BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Secara pragmatis, teori belajar merupakan prinsip umum atau kumpulan prinsip yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atas sejumlah fakta dan penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar.
Terjadinya interaksi antara mengajar dengan belajar, sebenarnya berada pada suatu kondisi yang unik, sebab secara sengaja atau tidak, masing-masing pihak berada dalam suasana belajar. Jadi pendidik walaupun dikatakan sebagai pengajar, sebenarnya secara tidak langsung juga melakukan belajar.[1]
Di dalam kelas ada berbagai cara atau bentuk pembelajaran yang biasa digunakan oleh para pendidik seperti pembelajaran yang menekankan latihan, hafalan, pengulangan, pemahaman, dan lain sebagainya. Cara atau bentuk pembelajaran bersumber dari teori atau konsep psikologi tertentu.[2]Dalam psikologi belajar dikenal beberapa aliran yang masing-masing mempunyai konsep atau teori tersendiri tentang pembelajaran. Setiap teori pun mempunyai implikasi tersendiri dalam penyusunan kurikulum.[3]
Dengan demikian, agar seorang pendidik mempunyai wawasan yang lebih luas tentang teori pembelajaran, maka konsep atau teori pembelajaran tersebut harus diketahui dan dikuasainya lebih mendalam. Hal tersebut dimaksudkan dalam kegiatannya dapat memperoleh hasil lebih optimal sebagaimana yang diharapkan.
Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan beberapa teori dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) yang meliputi; teori fitrah, teori koneksionisme, teori psikologi daya, dan teori gestalt.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, makalah ini akan membahas tentang teori-teori belajar dalam pembelajaran PAI, dengan berpijak pada sub pokok masalah sebagai berikut:
- Bagaimana pengertian teori dan definisi belajar dalam pembelajaran pendidikan agama Islam?
- Apa saja teori-teori belajar dalam pembelajaran pendidikan agama Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Teori dan Definisi Belajar dalam Pembejaran Pendidikan Agama Islam
1. Pengertian Teori
Menurut Abdurrahman Saleh Abdullah, teori dalam konteks pendidikan, dapat dipahami dalam dua perspektif, yaitu:
Pertama, "teori" dipergunakan oleh para pendidik untuk menunjukkan hipotesis-hipotesis tertentu dalam rangka membuktikan kebenaran-kebenaran melalui ekspresimentasi dan observasi serta berfungsi menjelaskan pokok bahasanya.
Menurut Nujayhi, seorang ahli pendidikan Mesir Kontemporer merefleksikan ketika mengatakan, bahwa perkembangan-perkembangan dibidang psikologi eksiperimental membawa kesan-kesan ke dalam dunia pendidikan, sebagaimana yang terdapat pada bidang ilmu pengetahuan khusus.
Kedua, "teori" menunjuk kepada bentuk asas-asas yang saling berhubungan yang mengacu pada petunjuk praktis.[4]
Dalam pengertian ini, bukan hanya mencakup pemindahan ekspalanasi fenomena yang ada, namun termasuk di dalamnya mengontrol atau membangun pengalaman.
Sedangkan menurut Hamzah B. Uno, teori merupakan seperangkat proposisi yang di dalamnya memuat tentang ide, konsep, prosedur, dan prinsip yang terdiri dari satu atau lebih variabel yang saling berhubungan satu sama lainnya dan dapat dipelajari, dianalisis, dan diuji serta dibuktikan kebenarannya.[5]
Dari pandangan Hamzah tentang teori di atas, maka akan tergambar bahwa teori merupakan sebuah sistem yang dapat diuji kebenarannya oleh siapapun dan terbuka untuk dikaji ulang dalam perspektif yang sama, dan mungkin dapat digantikan dengan sistem baru, yang sudah mengalami kajian dan penelitian lain.
Dalam pendidikan agama Islam, nilai-nilai al-Qur'an merupakan elemen dasar dalam kurikulum dan lembaga pendidikan, tidak boleh tidak, harus perhatian membawa peserta didiknya sesuai dengan nilai-nilai Qur'ani tersebut. Praktik-praktik harus dilakukan oleh para pendidik dan pertimbangan-pertimbangan nilai tidak dapat terbatasi dengan penelitian-penelitian ilmiah melulu.
