Pencarian

Monday, February 29, 2016

Makalah Gedung Sate Bandung



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Gedung Sate di Bandung menuai banyak pujian dari banyak kalangan. Rata-rata pujiannya berisi tentang betapa mempesonanya gedung yang memiliki gaya arsitektur lain dari yang lain ini, hingga menyebut gaya tersebut sebagai Indo Europeeschen architectuur stijl (gaya arsitektur Indo-Eropa). D. Ruhl juga menuliskan bahwa menurutnya Gedung Sate adalah gedung dengan gaya arsitektur yang paling indah di Indonesia. Tulisannya ini bisa ditemui pada buku dengan judul Bandoeng en haar Hoogvlakte yang diterbitkan pada tahun 1952. Pendapat lain muncul dari dua arsitek terkenal Belanda yaitu Cor Pashier dan Jam Wittenberg, dimana menurut mereka Gedung Sate adalah hasil eksperimen penggabungan dua gaya arsitektur yaitu Indonesia dan Eropa.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Sejarah Berdirinya Gedung Sate di Bandung ?
2.      Bagaimana Perjalanan Sejarah Gedung Sate Dari Zaman Belanda ?
3.      Bagaimana Sejarah Berdirinya Gedung Sate di Bandung ?


C.    Tujuan
1.      Mengetahui latar belakang berdirinya gedug sate !
2.      Mengetahui perjalanan gedung sate dari zaman belanda !
3.      Mengetahui berdidrinya gedung sate di bandung !



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Berdirinya Gedung Sate di Bandung
Sejarah berdirinya Gedung Sate di Bandung terjadi sebelum 27 Juli 1920, dimana gedung yang dulu memiliki nama Gouvernemens Bedrijven (GB) ini selesai dirancang cetak birunya oleh sebuah tim yang beranggotakan Ir. J. Gerber, Ir. G. Hendriks, dan Ir. Eh. De Roo. Rancangan cetak biru gedung GB ini juga melibatkan Gementee (walikota) Bandung yang pada masa itu dengan Kol.Pur. VL. Slors sebagai ketua mereka. Untuk membangun gedung GB ini dibutuhkan 2.000 orang pekerja, dimana 150 diantaranya merupakan orang Tiongkok dan bertugas sebagai pengukir kayu atau pemahat batu. Dari sisa 1.850 pekerja, hampir seluruhnya pernah memiliki pengalaman membangun gedung penting karena mereka pernah bekerja dalam pembangunan Gedong Sirap (ITB) dan Gedong Papak.

Description: Sejarah Berdirinya Gedung Sate Di Bandung





B.     Perjalanan Sejarah Gedung Sate Dari Zaman Belanda
Sejarah berdirinya Gedung Sate di Bandung mulai tercatat ketika batu pertama diletakkan pada tanggal 27 Juli 1920. Peletakkan batu pertama ini dilakukan oleh Johanna Catherina Coops, putri sulung dari Walikota Bandung saat itu, B. Coops, bersama dengan Petronella Roelefsen yang menjadi wakil Gubernur Jendral J.P Graaf Van Limburg Stirum. Pembangunan gedung yang bertujuan untuk dijadikan pusat pemerintahan Belanda ini memilih kota Bandung sebagai ibu kota karena menurut mereka, iklim kota Bandung pada masa itu mirip dengan iklim yang ada di Perancis Selatan kala musim panas tiba.
Selama proses pembuatan dan penyelesaiannya, Gedung Sate di Bandung menuai banyak pujian dari banyak kalangan. Rata-rata pujiannya berisi tentang betapa mempesonanya gedung yang memiliki gaya arsitektur lain dari yang lain ini, hingga menyebut gaya tersebut sebagai Indo Europeeschen architectuur stijl (gaya arsitektur Indo-Eropa). D. Ruhl juga menuliskan bahwa menurutnya Gedung Sate adalah gedung dengan gaya arsitektur yang paling indah di Indonesia. Tulisannya ini bisa ditemui pada buku dengan judul Bandoeng en haar Hoogvlakte yang diterbitkan pada tahun 1952. Pendapat lain muncul dari dua arsitek terkenal Belanda yaitu Cor Pashier dan Jam Wittenberg, dimana menurut mereka Gedung Sate adalah hasil eksperimen penggabungan dua gaya arsitektur yaitu Indonesia dan Eropa.
Dalam rancangan cetak biru GB, Gerber menyatukan beberapa gaya arsitektur, seperti misalnya pada jendela, tema yang digunakan adalah Moor Spanyol. Gaya yang berbeda digunakan untuk bangunan secara keseluruhan yang bergaya Rennaisance Italia. Untuk menaranya sendiri, Gerber memilih gaya Asia, terutama gaya atap pura yang ada di Bali dan pagoda yang ada di Thailand. Dilihat pada atap GB, puncaknya dihiasi dengan “tusuk sate” yang memiliki 6 buah benda bulat. Terjadi perdebatan tentang benda ini, dimana ada versi yang mengatakan bahwa benda tersebut adalah sate, jambu air, atau bahkan melati yang berjumlah 6 buah. Jumlah benda tersebut adalah representasi dari biaya pembangunan gedung megah itu, yaitu 6 juta gulden.


