabon Panjalu yang ditanami aneka sayuran dan buah-buahan. Di bagian hilirnya terdapat pancuran tempat pemandian keluarga Kerajaan Panjalu. Kedua harimau itu tak sengaja terjerat oleh sulur-sulur tanaman paria oyong (sayuran sejenis terong-terongan) lalu jatuh terjerembab kedalam gawul (saluran air tertutup terbuat dari batang pohon nira yang dilubangi) sehingga aliran air ke pemandian itu tersumbat oleh tubuh mereka.
Prabu Sanghyang Cakradewa terheran-heran ketika melihat air pancuran di pemandiannya tidak mengeluarkan air, ia sangat terkejut manakala diperiksa ternyata pancurannya tersumbat oleh dua ekor harimau. Hampir saja kedua harimau itu dibunuhnya karena khawatir membahayakan masyarakat, tapi ketika mengetahui bahwa kedua harimau itu adalah jelmaan putera-puteri Kerajaan Pajajaran, sang Prabu menjadi jatuh iba dan menyelamatkan mereka dari himpitan saluran air itu.
Sebagai tanda terima kasih kedua harimau itu bersumpah dihadapan Prabu Sanghyang Cakradewa bahwa mereka tidak akan mengganggu orang Panjalu dan keturunannya, bahkan bila diperlukan mereka bersedia datang membantu orang Panjalu yang berada dalam kesulitan. Kecuali orang Panjalu yang meminum air dengan cara menenggak langsung dari tempat air minum (teko, ceret, dsb), orang Panjalu yang menanam atau memakan paria oyong, orang Panjalu yang membuat gawul (saluran air tertutup), maka orang-orang itu berhak menjadi mangsa harimau jejadian tersebut.
Selanjutnya kedua harimau kembar itu melanjutkan perjalanan hingga tiba di Keraton Majapahit dan ternyata setibanya di Majapahit sang ayah telah bertahta sebagai Raja Majapahit. Sang Prabu sangat terharu dengan kisah perjalanan kedua putera-puteri kembarnya, ia kemudian memerintahkan Bongbang Larang untuk menetap dan menjadi penjaga di Keraton Pajajaran, sedangkan Bongbang Kancana diberi tugas untuk menjaga Keraton Majapahit.
Pada waktu-waktu tertentu kedua saudara kembar ini diperkenankan untuk saling menjenguk. Maka menurut kepercayaan leluhur Panjalu, kedua harimau itu selalu berkeliaran untuk saling menjenguk pada setiap bulan Maulud.

D.    Sistem Kemasyarakatan Kampung Panjalu
1.      Sosial Dan Organisasi Masyarakat
Organisasi masyarakat yang terdapat di kampung Panjalu adalah karang taruna adalah lembaga kemasyarakatan yang merupakan wadah pengembangan generasi muda yang tumbuh dan berkembang atas dasar kesadaran dan rasa tanggung jawab social dari, oleh dan untuk masyarakat terutama generasi muda di wilayah desa terutama bergerak dibidang usaga kesejahteraan social, yang secara fungsional dibina dan dikembangkan oleh departemen sosial.

2.      Sistem Ilmu Pengetahuan
Melihat dari tradisi nyangku yang rutin dilakukan kampung adat panjalu, warga panjalu masih menganut sistem ilmu pengetahuan yang masih sangat taat terhadap para leluhur dulu. Salah satu kegiatan dalam tradisi nyangu adalah membersihkan pusaka peninggalan kerajaan panjalu. Hal ini dimaksudkan sebagai penghormatan yang diawali dengan ziarah ke makam Prabu Hariang Kencana, seorang raja Panjalu atau disebut Pangeran Bongosngora yang dimakamkan di Situ Lengkong di Desa Panjalu. Pihak penyelenggara juga menerangkan bahwa penyucian tersebut merupakan amanat raja panjalu agar masyarakat Panjalu maupun ketutunan raja diberikan berkah dan ampunan oleh Allah SWT.