Selanjutnya apabila menerima teori ilmiah sebagai paradigma bagi teori pendidikan dengan meninggalkan fakta-fakta metafisika dari al-Qur'an, maka ilmu pengetahuan demikian hanya berkenaan dengan obyek-obyek yang dapat diamati dengan panca indra. Ini berarti, teori ilmiah tidak dapat meliputi unsur yang tidak dapat diamati dan diuji secara ilmiah.
2. Definisi Belajar
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), secara etimologis belajar memiliki arti "berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu". Definisi ini memiliki pengertian bahwa belajar adalah sebuah kegiatan untuk mencapai kepandaian atau ilmu.[6]
Belajar merupakan proses perubahan tingkah laku manusia berdasarkan pengalaman dan latihan, dari belum tahu menjadi tahu, dari pengalaman yang sedikit kemudian bertambah.
Hilgard sebagaimana dikutip Wina Sanjaya menulis bahwa learning is the process by wich an activity originates or changed through training producers (wether in the laboratory or in the natural enviorenment).[7]Bagi Hilgard, belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku peserta didik melalui kegiatan berupa pelatihan baik di laboratorium maupun di lingkungan yang alamiah. Hal ini dimaksudkan bahwa dari manapun sumber perubahan itu asalkan melaui pelatihan maupun pengalaman dapat dikatakan sebagai kegiatan belajar, dan yang penting untuk proses perubahan tingkah laku ini ditimbulkan sebagai akibat adanya interaksi dengan lingkungan sekitar.
Reber, penyusun buku Dictionary of Psychology, sebagaimana dikutip Muhibbin Syah, membatasi pengertian belajar dalam dua definisi, yaitu: Proses memperoleh pengetahuan, dan suatu perubahan kemampuan bereksi yang relatif langgeng sebagai hasil latihan yang diperkuat.[8]
Sedangkan dalam perspektif agama Islam, belajar sebagai aktivitas yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, sebagai kewajiban setiap individu Muslim-Muslimat dalam rangka memperoleh ilmu pengetahuan sehingga derajat kehidupannya meningkat. Allah berfirman dalam QS. Al-Mujadalah /58: 11
…Æìsùöt ª!$#tûïÏ%©!$#(#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré&zOù=Ïèø9$# ;M»y_uy 4 …
… Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…[9]
Di sisi lain, Allah SWT, melalui Rasul-Nya menganjurkan orang Islam belajar hingga ke negeri China dan memerintahkan supaya menuntut ilmu dari buaian sampai ke liang lahat, menunjukkan bahwa agama Islam memandang pentingnya untuk belajar.
Dari beberapa uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa belajar merupakan proses manusia untuk mencapai berbagai macam kompetensi, keterampilan, dan sikap. Karena belajar adalah dimulai sejak manusia lahir sampai akhir hayat. Salah satu contoh pada waktu bayi, seorang bayi menguasai keterampilan-keterampilan yang sederhana, seperti memegang botol dan mengenal orang-orang di sekelilingnya. Ketika menginjak masa kanak-kanak dan remaja, sejumlah sikap, nilai, dan keterampilan berinteraksi sosial dicapai sebagai kompetensi, dan seterusnya hingga dewasa berbagai keterampilan dimilikinya sesuai dengan keahlian dan profesi masing-masing. Islam memberi suatu makna bahwa belajar bukan hanya sekadar upaya perubahan perilaku, tetapi belajar juga merupakan konsep yang ideal, karena sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.
B. Teori-teori Belajar dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Manusia diciptakan Allah swt, dalam struktur yang paling baik di antara makhluk Allah yang lain. Struktur manusia terdiri atas unsur jasmaniah (fisikologis) dan rohaniah (psikologis). Dalam struktur jasmaniah dan rohaniah itu, Allah memberikan seperangkat kemampuan dasar yang memiliki kecenderungan berkembang, dalam psikologi disebut potensialitas atau disposisi, yang menurut aliran psikologi behaviourisme disebut prepotence reflexes (kemampuan dasar yang secara otomatis dapat berkembang).[10]
Dengan demikian, maka ilmu pengetahuan mengalami perkembangan sampai kepada proses pembelajaran. Dalam perkembanganya merupakan suatu konsep-konsep atau teori-teori dalam aktivitas kegiatan belajar-mengajar.
