BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konflik yang berlangsung di Aceh telah menimbulkan dampak yang parah terhadap berbagai komponen masyarakat sipil Aceh. Ribuan orang yang dicintai (orang tua, istri, suami dan anak-anak) telah gugur, mengalami penyiksaan dan cacat, menjadi janda dan anak yatim. Ribuan orang telah kehilangan tempat tinggal dan ribuan lainnya kehilangan pekerjaan dan mata pencaharian. Ratusan sekolah terbakar, sehingga mengganggu proses pendidikan. Lebih jauh dari itu, masyarakat sipil hampir tidak memiliki akses terhadap hukum, sementara sebagian besar lembaga pengadilan tidak berfungsi lagi.
Kenyataan di atas telah menyadarkan berbagai pihak tentang perlunya menampung aspirasi masyarakat sipil dalam proses perdamaian di Aceh. Sejumlah usaha untuk menyerap aspirasi masyarakat sipil telah dilakukan. Berturut-turut diantaranya adalah MRA (Musyawarah Rakyat Aceh), KRA (Kongres Rakyat Aceh), KOMPAS (Kongres Mahasiswa dan pemuda Aceh Serantau), tetapi hasil yang dicapai sampai saat ini belum maksimal. Oleh karena itu kedepan perlu ada usaha yang besar dalam mewujudkan perdamaian di Aceh.
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di ploklamirkan oleh Hasan Tiro pada 4 Desember 1976. Gerakan Aceh Merdeka ini muncul akibat ketidakpuasan Aceh terhadap pemerintah pusat yang di anggap tidak adil di setiap sektor kehidupan di Aceh , terutama ekonomi. Hasil alam Aceh dieksploitasi secara besar-besaran namun Aceh tidak mengalami pembangunan yang setara dengan hasil alamnya yang melimpah. Berlandaskan kenyataan itu, 54 orang yang berasal dari komponen yang berbeda dalam masyarakat sipil Aceh menghadiri “Brotherly Dialog among Acehnese for a Just Peace in Aceh” di Washington DC, 5 s.d. 8 Oktober 2001 membentuk ACSTF (Acehnese Civil Society Task Force). Konferensi ini diadakan oleh International Forum For Aceh (IFA) dan Global peace Centre of American University.
Selain komponen masyarakat sipil, dalam konferensi ini juga hadir perwakilan dari pemerintah Republik Indonesia yang diwakili oleh Ir.Azwar Abubakar dan perwakilan dari Gerakan Aceh Merdeka yang diwakili oleh Dr.Zaini Abdullah. Konferensi ini memiliki beberapa rekomendasi, salah satunya adalah terpilihnya sepuluh orang yang akan menjadi anggota ACSTF dalam melaksanakan point-point penting yang berhubungan dengan konsolidasi dan pemberdayaan komponen sipil Aceh. Selain itu, usaha ACSTF juga mengambil inisiatif-inisiatif untuk mendorong terwujudnya solusi damai berkesinambungan terhadap konflik Aceh lewat pendekatan dialog dan tanpa kekerasan dengan pelibatan masyarakat sipil Aceh, Indonesia dan internasional.
Pasca MoU Damai 15 Agustus 2005 di Helsinki antara pemerintah Republik Indonesia dengan GAM, ACSTF kembali membangun komunikasi dan konsolidasi komponen masyarakat sipil Aceh untuk menjaga proses damai ini. Hal penting yang harus segera direspon saat itu adalah pembentukan UU Pemerintahan Aceh sesuai amanat MoU Helsinki. Sehingga ACSTF menginisiasi proses perumusan UU PA versi masyarakat sipil serta pengawalan pembentukan UU tersebut dari proses perumusan rancangan UU sampai pembahasannya di DPR RI .
B. Rumusan Masalah
Agar penyusunan makalah ini sesuai dengan apa yang diharapakan, maka penulis menyusunkan rumusan masalahnya sebagai berikut :
1. Apa itu GAM ?
2. Bagaimana sejarah terbentuknya GAM ?
3. Bagaimana GAM Dalam Perspektif Hukum Internasional ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengrtian GAM
Gerakan Aceh Merdeka, atau GAM adalah sebuah organisasi (yang dianggap separatis) yang memiliki tujuan supaya Aceh, yang merupakan daerah yang sempat berganti nama menjadi Nanggroe Aceh Darussalam lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konflik antara pemerintah RI dan GAM yang diakibatkan perbedaan keinginan ini telah berlangsung sejak tahun 1976 dan menyebabkan jatuhnya hampir sekitar 15.000 jiwa. Gerakan ini juga dikenal dengan nama Aceh Sumatra National Liberation Front (ASNLF). GAM dipimpin oleh Hasan di Tiro selama hampir tiga dekade bermukim di Swedia dan berkewarganegaraan Swedia. Pada tanggal 2 Juni 2010, ia memperoleh status kewarganegaraan Indonesia, tepat sehari sebelum ia meninggal dunia di Banda Aceh.
