Pencarian

Tuesday, March 15, 2016

Sejarah Berdirinya Dinasti Bani Umayah



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sejarah Peradaban Islam adalah sesuatu yang wajib kita ketahui sebagai umat Islam, karena dari Sejarah Peradaban Islam tersebut kita dapat belajar banyak hal dan banyak nilai-nilai moral yang kita dapat seperti mempelajari hasil kebudayaan pada suatu peradaban dan sistem pemerintahannya. Dari sinilah kita akan memperoleh nilai-nilai sosial, moral, budaya, pendidikan dan politik. Dalam masa lebih dari tujuh abad kekuasaan pada periode Islam klasik. Andalusia mencapai puncak keemasannya. Banyak prestasi yang mereka peroleh bahkan pegaruhnya membawa Eropa dan kemudian dunia kepada kemajuan yang lebih kompleks, Andalusia juga dikatakan mampu menyaingi Baghdad yang ada di timur.
Banyak orang Eropa mendalami studi di Universitas-Universitas Islam disana. Ketika itu bisa dikatakan, Islam telah menjadi guru bagi orang Eropa. Selama delapan abad, Islam pernah berjaya di bumi Eropa (Andalusia) dan membangun peradaban yang gemilang. Namun peradaban yang di bangun dengan susah payah dan kerja keras kaum Muslimin itu, harus ditinggalkan dan dilepas begitu saja karena kelemahan-kelemahan yang terjadi di kalangan kaum Muslimin sendiri dan karena keberhasilan Bangsa Barat atau Eropa bangkit dari keterbelakangan. Kebangkitan yang meliputi hampir semua element peradaban, terutama di bidang politik yakni dengan dikalahkannya kerjaan-kerajaan Islam dan bagian dunia lainnya sampai kemajuan di bidang sains dan teknologi.
Kesemuanya itu dapat menambah pengetahuan dan wawasan kita, maka hal inilah yang melatar belakangi disusunnya makalah ini.

B.     Rumusan Masalah
Agar makalah ini sesuai dengan apa yang diharapkan, maka penulis menyusunkan rumusan masalahnya sebagai berikut :
1.      Bagaimana sejarah berdirinya Dinasti Umayyah ?
2.      Bagaimana sistem pemerintahan bani umayyah ?
3.      Siapa saja khalifah-khaifah pada masa bani umayyah ?
4.      Apa saja  Kemajuan-kemajuan pada masa bani umayyah ?
5.      Bagaimana Kehancuran bani umayyah dan faktor-faktor yang melatarbelakangi hal tersebut ?


C.    Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis, diantaranya adalah:
1.      Untuk mengetahui proses berdirinya daulah Bani Umayyah
2.      Untuk mengetahui masa-masa kejayaan daulah Bani Umayyah
3.      Untuk mengetahui proses kemunduran dan kehancuran daulah Bani Umayyah
4.      Untuk mengetahui kronologi kejadian yang terjadi pada masa Dinasti Umayyah
5.      Sebagai pengalaman dalam dunia kepenulisan yang dituntut untuk selalu memberikan asupan terhadap perkembangan kehidupan.
6.      Sebagai tugas kelompok untuk memenuhi tugas Sekolah.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Berdirinya Dinasti Bani Umayah
Nama Dinasti Bani Umayah diambil dari Umayah bin Abd Al-Syam, kakek Abu Sufyan. Umayah segenerasi dengan Abdul Muthalib, kakek Nabi Muhammad Saw dan Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian, Ali bin Abi Thalib segenerasi pula dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Ali bin Abi Thalib berasal dari keturunan Bani Hasyim sedangkan Mu’awiyah berasal dari keturunan Bani Umayah. Kedua keturunan ini merupakan orang-orang yang berpengaruh dalam suku Quraisy.

