SEJARAH DAN FUNGSI KERATON YOGYAKARTA
( Studi Literatur )
KARYA TULIS
Tugas Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Kelas XI Semester Genap
By : BanyuGroup Cybernet
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya serta kekuatan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis penulis yang berjudul “ Sejarah dan Fungsi Keraton Yogyakarta “.
Karya tulis penulis ini disusun berdasarkan sistematika penulisan yang baik agar dapat membantu pembaca dalam memahami makna-makna yang terkandung di dalamnya dan selanjutnya dapat diterapkan dalam kehidupn sehari-hari,terutama dalam proses belajar mengajar.
Karya tulis ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dari berbagai pihak. Dengan demikian dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. ........................selaku Kepala Sekolah ........................
2. ......................., selaku Wali Kelas XI IPS 3
3. .............................., selaku pembimbing dalam penyusunan karya tulis ini.
4. Orang Tua selaku pembantu baik dalam hal materi dan spiritual serta pihak-pihak lain yang tidak penulis sebut.
5. Serta rekan – rekan semua yang telah membantu dalam penyusunan karya tulis ini.
Besar harapan penulis, semoga karya tulis ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca untuk menambah ilmu pengetahuan. Amiin.
Pangandaran, Mei 2014
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR GAMBAR
BAB I PENDAHULUAN.
1.1 Latar Belakang
1.2 Perumusan Masalah.
1.3 Tujuan Penulisan
1.4 Metode Penelitian....
1.5 Sistematika Penulisan.........
BAB II LANDASAN TEORI.....
BAB III PEMBAHASAN.....
3.1 Pengertian Keraton Yogyakarta.......
3.2 Struktur Bangunan Keraton Yogyakarta...
3.2.1 Kompleks Depan.
3.2.2 Kompleks Inti......
3.2.3 Kompleks Belakang...
3.3 Filosofi Bangunan Keraton Yogya.....
3.4 Aspek-aspek Sosial Budaya, dan Potensi Kraton Yogyakarta..
3.4.1 Aspek Sosial Budaya....
3.4.2 Potensi Kraton Yogyakarta.....
3.5 Fungsi dan Manfaat Keberadaan Kraton Yogyakarta bagi Masyarakat
3.5.1 Fungsi Kraton Yogyakarta.........
3.5.2 Manfaat Kraton Yogyakarta........
BAB IV PENUTUP........
4.1 Kesimpulan...........
4.2 Saran.........................
DAFTAR PUSTAKA.......
DAFTAR GAMBAR
Halaman
[1] Gambar 3.1 Bangunan Keraton Yogyakarta...........
[2] Gambar 3.2 Denah bangunan Keraton Yogyakarta................
[3] Gambar 3.2.1.1 Gapura Pangurakan....................
[4] Gambar 3.2.1.2 Alun-alun Utara............
[5] Gambar 3.2.2.1 Bangsal Pagelaran......
[6] Gambar 3.2.2.5 Regol Donopratopo......
[7] Gambar 3.2.3.1 Plengkung Nirbaya....
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Daerah Istimewa Jogjakarta atau yang lebih dikenal dengan nama Yogyakarta, merupakan kota yang terkenal dengan sejarah dan warisan budayanya, seperti keraton. Keraton Yogyakarta didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I beberapa bulan pasca perjanjian Giyanti di tahun 1755. Keraton sebagai pionir Yogyakarta mempunyai pengaruh yang sangat penting bagi budaya masyarakat Jawa di Yogyakarta dan merupakan bagian dari sejarah hidup dan tradisi masyarakat Jawa. Digunakan selain sebagai rumah sultan juga untuk acara kebudayaan dan upacara penting Keraton Yogyakarta.
Masyarakat percaya bahwa keraton merupakan referensi budaya mereka. Dengan fungsi yang terbatas pada sektor informal namun keraton Yogyakarta tetap memiliki kharisma tersendiri di lingkungan masyarakat Jawa khususnya di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Beberapa studi yang dilakukan pada tahun 1990 menunjukkan bahwa kesetiaan masyarakat kepada keraton sangat tinggi. Pengaruh tersebut makin meluas semenjak raja dapat menggabungkan kepemimpinan yang karismatik dengan kepemimpinan yang rasional dan modern.
Salah seorang raja tersebut adalah Sultan Hamengku Buwono IX. Ia adalah figur yang menonjol pada masa perjuangan saat mendirikan Republik Indonesia. Hubungan erat antara masyarakat Yogyakarta dan keraton tampak nyata dalam kesenian, ritual, dan upacara adat mereka. Misalnya pada pernikahan tradisional, pengantin pria dan wanita boleh mengenakan pakaian keluarga kerajaan yang disebut ‘basahan’. Dahulu hanya keluarga kerajaan yang boleh memakai pakaian tersebut. Meski dengan modernisasi yang dialami Yogyakarta namun Keraton Yogyakarta tetap dihormati masyarakatnya. Bahkan hingga kini sultan masih dianggap sebagai kepala budaya di Yogyakarta dan sangat dicintai oleh rakyatnya.