C.    Sejarah Berdirinya Gedung Sate di Bandung
4 tahun adalah waktu yang dibutuhkan oleh tim beranggotakan 2.000 orang itu untuk menyelesaikan GB, tepatnya pada bulan September 1942. Ketika selesai, bagian gedung yang termasuk di dalamnya adalah bangunan utama GB itu sendiri yang di dalamnya terdapat kantor pusat pos, Perpustakaan (PTT), serta telepon dan telegraf. Ternyata, kemegahan dan keunikan yang disajikan oleh Gedung Sate ini tidak dikerjakan oleh Ir. J. Gerber sendirian, karena ia mendapatkan banyak masukan dari maestro Belanda dalam bidang seni arsitektur, yaitu Dr. Hendrik Petrus Berlage. Berlage menyarankan Gerber bahwa ia harus memasukkan sedikit nuansa tradisional Indonesia dalam gedung yang akan ia buat di daerah Indonesia tersebut.
Selama proses pembuatan dan penyelesaiannya, Gedung Sate di Bandung menuai banyak pujian dari banyak kalangan. Rata-rata pujiannya berisi tentang betapa mempesonanya gedung yang memiliki gaya arsitektur lain dari yang lain ini, hingga menyebut gaya tersebut sebagai Indo Europeeschen architectuur stijl (gaya arsitektur Indo-Eropa). D. Ruhl juga menuliskan bahwa menurutnya Gedung Sate adalah gedung dengan gaya arsitektur yang paling indah di Indonesia. Tulisannya ini bisa ditemui pada buku dengan judul Bandoeng en haar Hoogvlakte yang diterbitkan pada tahun 1952. Pendapat lain muncul dari dua arsitek terkenal Belanda yaitu Cor Pashier dan Jam Wittenberg, dimana menurut mereka Gedung Sate adalah hasil eksperimen penggabungan dua gaya arsitektur yaitu Indonesia dan Eropa.
Dalam rancangan cetak biru GB, Gerber menyatukan beberapa gaya arsitektur, seperti misalnya pada jendela, tema yang digunakan adalah Moor Spanyol. Gaya yang berbeda digunakan untuk bangunan secara keseluruhan yang bergaya Rennaisance Italia. Untuk menaranya sendiri, Gerber memilih gaya Asia, terutama gaya atap pura yang ada di Bali dan pagoda yang ada di Thailand. Dilihat pada atap GB, puncaknya dihiasi dengan “tusuk sate” yang memiliki 6 buah benda bulat. Terjadi perdebatan tentang benda ini, dimana ada versi yang mengatakan bahwa benda tersebut adalah sate, jambu air, atau bahkan melati yang berjumlah 6 buah. Jumlah benda tersebut adalah representasi dari biaya pembangunan gedung megah itu, yaitu 6 juta gulden.
Awal sejarah berdirinya Gedung Sate di Bandung dibangun agar bisa menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda, tepat setelah Batavia dinilai tidak lagi pantas menjadi ibu kota karena perkembangannya. Pengguna awal gedung ini ditargetkan adalah Departemen Lalu Lintas dan Pekerjaan Umum. Namun dialih fungsikan sehingga hanya Jawatan Pekerjaan Umum yang menggunakan gedung ini. Pada tanggal 3 Desember 1945, terjadi peristiwa berdarah dimana peristiwa tersebut merenggut nyawa 7 orang pemuda yang mempertaruhkan nyawa mereka untuk mempertahankan gedung yang indah tersebut dari pasukan-pasukan Gurkha yang berusaha menyerang. Demi mengenang ke-7 orang pemuda yang dengan gagah berani menggadaikan nyawa, dibuatlah sebuah tugu peringatan dengan batu sebagai bahannya dan diletakkan di bagian belakang halaman Gedung Sate. Tugu ini kemudian dipindahkan pada 3 Desember 1970 atas perintah dari Menteri Pekerjaan Umum.
Pada tahun 1980, GB kemudian lebih dikenal dengan nama Kantor Gubernur. Hal ini masuk akal karena gedung ini kemudian menjadi pusat aktivitas dari pemerintahan yang ada di Provinsi Jawa Barat. Sebelumnya, pusat pemerintahan di Jawa Barat terletak di Gedung Kerta Mukti yang ada di Jalan Braga, Bandung. Ruang kerja bagi Gubernur terpilih terdapat di lantai 2. Di lantai tersebut, juga terdapat ruangan bagi para Wakil Gubernur, Asisten Biro, dan Sekretaris Daerah.
Kesempurnaan GB sendiri semakin memesona ketika gedung baru yang “menyontek” gaya arsitektur Gedung Sate dengan sedikit sentuhan asli buah karya Ir. Sudibyo dibangun pada tahun 1977. Gedung baru yang menambahkan daftar cerita dalam sejarah berdirinya Gedung Sate di Bandung ini diperuntukkan khusus bagi para Anggota DPRD provinsi Jawa Barat ketika mereka harus melaksanakan tugas mereka sebagai penyampai aspirasi masyarakat daerah yang mereka ayomi. Gedung ini juga kini menjadi objek wisata kota karena beberapa dari mereka mengaku memiliki ikatan emosi maupun sejarah dengan gedung yang dibuat pada masa kolonial Belanda tersebut.

