BAB II
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Istilah kecerdasan emosi (emotional intelligence) diperkenalkan pada tahun 1990 oleh dua ahli psikologi, yaitu Peter Salovery dan John Mayer. Kecerdasan emosi mengacu ke kemampuan memahami dan menangani perasaan diri seseorang dan orang lain. Menurut Supriadi Kecerdasan emosional (Emotional Intelligence) adalah suatu dimensi kemampuan manusia yang berupa keterampilan emosionil dan sosial yang kemudian membentuk karakter. Di dalamnya terkandung kemampuan-kemampuan seperti kemampuan mengendalikan diri, empati, motivasi, semangat, kesabaran, ketekunan, dan keterampilan sosial.
Sedangkan menurut pendapat Goleman kecerdasan emosi adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi dan pengaruh manusia. Berbeda dengan kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosi (EQ) tidak tetap dan bisa berubah. IQ biasanya berasal dari faktor genetika dan sulit diubah. Prof. Dr. Daniel Goleman, bapak management modern di Amerika meneliti orang-orang yang berhasil dan melaporkan hasil surveynya : “Mereka yang sukses dan berhasil, bukan mereka yang waktu sekolah memiliki nilai rapor bagus, tetapi mereka yang aktif organisasi, banyak bergaul dan temannya banyak. IQ hanya mempengaruhi 20% keberhasilan sedangkan EQ dan SQ (ESQ) 80%”, IQ tentunya lebih banyak dibentuk di sekolah, tetapi EQ dan SQ (ESQ) lebih banyak dibentuk oleh keluarga dan lingkungan.
Karena itu, orang tua tidak boleh merasa sudah bertanggung jawab dalam mendidik anak, karena sudah membiayai sekolahnya, itu baru 20% dari bagian mendidik anak yang hanya mempengaruhi 20% keberhasilannya.Terlebih lagi orang tua perlu membangun komunikasi dengan anak-anak, waktu bersama mereka, menanamkan nilai-nilai hidup, moral, tata krama, mengawasi pergaulan mereka dan yang terutama, mengajari mereka ‘bergaul’ dengan Tuhan dengan doa pribadi, saat teduh dan mengajak mereka beribadah sehingga terbentuk sikap ‘takut akan Tuhan’ sebagai fondasi ESQ yang paling kuat, memiliki kasih yang merupakan SQ terbaik.
Seorang anak yang masih dalam tahap perkembangan, EQ-nya masih labil. Namun, pada anak dengan lingkungan yang ‘aman’, niscaya EQ-nya akan tinggi. Seorang yang mudah marah namun tidak tampak di permukaan berbeda dengan mereka yang marah frontal namun segera reda. Orang yang mengalami gangguan emosi bisa menjadi seorang yang moody. Apabila dibiarkan naik-turun tak terkendali, akan menjadi gangguan kejiwaan “bipolar”.
Aspek emosi mengalami perkembangan yang signifikan pada periode anak. Seiring pertambahan usia kemampuan anak untuk mengenali emosinya sendiri semakin berkembang. Anak-anak semakin menyadari tentang perasaannya sendiri dan perasaan orang lain. Anak-anak juga semakin mampu mengatur ekspresi emosi dalam situasi sosial dan mampu mereaksi kondisi stres yang dialami orang lain.
Menurut Papalia et al (2004) pada usia 7 atau 8 tahun, rasa malu dan kebanggaan, yang tergantung pada kesadaran terhadap akibat tindakan mereka akan mempengaruhi pendapat mereka tentang diri mereka sendiri. pada periode kanak-kanak lanjut, anak akan lebih empatis dan perilaku menolong semakin berkembang. Anak-anak juga mulai belajar mengontrol emosi negatif.
Dan seorang anak yang menampilkan kecerdasan emosi tinggi akan tampil yakin terhadap emosi yang dirasakan, mampu mengungkapkan perasaannya dengan tepat, mampu mengenali emosi orang lain dan menanggapinya secara baik. Anak yang memiliki kecerdasan emosi yang baik, akan tampil hangat, simpatik, mudah bergaul, dan menyenangkan bagi orang lain. Kecerdasan emosi seorang anak sangat terkait erat dengan gaya pengasuhan yang dilakukan oleh orang tuanya sendiri.