1.2 Perumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah Keraton Yogyakarta?
2. Apa yang mempengaruhi Keraton Yogyakarta sebagai ikon Yogyakarta?
3. Mengapa Keraton Yogyakarta tetap mempertahankan nilai-nilai kebudayaannya?
4. Bagaimana hubungan masyarakat dengan keluarga keraton?
5. Bagaimana peranan sultan sebagai kepala pemerintahan di Yogyakarta?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian kegiatan ini antara lain :
1. Untuk mengetahui sejarah Keraton Yogyakarta
2. Untuk mengenal keraton sebagai ikon Yogyakarta
3. Untuk mengetahui budaya-budaya di Yogyakarta
4. Untuk mengetahui peran keraton dalam masyarakat
5. Untuk mengetahui pemerintahan di Yogyakarta yang dipimpin oleh sultan
1.4 Metode Penelitian
Pembahasan suatu masalah memerlukan data yang di dapat dari hasil penelitian secara umum untuk mencari data yang di anggap perlu dan mendukung penelitian. Untuk itu metode yang digunakan adalah :
1. Observasi
Cara ini dilakukan dengan mengadakan pengamatan dengan terjun langsung ke lokasi, yaitu Keraton Yogyakarta. Dengan cara ini dapat memberikan data yang akurat dan dapat di pertanggung jawabkan kebenarannya yang dilakukan pada hari rabu, tanggal 21 Februari 2014 di Keraton Yogyakarta.
2. Studi Pustaka
Teknik pengumpulan data ialah dengan menggali informasi dari buku – buku dan media internet.
1.5 Sistematika Penulisan
[1] HALAMAN JUDUL
[2] LEMBAR PENGESAHAN
[3] KATA PENGANTAR
[4] DAFTAR ISI
[5] BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Perumusan Masalah
1.3 Tujuan Penulisan
1.4 Metode Penelitian
1.5 Sistematika Penulisan
[6] BAB II LANDASAN TEORI
[7] BAB III PEMBAHASAN
3.6 Pengertian Keraton Yogyakarta
3.7 Struktur Bangunan Keraton Yogyakarta
3.7.1 Kompleks Depan
3.7.2 Kompleks Inti
3.7.3 Kompleks Belakang
3.8 Filosofi Bangunan Keraton Yogya
3.9 Aspek-aspek Sosial Budaya, dan Potensi Kraton Yogyakarta
3.9.1 Aspek Sosial Budaya
3.9.2 Potensi Kraton Yogyakarta
3.10 Fungsi dan Manfaat Keberadaan Kraton Yogyakarta bagi Masyarakat
3.10.1 Fungsi Kraton Yogyakarta
3.10.2 Manfaat Kraton Yogyakarta
[8] BAB IV PENUTUP
4.3 Kesimpulan
4.4 Saran
[9] DAFTAR PUSTAKA
BAB II
LANDASAN TEORI
Keraton atau kraton (bahasa Jawa) adalah daerah tempat seorang penguasa (raja atau ratu) memerintah atau tempat tinggalnya (istana). Dalam pengertian sehari-hari, keraton sering merujuk pada istana penguasa di Jawa. Dalam bahasa Jawa, kata kraton (ke-ratu-an) berasal dari kata dasar ratu yang berarti penguasa. Kata Jawa ratu berkerabat dengan kata dalam bahasa Melayu; datuk/datu. Dalam bahasa Jawa sendiri dikenal istilah kedaton yang memiliki akar kata dari datu, di Keraton Surakarta istilah kedaton merujuk kepada kompleks tertutup bagian dalam keraton tempat raja dan putra-putrinya tinggal. Masyarakat Keraton pada umumnya memiliki gelar kebangsawanan.
Menurut Suparto Brata, Keraton Yogyakarta dikenal juga dengan beragam kebudayaan khasnya yang masih dapat kita lihat sekarang walaupun sudah tergerus oleh waktu. Permainan wayang, upacara adat, tarian dan musik khas Keraton Yogyakarta menyimbulkan bagaimana keistimewaan budaya Jawa itu secara umum.
Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai salah satu objek wisata budaya yang potensial di Yogyakarta, dinilai oleh wisatawan tetap menjadi daya tarik saat mereka berlibur di Yogyakarta. “Pesona dan daya tarik di dalam Kraton Ngayogyakarta itu sebenarnya masih banyak yang belum diekspos, baik oleh media lokal maupun asing. Dengan demikian, sebagai ikon budaya Jawa yang adi luhung, keberadaan Kraton Kasultanan ini sangat mendukung DIY sebagai daerah tujuan wisata terkenal,” ujar Kepala Baparda DIY, Condroyo.
Kepala Badan Pariwisata Daerah (Baparda) Provinsi DIY Condroyo juga mengatakan, Kraton Kasultanan Yogyakarta kini masih menjadi bagian dari segitiga emas obyek wisata Yogyakarta bersama dua obyak wisata lain yakni : Candi Prambanan dan Candi Borrobudur. Segitiga emas obyek wisata itu, bagi biro perjalanan wisata sering ditawarkan sebagai paket wisata kepada wisatawan khususnya yang berasal dari mancanegara, karena memiliki daya tarik untuk dikunjungi.
Selain itu, menurut Condroyono,daya tarik Kraton Yogyakarta itu, antara lain kehidupan di dalam Keraton, benda-benda pusaka, arsitektur bangunan Keraton termasuk benda atau barang peninggalan almarhum Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang ditempatkan dalam museum. Selain itu menurut beliau Keraton Yogyakarta Hadiningrat ini masih menjadi ikon pariwisata di DIY. Wisata yang berkunjung di daerah ini merasa belum lengkap jika tidak mengunjungi Keraton.
Menurut Putri Utami dalam makalah karyannya yang berjudul Contoh Makalah Tentang Yogyakarta, walaupun dengan fungsi yang terbatas pada sektor informal namun Keraton Yogyakarta tetap memiliki karisma tersendiri di lingkungan masyarakat Jawa khususnya di Prov.DIY. Selain itu Keraton Yogyakarta juga memberikan gelar kebangsawanan kehormatan (honoriscausa) pada mereka yang mempunyai perhatian kepada budaya Jawa khususnya Yogyakarta disamping mereka yang berhak karena hubungan darah maupun karena posisi mereka sebagai pegawai (abdi-dalem) Keraton.
