Pencarian

Thursday, March 24, 2016

Filsafat Al-Kindi

     
Filsafat Al-Kindi

     Dalam literatur studi keislaman, nama al-Kindi disebut-sebut sebagai peletak dasar filsafat Islam. Usaha al-Kindi kemudian diteruskan oleh al-Farabi, Ibnu Sina dll. Namun, kalangan orientalis menganggap bahwa kerangka kajian filsafat Islam seluruhnya dari Yunani. Pandangan ini mengisyaratkan bahwa filsafat Islam tidaklah orisinil. Anggapan ini tidak sepenuhnya diterima, pasalnya para filosuf Muslim seperti al-Kindi dsb. telah mengubah pemikiran Yunani agar sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Oleh karena itulah, penulis berusaha melihat bagaimana upaya al-Kindi dalam mentransmisikan filsafat Yunani ke dalam prinsip-prinsip ajaran Islam, khususnya filsafat metafisika. Namun sebelum itu akan penulis ulas biografinya terlebih sebagai upaya memahami pribadi al-Kindi.

B. Biografi al-Kindi

      Nama lengkap al-Kindi adalah Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq bin Shabbah bin Imran bin Ismail bin Muhammad bin al-Asy’ats bin Qais al-kindi. Menurut Ahmad Fuad al-Ehwany, Yahunna Qomeer dan Henry Carbin, al-Kindi dilahirkan pada tahun 185 H./801 M. dan menurut Corbin lagi, ia meninggal pada tahun 260 H./ 873 M. yakni tahun dimana Imam al-Asy’ari dilahirkan. Ia hidup pada masa kekhalifahan al-Amin (809-813), al-Ma’mun (813-833), al-Mu’tasim (833-842), al-Watsiq (842-847) dan al-Mutawakkil (847-861). 


      Al-Kindi dilahirkan di Kufah dari keluarga kaya dan terhormat. Kakek buyutnya al-Asy’as bin Qais adalah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang gugur sebagai syuhada’ bersama Sa’ad bin Abi Waqqas dalam peperangan antara kaum Muslimin dengan Persia di Irak. Sementara itu ayahnya, Ishaq bin Shabbah, adalah Gubernur Kufah pada masa pemerintahan al-Mahdi (775-785 M) dan ar-Rasyid (786-809 M). Ayahnya meninggal ketika ia masih usia kanak-kanak, namun ia tetap memperoleh kesempatan untuk menuntut ilmu dengan baik.

      Ia adalah sosok yang gemar mempelajari berbagai disiplin ilmu, karena minatnya yang tinggi itulah, ia pindah dari Kuffah menuju Bashrah, sebuah pusat studi bahasa dan ilmu kalam. Kemudian ia pindah dan menetap di Baghdad, yang juga sebuah jantung kehidupan intelektual pada masa itu. Di kota inilah, ia menekuni ilmu sain dan filsafat.
      
      Al-Kindi hidup pada masa penerjemahan besar-besaran karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab. Sejak didirikannya Bait al-Hikmah oleh al-Ma’mun, al-Kindi sendiri turut aktif dalam kegiatan penerjemahan ini. Di samping menerjemah, al-Kindi juga memperbaiki terjemahan-terjemahan sebelumnya. Karena keahlian dan keluasan pandangannya ia diangkat sebagai ahli di istana dan menjadi guru putra Khalifah al-Mu’tasim.

      Selain itu, ia juga termasuk seorang yang kreatif dan produktif dalam kegiatan tulis-menulis. Ia telah menulis hampir seluruh ilmu pengetahuan yang berkembang pada saat itu. Dan informasi yang diperoleh dari Tony Aboud, selama hidupnya al-Kindi kira-kira telah merampungkan sekitar 200 hingga 270 buku dan artikel. Akan tetapi amat disayangkan kebanyakan karya tulisnya telah hilang sehingga sulit menjelaskan berapa jumlah karya tulisnya.
      Pada dasarnya Al-Kindi menyadari bahwa banyak dari kalangan umat Islam yang antipati terhadap filsafat yang berasal dari peradaban Yunani, karena itulah ia berusaha memperkenalkan filsafat ke dalam dunia Islam dengan cara mengetok hati umat Islam supaya menerima kebenaran walaupun dari mana sumbernya. Menurutnya, antara agama dan filsafat tidaklah bertentangan, karena masing-masing dari keduanya itu adalah ilmu tentang kebenaran. Ilmu filsafat membahas tentang ketuhanan, keesaan-Nya dan keutamaan serta membahas apa-apa yang bermanfaat bagi manusia. Hal seperti ini juga dibawa oleh para rasul Allah yang mereka juga menetapkan keesaan Allah dan mengajarkan sesuatu yang bermanfaat bagi manusia.