3.      Sistem Bahasa
Warga Kampung Adat Panjalu sebagai besar bahkan hampir semua menggunakan Bahasa Sunda sebagai bahasa yang sehari-hari. Warga keturunan panjalu juga dikenal sebagai perantau sukses yang merantau ke seluruh penjuru Indonesia, hal itu juga mempengaruhi terhadap bahasa yang digunakan sehingga ada beberapa warga yang menggunakan bahasa selain bahasa sunda, seperti bahasa jawa. Bahasa Jawa yang digunakan oleh warga ciamis khususnya warga Kampung Adat Panjalu juga bukan hanya faktor perantau, tetapi berdasarkan letak geografis Kabupaten Ciamis terletak berbatasan dengan Jawa Tengah yaitu Kabupaten Cilacap, oleh karena itu Bahasa Jawa juga tak jarang digunakan di Kampung Adat Panjalu.

4.      Sistem Kesenian
Kesenian gembyungan merupakan kesenian yang dilibatkan dalam upacara nyangku. Nyangku merupakan upacara pembersihan benda-benda pusaka peninggalan leluhur Panjalu yang berjuang dalam penyebaran agama Islam. Seperti pendapat Sukardja (2001:11) bahwa upacara adat sakral nyangku adalah upacara membersihkan benda benda pusaka peninggalan para leluhur Panjalu.
Upacara ini biasanya diperingati setiap hari Senin atau Kamis terakhir di bulan Mulud. Masyarakat Panjalu mempercayai bahwa bulan Mulud merupakan bulan yang suci dan terkait dengan bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Seni gembyungan difungsikan karena kesenian ini bernafaskan Islam, hal ini dapat dilihat dari teks bacaan yang digunakannya yang berasal dari teks Al Barjanzi.
Kesenian gembyungan ini mempunyai pemain yang berasal dari garis keturunan Prabu Hariang Kuning dan hanya merekalah yang berhak memainkannya. Seni gembyungan ini biasanya dimainkan oleh 11 orang pemain inti dan 3 orang pemain cadangan,serta satu orang berperan sebagai biskal atau pembaca shalawat, dan pemain lainnya berperan sebagai saurna. Kesenian gembyungan ini termasuk ke dalam musik ansambel. Hal ini karena kesenian gembyungan merupakan kelompok musik yang terdiri dari beberapa pemain yang memiankan beberapa instrumen. Menurut Banoe dalam Husna (2012:18) menyatakan bahwa ansambel adalah kelompok musik dalam satuan kecil atau permainan bersama dalam satuan kecil alat musik.
Menurut Husna(2012) musik ansambel terdiri dari beberapa jenis ansambel sebagai berikut: 1. Ansambel Instrumen: yaitu kelompok musik yang terdiri dari permainan alat- alat musik, baik sejenis maupun campuran. 2. Ansambel Vokal: yaitu kelompok suara manusia yang terdiri dari jenis suara sopran, alto, tenor, dan bass. 3. Ansambel Campuran: yaitu kelompok musik yang terdiri dari vokal dan alat musik.  Berdasarkan pendapat diatas, kesenian gembyungan termasuk kelompok musik ansambel campuran, karena didalamnya terdapat vokal dan beberapa instrumen tepuk. Instrumen yang digunakan dalam seni gembyungan merupakan instrumen membranofon. Membranofon adalah kelompok alat musik yang sumber bunyinya dari getaran selaput kulit yang dipasang pada bingkai kayu atau tabung.