Anne Ahira mengatakan, bahwa banyak kepercayaan di dalam Keraton seperti barang siapa yang berhasil melewati Beringin Kembang dengan kedua mata tertutup maka keinginanya akan terkabulkan, menjadikan daya tarik tersendiri bagi para wisatawan yang berkunjung ke Keraton Yogyakarta.
Selain itu, beliau juga mengatakan bahwa nilai sejarah dalam bangunan Keraton Yogyakarta beserta alun-alun yang mengapitnya seperti menjadi daya tarik tersendiri bagi Keraton Yogyakarta.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pengertian Keraton Yogyakarta
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau Keraton Yogyakarta merupakan istana resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang kini berlokasi di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Walaupun kesultanan tersebut secara resmi telah menjadi bagian Republik Indonesia pada tahun 1950, kompleks bangunan keraton ini masih berfungsi sebagai tempat tinggal sultan dan rumah tangga istananya yang masih menjalankan tradisi kesultanan hingga saat ini. Keraton ini kini juga merupakan salah satu objek wisata di Kota Yogyakarta. Sebagian kompleks keraton merupakan museum yang menyimpan berbagai koleksi milik kesultanan, termasuk berbagai pemberian dari raja-raja Eropa, replika pusaka keraton, dan gamelan. Dari segi bangunannya, keraton ini merupakan salah satu contoh arsitektur istana Jawa yang terbaik, memiliki balairung-balairung mewah dan lapangan serta paviliun yang luas.
Gambar 3.1 Bangunan Keraton Yogyakarta
Keraton Yogyakarta mulai didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I beberapa bulan pasca Perjanjian Giyanti di tahun1755. Lokasi keraton ini konon adalah bekas sebuah pesanggarahan yang bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan dimakamkan diImogiri. Versi lain menyebutkan lokasi keraton merupakan sebuah mata air, Umbul Pacethokan, yang ada di tengah hutan Beringan. Sebelum menempati Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan Ambar Ketawang yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Gamping Kabupaten sleman.
Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan). Selain itu Keraton Yogyakarta memiliki berbagai warisan budaya baik yang berbentuk upacara maupun benda-benda kuno dan bersejarah. Di sisi lain, Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat lengkap dengan pemangku adatnya. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika nilai-nilai filosofi begitu pula mitologi menyelubungi Keraton Yogyakarta.
3.2 Struktur Bangunan Keraton Yogyakarta
Keraton Yogya terletak di sebuah kompleks luas yang terbagi dalam beberapa bagian. Secara garis besar bangunan Keraton Yogya dapat dibagi menjadi tiga bagian utama dengan kompleks dan bangunan di dalamnya.
Gambar 3.2 Denah bangunan Keraton Yogyakarta
3.2.1 Kompleks Depan
Dalam bagian kompleks depan Keraton, terdapat beberapa pembagian wilayah dan bangunan yaitu:
1. Gladhag-Pangurakan
Gerbang utama untuk masuk ke dalam kompleks Keraton dari arah utara merupakan gerbang berlapis yaitu Gapura Gladhag dan Gapura Pengurakan. Gapura Gladhag dahulu tedapat di ujung utara Jalan Trikora (di antara Kantor Pos Besar dan Bank BNI 46) namun saat ini sudah tidak ada lagi. Smentara di sebelah selatannya terdapat Gapura Pangurakan Njawi yang saat ini menjadi gerbang pertama yang dilewati bila masuk ke Keraton dari sisi utara.
Gambar 3.2.1.1 Gapura Pangurakan
2. Alun-Alun Lor (Alun-Alun Utara)
Alun-alun Utara adalah lapanan berumput yang terletak di sisi utara Keraton Yogya. Pinggiran alun-alun ditanami dengan pohon beringin dan secara khusus di tengah alun-alun terdapat dua pohon beringin bernama Kyai Dewadaru dan Kyai Janadaru.
Pada zaman dahulu hanya Sultan dan Pepatih Dalem yang boleh berjalan di antara kedua pohon beringin yang dipagari ini. Tempat ini juga menjadi lokasi rakyat bertatap muka berkumpul untuk menyampaikan aspirasinya kepada Sultan saat terjadinya Pisowanan Agung.
3.2.2 Kompleks Inti
1. Kompleks Pagelaran
Bangunan utama dari bagian ini adalah Bangsal Pagelaran, atau dikenal pula sebagai Tratag Rambat. Zaman dahulu bagian ini digunakan sebagai tempat di mana punggawa kesultanan menghadap Sultan dalam upacara resmi. Saat ini tempat ini masih digunakan untuk upacara adat keraton, namun juga dimanfaatkan untuk acara-acara pariwisata dan religi.
Gambar 3.2.2.1 Bangsal Pagelaran
Teradapat pula sepasang Bangsal Pemandengan yang terltak di sisi sebelah timur dan barat dari Pagelaran. Dahulu Bangsal Pemandengan digunakan Sultan untuk menyaksikan latihan perang yang dilakukan tentara kesultanan di Alun-alun Utara.
Di dalam sayap timur bagian selatan Pagelaran terdapat Bangsal Pengrawit. Bangsal ini digunakan oleh Sultan sebagai tempat untuk melantik Pepatih Dalem. Saat ini sisi selatan dari kompleks Pagelaran dihiasi dengan relief perjuangan Sultan HB I dan Sultan HB IX. Kompleks Pagelaran ini juga memiliki nilai historis lain, yaitu sebagai bagian keraton yang digunakan sebagai tempat perintisan Universitas Gajah Mada di mana para mahasiswa dahulu belajar sebelum kampus UGM yang sekarang di Bulak Sumur dibangun.
