A. PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Era reformasi telah membawa perubahan-perubahan mendasar dalam berbagai kehidupan termasuk kehidupan pendidikan. Salah satu perubahan mendasar adalah manajemen Negara, yaitu dari manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis daerah. Secara resmi, perubahan manajemen ini telah diwujudkan dalam bentuk Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999, yang kemudian direvisi dan disempurnakan menjadi Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pedoman pelaksanaannyapun telah dibuat melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom. Konsekuensi logis dari Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tersebut adalah bahwa manajemen pendidikan harus disesuaikan dengan jiwa dan semangat otonomi.
Penyesuaian dengan jiwa dan semangat otonomi itu, antara lain terwujud dalam bentuk perubahan arah paradigma pendidikan, dari paradigma lama ke paradigma baru, yang tentu juga berdampak pada paradigma perencanaan pendidikannya. Secara ideal, paradigma baru pendidikan tersebut mestinya mewarnai kebijakan pendidikan baik kebijakan pendidikan yang bersifat substantif maupun implementatif. Seperti yang dinyatakan oleh Azyumardi Azra (2002: xii) bahwa dengan era otonomi daerah :
Penyesuaian dengan jiwa dan semangat otonomi itu, antara lain terwujud dalam bentuk perubahan arah paradigma pendidikan, dari paradigma lama ke paradigma baru, yang tentu juga berdampak pada paradigma perencanaan pendidikannya. Secara ideal, paradigma baru pendidikan tersebut mestinya mewarnai kebijakan pendidikan baik kebijakan pendidikan yang bersifat substantif maupun implementatif. Seperti yang dinyatakan oleh Azyumardi Azra (2002: xii) bahwa dengan era otonomi daerah :
”lembaga-lembaga pendidikan, seperti sekolah, madrasah, pesantren, universitas (perguruan tinggi), dan lainnya – yang terintegrasi dalam pendidikan nasional- haruslah melakukan reorientasi, rekonstruksi kritis, restrukturisasi, dan reposisi, serta berusaha untuk menerapkan paradigma baru pendidikan nasional”. Selain itu, implementasi kebijakan tersebut diharapkan berdampak positif terhadap kemajuan pendidikan di daerah dan di tingkat satuan pendidikan.
Agar dampak positif dapat benar-benar terwujud, kemampuan perencanaan pendidikan yang baik di daerah sangatlah diperlukan. Dengan kemampuan perencanaan pendidikan yang baik diharapkan dapat mengurangi kemungkinan timbulnya permasalahan yang serius. Fiske (1996) menyatakan bahwa berdasarkan pengalaman berbagai negara sedang berkembang yang menerapkan otonomi di bidang pendidikan, otonomi berpotensi memunculkan masalah: perbenturan kepentingan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, menurunnya mutu pendidikan, inefisiensi dalam pengelolaan pendidikan, ketimpangan dalam pemerataan pendidikan, terbatasnya gerak dan ruang partisipasi masyarakat dalam pendidikan, serta berkurangnya tuntutan akuntabilitas pendidikan oleh pemerintah serta meningkatnya akuntabilitas pendidikan oleh masyarakat.
Selain itu, dengan perencanaan yang baik, konon, merupakan separoh dari kesuksesan dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan yang telah diotonomikan di daerah. Sayangnya, kata Abdul Madjid dalam tulisannya ”Pendidikan Tanpa Planning” (Kedaulatan Rakyat, 2006), bahwa rendahnya mutu pendidikan kita disebabkan oleh belum komprehensifnya pendekatan perencanaan yang digunakan. Perencanaan pendidikan, katanya, hanya dijadikan faktor pelengkap atau dokumen ”tanpa makna” sehingga sering terjadi tujuan yang ditetapkan tidak tercapai secara optimal. Dapat juga terjadi, seperti dinyatakan H. Noeng Muhadjir (2003:89), bahwa ”pembuatan implementasi kebijakan berupa perencanaan, mungkin saja dilakukan oleh para eksekutif tanpa penelitian lebih dahulu. Kemungkinan resikonya beragam, misalnya membuat kesalahan yang sama dengan eksekutif terdahulu, tidak realistis, tidak menjawab masalah yang dihadapi masyarakat, sampai ke dugaan manipulatif-koruptif ”
B. KAJIAN TEORI
1. Konsep Otonomi Daerah
Sehari sesudah merdeka, Negara Kesatuan RI pada dasarnya telah menetapkan pilihannya secara formal pada dianutnya asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Hal itu dapat disimpulkan dari bunyi Bab IV, pasal 18 UUD 1945 dan penjelasannya. Dalam pasal 18 UUD 1945, antara lain dinyatakan bahwa “pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang”. Sementara, dalam penjelasan pasal tersebut antara lain dikemukakan bahwa:
“…oleh karena negara Indonesia itu suatu “eenheidsstaat”, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah yang lebih kecil. Daerah itu bersifat otonom (streck dan locale rechtsgemeenchappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang”.
Dalam amandemen kedua UUD 1945, ketentuan tersebut mengalami perubahan. Perubahan tersebut tidak merubah esensinya, tapi lebih bersifat mempertegas, memperjelas dan melengkapi. Disebutkan, misalnya, “Negara Kesatuan RI dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah” (pasal 18 ayat 1). Pemerintah daerah tersebut mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (pasal 18 ayat 2). Selanjutnya, dikatakan bahwa pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat (pasal 18 ayat 5 UUD 1945).
Secara etimologi, perkataan otonomi berasal dari bahasa latin “autos” yang berarti sendiri dan “nomos” yang berarti aturan. Dengan demikian, mula-mula otonomi berarti mempunyai “peraturan sendiri” atau mempunyai hak/kekuasaan/kewenangan untuk membuat peraturan sendiri. Kemudian arti ini berkembang menjadi “pemerintahan sendiri”. Pemerintahan sendiri ini meliputi pengaturan atau perundang-undangan sendiri, pelaksanaan sendiri, dan dalam batas-batas tertentu juga pengadilan dan kepolisian sendiri (Josep Riwu Kaho,1991:14). Sementara itu, dalam UU No. 32/ 2004 tentang Pemerintah Daerah ditegaskan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat yang diatur dan diurus tersebut meliputi kewenangan-kewenangan yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah-daerah untuk diselenggarakan menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Josef Riwu Kaho (1991:15-17) menyebutkan berbagai teknik untuk menetapkan bidang mana yang menjadi urusan pemerintah pusat dan mana yang merupakan wewenang pemerintah daerah, yaitu (a) sistem residu, (b) sistem material, (c) sistem formal, (d) sistem otonomi riil, dan (e) prinsip otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab.
Urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat yang diatur dan diurus tersebut meliputi kewenangan-kewenangan yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah-daerah untuk diselenggarakan menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Josef Riwu Kaho (1991:15-17) menyebutkan berbagai teknik untuk menetapkan bidang mana yang menjadi urusan pemerintah pusat dan mana yang merupakan wewenang pemerintah daerah, yaitu (a) sistem residu, (b) sistem material, (c) sistem formal, (d) sistem otonomi riil, dan (e) prinsip otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab.
Dalam sistem residu, secara umum telah ditentukan lebih dahulu tugas-tugas yang menjadi wewenang pemerintah pusat, sedangkan sisanya menjadi urusan rumah tangga daerah. Kebaikannya terutama terletak pada saat timbulnya keperluan-keperluan baru, pemerintah daerah dapat dengan cepat mengambil keputusan dan tindakan yang dipandang perlu, tanpa menunggu perintah dari pusat. Sebaliknya, sistem ini dapat pula menimbulkan kesulitan mengingat kemampuan daerah yang satu dengan yang lainnya tidak sama dalam pelbagai lapangan atau bidang. Akibatnya, bidang atau tugas yang dirumuskan secara umum ini dapat menjadi terlalu sempit bagi daerah yang kemampuannya terbatas.
Sementara, dalam sistem material, tugas pemerintah daerah ditetapkan satu persatu secara limitatif atau terinci. Di luar tugas yang telah ditentukan, merupakan urusan pemerintah pusat. Kelemahannya, sistem ini kurang fleksibel karena setiap perubahan tugas dan wewenang daerah harus dilakukannya melalui prosedur yang lama dan berbelit-belit. Akibatnya, memghambat kemajuan daerah, karena mereka harus menunggu penyerahan yang nyata bagi setiap urusan. Kadang-kadang suatu urusan menjadi terbengkelai, tidak diurus oleh pemerintah pusat dan tidak pula oleh pemerintah daerah. Sedangkan dalam sistem formal, daerah boleh mengatur dan mengurus segala sesuatu yang dianggap penting bagi daerahnya, asal saja tidak mencakup urusan yang telah diatur dan diurus oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebih tinggi tingkatannya. Dengan kata lain, urusan rumah tangga daerah dibatasi oleh peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
Dalam sistem otonomi riil, penyerahan urusan atau tugas dan kewenangan kepada daerah didasarkan pada faktor yang nyata atau riil, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang riil dari daerah maupun pemerintah pusat serta pertumbuhan kehidupan masyarakat yang terjadi. Karena pemberian tugas dan kewajiban serta wewenang ini didasarkan pada keadaan riil di dalam masyarakat, maka kemungkinan yang dapat ditimbulkannya ialah bahwa tugas atau urusan yang selama ini menjadi wewenang pemerintah pusat dapat diserahkan kepada pemerintah daerah dengan melihat kepada kemampuan dan keperluannya untuk diatur dan diurus sendiri. Sebaliknya, tugas yang kini menjadi wewenang daerah, pada suatu ketika, bilamana dipandang perlu dapat diserahkan kembali kepada pemerintah pusat atau ditarik kembali dari daerah .