D.    Ciri Khas Gedung Sate
Gedung Sate, dengan ciri khasnya berupa ornamen tusuk sate pada menara sentralnya, telah lama menjadi penanda atau markah tanah Kota Bandung yang tidak saja dikenal masyarakat di Jawa Barat, namun juga seluruh Indonesia bahkan model bangunan itu dijadikan pertanda bagi beberapa bangunan dan tanda-tanda kota di Jawa Barat. Misalnya bentuk gedung bagian depan Stasiun Kereta Api Tasikmalaya. Mulai dibangun tahun 1920, gedung berwarna putih ini masih berdiri kokoh namun anggun dan kini berfungsi sebagai gedung pusat pemerintahan Jawa Barat.
Gedung Sate yang pada masa Hindia Belanda itu disebut Gouvernements Bedrijven (GB), peletakan batu pertama dilakukan oleh Johanna Catherina Coops, puteri sulung Walikota Bandung, B. Coops dan Petronella Roelofsen, mewakili Gubernur Jenderal di Batavia, J.P. Graaf van Limburg Stirum pada tanggal 27 Juli 1920, merupakan hasil perencanaan sebuah tim yang terdiri dari Ir.J.Gerber, arsitek muda kenamaan lulusan Fakultas Teknik Delft Nederland, Ir. Eh. De Roo dan Ir. G. Hendriks serta pihak Gemeente van Bandoeng, diketuai Kol. Pur. VL. Slors dengan melibatkan 2000 pekerja, 150 orang diantaranya pemahat, atau ahli bongpay pengukir batu nisan dan pengukir kayu berkebangsaan Cina yang berasal dari Konghu atau Kanton, dibantu tukang batu, kuli aduk dan peladen yang berasal dari penduduk Kampung Sekeloa, Kampung Coblong Dago, Kampung Gandok dan Kampung Cibarengkok, yang sebelumnya mereka menggarap Gedong Sirap (Kampus ITB) dan Gedong Papak (Balai Kota Bandung).
Selama kurun waktu 4 tahun pada bulan September 1924 berhasil diselesaikan pembangunan induk bangunan utama Gouverments Bedrijven, termasuk kantor pusat PTT (Pos, Telepon dan Telegraf) dan Perpustakaan.
Arsitektur Gedung Sate merupakan hasil karya arsitek Ir. J.Gerber dan kelompoknya yang tidak terlepas dari masukan maestro arsitek Belanda Dr.Hendrik Petrus Berlage, yang bernuansakan wajah arsitektur tradisional Nusantara.
Banyak kalangan arsitek dan ahli bangunan menyatakan Gedung Sate adalah bangunan monumental yang anggun mempesona dengan gaya arsitektur unik mengarah kepada bentuk gaya arsitektur Indo-Eropa, (Indo Europeeschen architectuur stijl), sehingga tidak mustahil bila keanggunan Candi Borobudur ikut mewarnai Gedung Sate.
Beberapa pendapat tentang megahnya Gedung Sate diantaranya Cor Pashier dan Jan Wittenberg dua arsitek Belanda, yang mengatakan "langgam arsitektur Gedung Sate adalah gaya hasil eksperimen sang arsitek yang mengarah pada bentuk gaya arsitektur Indo-Eropa". D. Ruhl dalam bukunya Bandoeng en haar Hoogvlakte 1952, "Gedung Sate adalah bangunan terindah di Indonesia".
Ir. H.P.Berlage, sewaktu kunjungan ke Gedung Sate April 1923, menyatakan, "Gedung Sate adalah suatu karya arsitektur besar, yang berhasil memadukan langgam timur dan barat secara harmonis". Seperti halnya gaya arsitektur Italia pada masa renaiscance terutama pada bangunan sayap barat. Sedangkan menara bertingkat di tengah bangunan mirip atap meru atau pagoda. Masih banyak lagi pendapat arsitek Indonesia yang menyatakan kemegahan Gedung Sate misalnya Slamet Wirasonjaya, dan Ir. Harnyoto Kunto.
Kuat dan utuhnya Gedung Sate hingga kini, tidak terlepas dari bahan dan teknis konstruksi yang dipakai. Dinding Gedung Sate terbuat dari kepingan batu ukuran besar (1 × 1 × 2 m) yang diambil dari kawasan perbukitan batu di Bandung timur sekitar Arcamanik dan Gunung Manglayang. Konstruksi bangunan Gedung Sate menggunakan cara konvensional yang profesional dengan memperhatikan standar teknik.
Gedung Sate berdiri diatas lahan seluas 27.990,859 m², luas bangunan 10.877,734 m² terdiri dari Basement 3.039,264 m², Lantai I 4.062,553 m², teras lantai I 212,976 m², Lantai II 3.023,796 m², teras lantai II 212.976 m², menara 121 m² dan teras menara 205,169 m². Gerber sendiri memadukan beberapa aliran arsitektur ke dalam rancangannya. Untuk jendela, Gerber mengambil tema Moor Spanyol, sedangkan untuk bangunannya dalah Rennaisance Italia. Khusus untuk menara, Gerber memasukkan aliran Asia, yaitu gaya atap pura Bali atau pagoda di Thailand. Di puncaknya terdapat "tusuk sate" dengan 6 buah ornamen sate (versi lain menyebutkan jambu air atau melati), yang melambangkan 6 juta gulden - jumlah biaya yang digunakan untuk membangun Gedung Sate.
Fasade (tampak depan) Gedung Sate ternyata sangat diperhitungkan. Dengan mengikuti sumbu poros utara-selatan (yang juga diterapkan di Gedung Pakuan, yang menghadap Gunung Malabar di selatan), Gedung Sate justru sengaja dibangun menghadap Gunung Tangkuban Perahu di sebelah utara.
Dalam perjalanannya semula diperuntukkan bagi Departemen Lalulintas dan Pekerjaan Umum, bahkan menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda setelah Batavia dianggap sudah tidak memenuhi syarat sebagai pusat pemerintahan karena perkembangannya, sehingga digunakan oleh Jawatan Pekerjaan Umum. Tanggal 3 Desember 1945 terjadi peristiwa yang memakan korban tujuh orang pemuda yang mempertahankan Gedung Sate dari serangan pasukan Gurkha. Untuk mengenang ke tujuh pemuda itu, dibuatkan tugu dari batu yang diletakkan di belakang halaman Gedung Sate. Atas perintah Menteri Pekerjaan Umum pada tanggal 3 Desember 1970 Tugu tersebut dipindahkan ke halaman depan Gedung Sate.
Gedung Sate sejak tahun 1980 dikenal dengan sebutan Kantor Gubernur karena sebagai pusat kegiatan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yang sebelumnya Pemerintahaan Provinsi Jawa Barat menempati Gedung Kerta Mukti di Jalan Braga Bandung. Ruang kerja Gubernur terdapat di lantai II bersama dengan ruang kerja Wakil Gubernur, Sekretaris Daerah, Para Assisten dan Biro. Saat ini Gubernur di bantu oleh tiga Wakil Gubernur yang menangani Bidang Pemerintahan, Bidang Ekonomi dan Pembangunan, serta Bidang Kesejahteraan Rakyat, seorang Sekretaris Daerah dan Empat Asisten yaitu Asisten Ketataprajaan, Asisten Administrasi Pembangunan, Asisten Kesejahteraan Sosial dan Asisten Administrasi.
Namun tidak seluruh Asisten menempati Gedung Sate. Asisten Kesejahteraan Sosial dan Asisten Administrasi bersama staf menempati Gedung Baru. Di bagian timur dan barat terdapat dua ruang besar yang akan mengingatkan pada ruang dansa (ball room) yang sering terdapat pada bangunan masyarakat Eropa. Ruangan ini lebih sering dikenal dengan sebutan aula barat dan aula timur, sering digunakan kegiatan resmi. Di sekeliling kedua aula ini terdapat ruangan-ruangan yang ditempati beberapa Biro dengan Stafnya.
Paling atas terdapat lantai yang disebut Menara Gedung Sate, lantai ini tidak dapat dilihat dari bawah, untuk menuju ke lantai teratas menggunakan Lift atau dengan menaiki tangga kayu. Kesempurnaan megahnya Gedung Sate dilengkapi dengan Gedung Baru yang mengambil sedikit gaya arsitektur Gedung Sate namun dengan gaya konstektual hasil karya arsitek Ir.Sudibyo yang dibangun tahun 1977 diperuntukkan bagi para Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jawa Barat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai Lembaga Legislatif Daerah.
Gedung Sate telah menjadi salah satu tujuan obyek wisata di kota Bandung. Khusus wisatawan manca negara banyak dari mereka yang sengaja berkunjung karena memiliki keterkaitan emosi maupun history pada Gedung ini. Keterkaitan emosi dan history ini mungkin akan terasa lebih lengkap bila menaiki anak tangga satu per satu yang tersedia menuju menara Gedung Sate. Ada 6 tangga yang harus dilalui dengan masing-masing 10 anak tangga yang harus dinaiki.
Keindahan Gedung Sate dilengkapi dengan taman disekelilingnya yang terpelihara dengan baik, tidak heran bila taman ini diminati oleh masyarakat kota Bandung dan para wisatawan baik domestik maupun manca negara. Keindahan taman ini sering dijadikan lokasi kegiatan yang bernuansakan kekeluargaan, lokasi shooting video klip musik baik artis lokal maupun artis nasional, lokasi foto keluarga atau foto diri bahkan foto pasangan pengantin.
Khusus di hari minggu lingkungan halaman Gedung Sate dijadikan pilihan tempat sebagian besar masyarakat untuk bersantai, sekedar duduk-duduk menikmati udara segar kota Bandung atau berolahraga ringan. Membandingkan Gedung Sate dengan bangunan-bangunan pusat pemerintahan (capitol building) di banyak ibukota negara sepertinya tidak berlebihan. Persamaannya semua dibangun di tengah kompleks hijau dengan menara sentral yang megah. Terlebih dari segi letak gedung sate serta lanskapnya yang relatif mirip dengan Gedung Putih di Washington, DC, Amerika Serikat. Dapat dikatakan Gedung Sate adalah "Gedung Putih"nya kota Bandung.