B. Rumusan Masalah
Agar makalah ini sesuai dengan apa yang diharapkan, maka penulis menyusunkan rumusan masalahnya sebagai berikut :
1. Bagaimana pengertian kecerdasan ?
2. Apa saja teori-teori tentang kecerdasan ?
3. Bagaimana klasifikasi kecerdasan ?
4. Apa saja faktor kecerdasan dalam belajar dan perkembangan anak ?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian kecerdasan ?
2. Mengetahui teori-teori tentang kecerdasan ?
3. Mengetahui klasifikasi kecerdasan ?
4. Mengetahui faktor kecerdasan dalam belajar dan perkembangan anak ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kecerdasan
Kecerdasan itu adalah suatu kemampuan umum dari seseorang dalam hal bagaimana dia memecahkan masalah hidupnya sehari-hari. Dan kemampuan ini dapat tercermin dari kecepatan, ketepatan dan kedalaman berpikir seseorang itu di dalam mencari jalan keluar dari masalah hidupnya sehari-hari. Sementara kepandaian sebetulnya tetap diperlukan kecerdasan tetapi kepandaian lebih dikaitkan dengan masalah belajar.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kecerdasan anak itu berbeda:
1. Faktor bawaan, jadi meskipun mereka lahir dari orang tua yang sama, faktor bawaan ini bisa berbeda karena masalah genetik dan juga fungsi otak dan fungsi syaraf.
2. Masalah gizi, masalah kebiasaan-kebiasaan dari kecil, masalah rangsangan atau stimulasi dari lingkungan.
3. Latihan-latihan atau kebiasaan-kebiasaan seorang anak dari kecil.
Secara konsep kecerdasan tidak hanya menyangkut hal-hal belajar di sekolah yang lebih bersifat akademis, dan bersifat intelektual. Sebetulnya jenis kecerdasan ini banyak diantaranya kecerdasan emosi, kecerdasan sosial di mana seseorang bisa berelasi dengan baik, kecerdasan kreatifitas, kecerdasan spiritual bahkan kecerdasan di bidang seni dan sebagainya. Kenapa terjadi kesalahpahaman bahwa kecerdasan itu hanya menyangkut hal-hal yang bersifat sekolah yaitu:
1. Karena adanya test kecerdasan yang sejak dulu hanya mengukur hal-hal yang bersifat akademis.
2. Kecerdasan itu sering kali bisa dilihat orang atau dihargai orang.
Ada beberapa macam test kecerdasan:
1. Test bine untuk anak-anak, biasanya dikenal dengan Stanford Bine karena dikembangkan oleh Terman dari Stanford University.
2. WPPSI untuk anak-anak pra-sekolah, test yang dibuat oleh Westler
3. WISC untuk anak-anak, ini test yang bersifat individual.
4. Ada test kecerdasan lagi yang bersifat kelompok, jadi test ini yang biasanya dipakai untuk mengetahui secara cepat kira-kira tingkat-tingkat kecerdasan seorang anak dan bagaimana kemampuan dia dalam mengikuti pelajaran di sekolah.
Bentuk test di atas umumnya adalah:
1. Ada subtest-subtest yang berisi pertanyaan-pertanyaan tentang informasi secara umum yang harus diketahui anak.
2. Pertanyaan yang menyangkut hal-hal sosial yang dia harus tahu
3. Menyangkut bahasa, menyangkut ketelitian dia di dalam melihat figur-figur atau gambar-gambar, logika, aritmatika, kemudian matematika dsb.
Amsal 3:11-18, "Hai anakku, janganlah engkau menolak didikan Tuhan dan janganlah engkau bosan akan peringatanNya karena Tuhan memberikan ajaran kepada yang dikasihiNya seperti seorang ayah kepada anak yang disayangi. Berbahagialah orang yang mendapat hikmat, orang yang memperoleh kepandaian karena keuntungannya melebihi keuntungan perak dan hasilnya melebihi emas. Ia lebih berharga daripada permata, apapun yang kau inginkan tidak dapat menyamainya.