Dalam sistem otonomi riil, penyerahan urusan atau tugas dan kewenangan kepada daerah didasarkan pada faktor yang nyata atau riil, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang riil dari daerah maupun pemerintah pusat serta pertumbuhan kehidupan masyarakat yang terjadi. Karena pemberian tugas dan kewajiban serta wewenang ini didasarkan pada keadaan riil di dalam masyarakat, maka kemungkinan yang dapat ditimbulkannya ialah bahwa tugas atau urusan yang selama ini menjadi wewenang pemerintah pusat dapat diserahkan kepada pemerintah daerah dengan melihat kepada kemampuan dan keperluannya untuk diatur dan diurus sendiri. Sebaliknya, tugas yang kini menjadi wewenang daerah, pada suatu ketika, bilamana dipandang perlu dapat diserahkan kembali kepada pemerintah pusat atau ditarik kembali dari daerah .
Prinsip otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab dikenal dalam UU No.5 tahun 1974 sebagai salah satu variasi dari sistem otonomi riil. Dalam UU tentang Pemerintah Daerah yang baru, yaitu UU No. 22 tahun 1999, otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai, Pemerintah wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti dalam penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan. Di samping itu diberikan pula standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi, pemantauan dan evaluasi. Bersamaan dengan itu, Pemerintah wajib memberikan fasilitasi berupa pemberian peluang, kemudahan, bantuan, dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan secara efisien dan efektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2. Konsep Desentralisasi Pendidikan
Bila otonomi daerah menunjuk pada hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat, maka hal tersebut hanya mungkin jika Pemerintah Pusat mendesentralisasikan atau menyerahkan wewenang pemerintahan kepada daerah otonom. Inilah yang disebut dengan desentralisasi. Mengenai asas desentralisasi, ada banyak definisi. Secara etimologis, istilah tersebut berasal dari bahasa Latin “de”, artinya lepas dan “centrum”, yang berarti pusat, sehingga bisa diartikan melepaskan dari pusat. Sementara, dalam Undang-undang No. 32 tahun 2004, bab I, pasal 1 disebutkan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan RI. Sedangkan menurut Jose Endriga (Verania Andria & Yulia Indrawati Sari,2000:iii) desentralisasi diartikan sebagai “systematic and rasional dispersal of governmental powers and authority to lower level institutions so as to allow multi–sectoral decision making as close as possible to problem area”. Lain halnya dengan Nuril Huda (1998:4), dia mengartikan desentralisasi sebagai “delegations of responsibilities and powers to authorities at the lower levels”.
Secara konseptual, penerapan asas desentralisasi didasari oleh keinginan menciptakan demokrasi, pemerataan dan efisiensi. Diasumsikan bahwa desentralisasi akan menciptakan demokrasi melalui partisipasi masyarakat lokal. Dengan sistem yang demokratis ini diharapkan akan mendorong tercapainya pemerataan pembangunan terutama di daerah pedesaan dimana sebagian besar masyarakat tinggal. Sedangkan efisiensi dapat meningkat karena jarak antara pemerintah lokal dengan masyarakat menjadi lebih dekat, penggunaan sumber daya digunakan saat dibutuhkan dan masalah diidentifikasi oleh masyarakat lokal sehingga tak perlu birokrasi yang besar untuk mendukung pemerintah lokal. Sementara itu, Kotter (1997) dalam buku “Leading Change”, menyatakan bahwa lembaga yang terdesentralisasi memiliki beberapa keunggulan, antara lain : (1) lebih fleksibel, dapat memberikan respon dengan cepat terhadap lingkungan dan kebutuhan yang selalu berubah, (2) lebih efektif, (3) lebih inovatif, dan (4) menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi, lebih komitmen dan lebih produktif. Sedangkan Achmad Budiono, M.Irfan & Yuli Andi (1998:216) menyatakan bahwa dengan pengambilan keputusan dalam organisasi ke tingkat yang lebih rendah maka akan cenderung memperoleh keputusan yang lebih baik. Desentralisasi bukan saja memperbaiki kualitas keputusan tetapi juga kualitas pengambilan keputusan. Dengan desentralisasi, pengambilan keputusan lebih cepat, lebih luwes dan konstruktif.
Istilah desentralisasi muncul dalam paket UU tentang otonomi daerah yang pelaksanaannya dilatarbelakangi oleh keinginan segenap lapisan masyarakat untuk melakukan reformasi dalam semua bidang pemerintahan. Menurut Bray dan Fiske (Depdiknas, 2001:3) desentralisasi pendidikan adalah suatu proses di mana suatu lembaga yang lebih rendah kedudukannya menerima pelimpahan kewenangan untuk melaksanakan segala tugas pelaksanaan pendidikan, termasuk pemanfaatan segala fasilitas yang ada serta penyusunan kebijakan dan pembiayaan. Senada dengan itu, Husen & Postlethwaite (1994:1407) mengartikan desentralisasi pendidikan sebagai “the devolution of authority from a higher level of government, such as a departement of education or local education authority, to a lower organizational level, such as individual schools”. Sementara itu, menurut Fakry Gaffar (1990:18) desentralisasi pendidikan merupakan sistem manajemen untuk mewujudkan pembangunan pendidikan yang menekankan pada keberagaman, dan sekaligus sebagai pelimpahan wewenang dan kekuasaan dalam pembuatan keputusan untuk memecahkan berbagai problematika sebagai akibat ketidaksamaan geografis dan budaya, baik menyangkut substansi nasional, internasional atau universal sekalipun.
Bila dicermati, esensi terpenting dari berbagai pengertian di atas adalah otoritas yang diserahkan. Williams (Depdiknas, 2001:3-4) membedakan adanya dua macam otoritas (kewenangan dan tanggung jawab) yang diserahkan dari pemerintah pusat ke pemerintah yang lebih rendah, yaitu desentralisasi politis (political decentralization) dan desentralisasi administrasi (administrative decentralization). Perbedaan antar keduanya terletak dalam hal tingkat kewenangan yang dilimpahkan.
Pada desentralisasi politik, kewenangan yang dilimpahkan bersifat mutlak. Pemda menerima kewenangan melaksanakan tanggung jawab secara menyeluruh. Ia memegang otoritas untuk menentukan segala kebijakan tentang penyelenggaraan pendidikan untuk masyarakatnya. Hal itu mencakup kewenangan untuk menentukan model, jenis, sistem pendidikan, pembiayaan, serta lembaga apa yang akan melaksanakan kewenangan-kewenangan tersebut. Sedangkan dalam desentralisasi administrasi, kewenangan yang dilimpahkan hanya berupa strategi pelaksanaan tugas-tugas pendidikan di daerah. Dengan kata lain, kewenangan yang diserahkan berupa strategi pengelolaan yang bersifat implementatif untuk melaksanakan suatu fungsi pendidikan. Dalam desentralisasi model ini, pemerintah pusat masih memegang kekuasaan tertinggi dalam menentukan kebijakan makro, sedangkan pemerintah daerah mempunyai kewajiban dan kewenangan untuk merencanakan, mengatur, menyediakan dana dan fungsi-fungsi implementasi kebijakan lainnya.
Mengapa bidang pendidikan didesentralisasikan? Tentang hal itu, ada berbagai pendapat dari para ahli. Husen & Postlethwaite (1994:1407) menguraikan mengenai alasan desentralisasi (reasons for decentralization), yaitu (a) the improvement of schools, (b) the belief that local participation is a logical form of governance in a democracy, dan (c) in relation to fundamental values of liberty, equality, fraternity, efficiency, and economic growth. Sementara itu, setelah melakukan studi di berbagai negara, Fiske (1998:24-47) menyebutkan sekurang-kurangnya ada empat alasan rasional diterapkannya sistem desentralisasi, termasuk pendidikan, yaitu (a) alasan politis, seperti untuk mempertahankan stabilitas dalam rangka memperoleh legitimasi pemerintah pusat dari masyarakat daerah, sebagai wujud penerapan ideologi sosialis dan laissez-faire dan untuk menumbuhkan kehidupan demokrasi, (b) alasan sosio-kultural, yakni untuk memberdayakan masyarakat lokal, (c) alasan teknis administratif dan paedagogis, seperti untuk memangkas manajemen lapisan tengah agar dapat membayar gaji guru tepat waktu atau untuk meningkatkan antusiasme guru dalam proses belajar mengajar, (d) alasan ekonomis-finansial, seperti meningkatkan sumber daya tambahan untuk pembiayaan pendidikan dan sebagai alat pembangunan ekonomi.