2. Kompleks Siti Hinggil
Kompleks Siti Hinggil merupakan kompleks utama yang digunakan untuk menyelenggarakan upacara resmi kesultanan, terutama bila terjadi pelantikan sultan baru. Kompleks ini terletak di sisi selatan Pagelaran. Pada 19 Desember 1949 di kompleks ini dilaksanakan peresmian Universitas Gajah mada. Kompleks ini dibuat lebih tinggi dari tanah di sekitarnya menggunakan dua jenjang untuk naik di sisi utara dan selatannya.
Di kompleks Siti Hinggil ini terdapat beberapa bangunan yaitu:
a) dua Bangsal Pacikeran yang digunakan abdi dalem mertolulut dan Singonegoro sampai sekitar tahun 1926.
b) bangunan Tarub Agung yang berbentuk kanopi persegi dengan empat tiang. Tempat ini befungsi untuk tempat singga sejenak para pembesar menunggu romongannya masuk ke dalam istana
c) Bangsal Kori, yaitu tempat yang digunakan para abdi dalem Kori dan abdi dalem Jaksa untuk menyampaikan aspirasi rakyat kepada Sultan.
d) Bangsal Manguntur Tangkil, terletak di tengah-tengah Siti Hinggil. Bangunan ini merupakan tempat Sultan duduk di atas singgasananya saat acara-acara resmi kerajaan spert pelantikan Sultan maupun Pisowanan Agung.
e) Bangsal Witono, digunakan untuk menyimpan lambang-lambang serta pusaka kerajaan pada saat ada acara resmi kerajaan
f) Bale Bang sebagai tempat penyimpanan Gamelan Sekati, KK Guntur Madu dan KK Naga WIlaga.
g) Bale Angun-angun, sebagai tempat penyimpanan tombak KK Suro Angun-Angun
3. Kamandhungan Lor
Di bagian selatan dari Siti Hinggil terdapat sebuah lorong yang mebujur dari timur-barat. Pada bagian selatan dinding lorong tersebut terdapat sebuah gerbang besar bernama Regol Brojonolo yang menghubungkan Siti HInggil dengan Kamandhungan. Di sebelah timur dan barat dari sisi selatan gerbang terdapat pos penjagaan. Gerbang ini hanya dibuka saat ada acara resmi kerajaan.
Untuk memasuki kompleks Kamandhungan sekaligus kompleks dalam Keraton sehari-hari bisa melalui Gapura Keben di sisi barat dan timur kompleks Kamandhungan Lor yang menjadi penghubung ke Rotowijayan dan Kemitbumen. Kompleks Kamandhungan Lor sering juga disebut Keben karena banyak pohon keben di halamannya. Di bagian tengah halaman, sebagai bangunan utama di kompleks ini, berdirilah Bangsal Ponconiti. Sampai dengan 1812, bangsal ini digunakan untuk mengadili perkara yang secara langsung dipimpin oleh Sultan dalam proses pengadilannya. Ada pula yang mengatakan digunakan utuk mengadili perkara terkait keluarga kerajaan. Saat ini bangsal tersebut digunakan untuk acara adat seperti sekaten atau garebeg. Di selatan Ponconiti terdapat kanopi besar untuk menurunkan tamu dari kendaraan mereka. Kanopi ini bernama Bale Antiwahana.
4. Sri Manganti
Kompleks Sri Manganti berada di sebelah selatan Kamandhungan Lor dan dihubungkan dengan Regol Sri Manganti. Bangunan yang terdapat di kompleks ini yaitu:
a) Pada sisi barat kompleks terdapat Bangsal Si Manganti yang dahulu digunakan untuk menerima tamu penting kerjaan. Saat ini bangsal ini digunakan untuk menyimpan beberapa pusaka keraton berupa gamelan dan juga untuk kepentingan wisata keraton
b) Bangsal Traju Mas, terletak di sisi timur, dahulu merupaan tempat pejabat kerjaan mendampingi Sultan saat menyambut tamu. Saat ini digunakan untuk menempatkan pusaka berupa tandu dan meja hias
c) Di sebelah timur bangsal terdapat dua meriam buatan Sultan HB II yang mengapit sebuah prasasti berbahasa Cina. Di sebelah timurnya terdapat Gedhong Parentah Hageng Karaton, yaitu gedung administrasi tinggi istana. Terdapat pula beberapa bangunan lainnya seperti Pecaosan Jaksa, Pecaosan Prajurit, dan lain-lain.
5. Kedhaton
Dari sisi selatan kompleks Sri Manganti berdiri Regol Donopratopo yang menghubungkannya denan kopleks Kedhaton. Kompleks Kedhaton merupakan bagian inti dari keseluruhan bangunan Keraton. Kompleks ini dapat dibagi menjadi tiga bagian halaman yaitu:
a) Pelataran Kedhaton yang merupakan tempat tinggal Sultan. Pada bagian ini terdapat Bangsal Kencono yang merupakan balairung utama istana. Bangsal ini berfungsi untuk tempat pelaksanaan berbagai upacara khusus keluarga kerajaan. Terdapat pula Tratag Bangsa Kencana yang dulu digunakan sebagai tempat latihan tari; Ndalem Ageng Proboyakso sebagai pusat dari istana secara keseluruhan yang menjadi tempat disimpannya pusaka kerajaan, tahta sultan, serta lambang-lambang kerajaan lainnya; Gedhong Kenen sebagai tempat tinggal resmi Sultan yang bertahta; Gedhong Purworetno sebagai kantor resmi sultan; Bangsal Manis sebagai tempat perjamuan resmi kerajaan dan tempat membersihkan pusaka pada bulan Suro; serta masih ada banyak bangsal dan gedhong lainnya.
b) Keputren yang merupakan tempat tinggal istri dan para putri Sultan, secara khusus bagi putri Sultan yang belum menikah. Sejak dahulu sampai sekarang tempat ini selalu tetutup untuk umum.
c) Kesatriyan yang merupakan tempat tinggal para putra Sultan, terutama yang belum menikah. Di dalamnya terdapat Pendapa Kesatriyan, Gedhong Prignggadani, dan Gedhong Srikaton. Saat ini tempat ini sering digunakan untuk menyelenggarakan acara-acara pariwisata.