B. Asal Mula Terbentuknya GAM
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) merupakan salah satu bagian sejarah yang mewarnai dinamika sejarah di Indonesia. GAM diproklamirkan pada tanggal 4 Desember 1976 oleh Hasan Tiro. Sebenarnya GAM sendiri sebagai wahana pergerakan baru didirikan pada 20 Mei 1977. Namun Hasan Tiro sendiri memilih hari lahir GAM adalah pada tanggal yang disebut paling awal, disesuaikan dengan proklamasi kemerdekaan Aceh Sumatera. Proklamasi ini dilangsungkan di Bukit Cokan, pedalaman Kecamatan Tiro, Pidie. Prosesi ini dilakukan secara sederhana, dilakukan di suatu tempat yang tersembunyi, menandakan bahwa awal-awalnya, gerakan ini adalah gerakan bawah tanah yang dilakukan secara diam-diam.
Bersamaan dengan proklamasi kemerdekaan, Hasan Tiro juga mengumumkan struktur pemerintahan Negara Aceh Sumatera. Akan tetapi, kabinet tersebut belum berfungsi hingga pertengahan 1977, persoalannya adalah karena para anggota kabinet pada umumnya masih berbaur dengan masyarakat luas untuk kampanye dan persiapan perang gerilya. Kabinet Negara Aceh Sumatera baru dapat melaksanakan sidang pertamanya pada 15 Agustus 1977. Sedangkan upacara pelantikan dan pengumpulan anggota kabinet dilaksanakan pada 30 Oktober 1977 di camp Lhok Nilam pedalaman Tiro, Pidie. Kabinetnya sendiri pada waktu itu, hanyalah terdiri dari beberapa orang saja, yaitu: Presiden (Hasan Muhammad Tiro), Perdana Menteri (Dr.Muchtar Hasbi), Wakil Perdana Menteri (Teungku Ilyas Leube), Menteri Keuangan (Muhammad Usman), Menteri Pekerjaan Umum (Ir.Asnawi Ali), Menteri Perhubungan (Amir Ishak BA), Menteri Sosial (Dr.Zubir Mahmud) dan Menteri Penerangan (M. Tahir Husin).
Latar belakang kelahiran dan motif-motif yang melahirkan GAM tidaklah sama dengan kelahiran manusia yang bisa dipastikan dari satu sebab tunggal, yakni proses prokreasi, maka kelahiran GAM sebagai sebuah peristiwa tidak disebabkan faktor yang tunggal namun multifaktor. Terdapat berbagai pendapat yang telah menjelaskan beberapa hal yang menjadi kausa peristiwa ini, diantaranya:
4. GAM merupakan lanjutan perjuangan—atau setidaknya terkait—Darul Islam (DI) Aceh yang sebelumnya pernah meletus pada 1950-an. Tesis ini, didukung oleh Isa Sulaiman yang menilai keterkaitan GAM dangan DI, karena persoalan DI tidak diselesaikan secara tuntas. Dukungan para tokoh DI pada awal lahirnya GAM memperkuat tesis bahwa ada yang belum selesai pada upaya integrasi yang dibangun oleh Sukarno untuk menyelesaikan pemberontakan DI/TII Daud Beureueh. Dalam hal ini GAM mewarisi atas ideologi DI/TII sehingga isu utama dari adanya pemberontakan ini yakni dalam rangka menjunjung tinggi hak dan kewajiban warganya (tujuan negara menurut Imanuel Kant) yang notabennya berbudaya islam sehingga perlulah adanya suatu wadah islam di wilayah Aceh khususnya. Hal ini bisa terlihat dengan fakta bahwa meskipun Aceh belum terbentuk dalam tanah kenegaraan namun Aceh diberikan hak khusus untuk membentuk sistem syariat islam dalam wilayahnya oleh NKRI.