Umur panjang ada di tangan kanannya, di tangan kirinya kekayaan dan kehormatan, jalannya adalah jalan penuh bahagia, segala jalannya sejahtera semata-mata. Ia menjadi pohon kehidupan bagi orang yang memegangnya, siapa yang berpegang kepadanya akan disebut berbahagia." Dari sini dikatakan dari ayat-ayat yang kita bacakan dikatakan bahwa didikan Tuhan itu akan memberikan ajaran supaya kita mempunyai hikmat dan beroleh kepandaian.
B. Teori-teori tentang Kecerdasan
Untuk mendefinisikan hakekat inteligensi terdapat berbagai perbedaan, Hal ini disebabkan oleh perbedaan pengertian dasar dalam memandang dan mengamati apa yang disebut perilaku inteligen. Teori yang dipakai acuan untuk mendefinisikan hakekat inteligensi (Subino Hadisubroto, 1984; Moh. Surya, 1979) yaitu meliputi teori keturunan lingkungan, epistimologis-biologis, struktural dan faktorial.
1. Teori Keturunan-lingkungan
Teori ini dibagi lagi menjadi tiga yaitu :
a. Yang memandang bahwa inteligensi lebih ditentukan oleh keturunan daripada oleh lingkungan. Empat tokoh yang memperkuat teori ini adalah Arthur R. Jensen (1969) yang menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa inteligensi itu lebih ditentukan oleh keturunan daripada lingkungannya. Sir Cyril Burt (1955) memandang bahwa inteligensi itu sebagai kemampuan berfikir umum yang dibawa sejak lahir. Woodrow (Butcher, 1973) memandang bahwa inteligensi sebagai kapasitas bawaan. David Wechsler (1943) juga memndang bahwa inteligensi itu sebagai kapasitas bawaan serta kapasitas yang bulat untuk bertindak secara terarah, berfikir rasional, dan berhubungan dengan lingkungannya secara efektif.
b. Yang memandang inteligensi sebagai yang lebih ditentukan oleh lingkungan daripada keturunan. Tokohnya adalah Jerome S. Kegan (1969) yang didasarkan pada pengamatannya terhadap anak-anak kulit putih lapisan bawah dan menengah, sewaktu mengerjakan tes inteligensi. Kegan melihat bahwa anak-anak lapisan bawah bekerja kurang baik apabila dibandingkan dengan anak-anak lapisan menengah.
c. Yang memandang inteligensi sebagai hasil keturunan, lingkungan, dan interaksi antara keduanya. Berdasarkan teori ini yang tokoh-tokohnya diantaranya Crow (1972), Hilgard (1962), Ross (1974) da Clark (1983) konsepnya dapat dirumuskan bahwa perkembangan intelektual merupakan hasil interaksi antara pola genetis dan pengaruh lingkungan.
2. Teori Epistimologis-biologis
Teori ini dibagi menjadi dua yaitu :
a. Yang memandang bahwa inteligensi sebagai kemampuan berfikir jernih, analitis dan komprehensip. Tokohnya antara lain Lewis M. Terman (Butcher, 1973) yang memndang bahwa inteligensi itu disarikan sebagai kemampuan abstrak. Kemudian G.D. Stoddard (1943) yang menyatakan bahwa inteligensi itu merupakan kemampuan majemuk, yakni kemampuan menyelesaikan tugas-tugas yang sulit, rumit, abstrak, ekonomis, adaptif terhadap tujuan, berbobot sosial dan original, serta tetap memelihara kemampuan menyelesaikan tugas-tugas seperti itu didalam kedaan yang menuntut pemusatan energi dan menahan gejolak-gejolak emosional. Henry E. Garret (1946) yang menyatakan bahwa inteligensi paling sedikit sebagai kemampuan-kemampuan yang diperlukan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang menuntut pemahaman dan penggunaan simbol-simbol, baik berupa kata-kata, angka-angka, diagram-diagram, persamaan-persamaan maupun rumus-rumus yang meyatakan gagasan-gagasan dan hubungan berbagai hal dari yang sederhana sampai yang sangat rumit.
b. Yang memendang inteligensi sebagai kemampuan menyesuaikan diri terhadap situasi yang baru (biologis). Jean Piaget (1956) yang menyatakan bahwa inteligensi adalah kemampuan melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungan. Williem Ster berpendapat bahwa inteligensi itu merupakan kemampuan personal untuk dapat menghadapi tuntutan-tuntutan baru dengan menggunakan alat-alat berfikir secara efisien.