E.     Kisah di balik Gedung Sate
Kisah di balik Gedung Sate, Bandung 27 Agustus 2011 17:22:50 Diperbarui: 26 Juni 2015 02:25:42 Dibaca : 1,465 Komentar : 0 Nilai : 2 Jika kita mengunjungi Gedung Sate di jl. Dipenogoro no. 22, Bandung. Kita dapat melihat sebuah tugu yang terbuat dari batu alam di halaman depan-nya. Pada batu tersebut terdapat tulisan yang berbunyi “Dalam mempertahankan Gedung Sate terhadap serangan pasukan Gurkha tanggal 3 Desember 1945, tujuh pemuda gugur dan dikubur oleh pihak musuh di halaman ini.
Bulan Agustus 1952 diketemukan jenazah Suhodo, Didi, dan Muchtarudin, yang dimakamkan kembali di Taman Makam Pahlawan Cikutra. Jenazah Rana, Subengat, Surjono, dan Susilo tetap berada di sini.” Rupanya, ada jenazah yang masih terkubur di halaman gedung tersebut. Meskipun tidak banyak orang yang mengetahuinya, kisah yang terkandung pada tugu batu tersebut tidak akan pernah hilang dari sejarah. DATANGNYA SEKUTU Kisah itu berawal setelah pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Ir. Soekarno. Saat itu, Keadaan Republik Indonesia begitu labil. Meskipun setelahnya kabinet pemerintahan telah dibentuk, insiden-insiden kecil yang menjurus kepada pertempuran melawan tentara asing kerap kali terjadi.
Terutama, setelah datangnya tentara sekutu di Republik Indonesia untuk menggantikan Jepang dan pada tanggal 4 Oktober 1945, Kota Bandung mulai dimasuki oleh tentara sekutu. Sejak saat itu, para patriot yang berada di kota Bandung harus berhadapan dengan tentara Jepang dan tentara Sekutu. Saat itu, Gedung Sate dijadikan kantor pusat Departemen Perhubungan dan Pekerjaan Umum. Tepatnya pada tanggal 20 Oktober 1945, Ir. Pangeran Noor (Menteri Muda Perhubungan dan Pekerjaan Umum saat itu) meminta para pegawai Departemen Perhubungan dan Pekerjaan Umum mengangkat sumpah setia kepada Republik Indonesia sebagai bentuk perlawanan terhadap tentara asing di Bandung. Tentunya, Gedung Sate menjadi prioritas untuk di pertahankan bagi mereka yang telah mengangkat sumpah setia-nya.
Pada tanggal 24 November 1945, Kota Bandung mulai di guncang pertempuran dan Gedung Sate mulai dikepung oleh anggota tentara sekutu yakni tentara Gurkha (tentara dari Inggris) dan NICA (Netherlands Indies Civil Administration). Suatu kelompok yang bernama Gerakan Pemuda Pekerjaan Umum mencoba untuk mempertahankan Gedung Sate dibantu oleh 40 orang dari pasukan Badan Perjuangan.
Sayangnya, Gedung tersebut hanya dipertahankan oleh 21 orang dari anggota Gerakan Pemuda Pekerjaan Umum setelah bantuan dari pasukan Badan Perjuangan ditarik kembali pada tanggal 29 November 1945. 3 DESEMBER 1945 Tanggal 3 Desember 1945, setelah diadakan pembagian tugas oleh ke-21 anggota Gerakan Pemuda PU tersebut, pada pukul 11:00 Siang WIB, Tentara Gurkha dan tentara NICA menyerbu dan mengepung Gedung Sate dari berbagai penjuru dengan persenjataan yang berat dan modern. Meskipun begitu, ke-21 anggota Gerakan Pemuda PU ini tak mau menyerah. Mereka melakukan perlawanan secara mati-matian dengan segala kekuatan untuk mempertahankan Gedung Sate. Terjadilah pertempuran yang tidak seimbang antara Gerakan Pemuda PU melawan tentara Gurkha dan NICA. Merasa tidak seimbang, Gerakan Pemuda PU membutuhkan bantuan pasukan. Karena hubungan telepon telah terputus, maka seorang pemuda bernama Didi Hardianto Kamarga diutus sebagai kurir untuk meminta pasukan bantuan. Sayangnya, sebelum tugas terlaksana, Didi Hardianto Kamargagugur terlebih dahulu.
Hingga pada akhirnya, mereka harus menghadapi pertempuran yang tidak seimbang ini. Dengan semangat yang berapi-api sebagai negara yang baru saja merdeka. Dengan persenjataan dan kekuatan seadanya, mereka berjuang mati-matian untuk menjaga Gedung Kantor yang menjadi salah satu lembaga kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia. Ikrar sumpah setia mereka kepada Republik Indonesia telah dipenuhi dengan mempertaruhkan nyawanya untuk menjaga dan mempertahankan Gedung Sate. Pada pukul 14:00 WIB, Pertempuran yang tidak seimbang tersebut berakhir dan Gedung Sate akhirnya jatuh ke tangan musuh.
Dalam pertempuran tersebut, baru diketahui dari 21 orang pemuda 7 diantaranya hilang. Satu orang luka berat dan beberapa orang lainnya luka ringan. Pada awalnya, tidak diketahui kemana 7 orang hilang tersebut. Pada bulan Agustus 1952, barulah dilakukan pencarian 7 orang pemuda yang hilang tersebut oleh suatu tim yang sebagian besar adalah mereka yang sebelumnya ikut mempertahankan Gedung Sate. Hasilnya, hanya ditemukan tiga kerangka yang diketahui sebagai jenazah Didi Hardianto Kamarga,Suhodo dan Muchtarudin yang kemudian dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung.
Ke-empat jenazah lainnya yang tidak ditemukan adalah Rio Susilo, Subengat, Rana dan Surjono. Sebagai tanda penghargaan bagi mereka yang jenazah-nya tidak ditemukan ini, dibuatlah dua tanda peringatan. Satu dipasang didalam Gedung Sate dan lainnya berupa tugu batu yang terbuat dari batu alam dengan tujuh nama mereka, yang telah gugur untuk mempertahankan Gedung Sate, tertulis disana. JIWA KORSA PEKERJAAN UMUM Tanggal 3 Desember 1951, Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga saat itu, Ir. Ukar Bratakusumah, menyatakan bahwa ketujuh pemuda pahlawan tersebut dihormati sebagai “PEMUDA YANG BERJASA”. Tanda penghargaan tersebut disampaikan kepada para keluarga mereka yang ditinggalkan. Sepuluh tahun kemudian, tertanggal 2 Desember 1961, Menteri Pertama Ir. H. Djuanda memberikan “Pernyataan Penghargaan” tertulis kepada para pemuda yang gugur. Ditetapkanlah pada setiap tanggal 3 Desember sebagai Hari Bhakti Pekerjaan Umum. Di kalangan Departemen Pekerjaan Umum, peristiwa tanggal 3 Desember 1945 tersebut dikenal sebagai “Jiwa Korsa Departemen Pekerjaan Umum”.



