Dalam kaitanyan dengan proses pembelajaran, ditemukan ada beberapa teori yang telah dikenal secara umum, diantaranya: teori fitrah, teori koneksionisme, teori psikologi daya, dan teori gestalt.
1. Teori Fitrah
Dalam pandangan agama Islam kemampuan dasar atau pembawaan itu disebut dengan fitrah, kata yang berasal dari fathara, dalam pengertian etimologis mengandung arti kejadian.
Kata fitrah disebutkan dalam al-Qur'an surah.Ar-Ruum/30: 30
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pkön=tæ 4 w @Ïö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 Ï9ºs ÚúïÏe$!$# ÞOÍhs)ø9$# ÆÅ3»s9ur usYò2r& Ĩ$¨Z9$# w tbqßJn=ôèt ÇÌÉÈ
Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui [11]
Di samping itu terdapat hadis Rasulallah saw.:
حَدَّ ثَنَاأَبُوْ مُعَاوِيَةَ عَنِ اْلاَعْمَش عَنْ أَبِىْ صَالِحٍ عَنْ أَبِىْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلهم, كُلُّ مَوْلُوْدٍ يٌوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوّدَانِهِ اَوْ يُنَصّرَانِهِ اَوْيُشَرِّكَانِهِ[12] (رِوِاهُ اَحمَد)
Abu Mu'awiyah menceritakan kepada kami, dari al-A'masy dari Abi Shalih dari Abi Hurairah r.a berkata: Rasulallah saw. telah bersabda: setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka orang tuanyalah yang menjadikannya yahudi, nasrani, atau musyrik. (HR Ahmad).
Dari pengertian al-Qur'an dan Hadis di atas, dapat diambil pengertian secara terminologis sebagai berikut:
a. Mengandung implikasi pendidikan yang berkonotasi kepada paham nativisme. Oleh karena kata fitrah mengandung makna kejadian yang di dalamnya berisi potensi dasar beragama yang benar lurus, yaitu Islam. Dengan potensi dasar ini tidak dapat diubah oleh siapa pun atau lingkungan apa pun, karena fitrah itu merupakan ciptaan Allah yang tidak akan mengalami perubahan baik isi maupun bentuknya dalam tiap pribadi manusia. Dengan demikian, ilmu pendidikan agama Islam bisa dikatakan berfaham nativisme, yaitu suatu paham yang menyatakan bahwa perkembangan manusia dalam hidupnya secara mutlak ditentukan oleh potensi dasarnya.
b. Mengandung kecenderungan netral, dijelaskan dalam al-Qur'an surah An-Nahl/16: 78
ª!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç/ öNä3ÏF»yg¨Bé& wcqßJn=÷ès?$\«øx©@yèy_ur ãNä3s9yìôJ¡¡9$#t»|Áö/F{$#urnoyÏ«øùF{$#ur öNä3ª=yès9crãä3ô±s?ÇÐÑÈ
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.[13]
Menurut Mohammad Fadhil al-Djamaly yang dikutip M. Arifin mengatakan, bahwa ayat di atas menjadi petunjuk untuk melakukan usaha pendidikan secara eksternal oleh peserta didik.[14]
Dengan demikian, pengertian fitrah menurut interpretasi kedua ini, tidak dapat sejalan dengan empirisme, karena faktor fitrah tidak hanya mengandung kemampuan dasar pasif yang beraspek hanya pada kecerdasan semata dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan, melainkan mengandung pada tabiat atau watak dan kecenderungan untuk mengacu kepada pengaruh lingkungan eksternal sekalipun tidak aktif.
c. Konsep al-Qur'an yang menunjukkan, bahwa tiap manusia diberikan kecenderungan nafsu untuk menjadikanya kafir bagi yang ingkar terhadap Tuhannya dan kecenderungan yang membawa sikap bertaqwa, menaati perintah Allah swt.