3. Teori Struktural
Dibagi menjadi dua model yaitu :
a. Model Struktural Guilford
Model ini sering dikenal dengan sebutan The Structure of Intellect yang mula-mula dikembangkan oleh Guilford tahun 1959 dan disempurnakan tahun 1966. Dalam teori ini, ia membedakan berfikir konvergentif dengan divergentif. Tes yang mengukur sisi konvergentif menghendaki tes ini mencari satu jawaban betul atas suatu persoalan. Sisi inilah yang disebut Guilford dengan nama kecerdasan. Sedangkan tes yang mengukur sisi divergentif menghendaki tes ini mencari sejumlah alternatif jawaban atas suatu persoalan dimaksudkan untuk mengukur suatu kemampuan berfikir divergentif atau yang sering disebut kreatifitas. Guilford berpendapat bahwa intelegensi itu dibangun atas tiga domain (matra) yaitu operasi, isi, dan hasil.
b. Model Facet Guttman
Guttman (Subino hadisubroto, 1984) mengemukakan bahwa ia sangat terkesan oleh kenyataan bahwa dengan pemilihan tes yang cermat, maka orang dapat memperoleh matriks korelasi antar tes yang memiliki koefisien-koefisien korelasi sama pada dua belahan geometrik yang dibelah oleh garis diagonal. Dengan menggunakan prinsip-prinsip analisis matrik korelasi tersebut, Guttmann meyimpulkan bahwa ada tiga kategori tes inteligensi, yakni tes yang disusun didalam bentuk gambar-gambar, simbol-simbol dan kata-kata bermakna. Menurut Guttman model tersebut belum lengkap. Untuk melengkapinya Guttman mengusulkan butir-butir soal analitis dan prestasi belajar ke dalam tes inteligensi tersebut.
4. Teori faktorial
Teori faktorial ini mempunyai berbagai variasi anatara lain :
a. Teori satu – faktor Binet
Teori ini berpendapat bahwa inteligensi itu terbangun atas satu faktor saja, yaitu faktor “G” saja (Freeman, 1965). Yang dimaksudkan dengan faktor “G” disini adalah faktor kemampuan umum (general ability).
b. Teori dua – faktor Spearman
Teori ini berpendapat bahwa inteligensi itu terbangun atas dua faktor, yaitu faktor general ability (“G”) dan special ability (“S”). Teori dua faktor Helpzinger merupakan variasi dan teori Spearman. Dia berpendapat bahwa tes yang tidak memenuhi syarat proporsionalitas tidak perlu dipandang sebagai pengganggu dan harus dibuang dari tes yang bersangkutan, sepanjang bagian-bagian tes lainnya dari tes tersebut memiliki faktor kebersamaan yang sama.
c. Teori bertingkat Philip E. Vernon
Teori ini mirip dengan konsepsi Spearman. Menurut Vernon (Subino Hadisubroto, 1984), bahwa dibawah faktor “G” itu terdapat dua faktor kelompok utama (major group factors) yang masing-masingmya adalah faktor pendidikan verbal (verbal educational factors) dan faktor praktis (practical factors). Yang pertama dibagi kedalam dua faktor kelompok minor (minor-group factors), yakni verbal dan numerical; sedangkan yang kedua dibagi menjadi kemampuan keruangan (spatial ability), kemampuan manual (manual ability), dan kemampuan mekanik (mechanical ability). Masing-masing bagian tersebut dibagi lagi menjadi faktor-faktor spesifik yang sangat besar jumlahnya dan mencakup lingkup yang sangat khusus.
d. Teori tiga faktor Sternberg atau Sternberg’s Triarchic Theory
Teori ini (Laura E.Berk, 1994) dibangun melalui tiga sub-teori yang berinteraksi secara fungsional, yaitu sub teori komponensial, sub teori eksperiensial, dan sub teori kontekstual. Teori ini menegaskan bahwa ketrampilan memproses informasi, pengalaman terdahulu yang berkaitan dengan tugas, dan faktor-faktor kontekstual atau kultural itu berinteraksi untuk menentukan perilaku yang inteligen. Sub teori komponensial lebih mengekspresikan tentang metakognisi, aplikasi strategi, dan pemerolehan pengetahuan. Sub teori eksperiensial menyatakan bahwa individu yang berinteligensi tinggi dibandingkan dengan individu yang berinteligensi rendah digambarkan pada kemampuan mengolah informasi lebih terampil didalam situasi yang baru, meyelesaikan tugas baru relatif lebih cepat, dan mampu menyelesaikan tugas yang lebih kompleks dan cara yang lebih otomatis.