6. Kamagangan
Menghubungkan kompleks Kedhaton dengan kompleks Kamagangan. Pada gerbang ini terdapat patung dua ekor ular yang menggambarkan tahun berdirinya Keraton Yogyakarta. Kompleks ini dahulu digunakan untuk penerimaan calon abdi dalem, tempat berlatih, tempat ujian, dan apel kesetiaan para abdi dalem yang masih magang. Dalam kompleks ini terdapat beberapa bagian yaitu:
a) Bangsal Magangan sebagai tempat upacara Bedhol Songsong, yaitu pertunjukan wayang kulit yang menandai selesainya seluruh prosesi ritual di Keraton
b) Pawon Ageng yang merupakan dapur istana, terdiri dari Sekul Langgen di timur dan Pawon Ageng Gebulen di barat
c) Panti Pareden, tempat pembuatan gubungan menjelang upacara garebeg.
7. Kamandhungan Kidul
Dari selatan kompleks Kamagangan terdapat gerbang Regol Gadhung Mlati yang menghubungkannya dengan kompleks Kamandhungan Kidul. Di kompleks ini terdapat bangunan Bangsal Kamandhungan, yang konon berasal dari pendopo desa Pandak Karang Nangka di daerah Sokawati yang pernah menjadi tempat Sri Sultan HB I bermarkas saat perang.
8. Siti Hinggil Kidul
Siti Hinggil Kidul dikenal juga sebagai Sasana Hinggil Dwi Abad terletak di seblah utara alun-alun Kidul, dengan luas kurang lebih 500 meter persetgi. Dahulu di tengahnya terdapat pendopo sederhana yang kemudian pada tahun 1956 dipugar menjadi Gedhing Sasana Hinggil Dwi Abad untuk memperingati 200 tahun kota Yogyakarta.
Tempat ini dahulu digunakan Sultan untuk menonton para prajurit Keraton yang melakukan gladi resik upacara Garebeg, pertunjukan adu manias dengan macan, dan tempat latihan prajurit perempuan Langen Kusumo. Tempat ini juga menjadi awal dari prosesi perjalanan upacara pemakaman Sultan yang wafat menuju Imogiri. Sementara saat ini, Siti Hinggil Kidul lebih sering digunakan untuk pertunjukan seni seperti wayang kulit, pameran, dan lain-lain.
3.2.3 Kompleks Belakang
Kompleks belakang dari Keraton terdiri dari dua bagian yaitu:
1. Alun-Alun Kidul (Alun-alun Selatan)
Alun-alun Kidul sering disebut sebagai Pengkeran. Pengkeran berasal dari kata pengker yang berarti belakang. Alun-alun ini dikelilingi tembok persegi dengan lima gapura, satu di selatan dan masing-masing dua di timur dan barat. Berbeda dengan Alun-alun Utara, di Alun-alun Selatan hanya ada dua pasang pohon beringin. Sepasang di tengah alun-alun yang dinamakan Supit Urang dan sepasang lagi di kanan-kiri gapura sisi selatan yang dinamakan Wok. Dari gapura sisi selatan Alun-alun terdapat jalan Gading yang menghubungkanya dengan Plengkung Nirbaya.
2. Plengkung Nirbaya
Plengkung Nirbaya merupakan ujung selatan dari poros utama Keraton. Tempat ini merupakan tempat di mana Sultan HB I masuk ke Keraton Yogya untuk pertama kalinya saat terjadi pemindahan pusat pemerintahan dari Kedhaton Ambar Ketawang. Gerbang ini menjadi rute keluar prosesi pemakaman Sultan ke Imogiri. Oleh karena alasan inilah tempat ini kemudian menjadi tertutup bagi Sultan yang sedang bertahta.
3.3 Filosofi Bangunan Keraton Yogya
Pembangunan Keraton Yogya tidaklah sembarangan. Banyak aspek yang diperhitungkan, termasuk aspek filosofi dan mitologi. Kedua aspek ini sangatlah kental karena memang masyarakat Yogya sendiri masih memegang kuat tradisi dan kepercayaan tradisionalnya sehingga dalam membangun keraton yang notabene merupakan pusat pemerintahan pun kedua aspek ini sangat diperhatikan. Saat ini bila dilihat pada peta, maka akan nampak bahwa posisi Keraton berada dalam satu poros garis lurus: Tugu – Keraton – Panggung Krapyak. Poros garis lurus ini diapit oleh Sungai Winongo di sisi barat dan Sungai Code di sisi timurnya. Jalan P. Mangkubumi, Jalan Malioboro, dan Jalan Jenderal A. Yani merupakan suatu kawasan jalan lurus yang menghubungkan dari Tugu sampai Keraton. Smentara Jalan D.I. Panjaitan merupakan jalan lurus keluar dari Keraton, terus melewati Plengkung Nirboyo menuju Panggung Krapyak. Susunan ini mengandung makna “sangkan paraning dumadi” yang artinya adalah asal mula manusia dan tujuan akhir kehidupannya yang mendasar.