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian dari makalai ini, dapat disimpulkan bahwa Gedung Sate di Bandung dibangun agar bisa menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda, tepat setelah Batavia dinilai tidak lagi pantas menjadi ibu kota karena perkembangannya. Pengguna awal gedung ini ditargetkan adalah Departemen Lalu Lintas dan Pekerjaan Umum. Namun dialih fungsikan sehingga hanya Jawatan Pekerjaan Umum yang menggunakan gedung ini. Pada tanggal 3 Desember 1945, terjadi peristiwa berdarah dimana peristiwa tersebut merenggut nyawa 7 orang pemuda yang mempertaruhkan nyawa mereka untuk mempertahankan gedung yang indah tersebut dari pasukan-pasukan Gurkha yang berusaha menyerang.

B.     Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini. Penulis banyak berharap para pembaca khususnya guru dan teman-teman untuk dapat memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca pada umumnya.





DAFTAR PUSTAKA

·         http://www.kompasiana.com

makalah kerajaan padjajaran



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kisah demi kisah dihantarkan. Satu kiisah kemudian  melapisi kisah lainnya. Kadang  menjadi sebuah kisah tersendiri, menjadi penggalan kisah yang tidak bertautan.   Tersisa nelangsa membelenggu sukma. Sementara disana disisi ruang batin, terasa  hampa rindukan pagi. Melamunkan nuansa, romansa alam dengan sinarnya yang menghangatkan. Berharap ada hantaran cahaya pencerah, yang dapat membuka hijab pemikiran. Ada sebuah kesadaran yang tertutup lapisan, seperti dimensi yang tak tembus pandang. Itu bagai benalu pemikiran yang terus menggelayuti otak kanan dan kiri. Penampakannya seperti menggumpali awan. Mengikat keseluruhan.
Dan kemudian, perlahan selanjutnya awan itu menggelap termanifestasi realitasnya, nyata  di atas langit sana,  menutupi area pemakaman wali.  Tempat jalannya prosesi. Sebagaimana berita yang disampaikan Pak Aryo, akan dinaungi mendung. Awan yang akan terus mencurahkan airnya,  menutupi laju kendaraan mereka, disepanjang perjalanannya hari itu.  Begitulah keadaan perjalanan spiritual,  sejak mulai dari kota Garut sampai kembali tiba di ke kota mati (Fatahilah), tempat awal keberangkatannya tadi. Langit seakan tengah berpesta menghamburkan isinya. Tidak ada sejengkal tanahpun yang tidak basah oleh air hujan. Seluruh jalan yang dilalui rata membasah, oleh air yang tercurah dari langit. Malam gelap keadaannya, dinginnya merasuki jiwa. Mobil yang ditumpangi seperti berkabut, membias dari balik pandangan matanya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah Kerajaan Padjajaran ?
2.      Siapa Saja Raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Padjajaran ?
3.      Bagaimana masa kejayaan dan kehancuran Kerajaan Padjajaran ?
4.      Bagaimana keadaan kehidupan Kerajaan Padjajaran ?
5.      Apa saja peninggalan Kerajaan Padjajaran ?