Sementara itu, Kacung Marijan (Abdurrahmansyah, 2001:58) melihat penerapan desentralisasi pendidikan di Indonesia justru sebagai gejala keputusasaan pemerintah dalam menghadapi persoalan keuangan. Sedangkan Arbi Sanit (2000:1) memandang penerapan desentralisasi secara umum sebagai “jalan keluar” bagi problematik ketimpangan kekuasaan antara pemerintah nasional dan pemerintah lokal. Karena itu, menurutnya, konsep desentralisasi bertolak dari asumsi pemberian sebagian kekuasaan pemerintah pusat kepada pemerintah lokal atau yang lebih rendah dalam rangka mencapai tujuan nasional. Pemberian sebagian kekuasaan tersebut untuk mengatasi kekecewaan daerah terhadap pemerintah pusat, yang berakar pada persoalan: (1) ketimpangan struktur ekonomi Jawa-Luar Jawa, (2) sentralisasi politik, (3) korupsi birokrasi, (4) eksploitasi SDA, (5) represi dan pelanggaran HAM, dan (6) penyeragaman politik hingga kultural.
Tujuan desentralisasi pendidikan adalah untuk memperbaiki proses pengambilan keputusan dengan melibatkan lebih banyak stakeholders di daerah, untuk menghasilkan integrasi sekolah dengan masyarakat lokal secara terus menerus, untuk mendekatkan sekolah dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat, dan akhirnya untuk memperbaiki motivasi, kehadiran dan pencapaian murid. Selain itu, desentralisasi tersebut juga dalam rangka memberi kesempatan kepada rakyat atau masyarakat luas untuk berpartisipasi secara aktif dan kreatif sehingga pendidikan mampu menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas yang akan bermanfaat bagi pembangunan daerah.
3. Paradigma Baru Pendidikan
Era otonomi daerah telah mengakibatkan terjadinya pergeseran arah paradigma pendidikan, dari paradigma lama ke paradigma baru, meliputi berbagai aspek mendasar yang saling berkaitan, yaitu (1) dari sentralistik menjadi desentralistik, (2) dari kebijakan yang top down ke kebijakan yang bottom up, (3) dari orientasi pengembangan parsial menjadi orientasi pengembangan holistik, (4) dari peran pemerintah sangat dominan ke meningkatnya peranserta masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif, serta (5) dari lemahnya peran institusi non sekolah ke pemberdayaan institusi masyarakat, baik keluarga, LSM, pesantren, maupun dunia usaha (Fasli Jalal, 2001: 5).4
Agak berbeda dengan hal tersebut, dalam buku Depdiknas (2002:10) tentang Materi Pelatihan Terpadu untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota, selain perubahan paradigma dari “sentralistik ke desentralistik” dan orientasi pendekatan “dari atas ke bawah” (top down approach) ke pendekatan “dari bawah ke atas” (bottom up approach) sebagaimana yang sudah disebut dalam buku Fasli Jalal, juga disebutkan tiga paradigma baru pendidikan lainnya, yaitu dari “birokrasi berlebihan” ke “debirokratisasi”, dari “Manajemen Tertutup” (Closed Management) ke “Manajemen Terbuka” (Open Management), dan pengembangan pendidikan, termasuk biayanya, “terbesar menjadi tanggung jawab pemerintah” berubah ke “sebagian besar menjadi tanggung jawab orang tua siswa dan masyarakat (stakeholders). Bila kedua pendapat di atas dianalisis dan disintesakan, maka wujud pergeseran paradigma pendidikan tersebut meliputi sebagai berikut.
a) Dari sentralisasi ke desentralisasi pendidikan
Sebelum otonomi, pengelolaan pendidikan sangat sentralistik. Hampir seluruh kebijakan pendidikan dan pengelolaan pelaksanaan pendidikan diatur dari Depdikbud. Seluruh jajaran, tingkat Kanwil Depdikbud, tingkat Kakandep Dikbud Kabupaten/Kota, bahkan sampai di sekolah-sekolah harus mengikuti dan taat terhadap kebijakan-kebijakan yang seragam secara nasional, dan petunjuk-petunjuk pelaksanaannya. Kakandep dan sekolah-sekolah tidak diperkenankan merubah, menambah dan mengurangi yang sudah ditetapkan oleh Depdikbud/Kanwil Depdikbud, sekalipun tidak sesuai dengan kondisi, potensi, kebutuhan sekolah dan masyarakat di daerah.
Dalam era reformasi, paradigma sentralistik berubah ke desentralistik. Desentralistik dalam arti pelimpahan sebagian wewenang dan tanggung jawab dari Depdiknas ke Dinas Pendidikan Propinsi, dan sebagian lainnya kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, bahkan juga kepada sekolah-sekolah. Pada perguruan tinggi negeri/swasta dilimpahkan kepada rektor, bahkan juga pada fakultas, dan juga pada jurusan/program studi
Dengan UU dan Peraturan Pemerintah mengenai otonomi daerah, Kabupaten/Kota dan DPRD Kabupaten/Kota, diberi wewenang membuat Peraturan-Peraturan Daerah, mengenai pendidikan tingkat Kabupaten/Kota. Dengan desentralisasi manajemen pendidikan tersebut, Dinas Pendidikan tingkat Kabupaten/Kota sebagai perangkat pemerintah Kabupaten/Kota yang otonom, dapat membuat kebijakan-kebijakan pendidikan, masing-masing sesuai wewenang yang dilimpahkan kepada pemerintah Kabupaten/Kota dalam bidang pendidikan. Bahkan dalam pengelolaan pendidikan pada tingkat Kabupaten/Kota, setiap sekolah juga diberi peluang untuk membuat kebijakan sekolah (school policy) masing-masing atas dasar konsep “manajemen berbasis sekolah” dan “pendidikan berbasis masyarakat”. Dengan demikian, sebagian perubahan dan kemajuan pendidikan tingkat Kabupaten/Kota sangat bergantung pada kemampuan mengembangkan kebijakan pendidikan dari masing-masing Kepala Dinas Pendidikan tingkat Kabupaten/Kota.
Desentralisasi manajemen pendidikan tersebut, dilaksanakan sejalan dengan proses demokratisasi, sebagai proses distribusi tugas dan tanggung jawab dari Depdiknas sampai di unit-unit satuan pendidikan. Iklim dan suasana serta mekanisme demokratis bertumbuh dan berkembang pada seluruh tingkat dan jalur pengelolaan pendidikan, termasuk di sekolah-sekolah dan di kelas-kelas ruang belajar.
b) Dari kebijakan yang top down ke kebijakan yang bottom up;
Sebelum otonomi, pendekatan pengembangan dan pembinaan pendidikan dilakukan dengan mekanisme pendekatan “dari atas ke bawah” (top down approach) Berbagai kebijakan pengembangan/pembinaan pendidikan hampir seluruhnya ditentukan oleh Depdikbud, dan dalam hal khusus di Propinsi ditentukan oleh Kanwil Depdikbud, dan dalam hal khusus lainnya di Kabupaten/Kota ditentukan oleh Kakandepdikbud, untuk dilaksanakan oleh seluruh jajaran pelaksana di wilayah, termasuk di sekolah-sekolah.
Lain halnya dalam era reformasi, sebagian besar upaya pengembangan pendidikan dilakukan dengan orientasi pendekatan “dari bawah ke atas” (bottom up approach). Pendekatan bottom up harus terjadi dalam pengambilan keputusan di setiap level instansi, misalnya sekolah, Dinas Kabupaten/Kota, yayasan penyelenggara pendidikan, dan sebagainya. Berbagai aspirasi dan kebutuhan yang menjadi kepentingan umum, sesuai kondisi, potensi dan prospek sekolah, diakomodasi oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, sesuai wewenang dan tanggung jawabnya. Dan hal-hal lainnya yang menjadi wewenang dan tanggung jawab Dinas Propinsi diselesaikan pada tingkat Depdiknas.
Oleh karenanya, tidak heran bila di Kabupaten/Kota sering terjadi “unjuk rasa” para guru, siswa, orang tua siswa, dan masyarakat menuntut perbaikan kebijakan pendidikan yang tidak sesuai dengan harapan mereka. Dan berbagai aspirasi yang baik sudah seyogyanya diterima oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota untuk ditindaklanjuti.
c) Dari orientasi pengembangan yang parsial ke orientasi pengembangan yang holistik
Sebelum otonomi, orientasi pengembangan bersifat parsial. Misalnya, pendidikan lebih ditekankan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, menciptakan stabilitas politik dan teknologi perakitan (Fasli Jalal, 2001:5). Pendidikan juga terlalu menekankan segi kognitif, sedangkan segi spiritual, emosional, sosial, fisik dan seni kurang mendapatkan tekanan (Paul Suparno, 2003:98). Akibatnya anak didik kurang berkembang secara menyeluruh. Dalam pembelajaran yang ditekankan hanya to know (untuk tahu), sedangkan unsur pendidikan yang lain to do (melakukan), to live together (hidup bersama), to be (menjadi) kurang menonjol. Di Indonesia kesadaran akan hidup bersama kurang mendapat tekanan, dengan akibat anak didik lebih suka mementingkan hidupnya sendiri. Selain itu, pendekatan dan pengajaran di sekolah kebanyakan terpisah-pisah dan kurang integrated. Setiap mata pelajaran berdiri sendiri, seakan tidak ada kaitan dengan pelajaran lain.