Sub teori kontekstual menjelaskan bahwa orang-orang yang inteligen itu lebih terampil dalam mengadaptasikan (adapting) keterampilan memproses informasi dengan tuntutan pribadi dan tuntutan dari kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, ketika mereka itu tidak dapat mengadaptasikan dengan situasi, mereka mencoba untuk membentuk (shaping) atau mengubahnya, sehingga dapat memenuhi kebutuhan. Jika mereka tidak dapat membentuknya, maka mereka menyeleksi (selecting) konteks-konteks yang baru yang konsisten dengan tujuannya. Dengan kata lain, sub teori kontekstual menekankan bahwa perilaku inteligen itu tidak pernah bebas budaya (cultural-free).
e. Teori inteligensi multipel Gardner atau Gardner’s Theory of Multiple Intelligences.
Teori ini mengidentifikasikan tujuh kecerdasan yang berbeda berdasarkan seperangkat processing operatioons yang diterapkan dalam kegiatan-kegiatan yang bermakna secara kultural (yaitu linguistik, logika-matematik, musikal, kinestetik, interpersonal, dan intrapersonal). Kecerdasan liguistik (Linguistic Intelligence) menggambarkan tentang sensitivitas terhadap suara, ritme, makna, kata-kata dan fungsi-fungsi bahasa yang berbeda. Misalnya : penyair dan jurnalis. Kecerdasan logika-matematik (Logico-mathematical Inteeligence) menunjukkan tentang sensitivitas terhadap dan kemampuan menditeksi, pola-pola logik atau numerikal; kemampuan mengatasi rangkaian panjang penalaran logik, misalmya ahli matematik dam saintis.
Kecerdasan musikal (Musical Intelligence) yang menunjukkan kemampuan menghasilkan dan menghargai sentuhan, ritme (melodi), dan bunyi suara estetik; kemampuan memahami bentuk-bentuk ekspresi musik, misalnya : ahli biola, pianis dan pengarang lagu. Kecerdasan spasial (Spatial Intelligence) menggambarkan kemampuan memahami dunia ruang-visual secara tepat, menunjukkan transformasi persepsi-persepsi ini, dan menciptakan kembali aspek-aspek pengalaman visual ketika tidak ada rangsangan yang relevan, misalnya pematung dan pelaut. Kecerdasan kinestetik (Bodily-kinesthetic Intelligence) yang menunjukkan kemampuan untuk menggunakan tubuhnya secara terampil untuk mengekspresikan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan; kemampuan menangani obyek-obyek secara trampil, misalnya penari dan atlit.
Kecerdasan interpersonal (Interpersonal Intelligence) menunjukkan kemampuan menditeksi dan merespon secara tepat terhadap suasana, temperamen, motivsi dan maksud orang lain, misalnya terapis dan penjaja. Kecerdasa intrapersonal (Intrapersonal Intelligence) menunjukkan kemampuan mendeskriminasi perasaan dari dalam yang kompleks dan menggunakannya untuk membimbing perilakunya sendiri; pengetahuan tentang kekuatan, kelemahan keinginan dan kecerdasan sendiri, misalnya orang yang teliti atau autodidak.
Berdasarkan deskripsi teori-teori diatas, kiranya sulit dikemukakan satu-satuanya rumusan definisi kecerdasan (inteligensi) yang tepat. Oleh karenanya rumusan definisi kecerdasan sangat tergantung pada teori mana yang relevan untuk kepentingan apa.( M. Sugeng Haryono, SE, S.Pd Telp. 0358 – 6164165 ).