BAB II
PEMBAHAS


A.    Kejaraan Padjajaran
Description: Sejarah Berdirinya Gedung Sate Di BandungKerajaan Pajajaran adalah sebuah kerajaan Hindu yang diperkirakan beribukotanya di Pakuan (Bogor) di Jawa Barat. Dalam naskah-naskah kuno nusantara, kerajaan ini sering pula disebut dengan nama Negeri Sunda, Pasundan, atau berdasarkan nama ibukotanya yaitu Pakuan Pajajaran. Beberapa catatan menyebutkan bahwa kerajaan ini didirikan tahun 923 oleh Sri Jayabhupati, seperti yang disebutkan dalam prasasti Sanghyang Tapak. Berdasarkan alur Sejarah Galuh, Kerajaan Pajajaran berdiri setelah Wastu Kancana wafat tahun 1475. Kenapa demikian? Karena sepeninggal Rahyang Wastu Kencana kerajaan Galuh dipecah dua diantara Susuktunggal dan Dewa Niskala dalam kedudukan sederajat.
Pajajaran atau Pakuan Pajajaran beribukota di Pakuan (Bogor) di bawah kekuasan Prabu Susuktunggal (Sang Haliwungan) dan Kerajaan Galuh yang meliputi Parahyangan tetap berpusat di Kawali di bawah kekuasaan Dewa Niskala (Ningrat Kancana). Oleh sebab itu pula Prabu Susuk Tunggal dan Dewa Niskala tidak mendapat gelar “Prabu Siliwangi”, karena kekuasan keduanya tidak meliputi seluruh tanah Pasundan sebagaimana kekuasan Prabu Wangi dan Rahyang Wastu Kancana (Prabu Siliwangi I).

B.     Sejarah Kejaraan Padjajaran
Sejarah menyebutkan bahwa awal berdirinya Kerajaan Pajajaran ini adalah pada tahun 923 dan pendirinya adalah Sri Jayabhupati. Bukti-bukti ini didapat dari Prasasti Sanghyang berumur 1030 Masehi yang ada di Suka Bumi. Lebih lanjut, rupanya Kerajaan Pajajaran ini didirikan setelah perpecahan Kerajaan Galuh yang dipimpin oleh Rahyang Wastu. Saat Rahyang Wastu meninggal maka Kerajaan Galuh terpecah menjadi dua. Satu dipimpin oleh Dewa Niskala dan yang satunya lagi dipimpin oleh Susuktunggal. Meskipun terpecah menjadi dua namun mereka memiliki derajat kedudukan yang sama.
Asal muasal Kerajaan Pajajaran dimulai dari runtuhnya Kerajaan Majapahit sekitar tahun 1400 masehi. Saat itu Majapahit semakin lemah apalagi ditandai dengan keruntuhan masa pemerintahan Prabu Kertabumi atau Brawijaya ke lima, sehingga ada beberapa anggota kerajaan serta rakyat mereka yang mengungsi ke ibu kota Galuh di Kawali, wilayah Kuningan, di mana masuk provinsi Jawa Barat. Wilayah ini merupakan daerah kekusaaan dari Raja Dewa Niskala.
Raja Dewa Niskala pun menyambut para pengungsi dengan baik, bahkan kerabat dari Prabu Kertabumi yaitu Raden Baribin dijodohkan dengan salah seorang putrinya. Tidak sampai di situ, Raja Dewa Niskala juga mengambil istri dari salah seorang pengungsi anggota kerajaan. Sayangnya, pernikahan antara Raja Dewa Niskala dengan anggota Kerajaan Majapahit tidak disetujui oleh Raja Susuktunggal karena ada peraturan bahwa pernikahan antara keturunan Sunda-Galuh dengan keturunan Kerajaan Majapahit tidak diperbolehkan. Peraturan ini ada sejak peristiwa Bubat.
Karena ketidaksetujuan dari pihak Raja Susuktunggal terjadilah peperangan antara Susuktunggal dengan Raja Dewa Niskala. Agar perang tidak terus menerus berlanjut maka Dewan Penasehat ke dua kerajaan menyarankan jalan perdamaian. Jalan perdamaian tersebut ditempuh dengan menunjuk penguasa baru sedangkan Raja Dewa Niskala dan Raja Susuktunggal harus turun tahta. Kemudian ditunjuklah Jayadewata atau dikenal juga dengan sebutan Prabu Siliwangi yang merupakan putra dari Dewa Niskala sekaligus menantu dari Raja Susuktunggal. Jayadewata yang telah menjadi penguasa bergelar Sri Baduga Maharaja memutuskan untuk menyatukan kembali ke dua kerajaan. Dari persatuan ke dua kerajaan tersebut maka lahirlah Kerajaan Pajajaran pada tahun 1482. Oleh sebab itu, lahirnya Kerajaan Pajajaran ini dihitung saat Sri Baduga Maharaha berkuasa.



C.    Raja-raja yang memerintah di Pajajaran
Berikut adalah raja-raja yang memerintah di Pakuan Pajajaran:
1.      Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521), bertahta di Pakuan (Bogor sekarang)
2.      Surawisesa (1521 – 1535), bertahta di Pakuan
3.      Ratu Dewata (1535 – 1543), bertahta di Pakuan
4.      Ratu Sakti (1543 – 1551), bertahta di Pakuan
5.      Ratu Nilakendra (1551-1567), meninggalkan Pakuan karena serangan Hasanudin dan anaknya, Maulana Yusuf
6.      Raga Mulya (1567 – 1579), dikenal sebagai Prabu Surya Kencana, memerintah dari Pandeglang

D.    Masa Kejayaan Kerajaan Padjajaran
Kerajaan Pajajaran pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja mengalami masa keemasan. Alasan ini pula yang banyak diingat dan dituturkan masyarakat Jawa Barat, seolah-olah Sri Baduga atau Siliwangi adalah Raja yang tak pernah purna, senantiasa hidup abadi dihati dan pikiran masyarakat.
Pembangunan Pajajaran di masa Sri Baduga menyangkut seluruh aspek kehidupan. Tentang pembangunan spiritual dikisahkan dalam Carita Parahyangan. Sang Maharaja membuat karya besar, yaitu ; membuat talaga besar yang bernama Maharena Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan Wanagiri. Ia memperteguh (pertahanan) ibu kota, memberikan desa perdikan kepada semua pendeta dan pengikutnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat Kabinihajian (kaputren), kesatriaan (asrama prajurit), pagelaran (bermacam-macam formasi tempur), pamingtonan (tempat pertunjukan), memperkuat angkatan perang, mengatur pemungutan upeti dari raja-raja bawahan dan menyusun undang-undang kerajaan.
Pembangunan yang bersifat material tersebut terlacak pula didalam Prasasti Kabantenan dan Batutulis, di kisahkan para Juru Pantun dan penulis Babad, saat ini masih bisa terjejaki, namun tak kurang yang musnah termakan jaman. Dari kedua Prasasti serta Cerita Pantun dan Kisah-kisah Babad tersebut diketahui bahwa Sri Baduga telah memerintahkan untuk membuat wilayah perdikan; membuat Talaga Maharena Wijaya; memperteguh ibu kota; membuat Kabinihajian, kesatriaan, pagelaran, pamingtonan, memperkuat angkatan perang, mengatur pemungutan upeti dari raja-raja bawahan dan menyusun undang-undang kerajaan.