Selanjutnya dari Panggung Krapyak menuju ke Keraton mengandung penggambaran asal mula terciptanya manusia sampai dengan manusai tersebut mencapai kedewasaan. Penggambaran ini ditunjukkan dengan:
1. Keberadaan kampong di sekitar Panggung Krapyak yang bernama kampung Mijen. Kata “mijen” sendiri berasal dari “wiji” yang artinya benih, menunjukkan benih sebagai awal terbentuknya manusia
2. Sepanjang jalan D.I. Panjaitan ditanami pohon asam dan pohon tanjung yang melambangkan perjalanan dari masa anak-anak menuju masa remaja
3. Dari Tugu sampai Keraton menunjukkan tujuan akhir hidup manusia yaitu menghadap sang Pencipta. Selain itu, adanya tujuh gerbang dari Gladhag (yang saat ini sudah tidak dapat dilihat lagi) sampai Donopratopo melambangkan tujuh gerbang menuju surga.
Tugu Yogakarta yang saat ini menjadi batas utara dari wilayaj kota tua menyimbolkan “manunggaling kawulo gusti”, yaitu bersatunya raja dengan rakyat. Simbo ini juga dapat ditafsirkan sebagai penyatuan antara Sang Pencipta dengan makhluk ciptaannya. Pintu gerbang Keraton pun juga memiliki maknanya sendiri. Pintu Gerbang Donopratopo dipercaya memiliki arti “seseorang yang baik selalu memberi kepada orang lain dengan tulus dan bisa mengendalikan hawa nafsu”. Patung raksasa Dwarapala juga terdapat di samping gerbang. Balabuta menggambarkan kejahatan dan Cinkarabala menggambarkan kebaikan. Penempatan kedua patung ini hendak menyampaikan makna bahwa manusia harus dapat membedakan hal yang baik dan yang jahat.
Tidak hanya dari segi bangunannya, penanaman pohon di kompleks keraton pun ternyata mengandung makna. 64 pohon beringin di Alun-Alun Utara melambangkan usia Nabi Muhammad. Dua pohon beringin di tengahnya menjadi lambang makrokosmos dan mikrokosmos. Hal ini dapat diketahui dari etimologi kedua nama pohon beringin tersebut. Pohon pertama bernama Dewodaru, kata dewo sendiri berarti Tuhan sebagai perlambang makrokosmos dan pohon kedua bernama Janadaru, jana berarti manusia sebagai perlambang mikrokosmos. Ada pula yang menafsirkan bahwa Dewodaru melambangkan persatuan antara Sultan dengan Sang Pencipta sedangkan Janadaru melambangkan persatuan Sultan dengan rakyat. (Wikipedia: Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat)
Bila ditarik lebih jauh lagi, maka akan nampak bahwa posisi Keraton Yogya, Pantai Parang Kusumo di Laut Selatan dan Gunung Merapi berada dalam satu garis lurus dengan Tugu Yogya di tengah-tengahnya. Menuru Guru Besar Filsafat UGM Prof. Damarjati Supadjar, posisi ini juga memiliki arti khusus.
Pembangunan Keraton didasarkan akan pertimbangan keseimbangan dan keharmonisan unsur alam. Keraton menjadi titik kesetimbangan antara air dan api. Api dilambangkan oleh Gunung Merapi sedangkan air dilambangkan oleh Laut Selatan. Keraton yang berada di titik tengahnya menjadi titik kesetimbangan antara vertical dan horizontal. Maksudnya di sini adalah keseimbangan horizontal dilambangkan dengan Laut Selatan yang mencerminkan hubungan manusia dengan sesama manusia sedangkan Gunung Merapi melambangkan keseimbangan vertical yaitu hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Bila dikaitkan dengan situasi saat ini, Damarjati menyatakan bahwa filosofi ini juga bisa ditujukan kepada pemerintah, bahwa pemerintah seharusnya bisa lebih peka terhadap letusan Merapi yang terjadi di November 2010. Menurut Damarjati, magma dari Gunung Merapi harus dilapangkan jalannya untuk bisa memuntahkan laharnya, tidak boleh disumbat jalurnya. Bila jalurnya tersumbat maka bisa mengakibatkan letusan yang luar biasa, sama seperti suara rakyat yang bila dihambat dapat menyebabkan revolusi sosial.
3.4 Aspek-aspek Sosial Budaya, dan Potensi Kraton Yogyakarta
3.4.1 Aspek Sosial Budaya
Kraton Yogyakarta merupakan Istana Kesultanan yang masih bernuansa Jawa tradisional walaupun ditengah-tengah proses modernisasi kota Jogja. Dalam hal ini, kraton tidak hanya melaksanakan fungsinya sebagai wahana pelestarian budaya, tetapi juga melakukan interaksi terhadap masyarakat sebagai wujud rasa sosial yang tinggi, mengingat bahwa Kraton Yogyakarta merupakan kediaman gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwana X. Contoh nyatanya adalah hal- hal yang terjadi belum lama ini, bahwa 40 ribuan warga melakukan pisowanan ageng ke Kraton Yogyakarta. Pisowanan ageng tersebut bertujuan untuk meminta penjelasan atau klarifikasi dari Sri Sultan HB X. Tradisi ini dilakukan ketika terjadi kebuntuan informasi, sehingga rakyat mendatangi raja.
Mereka memohon penjelasan langsung dari sang raja agar memperoleh kepuasan atas informasi yang tengah beredar di masyarakat. Menurut Gregorius Sahdan, pisowanan ageng ini merupakan tradisi baru dalam konteks hubungan kawula lan gusti di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dari semua ini terlihat jelas bahwa Kraton Yogyakarta melaksanakan peran sosialnya. Sedangkan nilai-nilai budaya Kraton dapat dilihat dengan melihat ritual semedi. Dimana Kraton meyakini bahwa siapa yang sedang bersemedi maka ia selalu berada dalam keagungan Tuhan YME. Di dalam ritual ini, orang yang bersemedi akan menghadapi berbagai rintangan. Contohnya, saat berada di Pasar Beringharja, maka gambaran rintangannya adalah wanita-wanita cantik, makanan lezat, minuman segar, kain bagus berwarna-warni dan bau-bauan yang wangi dan sedap. Sedangkan dalam Kepatihan akan dijumpai rintangan yang berupa kekuasaan, derajat, pangkat dan uang.