Seperti menurut Supanggah (2002:19) bahwa kelompok alat musik Kesenian Gembyungan pada Upacara Nyangku selaput kulit adalah instrumen musik yang suaranya bersumber dari getaran kulit yang dibentang pada suatu bingkai atau frame, (dari berbagai macam bentuk dan bahan, biasanya kayu) dengan cara dipukul, baik dengan menggunakan tangan telanjang maupun alat pemukul. Adapun instrumen kesenian gembyungan di Desa Kertamandala antara lain, dog-dog, satu buah instrumen jidor, satu buah instrumen gembyung tojo, satu buah instrumen gembyung kempyang, dan lima buah instrumen gembyung indung.  
Hal ini sependapat dengan Jaya (2010:20) yang menyatakan bahwa waditra yang terdapat dalam kesenian gembyungan umumnya  terdiri dari empat jenis terebang yaitu: terebang tilingting, terebang bangsing, terebang kempring, dan terebang tojo, adapun instrumen lainnya yaitu dog dog dan jidor. Kesenian ini biasa disajikan di upacara-upacara kebudayaan masyarakat, khususnya yang bersifat Islami, seperti diungkapkan Rosidi dalam Jaya (2010:19) bahwa gembyung adalah seni pertunjukan yang menggunakan terebang besar dimainkan untuk memeriahkan upacara Maulid Nabi Muhammad SAW maupun untuk keperluan lain.
Hal ini diperkuat oleh Supanggah (2002:20) bahwa kesenian yang mayoritas mengguanakan alat musik selaput kulit ini sering dan sangat erat diasosiasikan dengan dunia Islam dan atau keprajuritan atau kemiliteran India Belanda. Adapun pendapat menurut salah satu artikel di website sundanet.com yang dikutip oleh Jaya (2011) menyebutkan bahwa salah satu kesenian keagamaan peninggalan para budaya Islam adalah seni gembyung. Seni gembyung ini merupakan pengembangan dari kesenian terebang yang hidup di lingkungan pesantren, konon kesenian gembyung itu dijadikan sebagai media penyebaran agama Islam.
Dari pernyataan-pernyataan tadi dapat ditarik kesimpulan bahwa kesenian gembyungan identik dengan perayaan-perayaan atau upacara-upacara keagamaan khususnya Agama Islam. Gembyungan merupakan kesenian yang mengandung unsur ritmis dan melodis. Unsur ritmis terdapat pada instrumen tepuk/pukul yang dibunyikan secara interloking. Adapun unsur melodis yaitu pada vokal yang dilantunkan secara biskal (bernyanyi sendiri) dan saurna(bernyanyi bersama). Unsur ritmik pada gembyungan tampak variatif (berbeda) dan khas yang ditimbulkan dari variasi tepukan gembyungan tersebut.
Kampung ini sangat terkenal dengan upacara adat Nyangku yang digelar untuk mengingat jasa dan perjuangan para leluhur, yaitu Prabu Sanghiang Boros Ngora. Dia adalah salah seorang Raja Panjalu yang cukup terkenal. Sebelum menjadi raja, Prabu Boros Ngora sempat ke Mekah untuk berguru mengenai ilmu-ilmu keislaman. Konon, disana dia langsung berguru dengan Sayidina Ali, sahabat Rasulullah saw. Seusai berguru, Prabu Boros Ngora diberi cendera mata berupa pedang, cis (jubah) dan air zamzam. Sepulangnya dari Mekah, barulah Prabu Boros Ngora diangkat menjadi Raja Panjalu.
Hingga sekarang upacara adat Ngangku masih dilakukan oleh masyarakat Panjalu, yaitu ritus membersihkan benda pusaka yang disimpan di Pasucian Bumi Alit. Bumi Alit dulu hanya berupa bangunan kecil yang dibangun dari bambu, kayu, dan atap injuk. Pada tahun 1955 diadakan pemugaran yang menjadikan Bumi Ait berbeda dan lebih kelihatan modern.