E.     Masa Kehancuran Kerajaan Padjajaran
Kerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat serangan kerajaan Sunda lainnya, yaitu Kesultanan Banten. Berakhirnya zaman Pajajaran ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana (singgahsana raja), dari Pakuan Pajajaran ke Keraton Surosowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf.
Batu berukuran 200x160x20 cm itu diboyong ke Banten karena tradisi politik agar di Pakuan Pajajaran tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru, dan menandakan Maulana Yusuf adalah penerus kekuasaan Sunda yang sah karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja. Palangka Sriman Sriwacana tersebut saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surosowan di Banten. Masyarakat Banten menyebutnya Watu Gilang, berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman.
Saat itu diperkirakan terdapat sejumlah punggawa istana yang meninggalkan kraton lalu menetap di wilayah yang mereka namakan Cibeo Lebak Banten. Mereka menerapkan tata cara kehidupan lama yang ketat, dan sekarang mereka dikenal sebagai orang Baduy.

F.     Kehidupan Kerajaan Padjajaran
1.      Kondisi Kehidupan Ekonomi
Pada umumnya masyarakat Kerajaan Pajajaran hidup dari pertanian, terutama perladangan. Di samping itu, Pajajaran juga mengembangkan pelayaran dan perdagangan. Kerajaan Pajajaran memiliki enam pelabuhan penting, yaitu Pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, Sunda Kelapa (Jakarta), dan Cimanuk (Pamanukan)

2.      Kondisi Kehidupan Sosial
Kehidupan masyarakat Pajajaran dapat di golongan menjadi golongan seniman (pemain gamelan, penari, dan badut), golongan petani, golongan perdagangan, golongan yang di anggap jahat (tukang copet, tukang rampas, begal, maling, prampok, dll)

3.      Kehidupan Budaya
Kehidupan budaya masyarakat Pajajaran sangat di pengaruhi oleh agama Hindu. Peninggalan-peninggalannya berupa kitab Cerita Parahyangan dan kitab Sangyang Siksakanda, prasasti-prasasti, dan jenis-jenis batik.

G.    Peninggalan Kerajaan Padjajaran
1.      Prasasti Cikapundung
Description: http://1.bp.blogspot.com/-6jtKeL8FqUk/UlZl6XVJzsI/AAAAAAAAI-w/HWJthA2d5d0/s400/download.jpg
Prasasti ini ditemukan warga di sekitar sungai Cikapundung, Bandung pada 8 Oktober 2010. Batu prasasti bertuliskan huruf Sunda kuno tersebut diperkirakan berasal dari abad ke-14. Selain huruf Sunda kuno, pada prasasti itu juga terdapat gambar telapak tangan, telapak kaki, dan wajah. Hingga kini para peneliti dari Balai Arkeologi masih meneliti batu prasasti tersebut.
Batu prasasti yang ditemukan tersebut berukuran panjang 178 cm, lebar 80 cm, dan tinggi 55 cm. Pada prasasti itu terdapat gambar telapak tangan, telapak kaki, wajah, dan dua baris huruf Sunda kuno bertuliskan “unggal jagat jalmah hendap”, yang artinya semua manusia di dunia akan mengalami sesuatu. Peneliti utama Balai Arkeologi Bandung, Lutfi Yondri mengungkapkan, prasasti yang ditemukan tersebut dinamakan Prasasti Cikapundung. 

2.      Prasasti Pasir Datar
Prasasti Pasir Datar ditemukan di Perkebunan Kopi di Pasir Datar, Cisande, Sukabumi pada tahun 1872 . Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nasional Jakarta. Prasasti yang terbuat dari batu alah ini hingga kini belum ditranskripsi sehingga belum diketahui isinya.

3.      Prasasti Huludayeuh
Description: http://1.bp.blogspot.com/-qDq5jyRYjzg/UlZmpC7occI/AAAAAAAAI-4/8I56iUzLbu8/s400/3040.JPG
Prasasti Huludayeuh berada di tengah persawahan di kampung Huludayeuh, Desa Cikalahang, Kecamatan Sumber dan setelah pemekaran wilayang menjadi Kecamatan Dukupuntang – Cirebon.
Prasasti Huludayeuh telah lama diketahui oleh penduduk setempat namun di kalangan para ahli sejarah dan arkeologi baru diketahui pada bulan September 1991. Prasasti ini diumumkan dalam media cetak Harian Pikiran Rakyat pada 11 September 1991 dan Harian Kompas pada 12 September 1991.

4.      Prasasti Perjanjian Sunda-Portugis
Description: http://2.bp.blogspot.com/-a9GHK-Jju8E/UlZm23qSEzI/AAAAAAAAI_A/XtegWMq8o4c/s400/348px-Padrao_sunda_kelapa.jpg
Prasasti Perjanjian Sunda-Portugis adalah sebuah prasasti berbentuk tugu batu yang ditemukan pada tahun 1918 di Jakarta.. Prasasti ini menandai perjanjian Kerajaan Sunda–Kerajaan Portugal yang dibuat oleh utusan dagang Portugis dari Malaka yang dipimpin Enrique Leme dan membawa barang-barang untuk "Raja Samian" (maksudnya Sanghyang, yaitu Sang Hyang Surawisesa, pangeran yang menjadi pemimpin utusan raja Sunda). Prasasti ini didirikan di atas tanah yang ditunjuk sebagai tempat untuk membangun benteng dan gudang bagi orang Portugis.
Prasasti ini ditemukan kembali ketika dilakukan penggalian untuk membangun fondasi gudang di sudut Prinsenstraat(sekarang Jalan Cengkeh) dan Groenestraat (Jalan Kali Besar Timur I), sekarang termasuk wilayah Jakarta Barat. Prasasti tersebut sekarang disimpan di Museum Nasional Republik Indonesia, sementara sebuah replikanya dipamerkan di Museum Sejarah Jakarta