Kraton Yogyakarta melakukan upacara ritual tiap tahunnya yang dikenal dengan nama upacara grebeg. Grebeg adalah upacara keagamaan yang dilakukan 3 kali dalam setahun. Bertepatan pada lahinya Nabi Muhammad SAW (grebeg Maulud), hari raya idul fitri (grebeg Syawal) dan pada hari raya idul adha (grebeg Besar). Pada hari itu, Sri Sultan berkenan memberi sedekah berupa gunungan-gunungan berisikan makanan dan lain- lain kepada rakyat. Dan tak kalah nilai budayanya adalah pertunjukan seni. Kraton Yogyakarta sering menggelar seni pertunjukan. Acara ini menjadi ritual fungsional dari istana. Di antaranya, adalah pertunjukan Tari Bedoyo yang disucikan, pertunjukan wayang kulit, wayang wong dan lain-lain. Gambaran dari wayang wong adalah suatu drama tarian berdasarkan cerita Mahabharata dan Ramayana. Pada zaman dahulu, wayang ini hanya ditarikan di Kraton atau di tempat tinggal para ningrat. Hanya orang yang khusus yang dapat membawakan drama tari ini. Drama ini hanya ditarikan pada acara khusus seperti pada ulang tahun raja atau pangeran, peringatan penobatan raja, atau pada penyambutan tamu agung.
Dari semua contoh di atas, sudah terlihat jelas bahwa Kraton Yogyakarta yang memiliki bangunan-bangunan, lapangan-lapangan, halaman –halaman serta acara-acara seni yang mengandung unsur budaya dapat melestarikan nilai-nilai sosio kultural bangsa Indonesia secara turun temurun.
3.4.2 Potensi Kraton Yogyakarta
Kraton Yogyakarta merupakan tempat yang mengandung warisan kebudayan Nasional yang wajib dilestarikan. Kraton Yogyakarta ini merupakan kerajaan yang masih eksis keberadaannya dalam melaksanakan aktivitas pemerintahan kepada rakyatnya ditengah era modernisasi dan globalisasi yang sedang meningkat ini. Kemenarikan bangunan Kraton Yogyakarta bukan hanya terletak pada sofistikasi arsitektur Jawa, tetapi lebih-lebih pada kandungan nilai-nilai kultural-edukatif yang visualisasinya nampak dalam simbol-simbol. Melalui bangunan kraton nilai-nilai luhur yang telah tersaring dari berbagai rekaman sejarah dan budaya secara non-verbal divisualisasi dan disosialisasikan agar menjadi sumber inspirasi yang tidak pernah kering bagi setiap generasi dalam memperjuangkan keluhuran martabat manusia.
Nilai kebudayaan yang dimiliki oleh Kraton Yogjakarta sudah sepatutnya dikenal oleh orang banyak, baik itu secara Nasional ataupun Internasional, sehingga akan menarik wisatawan mancanegara ataupun domestik untuk datang dan mengunjungi Kraton Yogyakarta. Hal ini tentunya akan menjadi magnet untuk bidang pariwisata di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Potensi Kraton Yogyakarta dalam kepariwisataan tentunya sangat tinggi, bahkan rencananya Kraton Yogyakarta akan dijadikan BCB (Bangunan Cagar Budaya) bertaraf Internasional, walaupun hal itu masih dalam tahap pengajuan. Kepariwisataan di DIY khususnya untuk wisata ke Kraton Yogyakarta tentunya akan sangat potensial dan menguntungkan banyak pihak, baik itu dari golongan atas seperti para pengusaha penginapan dan pengrajin, maupun dari kalangan bawah yakni para penjual cindramata, oleh-oleh khas jogja dan lain-lain.
Apabila Kraton Yogyakarta ini dimanfaatkan secara maksimal, misalnya dengan meningkatkan infrastruktur dan prasarana, tentunya akan lebih banyak membuat wisatawan baik lokal maupun mancanegara tertarik dan datang mengunjungi Kraton Yogyakarta ini. Dengan begitu, selain dapat mempertahankan budaya Nasional, dari satu bidang kepariwisataan ini, DIY bisa mendapatkan pendapatan lebih untuk daerahnya.
3.5 Fungsi dan Manfaat Keberadaan Kraton Yogyakarta bagi Masyarakat
3.5.1 Fungsi Kraton Yogyakarta
Fungsi Kraton dibagi menjadi dua yaitu fungsi Kraton pada masa lalu dan fungsi Kraton pada masa kini. Pertama- tama, kami akan menjelaskan mengenai fungsi Kraton pada masa lalu. Pada masa lalu keraton berfungsi sebagai tempat tinggal para raja. Kraton didirikan pada tahun 1756, selain itu di bagian selatan dari Kraton ini, terdapat komplek kesatriaan yang digunakan sebagai sekolah putra-putra sultan. Sekolah mereka dipisahkan dari sekolah rakyat karena memang sudah merupakan aturan pada Kraton bahwa putra- putra sultan tidak diperbolehkan bersekolah di sekolah yang sama dengan rakyat. Sementara itu, fungsi Kraton pada masa kini adalah sebagai tempat wisata yang dapat dikunjungi oleh siapapun baik turis domestik maupun mancanegara. Selain sebagai tempat untuk berwisata, tidak terlupakan pula fungsi Kraton yang bertahan dari dulu sampai sekarang yaitu sebagai tempat tinggal Sultan.