5. Faktor ekonomi, yang berwujud ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi antara pusat dengan daerah. Pemerintahan sentralistik Orde Baru menimbulkan kekecewaan berat terutama di kalangan elite Aceh. Pada era Soeharto, Aceh menerima 1% dari anggaran pendapatan nasional, padahal Aceh memiliki kontribusi 14% dari GDP Nasional. Terlalu banyak pemotongan yang dilakukan pusat yang menggarap hasil produksi dari Aceh. Sebagian besar hasil kekayaan Aceh dilahap oleh penentu kebijakan di Jakarta. Meningkatnya tingkat produksi minyak bumi yang dihasilkan Aceh pada 1970-an dan 1980-an dengan nilai 1,3 miliar US Dolar tidak memperbaiki kehidupan sosial ekonomi masyarakat Aceh.
6. Meskipun faktor ekonomi memang berpengaruh terhadap lahirnya GAM. Tetapi hal ersebut hanya merupakan salah satu dari sekian banyak kromosom yang dikandung sel sperma yang akan membuahi sel telur, hingga akhirnya melahirkan GAM. Kalau permasalahannya hanya faktor ekonomi, maka tuntutannya tidak akan kemerdekaan. Faktor ekonomi pasti akan diselesaikan dengan tuntutan yang bisa menghasilkan keuntungan ekonomi bagi pihak Aceh. Sel sperma yang sesungguhnya dalam kelahiran GAM adalah ketidakadilan yang dirasakan oleh pihak Aceh. Sel ketidakadilan ini berisi kromosom yang berupa ketidakadilan di bidang ekonomi, politik, dan berbagai ketidakadilan lainnya. Faktor ketidakadilan inilah yang merupakan faktor ketiga dari sebab kelahiran GAM.
Sel telur yang siap dibuahi dalam kelahiran GAM adalah identitas keAcehan yang dimiliki secara kuat dan mendalam oleh bangsa Aceh. Hasan Tiro meyakni bahwa Aceh merupakan identitas tersendiri, yang memiliki sejarah dan jati diri yang kuat. Oleh karenanya, kedaulatan Aceh yang sudah dimiliki ratusan tahun yang lalu harus dikembalikan. Telah nyata bahwa bangsa Aceh memiliki kebanggaan atas dirinya sebagai bangsa yang tidak mudah tunduk, atau mempunyai harga diri yang tinggi. Memiliki keyakinan bahwa bangsanya adalah bangsa pejuang, yang tidak boleh direndahkan oleh pihak luar. Bangsa yang memiliki pahlawan-pahlawan yang pantang menyerah dan siap berkorban untuk kepentingan negerinya. Bangsa yang memiliki cita-cita mati mulia dalam keadaan syahid. Semua gambaran atas dirinya yang bisa terrefleksikan dalam hikayat perang sabil. Identitas ini semakin diperkuat dengan berbagai ketidakadilan yang ada dan sikap meng-kaphe-kan orang non Aceh, terutama orang Jawa, sebagai kolaborator penguasa Indonesia atas tanah Aceh.
Bertemunya sel sperma dan sel telur ini, menghasilkan janin nasionalisme dalam rahim sejarah. Nasionalisme Aceh akhirnya mencuat ke permukaan, baik dalam bentuk paling moderat ke arah referendum penentuan nasib sendiri (yang kemungkinan besar memilih opsi kemerdekaan) hingga jalan radikal berupa separatisme. Nasionalisme Aceh sangat terhubung dengan kekecewaan luar biasa atas Jakarta. Nasionalisme ini sendiri sebenarnya dimunculkan oleh kegagalan Indonesia dalam menguraikan konsepsi kebangsaannya. Ditambah dengan penguasaan atas sumber daya politik dan ekonomi Aceh, terlebih kelak ketika diberlakukannya Daerah Operasi Militer (DOM) yang represif. Nasionalisme Aceh menguat menjadi satu pikiran sederhana: Indonesia adalah common enemy bagi rakyat Aceh.
Analisis tentang faktor kelahiran GAM yang disebabkan oleh munculnya Nasionalisme Aceh ini bisa dilihat dari kesaksian Hasan Saleh. Ia merupakan mantan Menteri Pertahanan/Panglima Tentara Islam Indonesia era perlawanan DI/TII, namun menolak untuk berjuang dan mendukung GAM. Setelah terdengar desas-desus pemberontakan kembali terdengar, ia dibujuk oleh Jalil Amin untuk turut serta dalam gerakan ini. Hasan Salah bertanya kepada Jalil Amin mengenai tujuan gerakan ini.