5.      Prasasti Ulubelu
Prasasti Ulubelu adalah salah satu dari prasasti yang diperkirakan merupakan peninggalan Kerajaan Sunda dari abad ke-15 M, yang ditemukan di Ulubelu, Desa Rebangpunggung, Kotaagung,Lampung pada tahun 1936.
Meskipun ditemukan di daerah lampung (Sumatera bagian selatan), ada sejarawan yang menganggap aksara yang digunakan dalam prasasti ini adalah aksara Sunda Kuno, sehingga prasasti ini sering dianggap sebagai peninggalan Kerajaan Sunda. Anggapan sejarawan tersebut didukung oleh kenyataan bahwa wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga wilayah Lampung. Setelah Kerajaan Sunda diruntuhkan oleh Kesultanan Banten maka kekuasaan atas wilayah selatan Sumatera dilanjutkan oleh Kesultanan Banten. Isi prasasti berupa mantra permintaan tolong kepada kepada dewa-dewa utama, yaitu Batara Guru (Siwa), Brahma, dan Wisnu, serta selain itu juga kepada dewa penguasa air, tanah, dan pohon agar menjaga keselamatan dari semua musuh.

6.      Prasasti Kebon Kopi II
Description: http://1.bp.blogspot.com/-NcJMVg3Mugk/UlZpxkK7_vI/AAAAAAAAI_g/1dvRyew6Ai4/s400/PrasastiPasirMuara.jpg
Prasasti Kebonkopi II atau Prasasti Pasir Muara peninggalan kerajaan Sunda-Galuh ini ditemukan tidak jauh dari Prasasti Kebonkopi I yang merupakan peninggalan kerajaan tarumanegara dan dinamakan demikian untuk dibedakan dari prasasti pertama. Namun sayang sekali prasasti ini sudah hilang dicuri sekitar tahun 1940-an. Pakar F. D. K. Bosch, yang sempat mempelajarinya, menulis bahwa prasasti ini ditulis dalam bahasa Melayu Kuno, menyatakan seorang "Raja Sunda menduduki kembali tahtanya" dan menafsirkan angka tahun peristiwa ini bertarikh 932 Masehi. Prasasti Kebonkopi II ditemukan di Kampung Pasir Muara, desa Ciaruteun Ilir, Cibungbulang, Bogor, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pada abad ke-19 ketika dilakukan penebangan hutan untuk lahan perkebunan kopi. Prasasti ini terletak kira-kira 1 km dari batu prasasti Prasasti Kebonkopi I (Prasasti Tapak Gajah).

7.      Situs Karangkamulyan
Description: http://3.bp.blogspot.com/-8k4aYYkNCK0/UlZntAdcu-I/AAAAAAAAI_M/f6PiWHrYO38/s400/3103083803.jpg
Situs Karangkamulyan adalah sebuah situs yang terletak di Desa Karangkamulyan, Ciamis, Jawa Barat. Situs ini merupakan peninggalan dari zaman Kerajaan Galuh yang bercorak Hindu-Buddha. Legenda situs Karangkamulyan berkisah tentang Ciung Wanara yang berhubungan dengan Kerajaan Galuh. Cerita ini banyak dibumbui dengan kisah kepahlawanan yang luar biasa seperti kesaktian dan keperkasaan yang tidak dimiliki oleh orang biasa namun dimiliki oleh Ciung Wanara. Kawasan yang luasnya kurang lebih 25 Ha ini menyimpan berbagai benda-benda yang diduga mengandung sejarah tentang Kerajaan Galuh yang sebagian besar berbentuk batu. Batu-batu ini letaknya tidaklah berdekatan tetapi menyebar dengan bentuknya yang berbeda-beda. Batu-batu ini berada di dalam sebuah bangunan yang strukturnya terbuat dari tumpukan batu yang bentuknya hampir sama. Struktur bangunan ini memiliki sebuah pintu sehingga menyerupai sebuah kamar.
Batu-batu yang ada di dalam struktur bangunan ini memiliki nama dan menyimpan kisahnya sendiri, begitu pula di beberapa lokasi lain yang berada di luar struktur batu. Masing-masing nama tersebut merupakan pemberian dari masyarakat yang dihubungkan dengan kisah atau mitos tentang kerajaan Galuh seperti pangcalikan atau tempat duduk, lambang peribadatan, tempat melahirkan, tempat sabung ayam dan Cikahuripan.






















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Kerajaan Pajajaran adalah sebuah kerajaan Hindu yang diperkirakan beribukotanya di Pakuan (Bogor) di Jawa Barat. Dalam naskah-naskah kuno nusantara, kerajaan ini sering pula disebut dengan nama Negeri Sunda, Pasundan, atau berdasarkan nama ibukotanya yaitu Pakuan Pajajaran. Beberapa catatan menyebutkan bahwa kerajaan ini didirikan tahun 923 oleh Sri Jayabhupati, seperti yang disebutkan dalam prasasti Sanghyang Tapak.
Sejarah kerajaan ini tidak dapat terlepas dari kerajaan-kerajaan pendahulunya di daerah Jawa Barat, yaitu Kerajaan Tarumanagara, Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh, dan Kawali. Hal ini karena pemerintahan Kerajaan Pajajaran merupakan kelanjutan dari kerajaan-kerajaan tersebut. Dari catatan-catatan sejarah yang ada, dapatlah ditelusuri jejak kerajaan ini; antara lain mengenai ibukota Pajajaran yaitu Pakuan. Mengenai raja-raja Kerajaan Pajajaran, terdapat perbedaan urutan antara naskah-naskah Babad Pajajaran, Carita Parahiangan, dan Carita Waruga Guru.
Kerajaan Pajajaran pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja mengalami masa keemasan. Alasan ini pula yang banyak diingat dan dituturkan masyarakat Jawa Barat, seolah-olah Sri Baduga atau Siliwangi adalah Raja yang tak pernah purna, senantiasa hidup abadi dihati dan pikiran masyarakat. Kerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat serangan kerajaan Sunda lainnya, yaitu Kesultanan Banten. Berakhirnya jaman Pajajaran ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana (singgahsana raja), dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf.

B.     Saran
Demikian makalah yang dapat penulis uraikan, semoga dapat menambah wawasan pengetahuan tantang sejarah Kerajaan Padjajaran.

DAFTAR PUSTAKA


























Pencarian isi Blog