      Al-Kindi juga menantang kepada siapapun yang tidak senang terhadap filsafat. Menurutnya, jika ada yang orang yang mengatakan bahwa filsafat itu tidak diperlukan, mereka harus memberikan argument dan menjelaskannya. Usaha mengemukakan argument tersebut, sejatinya bagian dari pencarian pengetahuan tentang hakikat sesuatu. Untuk sampai pada yang dimaksud, secara logika, mereka perlu memiliki pengetahuan filsafat. Jadi filsafat itu harus dimiliki dan dipelajari.

C. Karyanya

      Sebagai seorang filosuf yang sangat produktif, berdasarkan informasi yang diperoleh dari Tony Aboud, selama hidupnya al-Kindi kira-kira telah merampungkan sekitar 200 hingga 270 buku dan artikel dalam berbagai bidang ilmu. Dalam bidang filsafat di antaranya adalah:
1. Kitab al-Kindi ila al-Mu’tashim Billah fi al-Falsafah al-Ula (tentang filsafat pertama);
2. Kitab al-Falsafah al-Dakhilat wa al-Masa’il al-Manthiqiyyah wa al-Muqtashah wa ma Fawqa al-Thabi’iyyah (tentang filsafat yang diperkenalkan dan masalah-masalah logika dan muskil serta metafisika);
3. Kitab fi Annahu la Tanalu al-Falsafah illa bi ‘Ilmi al-Riyadliyyah (tentang filsafat tidak dapat dicapai kecuali dengan ilmu pengetahuan dan matematika);
4. Kitab fi Qashd Aristhathalis fi al-Maqulat (tentang maksud Aristoteles dalam kategori-kategorinya);
5. Kitab fi Ma’iyyah al-‘Ilm wa Aqsamihi (tentang ilmu pengetahuan dan klasifikasinya);
6. Risalah fi Hudud al-Asyya’ wa Rusumiha (tentang definisi benda-benda dan uraiannya);
7. Risalah fi Annahu Jawahir la Ajsam (tentang substansi-substansi tanpa badan);
8. Kitab fi Ibarah al-Jawami’ al-Fikriyah (tentang ungkapan-ungkapan mengenai ide-ide komprehensif);
9. Risalah al-Hikmiyah fi Asrar al_ruhaniyah ( sebuah tulisan filosofis tentang rahasia spiritual);
10. Risalah fi al-Ibanah ‘an al-‘Illat al-Fa’ilat al-Qaribah li al-Kawn wa al-Fasad (tentang penjelasan mengenai sebab dekat yang aktif terhadap alam kerusakan).

D. Pemikiran tentang Metafisika

       Setiap pemikiran selalu mencerminkan zamannya. Ia merupakan hasil dari interaksinya dengan sejarah yang melingkupinya. Diskusi tentang metafisika ini sudah dimulai dari masa Yunani Kuno yang mempersoalkan tentang being atau “yang ada”. Pada abad VII M wilayah Islam telah mencakup Mesir, Syiria, Mesopotamia (Irak), dan Persia. Peristiwa ini menandakan dimulainya kontak antara Islam dan filsafat Yunani, karena filsafat Yunani telah masuk dan berkembang di daerah ini. Kegiatan penterjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab itulah yang mengantarkan intelektual Muslim untuk angkat bicara mengenai filsafat, khususnya filsafat metafisika, al-Kindi termasuk salah satu pelopor utamanya.