Organisasi politik adalah organisasi atau kelompok yang bergerak atau berkepentingan atau terlibat dalam proses politik dan dalam ilmu kenegaraan, secara aktif berperan dalam menentukan nasib bangsa tersebut. Organisasi politik dapat mencakup berbagai jenis organisasi seperti kelompok advokasi yang melobi perubahan kepada politisi, lembaga think tank yang mengajukan alternatif kebijakan, partai politik yang mengajukan kandidat pada pemilihan umum, dan kelompok teroris yang menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan politiknya. Dalam pengertian yang lebih luas, suatu organisasi politik dapat pula dianggap sebagai suatu sistem politik jika memiliki sistem pemerintahan yang lengkap.
Berbagai harapan itu dilakukan menurut aturan dan norma yang sudah ada, Dan untuk menganalisa “Peran Crisis Management Initiative (CMI) dalam Menangani Konflik GAM di Nanggroe Aceh Darusalam” teori peran juga harus memperhatikan diantara ketiganya yang ada harapan tersebut.
Dalam kaitannya dengan konflik GAM yang terjadi di Aceh, seperti Crisis Management Initiative (CMI) merupakan sebuah organisasi Internasional yang berperan dalam penyelesaian Gerakan Aceh Merdeka. Peranan CMI dalam penyelesaian konflik tersebut merupakan perilaku politik yang diharapkan dari pihak lain. Peran tersebut merupakan yang didapat karena permintaan kedua belah pihak, Yaitu GAM-RI. Dengan kata lain peranan di dapat karena di undang oleh pihak lain bukan inisiatif sendiri. CMI menyepakati permintaan GAM-RI untuk datang ke Indonesia dan berusaha membantu menyelesaikan permasalahan yang terjadi di indonesia. Hal ini sesuai dengan tujuan pokok dari lembaga non-goverment ini, yaitu membantu masyarakat Internasional keluar dari krisis Internasional mulai dari isu kemanusiaan sampai dengan soal keamanan dan pembangunan .
Berdasarkan dari tujuan pokok itulah, CMI membantu pemerintah Republik Indonesia untuk menangani konflik Gerakan Aceh Merdeka yang terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam yang mengancam perdamaian dan keamanan dunia.
Konflik GAM yang terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam merupakan salah satu interaksi yang terjadi akibat adanya perbedaan kepentingan, gagasan, serta kebijaksanaan diantara NAD dan GAM. Perbedaan kebijakan pengalokasian Sumber Daya Alam antara daerah dan pusat mengakibatkan GAM menginginkan lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam konflik GAM, fasilitator di pegang oleh pihak CMI yang memfasilitatori terwujudnya perdamaian di Nanggroe Aceh Darussalam dengan di tanda tangani MoU Helsinki antara GAM dan RI . Dan CMI memberikan bantuan melalui diskusi atau perundingan damai yang menghasilkan solusi berupa kesepakatan bersama antara kedua belah pihak , dalam hal ini adalah antara RI atau NAD dengan GAM.
C. Implementasi Teokrasi dalam Negara Aceh Merdeka
Kiranya penerapan teokrasi di Negara Aceh lebih identik mencondongkan dirinya terhadap arahan teokrasi di Negara-Negara Timur Tengah dikarenakan terdapat dominasi islamisme di dalam pergerakannya. Adanya ruh warisan ideologi Daud Beureuh yang diinternalisasi oleh Hasan tiro memberikan suatu ideologi pergerakan GAM dalam rangka menggapai Negara Aceh Merdeka. Meskipun tidak dapat dipungkiri nasionalisme kesukuan Aceh pun kerap sekali dipergunjingkan, dengan adanya faktor-faktor yang sebelumnya dibahas dalam makalah ini.
Adanya intervensi masyarakat aceh dengan kesadaran religi yang kuat memberikan dukungan yang cukup besar terhadap pergerakan ini guna mencapai Negara Aceh Merdeka. Kiranya Negara Aceh Merdeka dapat pula dikatakan embrio gerakan-gerakan separatis sebelumnya yang akan terlahir bilamana kondisi kedaulatan NKRI terus seperti ini. Meskipun upaya-upaya NKRI berusaha memberikan fasilitasnya, di wilayah tersebut, seperti: adanya mahkamah syari’at, pewajiban beberapa syari’at islam, dan sebagainya.
Namun bukan itulah yang diharapkan oleh teokratisme GAM, akan tetapi berlepasdirinya dari NKRI yang diharapkan, karena pandangan sekularis yang kental dalam tubuh NKRI sehingga bilamana dikaitkan dengan pernyataan Imanuel Kant bahwa terbentuknya negara karena ingin kebebasan memperoleh hak dan kewajiban, kranya hal itu dapat dilakukan oleh eksistensinya Negara Aceh Merdeka yang secara ideologi meletakkan landasan gerakannya berupa landasan islam.