Setting cikal bakal dinasti ini bermula ketika Ali bin Abi Thalib dibaiat sebagai khalifah menggantikan kedudukan khalifah Usman bin Affan, salah satu kebijakan awal dan Ali adalah pengambil alihan tanah-tanah dan kekayaan negara yang telah dibagi-bagikan oleh Usman kepada keluarganya dan memecat gubemur-gubemur dan pejabat pemerintahan yang diangkat Usman untuk meletakkan jabatannya, namun Muawiyyah Gubernur Syiria menolak pemecatan itu sekaligus tidak mau membaiat Ali sebagai khalifah dan bahkan membentuk kelompok yang kuat dan menolak untuk memenuhi perintah-perintah Ali. Dia berusaha membalas kematian khalifah Usman, atau kalau tidak dia akan menyerang kedudukan khalifah bersama-sama dengan tentara Syiria. Desakan Muawiyyah akhirnya tertumpah dalam perang Shiffin.
Dalam pertempuran itu hampir-hampir pasukan Muawiyyah dikalahkan pasukan Ali, tapi berkat siasat penasehat Muawiyyah yaitu Amr bin 'Ash, agar pasukannya mengangkat mushaf-mushaf Al Qur'an di ujung lembing mereka, pertanda seruan untuk damai dan melakukan perdamaian (tahkim) dengan pihak Ali dengan strategi politik yang sangat menguntungkan Mu’awiyah.
Bukan saja perang itu berakhir dengan Tahkim Shiffin yang tidak menguntungkan Ali, tapi akibat itu pula kubu Ali sendiri menjadi terpecah dua yaitu yang tetap setia kepada Ali disebut Syiah dan yang keluar disebut Khawarij. Sejak peristiwa itu, Ali tidak lagi menggerakkan pasukannya untuk menundukkan Muawiyyah tapi menggempur habis orang-orang Khawarij, yang terakhir terjadi peristiwa Nahrawan pada 09 Shafar 38 H, dimana dari 1800 orang Khawarij hanya 8 orang yang selamat jiwanya sehingga dari delapan orang itu menyebar ke Amman, Kannan, Yaman, Sajisman dan ke Jazirah Arab.
Jatuhnya Ali dan naiknya Muawiyah juga disebabkan keberhasilan pihak khawarij (kelompok yang membangkang/ keluar dari kelompok Ali) membunuh khalifah Ali, meskipun kemudian tampuk kekuasaan dipegang oleh putranya Hasan, namun tanpa dukungan yang kuat dan kondisi politik yang kacau akhirnya kepemimpinannya pun hanya bertahan sampai beberapa bulan. Pada akhirnya Hasan menyerahkan kepemimpinan kepada Muawiyah, namun dengan perjanjian bahwa pemmilihan kepemimpinan sesudahnya adalah diserahkan kepada umat Islam. Perjanjian tersebut dibuat pada tahun 661 M / 41 H dan dikenal dengan am jama’ah karena perjanjian ini mempersatukan ummat Islam menjadi satu kepemimpinan politik.
Setelah terjadi kesepakatan antara Hasan bin Ali  dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan pada tahun 41 H/ 661 M, maka secara resmi Mu’awiyah diangkat menjadi khalifah oleh umat Islam secara umum. Pusat pemerintahan Islam dipindahkan Mu’awiyah dari Madinah ke Damaskus. Pemerintahan Mu’awiyah berubah bentuk dari theo-demokrasi menjadi monarchi (kerajaan/dinasti) yang berbasiskan Islam, ini terjadi sejak dia mengangkat anaknya Yazid sebagai putra mahkota. Sejak itulah sistem pemerintahan mamakai sistem monarchi hingga pada khalifah terakhir Marwan bin Muhammad, yang tewas dalam pertempuran melawan pasukan Abul Abbas As-Safah dari Bani Abbas pada tahun 750 M. Dengan tewasnya Marwan bin Muhammad berakhir Dinasti Bani Umayah dan digantikan oleh Dinasti Bani Abbas.
Pola pemerintahan menjadi kerajaan ini terjadi karena pada masa itu umat Islam telah bersentuhan dengan peradaban Persia dan Bizantium. Oleh karena itu, Mu’awiyah juga bermaksud meniru cara suksesnya kepemimpinan yang ada di Persia dan Bizantium yaitu Kerajaan tetapi gelar pemimpin tetap menggunakan Khalifah dengan makna konotatif yang diperbaharui.