      Metafisika (Bahasa Yunani: μετά (meta) = "setelah atau di balik", φύσικα (phúsika) = "hal-hal di alam") adalah cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di dunia. Menurut Aristoteles, metafisika adalah disiplin ilmu yang mempelajari tentang ‘keadalahan’ sesuatu (being qua being) dan ciri-ciri sejati (properties inherent) atas segala sesuatu. Metafisika membahas sesuatu yang sangat umum dan mendasar. Jika diterapkan dalam kajian manusia, maka yang dibahas adalah apa itu manusia, dari mana asalnya, siapa yang menciptakan, untuk apa manusia diciptakan dan apa saja yang membuatnya bahagia dan sedih. Begitu juga jika diterapkan dalam kajian alam, metafisika akan mempertanyakan apa itu alam, siapa yang menciptakan alam, untuk apa alam diciptakan dan. Jadi pertanyaan-pertanyaan yang sangat mendasar inilah yang dikaji oleh metafisika.
Memaknai metafisika Al-Kindi lebih sepesifik dari Aristoteles, yakni menyebutnya dengan nama filsafat awal (al-falsafah al-ula). Metafisika baginya adalah ilmu yang membahas sesuatu yang tidak bergerak, atau ilmu yang membahas sesuatu yang bersifat ilahi (divine things). Menurutnya ia adalah ilmu filsafat yang paling mulia, karena ia mempelajari ilmu tentang kebenaran awal yang menjadi sebab dari segala kebenaran. Al-Kindi juga menyebutnya sebagai ‘ilmu sebab pertama’ (al-’illat al-ula), alasannya karena semua cabang ilmu filsafat tercakup dalam disiplin ilmu ini. Karena dia adalah awal dari kemuliaan, awal dari segala jenis, awal dari segala tingkatan dan awal dari zaman karena dia adalah sebab adanya zaman. 

      Permasalah yang diangkat dalam pemikiran metafisika al-Kindi tidak sama persis dengan apa yang dikaji oleh metafisikanya Aristoteles dan para filosuf muslim lainnya. Isu yang dibicarakan oleh al-Kindi terbatas pada pengklasifikasian wujud (being), alam semesta, dan Tuhan. Metafisika al-Kindi, tidak hanya menyajikan sesuatu hal yang baru, tapi ia senantiasa menempatkan dirinya sebagai lawan dari metafisikanya filosuf Yunani dengan memasukan nilai-nilai Islam ke dalamnya.

1. Wujud (being)

       Al-Kindi membedakan sesuatu yang ada (wujud/being) menjadi dua, sesuatu yang bersifat indrawi (al-mahsus) dan yang bersifat akali (al-ma’qul). Ilmu yang mempelajari sesuatu yang bersifat indrawi (al-mahsus) disebut dengan ilmu fisika (thabi’i), sedangkan ilmu yang mempelajari sesuatu yang bersifat akali (al-ma’qul) disebut dengan ilmu metafisika (al-falsafah al-‘ula). Dan tiap-tiap benda memiliki dua hakikat. Hakikat sebagai juz’i yang disebut aniah, dan hakikat sebagai kulli yang disebut mahiah (hakikat yang bersifat universal dalam bentuk genus dan species). Juz’i yang dinisbatkan kepada individu yang tampak itu menjadi bahan kajiannya ilmu fisika (thabi’i), sedangkan metafisika mengkaji segala sesuati yang bersifat kulli, mengkaji atas mahiah sesuatu. Menurutnya, yang terpenting bukanlah juz’iah yang tak terhingga banyaknya itu, tetapi hakikat yang terdapat dalam juz’iah itu, yaitu kulliah (universal).