D. GAM Dalam Perspektif Hukum Internasional
Para pemberontak sebagai kelompok dapat diberikan hak-hak sebagai pihak sedang berperang (belligerent) dalam perselisihannya dengan pemerintah yang sah, meskipun tidak dalam artian organisasi seperti negara." Keputusan House of Lord (1962).
Permasalahan Aceh belakangan ini menjadi diskursus publik di berbagai media massa. Mereka bahkan memaparkannya dalam ikon-ikon tersendiri. Ikon-ikon ini seperti halnya pada kasus penyerangan Amerika Serikat terhadap pemerintahan Saddam Husein di Irak. Eskalasi pemberitaan di berbagai media massa meningkat pesat seiring dengan meningkatnya konflik antara GAM dan TNI yang meningkat ketika pemerintahan Megawati mengeluarkan keputusan untuk menggelar operasi terpadu di wilayah Aceh.
Peperangan antara GAM dan TNI telah berlangsung lebih dari satu bulan. Dari beberapa informasi media massa menunjukkan bahwa perang ini telah menyebabkan kerugian harta benda dan nyawa, baik dari pihak TNI, GAM maupun pihak masyarakat sipil. Perang yang diawali tindakan diskriminatif baik secara ekonomi maupun politik oleh pemerintahan Orde Baru kepada masyarakat Aceh bukanlah fenomena baru dalam tatanan internasional. Padahal, dalam konvensi PBB Pasal 1 ayat 1 secara tegas menolak praktik-praktik diskriminasi. Perang yang dalam klasifikasinya termasuk kategori perang internal ini sebelumnya juga melanda negara-negara di Amerika Latin, khususnya ketika rezim-rezim diktator berkuasa di wilayah tersebut. Gerakan-gerakan yang mereka tempuh biasanya berupa gerakan pembebasan nasional.
Bagi pemerintah yang berkuasa yakni pemerintahan Mega-Hamzah, tindakan GAM tersebut dianggap sebagai usaha memberontak terhadap pemerintahan yang sah dan berdaulat. Pemerintah berpendapat bahwa GAM adalah gerakan separatis bersenjata yang mengancam kedaulatan NKRI dan mengganggu semangat nasionalisme. Di Indonesia sendiri, gerakan pemberontakan semacam ini tidak hanya muncul di Aceh, tetapi juga di Papua, Makassar, dan wilayah lainnya. Gerakan ini marak ketika reformasi digulirkan pada tahun 1998 yang memberikan sedikit angin segar bagi kebebasan berpendapat.
Namun, di antara semua itu, GAM adalah bentuk organisasi pemberontak yang terbesar di wilayah Indonesia dilihat dari beberapa parameter. Pertama, GAM punya struktur pemerintahan sendiri yang tersebar hampir di seluruh wilayah Aceh. Dengan pemerintahan ini, GAM dapat menyelenggarakan kegiatan administrasi dalam interaksi sosial dan hal ini sudah dilaksanakan oleh GAM sehingga terdapat dua administrasi di wilayah Aceh.
Kedua, GAM memiliki angkatan perang yang jumlahnya memadai. Angkatan perang inilah yang kemudian menjalankan fungsi keamanan internal di tingkatan mereka. Kedua faktor inilah yang akhirnya membentuk parameter ketiga yakni otoritas de facto di wilayah Aceh.
Dalam kerangka hukum internasional, organisasi GAM dapat dikategorikan sebagai kelompok pemberontak (belligerent) yang diakui sebagai subjek dari hukum internasional. Subjek hukum internasional adalah kesatuan entitas yang dapat dikenai hak dan kewajiban internasional. Selain kelompok pemberontak, subjek hukum internasional yang cukup penting adalah negara, individu, dan organisasi internasional. Pengakuan GAM sebagai subjek hukum internasional dilihat dari beberapa prinsip penting.
Pertama, kegiatan-kegiatan GAM telah mencapai suatu titik keberhasilan saat mereka dapat menduduki secara efektif dan membentuk otoritas de facto di wilayah Aceh yang sebelumnya dikuasai penuh oleh pemerintah Indonesia. Prinsip ini muncul karena ada pertimbangan negara lain menyangkut kepentingan perlindungan warga negaranya dan perdagangan internasional.