B.     Perkembangan dan Kemajuan Dinasti Bani Umayah
Terbentuknya Dinasti Umayyah merupakan gambaran awal bahwa umat Islam ketika itu telah kembali mendapatkan identitasnya sebagai negara yang berdaulat, juga merupakan fase ketiga kekuasaan Islam yang berlangsung selama lebih kurang satu abad (661 - 750 M). Perubahan yang dilakukan, tidak hanya sistem kekuasaan Islam dari masa sebelumnya (masa Nabi dan Khulafaurrasyidin) tapi juga perubahan-perubahan lain di bidang sosial politik, keagamaan, intelektual dan peradaban.
1.      Dinamika Politik
Dalam awal perkembangannya, dinasti ini sangat kental diwarnai nuansa politiknya yaitu dengan memindahkan ibukota kekuasaan Islam dari Madinah ke Damaskus. Kebijakan itu dimaksudkan tidak hanya untuk kuatnya eksistensi dinasti yang telah mendapat legitimasi politik dari masyarakat Syiria, namun lebih dari itu adalah untuk pengamanan dalam negeri yang sering mendapat serangan-serangan dari rival politiknya.
a.        Sistem Penggantian kepala Negara bersifat Monarchi. Pemindahan sistem kekuasaan juga dilakukan Muawiyyah, sebagai bentuk pengingkaran demokrasi yang dibangun masa Nabi dan Khalifah yang empat. dari kekhalifahan yang berdasarkan pemilihan atau musyawarah menjadi kerajaan turun menurun (monarch/ heridetis)
b.       Sistem Sosial (Arab dan Mawali). Pada masa Nabi dan khalifah yang empat, keanggotaan masyarakat secara umum dalam segala hal hanya dibatasi berdasarkan keagamaan, sehingga masyarakat secara garis besar terdiri muslim dan non muslim, dan dalam memperlakukan orang  Islam sebagai mayoritas dapat dibedakan menurut dua kriteria, pertama yang menjurus kepada hal-hal yang praktis dan seringkali diterapkan pada kelompok, dan kreteria kedua berupa tindakan pengabdian kepada masyarakat yang sifatnya tebih personal. Sebagai tambahan atas kedua kriteria itu, pada Dinasti Umayyah syarat keanggotaan masyarakat harus berasal dari orang Arab, sedangkan orang non Arab setelah menjadi Muslim harus mau menjadi pendukung (mawali) bangsa Arab. Dengan demikian masyarakt muslim pada masa Dinasti Umayyah terdiri dari dua kelompok, yaitu Arab dan Mawali.
c.        Dikalangan kaum Mawali lahirlah satu gerakan rahasia yang terkenal dengan nama Asy-Syu’ubiyyah yang bertujuan melawan paham yang membedakan derajat kaum Muslimin yang sebetulnya mereka bersaudara. Dan yang membedakan hanyalah ketaqwaan mereka serta banyak kaum Mawali yang bersikap membantu gerakan Bani Hasyim turunan Alawiyah, bahkan juga memihak kaum Khawarij.
d.       Kebijaksanaan dan Orientasi Politik. Selama lebih kurang 90 tahun Dinasti Bani Umayah ini memerintah, banyak terjadi kebijaksanaan politik yang dilakukan pada masa ini,

2.      Dinamika Ekonomi
Kemenangan-kemenangan yang diperoleh umat Islam secara luas itu, menjadikan orang-orang Arab bertempat tinggal di daerah penaklukan dan bahkan menjadi tuan-tuan tanah. Kepada pemilik tanah diwajibkan oleh Dinasti Umayyah untuk membayar pajak tanah, namun pajak kepala hanya berlaku kepada penduduk non muslim sehingga mengakibatkan banyaknya penduduk yang masuk Islam, akibatnya secara ekonomis penghasilan negara berkurang, namun demikian dengan keberhasilan Dinasti Umayyah menaklukkan Imperium Persia beserta wilayah kepunyaan Imperium Byzantium, sesungguhnya kemakmuran bagi Dinasti ini melimpah ruah yang mengalir untuk kas negara.
Kebijakan Dinasti di bidang ekonomi lainnya adalah menjamin keadaan aman untuk laiu lintas darat dan laut, lalu lintas darat melalui jalan Sutera ke Tiongkok guna memperlancar perdagangan sutera, keramik, obat-obatan dan wewangian, sedangkan lalu lintas laut ke arah negeri-negeri belahan untuk mencari rempah-rempah, bumbu. kasturi, permata, logam mulia, gading dan bulu-buluan. Keadaan demikian membuat kota Basrah dan Aden di teluk Persi menjadi lalu lintas perdagangan dan pelabuhan dagang yang ramai, karena kapal-kapal dagang dibawah lindungan armada Islam yang menuju ke Syiria dan Mesir hampir tak pernah putus. Perkembangan perdagangan ini telah mendorong meningkatnya kemakmuran Dinasti Umayyah.
Pada masa khalifah Abdul Malik, telah dirintis industri kerajinan tangan berupa tiraz (semacam bordiran) yakni cap resmi yang dicetak pada pakaian khalifah dan para pembesar pemerintahan, format tiraz bertuliskan lafaz "La Ilaaha Ilia Allah". Guna memperlancar produktifitas pakaian resmi kerajaan, maka Abdul Malik mendirikan pabrik-pabrik kain, dan setiap pabrik diawasi oleh Sahib at Tiraz yang bertujuan mengawasi tukang emas dan penjahit, menyelidiki hasil karya dan membayar gaji mereka.