Berbeda dengan itu, setelah reformasi orientasi pengembangan bersifat holistik. Pendidikan diarahkan untuk pengembangan kesadaran untuk bersatu dalam kemajemukan budaya, menjunjung tinggi nilai moral, kemanusiaan dan agama, kesadaran kreatif, produktif, dan kesadaran hukum (Fasli Jalal, 2001:5). Menurut Paul Suparno (2003:100), pendidikan holistik dipengaruhi oleh pandangan filsafat holisme, yang cirinya adalah keterkaitan (connectedness), keutuhan (wholeness), dan proses menjadi (being).
Konsep saling keterkaitan mengungkapkan bahwa saling keterkaitan antara suatu bagian dari suatu sistem dengan bagian-bagian lain dan dengan keseluruhannya. Maka tidak mungkin suatu bagian dari suatu sistem lepas sendiri dari sistem itu dan lepas dari bagian-bagian yang lain. Saling keterkaitan dapat dijabarkan dalam beberapa konsep berikut, yaitu interdependensi, interrelasi, partisipasi dan non linier (Hent, 2001). Interdependensi adalah saling ketergantungan satu unsur dengan yang lain. Masing-masing tidak akan menjadi penuh berkembang tanpa yang lain. Ada saling ketergantungan antara guru dengan siswa, antara siswa dengan siswa lain, antara guru dengan guru lain, dan lain-lain.
Interrelasi dimaksudkan sebagai adanya saling kaitan, saling berhubungan antara unsur yang satu dengan yang lain dalam pendidikan. Ada hubungan antara pendidik dengan yang dididik, antara siswa dengan siswa lain, antara pendidik dengan pendidik lain. Relasi ini bukan hanya relasi berkaitan dengan pengajaran tetapi juga relasi sebagai manusia, sebagai pribadi. Partisipasi dimaksudkan sebagai keterlibatan, ikut andil dalam sistem itu. Dalam pendidikan secara nyata siswa hanya akan berkembang bila terlibat, ikut aktif didalamnya. Non linier menunjukkan bahwa tidak dapat ditentukan secara linier serba jelas sebelumnya. Ada banyak hal yang tidak dapat diprediksikan sebelumnya dalam pendidikan, meski kita telah menentukan unsur-unsurnya. Kita dapat membantu anak-anak dengan segala macam nilai yang baik, namun dapat terjadi mereka berkembang tidak baik. Pendekatan pendidikan yang mekanistis tidak tepat lagi. Pendidikan tidak dipikirkan lagi secara linier, seakan-akan bila langkah-langkahnya jelas lalu hasilnya menjadi jelas; tetapi lebih kompleks dan ada keterbukaan terhadap unsur yang tidak dapat ditentukan sebelumnya.
Prinsip keutuhan menyatakan bahwa keseluruhan adalah lebih besar daripada penjumlahan bagian-bagiannya. Prinsip keutuhan sangat jelas diwujudkan dengan memperhatikan semua segi kehidupan dalam membantu perkembangan pribadi siswa secara menyeluruh dan utuh. Maka, segi intelektual, sosial, emosional, spiritual, fisik, seni, semua mendapat porsi yang seimbang. Salah satu unsur tidak lebih tinggi dari yang lain sehingga mengabaikan yang lain. Kurikulum dibuat lebih menyeluruh dan memasukkan banyak segi. Pendekatan terhadap siswapun lebih utuh dengan memperhatikan unsur pribadi, lingkungan dan budaya. Pembelajaran lebih menggunakan inteligensi ganda, dengan mengembangkan IQ, SQ, dan EQ secara integral.
Prinsip ”proses menjadi” mengungkapkan bahwa manusia memang terus berkembang menjadi semakin penuh. Dalam proses menjadi penuh itu unsur partisipasi, keaktifan, tanggung jawab, kreativitas, pertumbuhan, refleksi, dan kemampuan mengambil keputusan sangat penting. Proses itu terus-menerus dan selalu terbuka terhadap perkembangan baru. Dalam pendidikan, prinsip kemenjadian ini ditonjolkan dengan pendekatan proses, siswa diaktifkan untuk mencari, menemukan dan berkembang sesuai dengan keputusan dan tanggungjawabnya. Dalam proses itu, siswa diajak lebih banyak mengalami sendiri, berefleksi dan mengambil makna bagi hidupnya. Dalam proses ini siswa dibantu sungguh menjadi manusia yang utuh, bukan hanya menjadi calon pekerja atau pengisi lowongan kerja.
d) Dari peran pemerintah yang dominan ke meningkatnya peranserta masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif.
Sebelum otonomi, peran pemerintah sangat dominan. Hampir semua aspek dari pendidikan diputuskan kebijakan dan perencanaannya di tingkat Pusat, sehingga daerah terkondisikan lebih hanya sebagai pelaksana (Sumarno, 2001:3). Pendidikan dikelola tanpa mengembangkan kemampuan kreativitas masyarakat, malah cenderung meniadakan partisipasi masyarakat di dalam pengelolaan pendidikan. Lembaga pendidikan terisolasi dan tanggung jawab sepenuhnya ada pada pemerintah pusat. Sedangkan masyarakat tidak mempunyai wewenang untuk mengontrol jalannya pendidikan. Selain itu, dengan sendirinya orang tua dan masyarakat, sebagai constituent dari sistem pendidikan nasional yang terpenting, telah kehilangan peranannya dan tanggung jawabnya. Mereka, termasuk peserta didik, telah menjadi korban, yaitu sebagai obyek dari sistem yang otoriter. (Tilaar, 1999:113)
Sesudah otonomi, ada perluasan peluang bagi peran serta masyarakat dalam pendidikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Oleh karena itu, untuk mendorong partisipasi masyarakat, di tingkat Kabupaten/Kota dibentuk Dewan Pendidikan, sedangkan di tingkat sekolah dibentuk komite sekolah. Pembentukan komite sekolah didasarkan pada keputusan Mendiknas No.044/U/2002 tentang panduan pembentukan komite sekolah
Menurut panduan, pembentukan komite sekolah dilakukan secara transparan, akuntabel, dan demokratis. Transparan berarti bahwa komite sekolah harus dibentuk secara terbuka dan diketahui oleh masyarakat secara luas mulai dari tahap pembentukan panitia persiapan, proses sosialisasi oleh panitia persiapan, kriteria calon anggota, proses seleksi calon anggota, pengumuman calon anggota, proses pemilihan, dan penyampaian hasil pemilihan. Akuntabel berarti bahwa panitia persiapan pembentukan komite sekolah hendaknya menyampikan laporan pertanggungjawaban kinerjanya maupun penggunaan dan kepanitiaan. Sedangkan secara demokratis berarti bahwa dalam proses pemilihan anggota dan pengurus dilakukan dengan musyawarah mufakat. Jika dipandang perlu, dapat dilakukan melalui pemungutan suara.
e) Dari lemahnya peran institusi non sekolah ke pemberdayaan institusi masyarakat.
Sebelum era otonomi, peran institusi non sekolah sangat lemah. Dalam era otonomi, masyarakat diberdayakan dengan segenap institusi sosial yang ada di dalamnya, terutama institusi yang dilekatkan dengan fungsi mendidik generasi penerus bangsa. Berbagai institusi kemasyarakatan ditingkatkan wawasan, sikap, kemampuan, dan komitmennya sehingga dapat berperan serta secara aktif dan bertanggung jawab dalam pendidikan. Institusi pendidikan tradisionil seperti pesantren, keluarga, lembaga adat, berbagai wadah organisasi pemuda bahkan partai politik bukan hanya diberdayakan sehingga dapat mengembangkan fungsi pendidikan dengan lebih baik, melainkan juga diupayakan untuk menjadi bagian yang terpadu dari pendidikan nasional.
Demikian juga, ada upaya peningkatan partisipasi dunia usaha/industri dan sektor swasta dalam pendidikan karena sebagai pengguna sudah semestinya dunia usaha juga ikut bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan. Apabila lebih banyak institusi kemasyarakatan peduli terhadap pendidikan maka pendidikan akan lebih mampu menjangkau berbagai kelompok sasaran khusus seperti kelompok wanita dan anak-anak kurang beruntung (miskin, berkelainan, tinggal di daerah terpencil dan sebagainya).
Dalam upaya pemberdayaan masyarakat, perlu dilakukan pembenahan sebagai kebijakan dasar, yaitu pengembangan kesadaran tunggal dalam kemajemukan, pengembangan kebijakan sosial, pengayaan berkelanjutan (continuous enrichment) dan pengembangan kebijakan afirmatif (affirmative policy) (Fasli Jalal, 2001:72-73).
f) Dari ”birokrasi berlebihan” ke ”debirokratisasi”.