Dalam kondisi ini, negara-negara luar dapat mengambil keputusan untuk mengakui secara de facto kepada GAM terbatas pada wilayah Aceh. Pengakuan seperti ini pernah ditempuh pemerintah Inggris terhadap pihak pemberontak dalam perang saudara di Spanyol tahun 1937. Kedua, peperangan antara pihak GAM dan TNI telah mencapai dimensi tertentu di mana negara luar harus melihatnya sebagai perang sesungguhnya antara dua kekuatan. Konsekuensinya adalah pelaksanaan hukum perang bagi kedua belah pihak. Pengakuan keadaan berperang ini tentu sangat berbeda dari pengakuan pemerintah induk atau pemerintah pemberontak sebagai pemerintah yang sah.
Dalam pengakuan de facto kepada GAM, hanya pemerintah RI yang diakui secara de jure yang dapat mengklaim atas harta benda yang berada di seluruh wilayah RI termasuk Aceh. Selain itu, hanya pemerintah RI yang dapat mewakili negara untuk tujuan suksesi negara dan wakil-wakil dari kelompok GAM yang diakui de facto secara hukum tidak berhak atas imunitas-imunitas dan privilegde-privilegde diplomatik penuh (Starke:1992).
Oleh karenanya, jelas bahwa perang antara GAM dan TNI harus dilihat sebagai peperangan dua pihak yang harus memerhatikan hukum perang. Sebenarnya penyelesaian konflik antara GAM dan TNI dapat ditempuh dengan jalan diplomasi. Hal ini karena dalam perspektif hukum internasional, GAM dapat diakui sebagai kaum belligerent (pemberontak) sehingga mampu menjadi subjek dari hukum internasional. Meskipun pada proses historisnya jalan diplomasi kerap tidak menemukan titik temu, sebagai langkah demokratis, kegagalan tersebut harus saling diintrospeksi satu sama lain. Yang terpenting lagi adalah bagaimana mengikutsertakan perwakilan dari masyarakat sipil sebagai komunitas mayoritas di Aceh dalam setiap meja perundingan.
Sejarah telah membuktikan bahwa cara-cara militeristik tidak mampu menyelesaikan perang. Masih teringat di benak kita bagaimana Orde Baru menggelar DOM (Daerah Operasi Militer) di Aceh sebagai suatu penyelesaian terhadap GAM. Yang terjadi adalah tumbuhnya benih-benih rasialisme yang berkembang hingga saat ini. Mampukah operasi militer menyelesaikan konflik antara GAM dan TNI ataukah justru akan menciptakan konflik yang berkepanjangan? Dialektika sejarahlah yang akan semua itu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) merupakan salah satu bagian sejarah yang mewarnai dinamika sejarah di Indonesia. GAM diproklamirkan pada tanggal 4 Desember 1976 oleh Hasan Tiro. Sebenarnya GAM sendiri sebagai wahana pergerakan baru didirikan pada 20 Mei 1977. Namun Hasan Tiro sendiri memilih hari lahir GAM adalah pada tanggal yang disebut paling awal, disesuaikan dengan proklamasi kemerdekaan Aceh Sumatera. Proklamasi ini dilangsungkan di Bukit Cokan, pedalaman Kecamatan Tiro, Pidie. Prosesi ini dilakukan secara sederhana, dilakukan di suatu tempat yang tersembunyi, menandakan bahwa awal-awalnya, gerakan ini adalah gerakan bawah tanah yang dilakukan secara diam-diam.
Tujuan berdirinya gerakan ini lebih mengarah terhadap konsepsi tujuan negara yang diajukan oleh Imanuel kant bahwa negara berfungsi memberikan kebebasan memperoleh hak dan [kewajiban warganya. Dalam hal ini kultur masyarakat Aceh yang islami memberikan ruh ideologis dalam membentuk Negara Aceh merdeka yang dinaungi atas payung teokrasi. Yang mana menjadikan kedaulatan satu-satunhya berada di tangan Tuhan (Allah SWT).
B. Saran
Pemerintah harus mengambil keputusan yang tepat dan bertindak tegas terhadap gerakan separatis itu, agar kedaulatan NKRI tetap dapat dipertahankan. Sudah terlalu lama rakyat menunggu terwujudnya keamanan dan kedamaian di negeri ini, khususnya di provinsi Aceh. Jangan sampai apa yang terjadi di Aceh menjalar ke daerah lain di negeri tercinta ini.
DAFTAR PUSTAKA
No comments:
Post a Comment