Pada saat kita akan memasuki halaman kedua dari Kraton, terdapat gerbang dimana di depannya terdapat dua buah arca. Setiap arca ini memiliki arti yang berlawanan. Arca yang berada di sebelah kanan disebut Cingkorobolo yang melambangkan kebaikan, sementara itu arca yang terletak di sebelah kiri disebut Boloupotu yang melambangkan kejahatan. Selain itu kami juga mendapatkan sedikit informasi tentang Sultan Hamengku Buwono IX. Sultan ke IX dari Kraton Yogyakarta ini lahir pada tanggal 12 April 1940 dan wafat dalam usianya yang ke 48 yaitu pada tanggal 3 Oktober 1988. Ia memiliki berbagai macam hobi, diantaranya adalah menari, mendalang, memainkan wayang, dan yang terakhir memotret. Sultan ini memiliki suatu semboyan yang terkenal yaitu, “ Tahta untuk rakyat”.
3.5.2 Manfaat Kraton Yogyakarta
1. Sebagai tempat tinggal Sultan dan lambang pusat pemerintahan Yogyakarta
Sejak Sultan HB I pindah ke Keraton pada tahun 1756, tempat ini memang difungsikan sebagai tempat tinggal Sultan sekaligus pusat pemerintahan. Sultan sendiri bekerja di lingkungan Keraton dan dalam kesempatan-kesempatan tertentu seperti misalnya saat Pisowanan Agung Sultan berinteraksi dengan rakyatnya.
2. Sebagai tempat penyimpanan pusaka kerajaan
Keraton Yogya memiliki berbagai pusaka yang dipercaya memiliki kekuatan gaib, seperti misalnya gamelan, tombak, kereta, dan barang-barang lainnya. Barang-barang pusaka ini disimpan di berbagai ruang di dalam Keraton dan secara berkala dibersihkan dan dicuci, biasanya menjelang bulan Suro setiap tahunnya.
3. Sebagai tempat terjadinya beberapa peristiwa bersejarah Indonesia
Keraton Yogyakarta juga menjadi tempat terjadinya beberapa peristiwa bersejarah di Indonesia. Hal ini bisa terjadi karena pada masa awal kemerdekaan Indonesia, Yogyakarta sempat dijadikan ibu kota sehingga Keraton pun dimanfaatkan dalam beberapa kesempatan. Contohnya adalah pemanfaatan Kompleks Pagelaran sebagai cikal bakal Universitas Gadjah Mada dan pemanfaatan Siti Hinggil Lor sebagai tempat pelantikan Soekarno menjadi presiden RIS pada 17 Desember 1949.
4. Sebagai objek wisata budaya
Keraton Yogyakarta saat ini juga telah menjadi salah satu objek wisata budaya paling popular di Yogyakarta. Turis domestik maupun mancanegara memadati Keraton setiap hari libur. Keraton Yogyakarta sendiri memanfaatkan hal ini dengan cara mengubah beberapa bagian Keraton menjadi ruang pamer benda-benda bersejarah atau benda-benda budaya, menyelenggarakan pertunjukan seni, membangun restoran dan toko cinderamata, serta mengorganisir tur bagi para turis. Meskipun demikian, Keraton Yogyakarta tetap mempertahankan beberapa tradisi yang tidak dibiarkan terpengaruh aktivitas pariwisata tersebut, misalnya sampai dengan saat ini kompleks Keputren masih tertutup bagi umum, hanya boleh dimasuki oleh orang lingkungan dalam Keraton saja.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Keraton Yogyakarta merupakan salah satu simbol utama dari Yogyakarta. Pembangunan Keraton Yogyakarta sendiri tidaklah sembarangan tetapi diperhitungkan dengan matang dan dipengaruhi banyak filosofi serta kepercayaan mitologis yang mencerminkan kuatnya tradisi masyarakat Yogyakarta. Keraton juga menunjukkan kuatnya akulturasi antara tradisi Jawa tradisional dengan budaya Islam melalui berbagai simbolisasi yang tersebar di banyak bagian kompleks Keraton.
Keraton Yogyakarta juga tidak hanya menjadi bangunan yang penting bagi keluarga kesultanan dan masyarakat Yogya, namun juga memiliki peranan dalam sejarah nasional bangsa Indonesia. Pemanfaatan Keraton Yogyakarta pada masa sekarang memang sudah sangat berkembang dan mengalami berbagai perubahan. Salah satu yang paling mencolok adalah pembukaan Keraton sebagai objek wisata. Meskipun demikian, di tengah arus modernisasi tersebut, Keraton masih dapat mempertahankan tradisi kehidupan Keraton sehingga nilai-nilai kehidupan Keraton masih dapat terpelihara dengan baik.
4.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian di atas, saran kami adalah terus lestarikan Keraton Yogyakarta dengan cara menjaga dan merawat bangunan dan tata ruang serta benda - benda peninggalan sultan-sultan. Karena Keraton Yogyakarta ialah sebuah istana yang mengandung banyak arti, arti keagamaan, arti filsafat dan arti kultural ( kebudayaan ). Yang masih menjunjung tinggi nilai - nilai filosofinya.
Oleh sebab itu, maka warisan budaya Indonesia yang harus dilindungi dan dipertahankan dari klaim pihak asing. Serta tetap melestarikan dan menjaga warisan – warisan kebudayaan yang ada di negara kita, khususnya warisan – warisan kebudayaan yang berasal dari Keraton Yogyakarta sebagai pionir Yogyakarta adalah salah satu kiblat kebudayaan Jawa, sekaligus penjaga nyala kebudayaan tersebut
DAFTAR PUSTAKA
No comments:
Post a Comment