Sebelum otonomi, berbagai kegiatan pengembangan dan pembinaan diatur dan dikontrol oleh pejabat-pejabat (birokrat-birokrat) melalui prosedur dan aturan-aturan (regulasi) yang ketat, bahkan sebagiannya sangat ketat dan kaku oleh Kandepdikbud/Kanwildikbud. Hal ini mempengaruhi pengelolaan sebagian sekolah-sekolah, dalam iklim ”birokrasi berlebihan”. Dalam kondisi yang demikian, tidak jarang ditemukan adanya ”kasus birokrasi yang berlebihan” dari sebagian pejabat birokrat yang menggunakan ”kekuasaan berlebihan” dalam pembinaan guru, siswa, dan pihak-pihak lainnya. Keadaan ini telah mematikan prakarsa, daya cipta, dan karya inovatif di sekolah-sekolah.
Dalam era reformasi, terjadi proses ”debirokratisasi” dengan jalan memperpendek jalur birokrasi dalam penyelesaian masalah-masalah pendidikan secara profesional, bukan atas dasar ”kekuasaan” atau peraturan belaka. Hal ini sesuai dengan prinsip profesionalisme dalam pendidikan, dan juga pelimpahan wewenang dan tanggung jawab dalam desentralisasi. Di samping itu juga dilakukan ”deregulasi”, dalam arti ”pengurangan” aturan-aturan kebijakan pendidikan yang tidak sesuai dengan kondisi, potensi, dan prospek sekolah, dan kepentingan masyarakat (stakeholders) untuk berpartisipasi terhadap sekolah, dalam bentuk gagasan penyempurnaan kurikulum, peningkatan mutu guru, dana dan prasarana/sarana untuk sekolah.
g) Dari ”manajemen tertutup” (close management) ke ”management terbuka” (open management).
Sebelum otonomi, diterapkan bentuk-bentuk ”manajemen tertutup”, sehingga tidak transparan, tidak ada akuntabilitas kepada publik dalam pengelolaan pendidikan.
Dalam era reformasi, manajemen pendidikan menerapkan ”manajemen terbuka” dari pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan sampai pada evaluasi, bahkan perbaikan kebijakan. Seluruh sumber daya yang digunakan dalam pendidikan dipertanggungjawabkan secara terbuka kepada seluruh kelompok masyarakat (stakeholders), dan selanjutnya terbuka untuk menerima kritikan perbaikan bila ditemukan hal-hal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
h) Dari pengembangan pendidikan ”terbesar menjadi tanggung jawab pemerintah” berubah ke ”sebagian besar menjadi tanggung jawab orang tua siswa dan masyarakat (stakeholders).
Sebelum otonomi, pengembangan pendidikan, termasuk pembiayaan, terbesar menjadi tanggung jawab pemerintah, dibandingkan dengan menjadi tanggung jawab orang tua siswa dan masyarakat (stakeholders).
Dalam era reformasi, pengembangan pendidikan, termasuk pembiayaan pendidikan, berupa gaji honorarium/tunjangan mengajar, penataran/pelatihan, rehabilitasi gedung dan lain-lain, diupayakan supaya sebagian besar akan menjadi tanggung jawab orang tua siswa dan masyarakat (stakeholders). Kemajuan pendidikan tingkat Kabupaten/Kota akan banyak bergantung pada partisipasi orang tua siswa dan masyarakat serta pemerintah Kabupaten/Kota masing-masing, di samping proyek-proyek khusus, dan juga kemudahan dan pengendalian mutu dan hal-hal kepentingan nasional lainnya dari DEPDIKNAS, dan dari Dinas Propinsi.
4. Paradigma Baru Perencanaan Pendidikan
Dengan terjadinya perubahan paradigma baru pendidikan, maka sistem perencanaan pendidikan dalam iklim pemerintahan yang sentralistik, sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan perencanaan pendidikan pada era otonomi daerah, sehingga diperlukan paradigma baru perencanaan pendidikan. Menurut Mulyani A. Nurhadi (2001:2), perubahan paradigma dalam sistem perencanaan pendidikan di daerah setidak-tidaknya akan menyentuh lima aspek, yaitu sifat, pendekatan, kewenangan pengambilan keputusan, produk serta pola perencanaan anggaran.
Dari segi sifat perencanaan pendidikan, maka perencanaan pendidikan pada tingkat daerah sebagai kegiatan awal dari proses pengelolaan pendidikan termasuk kegiatan yang wajib dilaksanakan oleh daerah. Sementara itu, Pemerintah Pusat berkewajiban merumuskan kebijakan tentang perencanaan nasional, yang dalam pelaksanaannya telah dituangkan dalam bentuk Undang-Undang RI No.25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional. Pada tingkat Departemen, Propenas ini dijabarkan lebih lanjut ke dalam dokumen Rencana Strategis (Renstra) yang memuat strategi umum untuk mencapai tujuan program pembangunan di bidang masing-masing dan dituangkan dalam Keputusan Menteri. Berdasarkan Renstra itu, Pemerintah Pusat menyusun Program pembangunan tahunan yang disingkat Propeta yang dituangkan dalam Keputusan Menteri, sesuai dengan lingkup tugas dan kewenangan masing-masing.
Selain itu, pada era otonomi daerah diharapkan akan lebih tumbuh kreativitas dan prakarsa, serta mendorong peran serta masyarakat sesuai dengan potensi dan kemampuan masing-masing daerah. Ini berarti bahwa dalam membangun pendidikan di daerah Kabupaten/Kota perlu dilandasi dengan perencanaan pendidikan tingkat daerah yang baik dan distinktif, tidak hanya bertumpu kepada perencanaan nasional yang makro, tetapi juga dapat mempertimbangkan keunikan, kemampuan, dan budaya daerah masing-masing sehingga mampu menumbuhkan prakarsa dan kreativitas daerah. Perencanaan program pendidikan di daerah bukan lagi merupakan bagian atau fotokopi dari perencanaan program tingkat nasional maupun propinsi, tetapi merupakan perencanaan pendidikan yang unik dan mandiri sehingga beragam, walaupun disusun atas dasar rambu-rambu kebijakan perencanaan nasional.
Dari segi pendekatan perencanaan pendidikan, era otonomi telah merubah paradigma dalam pendekatan perencanaan pendidikan di daerah dari pendekatan diskrit sektoral menjadi integrated dengan sektor lainnya di daerah. Sebelum otonomi, sistem alokasi anggaran pendidikan di daerah diperoleh dari APBN pusat secara sektoral pada sektor pendidikan, Pemuda dan Olahraga, serta Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, namun setelah otonomi diperoleh dari APBD yang berasal dari berbagai sumber sebagai bagian dari dana Daerah untuk seluruh sektor yang menjadi tanggung jawab daerah. Sumber-sumber itu meliputi dana bagi hasil, dana alokasi umum, dana dekonsentrasi, dana perbantuan, pendapatan asli daerah, dan bantuan masyarakat. Dengan demikian, telah terjadi perubahan sumber anggaran yang semula bersifat tunggal-hierarkhi-sektoral sekarang menjadi jamak-fungsional-regional, tetapi dalam persaingan antar sektor.
Dari segi kewenangan pengambilan keputusan, sistem perencanaan pendidikan yang sentralistik telah menutup kewenangan Daerah dalam pengambilan keputusan di bidang pendidikan baik pada tataran kebijakan, skala prioritas, jenis program, jenis kegiatan, bahkan dalam hal rincian alokasi anggaran. Namun, dalam era otonomi Daerah dapat dan harus menetapkan kebijakan, program, skala prioritas, jenis kegiatan sampai dengan alokasi anggarannya sesuai dengan kemampuan Daerah, sepanjang tidak bertentangan dengan kebijakan nasional yang antara lain dalam bentuk Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang ditetapkan.
Sementara dari segi produk perencanaan pendidikan, pada era desentralisasi produk perencanaan pendidikan diharapkan merupakan bagian tak terpisahkan dari perencanaan pembangunan Daerah secara lintas sektoral. Oleh karena itu, produk
Dalam UU tersebut, yang dimaksud dengan Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka pendek, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah.
Dalam penjelasan UU tersebut, perencanaan partisipatif disebut hanya sebagai salah satu dari lima pendekatan dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Keempat pendekatan lainnya adalah pendekatan politik, teknokratik, atas-bawah (top-down) dan bawah-atas (bottom–up). Perencanaan dengan pendekatan partisipatif dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) terhadap pembangunan. Pelibatan mereka adalah untuk mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki perencanaan pendidikan yang dihasilkan harus mencakup seluruh komponen perencanaan pendidikan yang meliputi: kebijakan, rencana strategis, skala prioritas, program, sasaran dan kegiatan, serta alokasi anggarannya dalam konteks perencanaan pembangunan Daerah secara terpadu. Semua komponen itu perlu dikembangkan secara spesifik sesuai dengan kemampuan dan kharakteristik Daerah, sejauh tidak bertentangan dengan kebijakan umum, prioritas nasional, dan program-program strategis yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
C. HASIL PEMIKIRAN DAN PEMBAHASAN
1. Hubungan antar perencanaan pembangunan di daerah dengan dokumen perencanaan lainnya
Paradigma baru perencanaan pendidikan di atas, tentu saja berimplikasi pada proses perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota. Dalam era otonomi daerah, Sistem Perencanaan Pendidikan Kabupaten/Kota (SPPK) adalah bagian integral dari sistem Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten/Kota. Berdasarkan amanah UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, terjadi perubahan paradigma perencanaan pembangunan daerah, yaitu mendasarkan pada perencanaan partisipatif, di mana perencanaan dibuat dengan memperhatikan dinamika, prakarsa dan kebutuhan masyarakat setempat. Oleh karenanya, dalam penyusunan perencanaan pembangunan tersebut diperlukan koordinasi antar instansi Pemerintah dan partisipasi seluruh pelaku pembangunan, melalui suatu forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) tingkat kelurahan, tingkat kecamatan, dan tingkat Kota, serta forum Satuan Kerja Perangkat Daerah. Setiap perencanaan pembangunan daerah selanjutnya harus ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) untuk periode 20 tahun, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) untuk periode 5 tahun dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), untuk periode satu tahun.