2. Alam Semesta

      Salah satu problem terpenting di kalangan filosuf muslim adalah pembicaraan mengenai penciptaan alam semesta. Dikatakan sangat penting, karena problem ini sangat erat kaitannya dengan konsep tauhid (the unity of God). Telah dibahas sebelumnya, bahwa al-Kindi termasuk seorang filosuf muslim yang tengah berusaha memadukan antara filsafat Yunani dengan Islam. Karena itu, dalam permasalah yang krusial ini, ia lebih memilih berpendapat bahwa alam ini diciptakan sesuai dengan apa yang diinformasikan oleh al-Quran, oleh sebab alam ini diciptakan maka alam ini tidaklah kadim. Menurut al-Kindi, alam ini disebabkan oleh sebab yang jauh (‘illat ba’idat ilahy), yakni Allah. Ia menciptakan alam dari tiada menjadi ada (creation ex nihilo).
      Pendapat al-Kindi di atas berbeda sama sekali dengan para pendahulunya, Plato (490 SM), Aristoteles (384-322 SM) dan Plotinus (205-270 SM) yang tidak pernah berpendapat bahwa alam ini diciptakan dari tiada menjadi ada. Menurut mereka, alam ini diciptakan dari benda yang sudah ada sebelumnya dengan cara emanasi. Sebelum Aristoteles, Pricles atau Proclus (411-405 SM) berpendapat bahwa alam ini bersifat kekal dan juga gerak alam ini kekal. Ia mengemukakan delapan alasan untuk membuktikan bahwa alam ini kekal. Pendapat mereka ini dibantah oleh al-Kindi dengan metodologi yang belum pernah ada sebelumnya. Menurut George N. Atiyeh, al-Kindi menggunakan ilmu matematika (mathematical) dan logika (logical reasoning). Usaha al-Kindi nampaknya tidak didukung oleh beberapa filosuf muslim, seperti Ibnu Sina dan al-Farabi. Untuk problem penciptaan alam semesta, mereka lebih memilih pendapatnya para filosuf Yunani dengan sedikit perubahan dalam konsep emanasi daripada al-Kindi.
      Tentang baharunya alam, al-Kindi mengemukakan tiga argument, yakni gerak (motion), zaman (time) dan benda (body). Benda untuk menjadi ada harus ada gerak. Masa gerak menunjukkan adanya zaman. Adanya gerak tentu mengharuskan adanya benda. Mustahil kiranya ada gerak tanpa adanya benda. Ketiganya sejalan dan akan berakhir.
 
      Lebih lanjut al-Kindi mengemukakan beberapa argument untuk menetapkan baharunya alam.
a. Semua benda yang homogen, yang tidak padanya lebih besar ketimbang yang lain, adalah sama besar.
b. Jarak antara ujung-ujung dari benda-benda yang sama besar, juga sama besarnya dalam aktualitas dan potensialitas.
c. Benda-benda yang mempunyai batas tidak bisa tidak mempunyai batas.
d. Jika salah satu dari dua benda yang sama besarnya dan homogen ditambah dengan homogen lainnya, maka keduanya menjadi tidak sama besar.
e. Jika sebuah benda dikurangi, maka besar sisanya lebih kecil daripada benda semuala.
f. Jika satu bagian diambil dari sebuah benda, lalu dipulihkan kembali kepadanya, maka hasilnya adalah benda yang sama seperti semula.
g. Tiada dari dua benda homogen yang besarnya tidak mempunyai batas bisa lebih kecil ketimbang yang lain.
h. Jika benda-benda homogen yang semuanya mempunyai batas ditambahkan bersama, maka jumlahnya akan terbatas.
       Atas dasar itulah, al-Kindi berkesimpulan bahwa alam ini pastilah terbatas, dan ia menolak secara tegas pandangan Aristoteles yang mengatakan bahwa alam semesta tidak terbatas atau kadim. Pasalnya seandainya alam ini tidak terbatas, lalu diambil sebagian, maka yang tinggal, apakah terbatas, ataukah tidak terbatas? Jika yang tinggal terbatas, bila ditambahkan kembali kepada bagian yang dipisahkan, maka hasilnya tentu terbatas pula dan inilah yang benar, tetapi bertentangan dengan pengandaian semula bahwa alam ini sebelum dibagi atau diambil sebagiannya, tidak terbatas. 
   
      Sekiranya yang tinggal setelah diambil itu tidak terbatas, sedangkan keseluruhannya sebelum diambil juga tidak terbatas, maka berarti benda itu sama besar dengan bagiannya, dan ini kontradiktif dan tidak dapat diterima.