3.      Dinamika Sosial
Seperti yang suda di jelaskan sebelumnya, pada masa Dinasti Umayyah, bangsa Arab mendapatkan posisi terhormat daiam masyarakat. Pada umumnya, bangsa Arab merupakan tuan tanah hasil rampasan perang. Adanya dua kelompok masyarakat yang membangun Daulat Umayyah yakni bangsa Arab dan non-Arab, berpengaruh positif pada motivasi orang-orang non-Arab untuk memeluk agama Islam. Kebijakan ini juga berpengaruh pada perkembangan dan perluasan pemakaian bahasa Arab dengan cepat.
Salah satu permasalahan yang pantas disebutkan pada masa pemerintahan Bani Umayyah adalah munculnya penolakan para sahabat terhadap sikap Mua'wiyah yang mengubah sistem sukses khalifah dari pemilihan terbuka menjadi kerajaan yang mewariskan tahta kepada keturunan raja.

4.      Intelektual dan Keagamaan
Di zaman pemerintahan Abdul Malik terdapat banyak bahasa yang digunakan dalam administrasi, seperti bahasa Persia, Yunani dan Qibti, namun atas usaha Salih bin Abdur Rahman, sekretaris al Hajjaj, ia mencoba menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa administrasi dan bahasa resmi di seluruh negeri sehingga perhatian dan upaya penyempurnaan pengetahuan tentang bahasa Arab mendorong lahirnya ahli bahasa yaitu Sibawaihi dengan karya tulisnya al Kitab menjadi pegangan dalam soal tata bahasa Arab. Dalam daerah kekuasaannya terdapat kota-kota pusat kebudayaan yaitu Yunani Iskandariyah. Antiokia, Harran dan Yunde Sahpur yang semula dikembangkan oleh imuwan-ilmuwan Yahudi, Nasrani dan Zoroaster Khalifah Khalid bir'i Yazid bin Muawiyyah yang seorang orator dan berpikiran tajam berupaya menerjemahkan buku-buku tentang astronomi, kedokteran dan kimia.
Khalifah Walid bin Abdul Malik memberikan perhatian kepada bimarstan, yaitu rumah sakit sebagai tempat berobat, perawatan orang sakit dan studi kedok-teran yang berada di Damaskus, sedangkan khalifah Umar bin Abdul Aziz menyuruh para ulama secara resmi untuk membukukan hadits-hadits Nabi, dan selain itu ia bersahabat dengan ibn Abjar, seorang dokter dan Iskandariah yang kemudian menjadi dokter pribadinya.
Pengaruh lain dan ilmuwan kristen itu adalah penyusunan ilmu pengetahuan secara sistematis, selain itu berubah pula sistem hafalan dalam pengajaran kepada sistem tulisan menurut aturan-aturan ilmu pengetahuan yang berlaku. Pendukung dalam pengembangan ilmu adalah golongan non Arab dan telaahnya pun sudah meluas sehingga ada spesialisasi ilmu menjadi : ilmu pengetahuan bidang agama, bidang sejarah, bidang bahasa dan bidang filsafat.[36] Ilmuwan itu antara lain Sibawaihi, al Farisi, al Zujaj (ahli nahwu), al Zuhpy, Abu Zubair, Muhammad bin Muslim bin Idris dan Bukhari Musiim (ahli Hadits) dan Mujahid bin Jabbar (ahli tafsir).