5.      Sistem Pola Mata Pencaharian Hidup
Mata pencaharian di kampung panjalu adalah nelayan tepatnya disitu panjalu, Beberapa jenis ikan terdapat di Situ Panjalu antara lain Oskar (Amphilopus citrinellus), Keril (Aequidens rivulatus), Patin (Pangasiodon hypophthalmus), Nila (Oreochromus niloticus), Betok (Anabas testudineus), Lele (Clarias batrachus) dan Kongo (Parachromis managuensis)dengan jenis ikan yang dominan berdasarkan jumlah individu adalah nila (10 %) dan oscar (70 %) Hasil yang sama juga diperoleh dengan perhitungan menggunakan indeks relatif penting dimana ikan nila (29,82%) dan oskar (59,08%) merupakan ikan yang dominan tertangkap. Ada juga yang bekerja sebagai pengrajin benda-benda pusaka dibawah organisasi KAI, KAI melestarikan budaya tradisional lewat keterampilannya membuat pernak-pernik yang berbentuk benda-benda pusaka.KAI menyulap limbah kayu menjadi suatu barang yang berharga dan bermakna.Salah satu dari hasil karyanya adalah kujang yang terbuat dari limbah kayu.
Dari hasil karyanya ada yang dipamerkan di acara Nyangku.Bermacam bentuk mulai dari gantungan kunci,hiasan dinding,hiasan meja,dan lain sebagainya.Bukan hanya itu KAI juga memamerkan pakaian adat sunda dan kaos yang bermotif khas sunda.Pemerintah Panjalu berharap hasil karya para pemuda ini bisa menembus pasar Nasional dan Internasional.

6.      Sistem Teknologi Peralatan
Dalam hal pengembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), saat ini Desa Panjalu telah mempunyai website resmi yakni www.panjalu.desa.id yang sejak saat ini akan digunakan secara resmi oleh Pemerintah Desa Panjalu misalnya dalam kop surat, alamat desa dan lain-lain. Desa Panjalu sangat mendukung pengembangan TIK menjadi bagian penting dalam peningkatan pelayanan publik, sehingga demikian seluruh informasi desa dapat diakses dan diketahui seluruhnya oleh masyarakat Panjalu dan umum lainnya.
  
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Kampung panjalu menganut agama islam dan masih mempercayai mitos-mitos dari leluhurnya, seperti mitos maung panjalu
2.      Kampung panjalu adalah kampung yang mempunyai organisasi pemerintahan dan mempunyai organisasi masyarakat seperti karang taruna
3.      Melihat dari tradisi nyangku yang rutin dilakukan kampung adat panjalu, warga panjalu masih menganut sistem ilmu pengetahuan yang masih sangat taat terhadap para leluhur dulu
4.      Warga Kampung Adat Panjalu sebagai besar bahkan hampir semua menggunakan Bahasa Sunda
5.      Salah satu kesenian yang di jaga tradisinya adalah kesenian gembyungan
6.      Mata pencaharian kampung panjalu adalah mencari ikan dan membuat benda-benda pusaka
7.      Kampung panjalu sudah mempunyai system teknologi yang modern.

B.     Saran
Dalam rangka meningkatkan dan mengangkat budaya daerah diantaranya budaya kampung Panjalu hendaklah pemerintah memperhatikan keberadaan budaya di daerah tersebut dengan memperkenalkan dalam pertunjukan nasional baik seni ataupun potensi yang lainnya sebagai aneka ragam budaya Indonesia yang di kenal di manca Negara dan salah satu pengahsil devisa Negara.



DAFTAR PUSTAKA


https://sites.google.com/site/spidijawabarat/. Diakses : 20 Maret 2013
Kurniasandi, Lusi. 2013. Latar Belakang Kerajaan Panjalu Ciamis Jawa Barat. http://salusta.wordpress.com. Diakses : 20 Maret 2013
Panjalu, Aji. 2013. Perdes Lembaga Kemasyarakatan Desa Panjalu. http://www.slideshare.net. Diakses : 20 Maret 2013
Sukma, Raxena. tt. Mitos Maung Panjalu. http://raxenasukma.blogspot.com. Diakses : 20 Maret 2013
Widyantoro, Dodi. 2013. Karya KAI Komunitas Anak Ibu. http://keniten.my.id. Diakses : 20 Maret 2013

No comments:

Pencarian isi Blog