3. Tuhan

Setelah membuktikan bahwa alam semesta ini diciptakan pada suatu masa (muhdats), kemudian al-Kindi hendak mendemonstrasikan bahwa alam ini mempunyai Dzat yang menciptakan (muhdits). Untuk membuktikan adanya Allah Sang Pencipta, al-Kindi mengajukan beberapa argument. Pertama, bukti adanya Allah adalah diciptakannya alam semesta pada suatu masa. Apapun yang diciptakan pada suatu masa, maka ia mempunyai pencipta. Setiap yang memiliki permulaan waktu maka ia akan berkesudahan.
      Argumen kedua adalah keaneragaman alam. Sebelum berargumen, al-Kindi menjelaskan makna dari istilah ‘satu’ (one/wahid). Kata ‘satu’ adalah istilah yang merujuk pada ‘satu’ (single) dari kumpulan beberapa objek dan merujuk pada ‘Esa’ (One), Sang Pencipta. Untuk makna pertama, ia tersusun dari beberapa objek, dan dapat dibagi (divisible) kedalam beberapa bagian. Sedangkan untuk makna kedua (One-ness, the Creator), Ia adalah satu yang tidak dapat dibagi-bagi (indivisible). Selain ‘Yang Esa’ (One-ness) berarti berragam (multiple). Ketiadaan Yang Esa juga berdampak pada ketiadaan yang berragam. Yang Esa (One-ness) adalah penyebab adanya yang lain. Dia lah Allah Sang Pencipta.

      Argument ketiga adalah bahwa segala sesuatu mustahil dapat menjadi penyebab atas dirinya sendiri. Karena jika ia sendiri yang menyebabkan atas dirinya maka akan terjadi tasalsul (rangkaian) yang tidak akan habis-habisnya. Sementara itu, sesuatu yang tidak berakhir tidak mungkin terjadi. Karena itulah, penyebabnya harus dari luar sesuatu itu, yakni Dzat Yang Maha Baik dan Maha Mulia dan lebih dahulu adanya dari pada sesuatu itu. Ia adalah Allah swt, Dzat yang Maha Pencipta.
Tuhan dalam filsafat al-Kindi tidak mempunyai hakikat dalam arti ‘aniah atau mahiah. Bukan ‘aniah karena Tuhan tidak termasuk dalam benda-benda yang ada dalam alam, bahkan ia adalah Pencipta alam. Ia tidak tersusun dari materi (al-hayula) dan bentuk (al-shurat). Tuhan juga tidak mempunyai hakikat dalam bentuk mahiah, karena Tuhan tidak termasuk genus atau species. Tuhan hanya satu, dan tidak ada yang serupa dengan Tuhan. Tuhan adalah unik. Ia adalah Yang Benar Pertama (al-Haqq al-Awwal) dan Yang Benar Tunggal (al-Haqq al-Wahid). Ia semata-mata satu. Selain dari-Nya mengandung arti banyak.
      Sebagaimana kebanyakan umat Islam, Tuhan bagi al-Kindi adalah pencipta (mubdi’). Tuhanlah yang menciptakan alam beserta isinya. Berbeda dengan Aristoteles, menurutnya Tuhan tak memiliki ciri-ciri seperi Tuhan Penyelenggara atau Pencipta, sebab akan turunlah derajat kesempurnaan-Nya jika Ia memikirkan segala sesuatu selain yang sempurna. Tuhan, menurutnya adalah penyebab gerak, akan tetapi dirinya sendiri tidak harus bergerak. Tuhan melahirkan sesuatu yang bergerak (alam semesta) dengan jalan dicintai. Jadi bagi al-Kindi, Tuhan bukanlah Pencipta alam semesta ini dalam pengertian dari tiada menjadi ada. Tuhan dalam istilah Aristoteles adalah The Prime Mover bukan The Creator.

E. Penutup
      Dari pemaparan singkat di atas, terlihat bahwa al-Kindi, filosuf muslim paripatetik pertama, selalu berupaya untuk menselaraskan filsafat Yunani dengan ajaran Islam dengan cara mengadopsi mana yang sesuai dan membuang atau merubah mana yang tidak sesuai dengan akidah Islam. Usaha al-Kindi itu adalah proses islamisasi filsafat Yunani. Jadi tidaklah benar jika dikatakan bahwa seluruh kerangka kajian filsafat Islam seluruhnya berasal dari Yunani, sebagaimana yang dituduhkan oleh orientalis.
     Al-Kindi tak sekedar menerjemahkan karya-karya filsafat Yunani, namun dia juga menyimpulkan karya-karya filsafat Helenisme. Salah satu kontribusinya yang besar adalah menyelaraskan filsafat dan agama.