2. Model Perencanaan Pendidikan Kabupaten/Kota
Berikut gambaran mengenai tahap-tahap perencanaan pendidikan kabupaten/kota. Secara singkat, penjelasannya adalah sebagai berikut.
a. Melakukan analisis lingkungan strategis. Lingkungan strategis adalah lingkungan eksternal yang berpengaruh terhadap perencanaan pendidikan kabupaten/kota, misalnya: Propeda, Renstrada, Repetada, peraturan perundangan (UU, PP, Kepres, Perda, dsb), tingkat kemiskinan, lapangan kerja, harapan masyarakat terhadap pendidikan, pengalaman-pengalaman praktek yang baik, tuntutan otonomi, tuntutan globalisasi, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan lingkungan strategis harus diinternalisasikan ke dalam perencanaan pendidikan kabupaten/kota agar perencanaan tersebut benar-benar menyatu dengan perubahan lingkungan strategis.
b. Melakukan analisis situasi untuk mengetahui status situasi pendidikan saat ini (dalam kenyataan) yang meliputi profil pendidikan kabupaten/kota (pemerataan, mutu, efisiensi, dan relevansi), pemetaan sekolah/ guru/ siswa, kapasitas manajemen dan sumber daya pada tingkat kabupaten/kota dan sekolah, dan best practices pendidikan saat ini.
c. Memformulasikan pendidikan yang diharapkan di masa mendatang yang dituangkan dalam bentuk rumusan visi, misi, dan tujuan pendidikan, yang mencakup setidaknya pemerataan kesempatan, mutu, efisiensi, relevansi, dan peningkatan kapasitas pendidikan kabupaten/kota.
d. Mencari kesenjangan antara butir (b) dan butir (c) sebagai bahan masukan bagi penyusunan rencana pendidikan keseluruhan yang akan datang (5 tahun) dan rencana jangka pendek (1 tahun). Kesenjangan/tantangan yang dimaksud mencakup pemerataan kesempatan, mutu, efisiensi, relevansi dan pengembangan kapasitas manajemen pendidikan pada tingkat kabupaten dan sekolah.
e. Berdasarkan hasil butir (d) disusunlah rencana kegiatan tahunan untuk selama 5 tahun (rencana strategis) dan rencana kegiatan rinci tahunan (rencana operasional/renop).
f. Melaksanakan rencana pengembangan pendidikan kabupaten/kota melalui upaya-upaya nyata yang dapat meningkatkan pemerataan kesempatan, mutu, efisiensi, relevansi dan kapasitas manajemen pendidikan pada tingkat kabupaten/kota dan sekolah.
g. Melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan rencana dan melakukan evaluasi terhadap hasil rencana pendidikan. Hasil evaluasi akan memberitahu apakah hasil pendidikan sesuai dengan yang direncanakan.
Sebagaimana sudah disebut secara implisit di atas, bahwa pada hakekatnya sebuah perencanaan dibuat dalam rangka mengubah ”situasi pendidikan saat ini” (dalam kenyataan) menuju ke ”situasi pendidikan yang diharapkan” di masa mendatang. Untuk itu, ada tiga kata kunci yang harus dipahami, yaitu kebijakan, perencanaan dan program pendidikan.
I. Kebijakan Pendidikan
Kebijakan dibuat mengacu pada paradigma baru pendidikan. Kebijakan adalah suatu ucapan atau tulisan yang memberikan petunjuk umum tentang penetapan ruang lingkup yang memberi batas dan arah umum kepada para manajer untuk bergerak. Kebijakan juga berarti suatu keputusan yang luas untuk menjadi patokan dasar bagi pelaksanaan manajemen. Keputusan yang dimaksud telah dipikirkan secara matang dan hati-hati oleh pengambil keputusan puncak dan bukan kegiatan-kegiatan yang berulang dan rutin yang terprogram atau terkait dengan aturan-aturan keputusan (Nurkolis, 2004).
Sementara, menurut Slamet P.H.(2005), kebijakan pendidikan adalah apa yang dikatakan (diputuskan) dan dilakukan oleh pemerintah dalam bidang pendidikan. Dengan demikian, kebijakan pendidikan berisi keputusan dan tindakan yang mengalokasikan nilai-nilai. Menurutnya, kebijakan pendidikan meliputi lima tipe, yaitu kebijakan regulatori, kebijakan distributif, kebijakan redistributif, kebijakan kapitalisasi Situasi dan kebijakan etik. Sedangkan Noeng Muhadjir (2003: 90), membedakan antara kebijakan substantif dan kebijakan implementatif. Kebijakan implementatif adalah penjabaran sekaligus operasionalisasi dari kebijakan substantif.
Sementara itu, Sugiyono (2003) mengemukakan tiga pengertian kebijakan (policy) yaitu (1) sebagai pernyataan lesan atau tertulis pimpinan tentang organisasi yang dipimpinnya, (2) sebagai ketentuan-ketentuan yang harus dijadikan pedoman, pegangan atau petunjuk bagi setiap kegiatan, sehingga tercapai kelancaran dan keterpaduan dalam mencapai tujuan organisasi, dan (3) sebagai peta jalan untuk bertindak dalam mencapai tujuan organisasi. Menurutnya, kebijakan yang baik harus memenuhi syarat sebagai berikut.
Sementara itu, Sugiyono (2003) mengemukakan tiga pengertian kebijakan (policy) yaitu (1) sebagai pernyataan lesan atau tertulis pimpinan tentang organisasi yang dipimpinnya, (2) sebagai ketentuan-ketentuan yang harus dijadikan pedoman, pegangan atau petunjuk bagi setiap kegiatan, sehingga tercapai kelancaran dan keterpaduan dalam mencapai tujuan organisasi, dan (3) sebagai peta jalan untuk bertindak dalam mencapai tujuan organisasi. Menurutnya, kebijakan yang baik harus memenuhi syarat sebagai berikut.
· Kebijakan yang dibuat harus diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
· Kebijakan yang dibuat harus berpedoman pada kebijakan yang lebih tinggi dan memperhatikan kebijakan yang sederajat yang lain;
· Kebijakan yang dibuat harus berorientasi ke masa depan;
· Kebijakan yang dibuat harus adil;
· Kebijakan yang dibuat harus berlaku untuk waktu tertentu;
· Kebijakan yang dibuat harus merupakan perbaikan atas kebijakan yang telah ada;
· Kebijakan yang dibuat harus mudah dipahami, diimplementasikan, dimonitor dan dievaluasi
· Kebijakan yang dibuat harus berdasarkan informasi yang benar dan up to date
· Sebelum kebijakan dijadikan keputusan formal, maka bila mungkin diujicobakan terlebih dulu.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kebijakan pendidikan adalah upaya perbaikan dalam tataran konsep pendidikan, perundang-undangan, peraturan dan pelaksanaan pendidikan serta menghilangkan praktik-praktik pendidikan di masa lalu yang tidak sesuai atau kurang baik sehingga segala aspek pendidikan di masa mendatang menjadi lebih baik. Kebijakan pendidikan diperlukan agar tujuan pendidikan nasional dapat dicapai secara efektif dan efisien.
II. Perencanaan Pendidikan
Perencanaan pendidikan dibuat dengan mengacu pada kebijakan pendidikan yang telah ditetapkan. Perencanaan pendidikan adalah proses penyusunan gambaran kegiatan pendidikan di masa depan dalam rangka untuk mencapai perubahan/tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Dalam rangka membuat perencanaan pendidikan tersebut, perencana melakukan proses identifikasi, mengumpulkan, dan menganalisis data-data internal dan eksternal (esensial dan kritis) untuk memperoleh informasi terkini dan yang bermanfaat bagi penyiapan dan pelaksanaan rencana jangka panjang dan pendek dalam rangka untuk merealisasikan atau mencapai tujuan pendidikan kabupaten/kota.
Perencanaan pendidikan penting untuk memberi arah dan bimbingan pada para pelaku pendidikan dalam rangka menuju perubahan atau tujuan yang lebih baik (peningkatan, pengembangan) dengan resiko yang kecil dan untuk mengurangi ketidakpastian masa depan. Tanpa perencanaan pendidikan yang baik akan menyebabkan ketidakjelasan tujuan yang akan dicapai, resiko besar dan ketidakpastian dalam menyelenggarakan semua kegiatan pendidikan. Dengan kemampuan perencanaan pendidikan yang baik di daerah, oleh karenanya, diharapkan akan dapat mengurangi kemungkinan timbulnya permasalahan yang serius sebagai dampak dari diberlakukannya otonomi pendidikan itu di tingkat daerah kabupaten/ kota.