C. Klasifikasi Kecerdasan
Secara konvensional klasifikasi kecerdasan, dewasa ini masih mengikuti klasifikasi yang dikembangkan oleh Binet dan Simon, diantaranya pertama, retardasi mental yang meliputi idiot dengan IQ 30 kebawah, embisil dengan IQ 31-50, debil dengan IQ 51-70; kedua, slow-learner dengan IQ 71-90; ketiga, normal (rata-rata) dengan IQ 91-110; keempat, rapid-learner dengan IQ 111-130; dan kelima, gifted dengan IQ 131 ke atas.
Perlu disadari bahwa dewasa ini telah berkembang cara penghitungan dan distribusi skor IQ tradisional dan skor IQ modern (Laura E. Berk, 1994) :
1. Bahwa skor IQ tradisional sebagaimana yang dikembangkan oleh Stanford-Binet menjelaskan nahwa skor IQ itu diperoleh dengan mengkonversikan skor mentah dengan usia mental age (MA) yang menunjukkan usia anak berdasarkan skor yang diperoleh, Misalnya jika skor mentah rata-rata anak usia 8 tahun itu 40, maka skor mentah 40 itu sama dengan usia mental 8 tahun. Skor IQ dapat dihitung melalui membagi usia mental anak dengan usia kronologis atau chronological age (CA) dengan mengalikan dengan 100.
MA
IQ = x 100
CA
Anak yang mendapat diatas IQ 100 menunjukkan pada kelompok anak yang berkecerdasan diatas rata-rata, sedangkan anak yang mendapat skor dibawah IQ 100 menunjukkan pada kelompok yang berkecerdasan rendah. Walaupuin pendekatan usia mental memberikan suatu cara yang relatif nyaman untuk membandingkan skor tes anak-anak, pendekatan ini sebenarnya memiliki dua kelemahan yaitu pertama, pendekatan ini mendorong orang yang tidak familiar dengan dasar skor akan menyimpulkan bahwa anak yang CA-nya 8 tahun dan MA-nya 12 tahun akan seperti anak yang berusia 12 tahun dalam segala hal, padahal yang relatif sama kan kemampuan akademiknya, sedangkan kemampuan sosial dipertanyakan. Kelemahan kedua yaitu perkembangan intelektual pada anak yang lebih muda itu cenderung lebih cepat daripada anak yang lebih tua. Perbedaan mental pada anak yang berusia 2-3 tahun jauh lebih besar daripada anak usia 10-11 tahun, sedangkan IQ yang berdasarkan formula ini tidak mendapat perhatian tersendiri.
2. Metode modern membedakan IQ secara langsung antara skor metah seorang anak dengan skor anak-anak lainnya yang berusia kronologis sama. Ini dapat disebut juga Deviation IQ, karena IQ-nya didasarkan pada penyimpangan tingkat kinerja anak dari rata-rata anak yang seusia. Ketika tes disusun berdasarkan sampel individu yang representatif, kinerja setiap tingkat usia untuk sebagian besar skornya jatuh mendekati pusar (rata-rata) dan semakin sedikit menuju ke ekstrim kanan dan kiri, sehingga wujudnya seperti kurva normal. Dua hal yang penting dari kurva ini, yaitu rata-rata (mean) dan simpangan (deviation) yang memberikan ukuran variabilitas skor dari rata-rata. Sebagian besar tes mengkonversikan skor mentahnya pada rata-rata 100 dan SD-nya 15. Berdasarkan angka ini dapat ditemukan prosentase individu yang ada pada skor IQ tertentu. Anak yang ber IQ 100 lebih baik daripada 50% anak yang berusia sama. Sedangkan anak yang ber-IQ 115 berkedudukan lebih baik daripada 84% anak yang berusia sama. Metode modern ini dirancang untuk mengganti pendekatan MA, karena metode ini memungkinkan dapat mengadakan perbandingan langsung kinerja anak dengan sampel yang representatif dengan anak sebaya.