      ”Al-Kindi adalah salah satu dari 12 pemikir terbesar di abad pertengahan,” cetus sarjana Italia era Renaissance, Geralomo Cardano (1501-1575). Di mata sejarawan Ibnu Al-Nadim, Al-Kindi merupakan manusia terbaik pada zamannya. Ia menguasai beragam ilmu pengetahuan. Dunia pun mendapuknya sebagai filosof Arab yang paling tangguh.

      Ilmuwan kelahiran Kufah, 185 H/801 M itu bernama lengkap Abu Yusuf Ya’qub bin Ishak bin Sabah bin Imran bin Ismail bin Muhammad bin Al-Asy’ats bin Qais Al-Kindi. Ia berasal dari sebuah keluarga pejabat. Keluarganya berasal dari suku Kindah — salah satu suku Arab yang besar di Yaman — sebelum Islam datang. Nenek moyangnya kemudian hijrah ke Kufah.

      Ayahnya bernama Ibnu As-Sabah. Sang ayah pernah menduduki jabatan Gubernur Kufah pada era kepemimpinan Al-Mahdi (775-785) dan Harun Arrasyid (786-809). Kakeknya Asy’ats bin Qais kakeknya AL-Kindi dikenal sebagah salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW. Bila ditelusuri nasabnya, Al-Kindi merupakan keturunan Ya’rib bin Qathan, raja di wilayah Qindah.
      
      Pendidikan dasar ditempuh Al-Kindi di tanah kelahirannya. Kemudian, dia melanjutkan dan menamatkan pendidikan di Baghdad. Sejak belia, dia sudah dikenal berotak encer. Tiga bahasa penting dikuasainya, yakni Yunani, Suryani, dan Arab. Sebuah kelebihan yang jarang dimiliki orang pada era itu.

      Al-Kindi hidup di era kejayaan Islam Baghdad di bawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Tak kurang dari lima periode khalifah dilaluinya yakni, Al-Amin (809-813), Al-Ma’mun (813-833), Al-Mu’tasim, Al-Wasiq (842-847) dan Mutawakil (847-861). Kepandaian dan kemampuannya dalam menguasai berbagai ilmu, termasuk kedokteran, membuatnya diangkat menjadi guru dan tabib kerajaan.

      Khalifah juga mempercayainya untuk berkiprah di Baitulhikmah (House of Wisdom) yang kala itu gencar menerjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan dari berbagai bahasa, seperti Yunani. Ketika Khalifah Al-Ma’mun tutup usia dan digantikan puteranya, Al-Mu’tasim, posisi Al-Kindi semakin diperhitungkan dan mendapatkan peran yang besar. Dia secara khusus diangkat menjadi guru bagi puteranya.

      Al-Kindi mampu menghidupkan paham Muktazilah. Berkat peran Al-Kindi pula, paham yang mengutamakan rasionalitas itu ditetapkan sebagai paham resmi kerajaan. Menurut Al-Nadhim, selama berkutat dan bergelut dengan ilmu pengetahuan di Baitulhikmah, Al-Kindi telah melahirkan 260 karya. Di antara sederet buah pikirnya dituangkan dalam risalah-risalah pendek yang tak lagi ditemukan. Karya-karya yang dihasilkannya menunjukan bahwa Al-Kindi adalah seorang yang berilmu pengetahuan yang luas dan dalam.

      Ratusan karyanya itu dipilah ke berbagai bidang, seperti filsafat, logika, ilmu hitung, musik, astronomi, geometri, medis, astrologi, dialektika, psikologi, politik dan meteorologi. Bukunya yang paling banyak adalah geometri sebanyak 32 judul. Filsafat dan kedokteran masing-masing mencapai 22 judul. Logika sebanyak sembilan judul dan fisika 12 judul.