Jelaslah bahwa faktor kemampuan memilih yag terdapat dalam fitrah (human nature) manusia berpusat pada kemampuan berfikir sehat (berakal sehat), karena akal sehat mampu membedakan hal-hal yang benar dan yang salah. Sedangkan yang mampu memilih yang benar secara tepat hanyalah orang-orang berpendidikan sehat.
Sejalan dengan interpretasi tersebut, maka dikatakan bahwa pengaruh faktor lingkungan yang sengaja adalah pendidikan dan latihan berproses interaktif dengan kemampuan fitrah manusia. Dalam pengertian ini, pendidikan agama Islam berproses secara konvergensisyang dapat membawa kepada paham konvergensi dalam pendidikan agama Islam.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ilmu pendidikan agama Islam dapat berorientasi pada salah satu paham filosofis saja atau campuran paham tesebut di atas. Namun apa pun paham filosofis yang dijadikan dasar pandangan, ilmu pendidikan agama Islam tetap berpijak pada kekuatan hidayah Allah swt, yang menentukan hasil akhir.
d. Komponen psikologis dalam fitrah
Jika diperhatikan berbagai pandangan para ulama dan ilmuwan Islam yang telah memberikan makna terhadap istilah fitrah, maka dapat diambil kesimpulan bahwa fitrah adalah suatu kemampuan dasar perkembangan manusia yang dianugerahkan Allah swt. kepadanya.
Karena memang manusia itu lahir bagaikan kertas putih bersih belum ada yang memberi warna apa pun dalam dirinya, apakah ia menjadikannya sebagai Majusi, Nasrani, atau agama yang lurus yaitu Islam, ini tergantung kepada orang tua atau orang dewasa yang membimbingnya, sehingga dengan sentuhan orang lain atau lingkungan sekitarnya baru dapat berinteraksi terhadap yang lain. Jadi peran pendidikan sangatlah berarti baginya. Karena dengan melalui pendidikan dapat mengetahui dari belum tahu akan menjadi tahu.
2. Teori Koneksionisme
Teori ini berpendapat bahwa belajar merupakan hubungan antara stimulusdan respons. Itulah sebabnya koneksionisme disebut juga S-R Bond Theory dan S-R Psychology of Learning. Di samping itu, teori ini juga terkenal dengan sebutan Trial and Error Learning. Istilah ini menunjuk pada panjangnya waktu atau banyaknya jumlah kekeliruan dalam mencapai suatu tujuan.
Dari penjelasan teori di atas, penulis mengemukakan bahwa yang mendorong timbulnya fenomena peserta didik belajar adalah semangat dan motivasi dari peserta didik itu sendiri sesuai dengan harapan dan tujuan yang diinginkan dalam proses pembelajaran. Karena tanpa dorongan semangat dan motivasi dalam diri peserta didik itu sendiri tidak akan berhasil sesuai yang dicita-citakan. Untuk itu, sebaiknya pemerintah sebagai penentu kebijakan khususnya dalam pendidikan memberikan apresiasi khusus terhadap keberhasilan belajar peserta didik untuk kesejahteraannya, agar ia lebih semangat lagi dan termotivasi dalam kegiatan belajarnya.
3. Teori Psikologi Daya
Daya seseorang dapat dikembangkan melalui latihan, seperti; latihan mengamati benda atau gambar, latihan mendengarkan bunyi atau suara, latihan mengingat kata, arti kata, latihan melihat letak suatu kota dalam peta. Latihan-latihan tersebut dapat dilakukan dengan melalui berbagai bentuk pengulangan.[17]
Berdasarkan uraian di atas, penulis berkesimpulan bahwa setiap individu atau peserta didik memiliki sejumlah daya atau kekuatan dalam dirinya. Daya-daya itu dapat dikembangkan dalam kegiatan proses pembelajaran, termasuk daya fisik, motorik dan mentalnya, dengan latihan secara terus menerus untuk berguna bagi dirinya.