Sebagai dasar dalam membuat perencanaan di bidang pendidikan, umumnya orang menggunakan teknik analisis SWOT12, dimaksudkan untuk mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, kesempatan atau peluang dan tantangan atau ancaman yang dihadapi oleh organisasi. Dengan teknik itu, diharapkan posisi organisasi dalam berbagai aspek bisa dipahami secara lebih obyektif, lalu bisa ditetapkan prioritas strategi dan program-programnya, serta peta urutan pelaksanaannya
III. Program pendidikan
Pada intinya, program pendidikan adalah kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan pendidikan, sesuai dengan strategi dan kebijakan pendidikan yang telah ditetapkan.
IV. Persoalan-Persoalan Mendesak Pendidikan Nasional
a. Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan.
Sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945, pada dasarnya pelayanan pendidikan yang bermutu merupakan hak bagi seluruh warga negara Indonesia. Meskipun demikian kenyataan menunjukkan bahwa saat ini belum semua warga negara dapat memperoleh haknya atas pendidikan. Oleh karena itu pemerintah sebagai penyelenggara negara wajib berupaya untuk memenuhinya.
Dalam kebijakan Ditjen Mandikdasmen, disebutkan mengenai konsep, indikator keberhasilan, dan sumber daya pendukung untuk kebijakan pemerataan dan perluasan akses pendidikan sebagai berikut.
Tabel 1.
Tabel 1.
Kebijakan Pemerataan dan Perluasan Akses Pendidikan
Konsep Indikator Keberhasilan Pendukung Program
· Pendidikan untuk
· Pemenuhan pendidikan menengah dengan rasio SMA/SMK kejuruan yang
· Tuntas wajar 9 tahun pada 2009 (APK lebih besar atau sama dengan 98
· APK diknas daerah tertinggal lebih besar atau samadengan 75
· APK diknas kelompok termiskin (Q1) lebih besar atau sama dengan 75
· Kesetaraan
· Rintisan wajib belajar 12
· Anggaran pendidikan 20 % dari APBN/APBD + dana masyarakat; dengan manajemen : berbasis kinerja, akuntabilitas, promutu, peduli rakyat miskin
· Memperbesar daya tampung;
· Mendekatkan pendidikan dengan masyarakat
· Menciptakan sistem insentif untuk menumbuhkan aspirasi pendidikan (voucher pendidikan, berorientasi kultural, berbasis masyarakat, dan pendidikan peningkatan gizi.
· Pemerataan dan perluasan kesempatan
· Menarik keterlibatan daerah dalam pembangunan
· Rekruetmen tenaga pendidik dan tenaga
· Pengembangan sarana dan prasarana pendidikan
Studi yang secara langsung diarahkan pada analisis kebijakan dalam pemerataan pendidikan ialah studi yang dilakukan oleh James Coleman (Ace Suryadi dan H. A. R Tilaar, 1994: 29) yang berjudul Equality of Educational Opportunity. Coleman membedakan secara konsepsional antara pemerataan kesempatan pendidikan secara pasif, dengan pemerataan pendidikan secara aktif. Pemerataan pendidikan secara pasif lebih menekankan pada kesamaan memperoleh kesempatan untuk mendaftar di sekolah, sedangkan pemerataan aktif ialah kesempatan yang sama yang diberikan oleh sekolah kepada murid-murid terdaftar agar memperoleh hasil belajar setinggi-tingginya.
Komponen-komponen konsep pemerataan pendidikan ini secara lebih jelas diungkapkan oleh Schiefelbein dan Farrel (1982). Dalam studinya di Chili, mereka menggunakan landasan konsep pemerataan pendidikan yang relatif lebih komprehensif daripada konsepsi pemerataan pendidikan yang selama ini digunakan. Berdasarkan konsep mereka, pemerataan pendidikan atau equality of educational opportunity tidak hanya terbatas pada, apakah murid memiliki kesempatan yang sama untuk masuk sekolah (pemerataan kesempatan pendidikan secara pasif menurut Coleman), tetapi lebih dari itu, murid tersebut harus memperoleh perlakuan yang sama sejak masuk, belajar, lulus, sampai dengan memperoleh manfaat dari pendidikan yang mereka ikuti dalam kehidupan di masyarakat.
Pertama, pemerataan kesempatan memasuki sekolah (equality of access). Konsep ini berkaitan erat dengan tingkat partisipasi pendidikan sebagai indikator kemampuan sistem pendidikan dalam memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi anak usia sekolah untuk memperoleh pendidikan. Pemerataan pendidikan ini dapat dikaji berdasarkan dua konsep yang berlainan, yaitu pemerataan kesempatan (equality of access) dan keadilan (equity) di dalam memperoleh pendidikan dan pelatihan.
Kedua, pemerataan kesempatan untuk bertahan di sekolah (equality of survival). Konsep ini menitikberatkan pada kesempatan setiap individu untuk memperoleh keberhasilan dalam pendidikan dan pelatihan. Jenis analisis ini mencurahkan perhatian pada tingkat efisiensi internal sistem pendidikan dilihat dari beberapa indikator yang dihasilkan dari metode Kohort. Metode ini mempelajari efisiensi pendidikan berdasarkan murid-murid yang berhasil dibandingkan dengan murid-murid yang mengulang kelas dan yang putus sekolah.
Ketiga, pemerataan kesempatan untuk memperoleh keberhasilan dalam belajar (equality of output). Dilihat dari sudut pandang perseorangan equality of output ini menggambarkan kemampuan sistem pendidikan dalam memberikan kemampuan dan ketrampilan yang tinggi kepada lulusan tanpa membedakan variabel suku bangsa, daerah, status sosial ekonomi, dan sebagainya. Konsep output pendidikan biasanya diukur dengan prestasi belajar akademis. Di pandang dari sudut sistemnya itu sendiri, konsep ini menggambarkan seberapa jauh sistem pendidikan itu efisien dalam memanfaatkan sumber daya yang terbatas, efektif dalam mengisi kekurangan tenaga kerja yang dibutuhkan, dan mampu melakukan kontrol terhadap kemungkinan kelebihan tenaga kerja dalam hubungannya dengan jumlah yang dibutuhkan oleh lapangan kerja.
Keempat, pemerataan kesempatan dalam menikmati manfaat pendidikan dalam kehidupan masyarakat (equality ot outcome). Konsep ini menggambarkan keberhasilan pendidikan secara eksternal (exsternal efficiency) dari suatu sistem pendidikan dan pelatihan dihubungkan dengan penghasilan lulusan (individu), jumlah dan komposisi lulusan disesuaikan dengan kebutuhan akan tenaga kerja (masyarakat), dan yang lebih jauh lagi pertumbuhan ekonomi (masyarakat). Teknik-teknik analisis yang digunakan biasanya meliputi analisis rate of return to education, hubungan pendidikan dengan kesempatan kerja, fungsi produksi pendidikan dengan menggunakan pendekaan ”status attainment analytical model”, dan sebagainya.
Kebijakan pemerataan kesempatan, meliputi aspek persamaan kesempatan, akses dan keadilan atau kewajaran. Contoh-contoh pemerataan kesempatan, misalnya, beasiswa untuk siswa miskin, pelatihan guru PLB, pembenahan SMP terbuka, perencanaan bagi daerah-daerah terpencil atau gender, peningkatan APK dan APM, peningkatan angka melanjutkan, pengurangan angka putus sekolah, dan lain-lain.
b. Kualitas pendidikan
Realitas menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia relatif rendah yang menyebabkan sulitnya bangsa Indonesia bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Kualitas pendidikan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh dua faktor yang mendukung, yaitu internal dan eksternal (Dodi Nandika, 2007:16). Faktor internal meliputi jajaran dunia pendidikan, seperti Depdiknas, Dinas Pendidikan daerah dan sekolah yang berada di garis depan, dan faktor eksternal yaitu masyarakat pada umumnya. Dua faktor ini haruslah saling menunjang dalam upaya peningkatan kualitas tersebut. Salah satu implikasi langsungnya ialah pada perlunya program-program yang terkait seperti penyediaan dan rehabilitasi sarana dan prasarana belajar, guru yang berkualitas, buku pelajaran bermutu yang terjangkau masyarakat, alat bantu belajar untuk meningkatkan kreativitas, dan sarana penunjang belajar lainnya.