      Buah pikir yang dihasilkannya begitu berpengaruh terhadap perkembangan peradaban Barat pada abad pertengahan. Karya-karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan bahasa Eropa. Buku-buku itu tetap digunakan selama beberapa abad setelah ia meninggal dunia.

      Al-Kindi dikenal sebagai filosof Muslim pertama, karena dialah orang Islam pertama yang mendalami ilmu-ilmu filsafat. Hingga abad ke-7 M, filsafat masih didominasi orang Kristen Suriah. Al-Kindi tak sekedar menerjemahkan karya-karya filsafat Yunani, namun dia juga menyimpulkan karya-karya filsafat Helenisme. Salah satu kontribusinya yang besar adalah menyelaraskan filsafat dan agama.

      Setelah era Khalifah AL-Mu’tasim berakhir dan tampuk kepemimpin beralih ke Al-watiq dan Al-Mutawakkil, peran Al-Kindi semakin dipersempit. Namun, tulisan kaligrafinya yang menawan sempat membuat Khalifah kepincut. Khalifah AL-Mutawakkil kemudian mendapuknya sebagai ahli kaligrafi istana. Namun, itu tak berlangsung lama.

      Ketika Khalifah Al-Mutawakkil tak lagi menggunakan paham Muktazilah sebagai aliran pemikiran resmi kerajaan, Al-Kindi tersingkir. Ia dipecat dari berbagai jabatan yang sempat diembannya. Jabatannya sebagai guru istana pun diambil alih ilmuwan lain yang tak sepopuler Al-Kindi. Friksi pun sempat terjadi, perpustakaan pribadinya sempat diambil alih putera-putera Musa. Namun akhirnya Al-Kindiyah – perpustakaan pribadi itu – dikembalikan lagi.

      Sebagai penggagas filsafat murni dalam dunia Islam, Al-Kindi memandang filasafat sebagai ilmu pengetahuan yang mulia. Sebab, melalui filsafat-lah, manusia bisa belajar mengenai sebab dan realitas Ilahi yang pertama da merupakan sebab dari semua realitas lainnya.
Baginya, filsafat adalah ilmu dari segala ilmu dan kearifan dari segala kearifan. Filsafat, dalam pandangan Al-Kindi bertujuan untuk memperkuat agama dan merupakan bagian dari kebudayaan Islam.

      Salah seorang penulis buku tentang studi Islam, Henry Corbin, menggambarkan akhir hayat dari sang filosof Islam. Menurut Corbin, pada tahun 873, Al-Kindi tutup usia dalam kesendirian dan kesepian. Saat itu, Baghdad tengah dikuasai rezim Al-Mu’tamid. Begitu dia meninggal, buku- buku filsafat yang dihasilkannya banyak yang hilang.

      Sejarawan Felix Klein-Franke menduga lenyapnya sejumlah karya filsafat Al-Kindi akibat dimusnahkan rezim Al-Mutawakkil yang tak senang dengan paham Muktazilah. Selain itu, papar Klein-Franke, bisa juga lenyapnya karya-karya AL-Kindi akibat ulah serangan bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan yang membumihanguskan kota Baghdad dan Baitulhikmah.

      Hingga kini, Al-Kindi tetap dikenang sebagai ilmuwan Islam yang banyak berjasa bagi ilmu pengetahuan dan peradaban manusia.

Kitab Pemecah Kode

      Sebagai ilmuwan serba bisa, Al-Kindi tak cuma melahirkan pemikiran di bidang filsafat saja. Salah satu karyanya yang termasuk fenomenal adalah Risalah Fi Istikhraj al-Mu’amma. Kitab itu mengurai dan membahas kriptologi atau seni memecahkan kode. Dalam kitabnya itu, Al-Kindi memaparkan bagaimana kode-kode rahasia diurai.