D. Faktor Kecerdasan dalam Belajar dan Perkembangan Anak
Pada dasarnya kemampuan manusia dapat dibedakan atas kemampuan intelektual dan kemampuan non-intelektual. Demikian juga kemampuan intelektual ada yang bersifat potensial dan aktual. Kemampuan inelektual potensial dapat dipresentasikan dengan kecerdasan atau inteligensi, sedangkan kemampuan intelektual aktual sering digambarkan dengan prestasi belajar. Bila ditelaah lebih jauh, prestasi belajar berkaitan erat dengan kecerdasan (inteligensi) bahkan prestasi belajar sangat ditentukan oleh faktor kecerdasan. Tylor (1974) menegaskan bahwa “Intelligence should not be defined as general learning ability, but it is clearly related to school success and to the kinds of life achievement that are dependent on schooling”.(Kecerdasan seharusnya tidak didefinisikan sebagai kemampuan belajar umum, melainkan kecerdasan itu secara jelas berkaitan dengan keberhasilan sekolah dan berbagai jenis prestasi hidup yang tergantung pada pendidikan).
Ada sejumlah hasil penelitian yang memperkuat pendapat tersebut diatas.
1. Studi Lyn Lyn Michell dan R.D. Lambourne (Subino Hadisubroto, 1984), menyimpulkan bahwa pertama, kelompok cerdas mampu bertahan berdiskusi loebih lama dengan kognitif lebih tinggi dan mampu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang lebih berbobot; kedua, kelompok cerdas mampu mengemukakan gagasannya yang lebih tentatif dan lebih kaya; dan ketiga, kelompok cerdas lebih mampu mencapai tingkat pemahaman yang lebih rumit dan lebih kaya.
2. Henderson dkk. (1976) melalui studinya berkesimpulan bahwa kecerdasan berkorelasi positif dengan prestasi belajar. Demikian juga Entwisle dan Hayduk (1981:188) melaporkan bahwa inteligensi akan membentuk penampilan awal siswa dan selanjutnya akan menentukan penampilan akademiknya.
3. Korelasi antara hasil tes Wechler dengan prestasi siswa yang dilakukan oleh Soedarsono (1985) pada siswa SD Negeri dan Swasta di Indonesia tahun 1984 dalam disertasinya dilaporkan bahwa koefisien korelasi inteligensi dengan prestasi Bahasa Indonesi sebesar 0,518, IPS sebeesar 0,528, IPA sebesar 0,505, dan Matematika sebesar 0,587 yang semuanya signifikan pada taraf signifikasi 0,001.
4. Studi yang dilakukan oleh Nason (Moh. Surya, 1979), menemukan bahwa koefisien korelasi antara inteligensi dengan prestasi belajar sebesar 0,34 untuk laki-laki dan 0,39 untuk perempuan.
Berdasar uraian tersebut diatas kiranya dapat ditegaskan lagi bahwa faktor kecerdasan dapat berperan sebagai predikator yang berarti terhadap belajar dan prestasi belajar anak. Mengapa demikian? Laura E. Berk (1994) menjelaskan bahwa pertama, IQ dan prestasi belajar bergantung pada proses penalaran abstrak yang sama yang melandasi faktor “G” Spearman. Seorang anak yang memiliki kemampuan “G” faktor, cenderung mampu secara lebih baik memperoleh pengetahuan dan ketrampilan yang diajarkan disekolah. Kedua, inteligensi dan prestasi diambil dari kutub yag sama dari informasi spesifik secara kultural. Maksudnya bahwa tes inteligensi sebagiannya sama dengan tes prestasi, dan pengalaman masa lalu anak mempengaruhi penampilannya pada kedua tes.
Walaupun IQ berkontribusi terhadap prestasi belajar, faktor kecerdasan bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan belajar anak, karena hubungan keduanya sangatlah kompleks, bahkan sangat ditentukan oleh berbagai faktor lainnya, misalnya motivasi dan karakteristik kepribadiannya.
Selanjutnya, bagaimana dengan perkembangan kecerdasan anak? Kiranya tidaklah dapat diragukan bahwa intervensi sejak dini (baik dilingkungan keluarga maupun di sekolah) memiliki sumbangan yang berarti bagi perkembangan kecerdasan anak. Laura E. Berk (1994) mengemukakan dua hasil studi yang memberikan dukungan terhadap pentingnya intervensi dini. Pertama, bahwa proyek Head Start memiliki pengaruh yang minimal terhadap kecerdasan anak dan prestasi belajarnya. Dinyatakan bahwa ketidakefektifan proyek ini disebabkan oleh kekurangtepatan penyusunan program pada subyek kontrol dan perlakuan.