4. Teori Gestalt
Psikologi muncul dipengaruhi oleh psikologi gestalt, dengan tokoh-tokohnya seperti Max Wertheimer, Wolfgang Kohler, dan Kurt Koffka. Perkataan gestalt dalam bahasa Jerman berarti suatu konfigurasi, pola atau keseluruhan.[18] Teori ini juga disebut psikologi organismik atau field theori, yang bertolak dari suatu keseluruhan.[19]
Teori ini berpendapat, bahwa belajar adalah bukan mengulangi hal-hal yang harus dipelajari, tetapi mengerti atau memperoleh insight atau pengertian yang mendalam.[20]Belajar menurut pandangan ini akan semakin efektif jika materi yang akan dipelajari itu mengandung makna, yaitu jika disusun dan disajikan dengan cara memberi kemungkinan peserta didik untuk mengerti apa-apa yang sebelumnya, dan menganalisis hubungan satu dengan yang lain.
Berbeda dengan teori-teori yang dikemukakan oleh tokoh behaviorisme terutama thorndike menganggap bahwa belajar sebagai proses trial and error, teori gestalt memandang belajar adalah proses yang didasarkan pada pemahaman (insight). Karena pada dasarnya tingkah laku seseorang selalu didasarkan pada kognisi yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku tersebut terjadi. Pada situasi belajar, keterlibatan seseorang secara langsung dalam situasi belajar tesebut akan menghasilkan pemahaman yang dapat membantu individu tersebut memecahkan masalah.[21]Dengan kata lain, teori gestalt menyatakan bahwa yang paling penting dalam proses belajar individu adalah dimengertinya apa yang dipelajari oleh individu tersebut. Oleh krena itu, teori gestalt ini disebut teori insight. Pendapat tesebut, terdapat persamaan makna dengan yang dikemukakan oleh Oemar Hamalik yang mengatakan bahwa, prinsip pembelajaran yang dianut oleh teori gestalt, adalah: 1) Belajar dimulai dari suatu keseluruhan menuju bagian-bagian, 2) Keseluruhan memberikan makna bagian-bagian tersebut, 3) Bagian-bagian dilihat dalam hubungan keseluruhan berkat individu, 4) Belajar memerlukan pemahaman (insight), 5) Belajar memerlukan reorganisasi pengalaman yang kontinyu.[22]
Hal tersebut menunjukkan bahwa, belajar dengan cara berulang-ulang atau mengulangi dari semua materi pelajaran akan lebih dimengerti dan lebih mudah dipahami daripada belajar tanpa mengulangi materi pembelajaran. Artinya bahwa, belajar itu diperlukan kesabaran, keuletan, dan ketekunan.
Dari beberapa uraian di atas tentang teori-teori belajar dalam pembelajaran, khususnya dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI), penulis mengemukakan bahwa semua teori yang para ahli kemukakan dapat dipedomani sebagai bahan referensi dalam proses pembelajaran. Namun dalam makalah ini penulis hanya memaparkan empat teori saja, karena semua teori ini cukup luas dan padat untuk dijadikan teori belajar dalam pembelajaran khususnya dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI). Terutama dan paling utama yang penulis gunakan dalam pembelajaran adalah teori fitrah. Teori ini cukup layak digunakan dalam proses pembelajaran, karena teori ini berpedoman kepada Al-Qur"an dan Hadis Nabi Muhammad SAW. Alasannya bahwa sumber satu-satunya belajar adalah dari Allah SWT. beserta alam dan segala isinya, yang dapat dipelajari melalui Al-Qur"an Hadis Nabi, seta teori-teori lainya merupakan tambahan dari teori-teori belajar yang ada. Karena teori-teori tersebut merupakan orientalis yang diadopsi dari teori belajar menurut Islam.
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian pada bab pembahasan di atas, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut:
1. Teori merupakan sebuah sistem yang dapat diuji kebenaranya oleh siapa pun dan terbuka untuk dikaji ulang dalam perspektif yang sama, dan mungkin dapat digantikan dengan sebuah sistem baru, yang sudah mengalami kajian dan penelitian lain. Sedangkan belajar merupakan proses perubahan tingkah laku manusia berdasarkan pengalaman dan latihan, dari belum tahu menjadi tahu, dari pengalaman yang sedikit kemudian bertambah.