      Teknik-teknik penguraian kode atau sandi-sandi yang sulit dipecahkan dikupas tuntas dalam kitab itu. Selain itu, ia juga mengklasifikasikan sandi-sandi rahasia serta menjelaskan ilmu fonetik Arab dan sintaksisnya. Yang paling penting lagi, dalam buku tersebut, A-Kindi mengenalkan penggunaan beberapa teknik statistika untuk memecahkan kode-kode rahasia.
Kriptografi dikuasainya, lantaran dia pakar di bidang matematika. Di area ilmu ini, ia menulis empat buku mengenai sistem penomoran dan menjadi dasar bagi aritmatika modern. Al-Kindi juga berkontribusi besar dalam bidang geometri bola, bidang yang sangat mendukungnya dalam studi astronomi

       Bekerja di bidang sandi-sandi rahasia dan pesan-pesan tersembunyi dalam naskah-naskah asli Yunani dan Romawi mempertajam nalurinya dalam bidang kriptoanalisa. Ia menjabarkannya dalam sebuah makalah, yang setelah dibawa ke Barat beberapa abad sesudahnya diterjemahkan sebagai Manuscript on Deciphering Cryptographic Messages. ”Salah satu cara untuk memecahkan kode rahasia, jika kita tahu bahasannya adalah dengan menemukan satu naskah asli yang berbeda dari bahasa yang sama, lalu kita hitung kejadian-kejadian pada tiap naskah Pilah menjadi naskah kejadian satu, kejadian dua, dan seterusnya,” kata Al-Kindi.

      Setelah itu, lanjut Al-Kindi, baru kemudian dilihat kepada teks rahasia yang ingin dipecahkan. Setelah itu dilanjutkan dengan melakukan klasifikasi simbol-simbolnya. ”Di situ kita akan menemukan simbol yang paling sering muncul, lalu ubahlah dengan catatan kejadian satu, dua, dan seterusnya itu, sampai seluruh simbol itu terbaca.”

      Teknik itu, kemudian dikenal sebagai analisa frekuensi dalam kriptografi, yaitu cara paling sederhana untuk menghitung persentase bahasa khusus dalam naskah asli, persentase huruf dalam kode rahasia, dan menggantikan simbol dengan huruf.

Filsafat Al-Kindi

      Bagi Al-Kindi, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mulia. Filsafatnya tentang keesaan Tuhan selain didasarkan pada wahyu juga proposisi filosofis. Menurut dia, Tuhan tak mempunyai hakikat, baik hakikat secara juz’iyahatau aniyah(sebagian) maupun hakikat kulliyyahatau mahiyah(keseluruhan).
Dalam pandangan filsafat Al-Kindi, Tuhan tidak merupakan genusatau species.Tuhan adalah Pencipta. Tuhan adalah yang Benar Pertama (al-Haqq al-Awwal) dan Yang Benar Tunggal. AL-Kindi juga menolak pendapat yang menganggap sifat-sifat Tuhan itu berdiri sendiri. Tuhan haruslah merupakan keesaan mutlak. Bukan keesaan metaforis yang hanya berlaku pada obyek-obyek yang dapat ditangkap indera.

      Menurut Al-Kindi, Tuhan tidak memiliki sifat-sifat dan atribut-atribut lain yang terpisah dengan-Nya, tetapi sifat-sifat dan atribut-atribut tersebut haruslah tak terpisahkan dengan Zat-Nya. Jiwa atau roh adalah salah satu pembahasan Al-Kindi. Ia juga merupakan filosof Muslim pertama yang membahas hakikat roh secara terperinci.

      Al-Kindi membagi roh atau jiwa ke dalam tiga daya, yakni daya nafsu, daya pemarah, dan daya berpikir. Menurutnya, daya yang paling penting adalah daya berpikir, karena bisa mengangkat eksistensi manusia ke derajat yang lebih tinggi.

      Al-Kindi juga membagi akal mejadi tiga, yakni akal yang bersifat potensial, akal yang telah keluar dari sifat potensial menjadi aktual, dan akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas.
Akal yang bersifat potensial, papar Al-Kindi, tak bisa mempunyai sifat aktual, jika tak ada kekuatan yang menggerakkannya dari luar. Oleh karena itu, menurut Al-Kindi, masih ada satu macam akal lagi, yakni akal yang selamanya dalam aktualitas.
(Heri Ruslan, Rabu, 06 Februari 2008)
Sumber: ahmadsamantho.wordpress.com/2008/03/25/al-kindi

Copyright © 2011 Mustikoning Jagad. All Rights Reserved.
Joomla! is Free Software released under the GNU/GPL License.

No comments:

Pencarian isi Blog