Perlu diketahui bahwa subyek studi dalam proyek ini berasal dari keluarga yang berekonomi rendah. Sementara itu melalui temuan Jensen (1969) dinyatakan bahwa tingkat kecerdasan anak yang rendah pada keluarga miskin sebagian besar dipengaruhi oleh keturunan dan sangat sulit untuk diubah. Kedua, studi yang bersifat longitudinal, yang dikoordinasikan oleh konsorsium. Hasil studi menunjukkan bahwa anak-anak yang mendapatkan perlakuan cenderung menunjukkan skor IQ dan prestasi belajar lebih tinggi daripada kelompok kontrol dini pada dua sampai tiga tahun pertama di SD. Setelah itu, perbedaan skor tes menurun. Walaupun demikian, anak-anak yang mendapatkan intervensi tetap akan mengalami kemajuan ketika berada disekolah hingga mencapai dewasa. Stephen Cecci (1990, 1991) menegaskan bahwa kehadiran anak di sekolah secara tidak teratur menimbulkan pengaruh yang lebih besar terhadap IQ. Sebaliknya anak yang mendapatkan perlakuan disekolah lebih teratur, maka akan mendapatkan kenaikan poin dari 10 hingga 30. Demikia juga halnya anak yang memasuki sekolah lebih lambat, maka tingkat kecerdasannya akan turun sekitar 7 poin.
Bertitik tolak dari kondisi tersebut, Cecci (1991) menegaskan bahwa, sekolah dapat berpengaruh positif terhdap tingkat kecerdasan, paling tidak melalui tiga cara, yaitu mengajar anak tentang pengetahuan faktual sesuai denmga pertanyaan yang diujikan; mempromosikan ketrampilan memproses informasi seperti strategi mengingat dan katagorisasi melalui item-item tes; dan mendorong sikap dan nilai yang mampu memelihara kinerja dalam menyelesaikan ujian secara sukses, sperti medengarkan dengan sungguh-sungguh pertanyaan orang dewasa (guru), menjawab dengan ketentuan waktu dan mencoba bekerja keras. (M. Sugeng Haryono, SE, S.Pd Telp. 085649032021).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Manusia beraktivitas, berinteraksi dengan sesamanya bergantung dari kesanggupannya dalam berfikir yang biasa disebut kecerdasan/inteligensi. Inteligensi seseorang akan tampak pada perbuatannya. Misalnya, orang yang pandai ilmu pasti, maka disebut berinteligensi di bidang abstrak. Sama halnya jika ia pandai bergaul dalam masyarakat, maka ia disebut berinteligensi di bidang sosial, dan lain-lain. Inteligensi setiap individu berbeda-beda.
Oleh karena itu, kita perlu mengenali dengan betul dibidang apa kecerdasan yang kita miliki. Misalnya, orang tua siswa berasumsi bahwa anak yang pintar ialah yang menguasai ilmu pasti. Maka dari itu, si anak harus masuk jurusan ilmu alam. Padahal, si anak lebih mampu dan berminat di bidang ilmu sosial. Mindset inilah yang perlu dibenahi. Kecerdasan tidak hanya dipengaruhi oleh nilai prestasi akademik tapi juga minat seseorang.
Begitu pula di dunia profesi, kita sering menilai bahwa orang yang memiliki nilai prestasi baik adalah orang yang cerdas, sehingga dianggap mampu melakukan banyak pekerjaan dan akan memiliki karir yang gemilang. Padahal orang yang nilai prestasi akademiknya tidak baik pun dapat memiliki karir yang sukses apabila ia mengenali dan tahu cara memaksimalkan sisi kecerdasan yang ia miliki.
B. Saran
Dari makalah “Perkembangan Kecerdasan” ini, semoga dapat diambil manfaat untuk penulis dan pembaca. Semoga pembaca dapat mengambil beberapa hal-hal yang penting dalam mengoptimalkan kecerdasan kepada anak. Dari pembahasan ini pula penulis mengalami banyak kendala. Maka banyak kesalahan oleh penulis. Oleh karena itu penulis membutuhkan saran dari pembaca untuk menyempurnakan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
No comments:
Post a Comment