2. Teori- teori belajar dalam pembelajaran pendidikan agama Islam meliputi:
a. Teori fitrah. Teori ini berpendapat, bahwa kemampuan dasar perkembangan manusia merupakan anugrah dari Allah swt, yang dilengkapi dengan berbagai potensi pada dirinya.
b. Teori koneksionisme. Teori ini berpendapat, bahwa belajar merupakan hubungan antara stimulus dan respons.
c. Teori psikoologi daya. Teori ini berpendapat, bahwa setiap individu atau pserta didik memiliki sejumlah daya atau kekuatan dalam dirinya yang dapat dikembangkan dalam kegiatan proses pembelajaran baik dari dari daya fisik, motorik maupun dari daya mentalnya dapat dikembangkan dengan melalui latihan terus menerus.
d. Teori gestalt. Teori ini berpendapat, belajar bukan saja mengulangi hal-hal yang harus dipelajari, tetapi mengerti atau memperoleh insight (pengertian yang mendalam).
DAFTAR PUSTAKA
A.M, Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Cet. V; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994.
Arifin, M., Ilmu Pendidikan Islam Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Cet. II; Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar & Pembelajaran, Cet. III; Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008.
B. Hamzah, Uno, Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran, Ce. II; Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
Departemen Agama RI, Al-Qur'an Al Karim dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1996.
Hamalik, Oemar, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, Cet. I; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007.
..........................., Kurikulum dan Pembelajaran, Cet. IV; Jakarta: Bumi Aksara, 2007.
Ibrahim, R. dan Nana Syaodih Sukmadinata, Perencanaan Pengajaran, Cet. II; Jakarta: Rineka Cipta, 2003.
Muhammad, Abdullah Ibn Ahmad Ibn Hambal, Musnad Ahmad Ibn HambalJuz. V, Beirut: Dar al-Fikr, t. Th.
Saleh, Abdurrahman Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur'an, Cet. III; Jakarta: Rineka Cipta, 2005.
Sanjaya, Wina, Strategi Pembelajaran: Berorienasi Standar Proses Pendidikan, Cet. V; Jakarta: Kencana, 2008.
Suryabrata, Sumardi, Psikologi Pendidikan, Cet. I; Jakarta: Rajawali, 1984.
Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya, Cet. IV; Jakarta: Rineka Cipta, 2003.
Syah, Muhibbin, Pikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Cet. XVIII, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2006.
Tohirin, Psikologi Pembelaran Pendidikan Agama Islam (Berbasis Integrasi dan Kompetensi), Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006.
[1]Sardiman A.M, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar (Cet. V; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), h. 21.
[2]R. Ibrahim dan Nana Syaodih Sukmadinata, Perencanaan Pengajaran(Cet. II; Jakarta : Rineka Cipta, 2003), h. 11-12.
[3]Oemar Hamalik, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum (Cet. I; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), h. 106.
[4]Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur'an (Cet. III; Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h. 21.
[5]Hamzah B. Uno, Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran (Ce. II; Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 4.
[6]Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar & Pembelajaran (Cet. III; Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), h. 13.
[7]Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran: Berorienasi Standar Proses Pendidikan (Cet. V; Jakarta: Kencana, 2008), h. 112.
[8]Muhibbin Syah, Pikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru (Cet. XVIII, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2006), h. 91.
[9]Departemen Agama RI, Al-Qur'an Al Karim dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 1996), h. 343.
[10]M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner (Cet. II; Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 42.
[11]Departemen Agama RI, op.cit., h. 325
[12]Abdullah Muhammad Ibn Ahmad Ibn Hambal, Musnad Ahmad Ibn Hambal Juz. V (Beirut: Dar al-Fikr, t. th), h. 261.
[15]Tohirin, Psikologi Pembelaran Pendidikan Agama Islam (Berbasis Integrasi dan Kompetensi) (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), h. 64.
[20]Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Cet. IV; Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h. 9.
[22]Oemar Hamalik, op. cit., h. 108-109. Lihat juga Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran (Cet. IV; Jakarta: Bumi Aksara, 2007), h. 47-48.
No comments:
Post a Comment