Kualitas pendidikan mencakup aspek input, proses dan output, dengan catatan bahwa output sangat ditentukan oleh proses, dan proses sangat dipengaruhi oleh tingkat kesiapan input. Contoh perencanaan kualitas misalnya, pengembangan tenaga pendidik/kependidikan (guru, kepala sekolah, konselor, pengawas, staf dinas pendidikan, pengembangan dewan pendidikan, dan komite sekolah, rasio (siswa/guru, siswa/kelas, siswa/ruang kelas, siswa/ sekolah), pengembangan bahan ajar, pengembangan tes standar di tingkat kabupaten/kota, biaya pendidikan per siswa, pengembangan model pembelajaran (pembelajaran tuntas, pembelajaran dengan melakukan, pembelajaran kontektual, pembelajaran kooperatif dan sebagainya).
c. Efisiensi pendidikan;
Efisiensi menunjuk pada hasil yang maksimal dengan biaya yang wajar. Efisiensi dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu efisiensi internal dan efisiensi eksternal. Efisiensi internal merujuk kepada hubungan antara output sekolah (pencapaian prestasi belajar) dan input (sumber daya) yang digunakan untuk memproses/menghasilkan output sekolah. Efisiensi eksternal merujuk kepada hubungan antara biaya yang digunakan untuk menghasilkan tamatan dan keuntungan kumulatif (individual, sosial, ekonomi dan non-ekonomik) yang didapat setelah kurun waktu yang panjang di luar sekolah. Contoh-contoh perencanaan peningkatan efisiensi, misalnya, peningkatan angka kelulusan, rasio keluaran/masukan, angka kenaikan kelas, penurunan angka mengulang, angka putus sekolah, dan peningkatan angka kehadiran dan lain-lain.
d. Relevansi pendidikan.
Relevansi menunjuk kepada kesesuaian hasil pendidikan dengan kebutuhan (needs), baik kebutuhan peserta didik, kebutuhan keluarga, dan kebutuhan pembangunan yang meliputi berbagai sektor dan sub-sektor. Contoh-contoh perencanaan relevansi misalnya, program ketrampilan kejuruan/ kewirausahaan/usaha kecil bagi siswa-siswa yang tidak melanjutkan, kurikulum muatan lokal, pendidikan kecakapan hidup dan peningkatan jumlah siswa yang terserap di dunia kerja.
e. Pengembangan Kapasitas
Yang dimaksud dengan kapasitas adalah kemampuan individu dan organisasi atau unit organisasi untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara efektif, efisien, dan berkelanjutan (UNDP,1997). Suksesnya desentralisasi pendidikan sangat ditentukan oleh tingkat kesiapan kapasitas makro, kelembagaan, sumber daya dan kemitraan. Pengembangan kapasitas tingkat makro meliputi : (1) arahan-arahan, (2) bimbingan, (3) pengaturan, pengawasan dan kontrol. Pengembangan kapasitas kelembagaan mencakup kemampuan dalam merumuskan visi, misi, tujuan, kebijakan, dan strategi, perencanaan pendidikan, manajemen pada semua aspek pendidikan (kurikulum, ketenagaan, keuangan, sarana dan prasarana, dsb), sistem informasi manajemen pendidikan, pengembangan pengaturan (regulasi dan legislasi), pendidikan, pengembangan sumber daya manusia, pengembangan organisasi (tugas dan fungsi serta struktur organisasinya), proses pengambilan keputusan dalam organisasi, prosedur dan mekanisme kerja, hubungan dan jaringan antar organisasi, pengembangan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, pengembangan kepemimpinan pendidikan dan lain-lain.
Kesiapan kapasitas sumber daya mencakup sumber daya manusia (manajer/pemimpin, staf dan pelaksana) dan sumber daya selebihnya (uang, peralatan, perlengkapan, bahan, dsb). Sedangkan, pengembangan kapasitas kemitraan dilandasi oleh kesadaran bahwa pengembangan ikhtiar pendidikan harus dilakukan secara terpadu antara lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat karena masing-masing memiliki pengaruh terhadap pendidikan anak.
D. KESIMPULAN/RANGKUMAN DAN SARAN
1. Kesimpulan/Rangkuman
Dari uraian di atas dapat disimpulkan/ dirangkum hal-hal sebagai berikut:
1) Era reformasi telah membawa perubahan mendasar dalam pendidikan, salah satunya adalah terjadinya perubahan arah paradigma pendidikan, termasuk dalam hal sistem perencanaan pendidikan di daerah.
2) Dengan terjadinya perubahan paradigma baru pendidikan, maka sistem perencanaan pendidikan dalam iklim pemerintahan yang sentralistik, sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan perencanaan pendidikan pada era otonomi daerah, sehingga diperlukan paradigma baru perencanaan pendidikan.
3) Paradigma baru perencanaan pendidikan akan berimplikasi pada proses perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota.
4) Dalam era otonomi daerah, sistem perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota adalah bagian integral dari sistem perencanaan pembangunan daerah Kabupaten/Kota, yaitu mendasarkan pada perencanaan partisipatif, di mana perencanaan dibuat dengan memperhatikan dinamika, prakarsa dan kebutuhan masyarakat setempat.
5) Dalam penyusunan perencanaan pembangunan, termasuk dalam perencanaan pendidikan di daerah Kabupaten/Kota, diperlukan koordinasi antar instansi Pemerintah dan partisipasi seluruh pelaku pembangunan, melalui suatu forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) tingkat kelurahan, tingkat kecamatan, dan tingkat Kota, serta forum Satuan Kerja Perangkat Daerah. Dalam melakukan perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota, pertama-tama perlu dilakukan analisis lingkungan strategis, untuk mengetahui lingkungan eksternal yang berpengaruh terhadap perencanaan pendidikan kabupaten/kota. Selain itu, berbagai perubahan lingkungan strategis harus diakomodasi dan diinternalisasikan ke dalam perencanaan pendidikan kabupaten/kota agar perencanaan tersebut benar-benar menyatu dengan perubahan lingkungan strategis tersebut. Kemudian, perlu analisis situasi untuk mengetahui ”situasi pendidikan saat ini” dan ”situasi pendidikan yang diharapkan atau ditargetkan” menyangkut berbagai kebijakan pendidikan yang ditetapkan, sehingga kesenjangan dapat diketahui dan kebijakan substantif dan implementatif, program serta rencana kegiatan dapat dipikirkan secara integrated.
2. Saran
Depdiknas dan para stakeholders pendidikan lainnya, perlu membuat pemikiran inovatif-kreatif mengenai model pembangunan sistem pendidikan yang terintegrasi, yang dapat meramu sekaligus mengakomodasi upaya peningkatan dan pencapaian berbagai kebijakan pendidikan (pemerataan dan perluasan akses pendidikan, peningkatan kualitas pendidikan, relevansi pendidikan, dan lain-lain yang ditargetkan) secara bersama-sama, bukan secara parsial dan berurutan, termasuk aspek sustainability (keberlanjutan) nya. Sekedar sebagai contoh, hasil peningkatan dan pencapaian pemerataan dan perluasan akses pendidikan, perlu dibarengi dengan peningkatan kualitas pendidikan (dengan model peningkatan kualitas yang massive, misalnya), tapi juga perlu memperhatikan aspek relevansi (dengan, misalnya, mencocokkan kurikulum dengan empirik yang ada, dengan mengupdate silabus setiap tahun sekali, meski tanpa merubah kurikulum formalnya). Aspek keberlanjutannya perlu juga dipikirkan, jangan sampai berjalannya sebuah kebijakan hanya tergantung pada ada tidaknya subsidi dari pusat, sementara ketika subsidi ditiadakan atau dicabut, misalnya, lalu tidak berjalan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahmansyah. (2001). Desentralisasi: Harapan dan tantangan bagi dunia pendidikan. Jurnal Studi Agama Millah,1, 55-69.
Ace Suryadi dan H.A.R.Tilaar. Analisis Kebijakan Pendidikan. Suatu Pengantar. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Achmad Budiyono, M. Irfan, &Yuli Andi. (1998). Evaluasi pelaksanaan kebijakan uji coba otonomi daerah. Jurnal Penelitian Ilmu -Ilmu Sosial, PPS Universitas Brawijaya,2, 209-218.
Alisjahbana, A.S. (2000). Otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan. Jurnal Analisis Sosial, AKATIGA,1,29-38.
Arbi Sanit. Et al. (Desember 2000). Penelitian paradigma baru hubungan pusat daerah di Indonesia: Format otonomi daerah masa depan.Jakarta: Laporan penelitian.
Azyumardi Azra. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Depdiknas. (2001). Desentralisasi Pendidikan. Jakarta: Komisi Nasional Pendidikan.
Depdiknas. 2002. Memiliki Wawasan Tentang Model-Model Perencanaan Tingkat Kabupaten/Kota. (Materi Pelatihan Terpadu Untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota).
Depdiknas. 2002. Menyerasikan Perencanaan Pendidikan Tingkat Mikro dan Makro.
Depdiknas. 2002. Mengembangkan Kebijakan Pendidikan Tingkat Kabupaten/Kota.
Dodi Nandika. 2007. Pendidikan di tengah gelombang perubahan. Jakarta: LP3ES
Fakry Gaffar. (1990). Implikasi desentralisasi pendidikan menyongsong abad ke-21. Jurnal Mimbar Pendidikan, 3, Tahun IX, Oktober.
Fasli Jalal. 2001. Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Fiske, E.B. (1998). Desentralisasi Pengajaran, politik dan consensus. Jakarta: Penerbit P.T Gramedia Widia Sarana Indonesia.
No comments:
Post a Comment