5.      Tali Ikatan Persatuan Masyarakat (Politik dan Ekonomi)
Ekspansi Islam yang berlangsung dari pertengahan abad ke tujuh sampai permulaan abad ke delapan, salah satu hasilnya ialah terintegrasinya daerah-daerah yang ditaklukkan itu dalam suatu kesatuan sosial politik yang disebut Dunia Islam. Selanjutnya dunia Islam itu merupakan suatu kawasan ekonomi yang terpadu dala suatu jaringan pasaran bersama. Wilayah inti meliputi daerah-dearah bekas kerajaan Persia, Imperium Bizantium di Suria dan Mesir serta daerah-daerah Barbar di Mediterinian (Afrika Utara dan Spanyol) itu, merupakan salah satu jaringan penting dari rute utama perdagangan  Internasional yang terbentang antara China dan Spanyol, dan antara Afrika Hitam dengan Asia Tengah

C.    Khalifah-Khalifah Bani Umayyah
1.      Muawiyah ibn Abu Sufyan atau Muawiyah I (41-60 H/661-679 M)
Nama lengkapnya Abu Abdurrahman Muawiyah bin Abu Sufyan. Ibunyya Hindun ibnt Rubai’ah ibnt Abd Syam. Sebagaimana disebutkan di bagian pendahuluan bahwa Muawiyah seorang politisi ulung dan pendiri dinasti Umayyah. Ia pantas disebut raja terbesar bani Umayyah karena jasa-jasanya dalam membangun fondasi dinasti Umayyah sehingga sanggup bertahan sampai 91 tahun. Hitti menggambarkan sosok Muawiyah ini.
Dalam diri Mu’awiyah seni berpolitik berkembang hingga tingkatan yang mungkin lebih tinggi tinimbang (dibandingkan dengan: penulis) khalifah-khalifah lainnya. Menurut para penulis biografinya, nilai utama yang ia miliki adalah al-hilm, kemampuan luar biasa untuk mengunakan kekuatan hanya ketika dipandang perlu dan, sebagai gantinya, lebih banyak menggunakan jalan damai. Kelembutan yang sarat dengan kebijakan, yang ia gunakan agar tentara meletakkan senjata dan membuat kagum musuhnya, sikapnya yang tidak mudah marah dan pengendalian diri yang sangat tinggi, membuatnya mampu menguasai keadaan.
Pada masa pemerintahnnya, ekpansi wilayah islam diteruskan meliputi dua wilayah utama, yaitu wilayah barat dan wilayah Timur. Di wilayah Barat, kepulauan Jarba di Tunisia, kepulauan Rhodesia, kepulauan Kreta, dan kepulauan Ijih dekat Konstantinopel dapat ditaklukan. Bahkan penaklukan sampai ke daerah Maghrib Tengah (Aljazair). Uqbah ibn Nafi adalah panglima perang yang paling terkenal di wilayah ini. Di kawasan Timur, sebagian daerah-daerah di Asia Tengah dan wilayah Sindh dapat ditaklukan di bawah kepemimpinan Abdullah ibn Ziyad.
Kesuksesan Muawiyah ini karena disokong oleh orang-orang yang berada di sekelilingnya, yaitu Amr ibn Ash (Gubernur Mesir), Al-Mughirah (Gubernur Kufah), dan Ziyad ibn Abihi (Gubernur Basrah). Ketiga orang ini para politisi ulung yang menjadi andalan Muawiyah. Muawiyah meninggal pada bulan April tahun 679 M/60 H. Dunia telah mencatatkan namanya sebagai pemimpin yang paling berpengaruh pada jamannya. Ia telah membangun fondasi kekuasaan yang sangat kokoh. Kelak para penerusnya melanjutkan cita-citanya dengan bertumpu pada fondasi yang sudah dibangunnya.

2.      Yazid ibn Muawiyah (60-64 H/679-683 M)
Namanya Yazid ibn Muawiyah ibn Abu Sufyan. Ia khalifah kedua dinasti Umayyah yang dibait langsung oleh ayahnya untuk menggantikannya. Pembaiatan ini menjadi yang pertama kali terjadi dalam sistem politik islam dan semakin mempertegas sebuah sistem pemerintahan turun temurun (Monarki) Dinasti Umayyah.
Mayoritas masyarakat membaitnya, namun Ibnu Umar, Ibnu Abu Bakar, Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, dan Husen ibn Ali tidak mau membaitnya. Namun karena dipaksa untuk membait, tokoh-tokoh tersebut kecuali ibn Zubair dan Husen akhirnya membait Yazid sebagai pemimpin pemerintahan.
Kecuali sedikit penaklukan di daerah Afrika dan moralitasnya yang sangat buruk, tidak ada yang menonjol dari diri seorang Yazid. Malah pada masa pemerintahnya, terjadi dua tragedi yang sangat mencoreng sejarah Islam.
Pertama, tragedi Karbala memerah. Pada waktu itu, seorang panglima Yazid yang sangat bengis, yang bernama Ubaidillah ibn Ziyad dan pasukannya mencegat rombongan Husen beserta pengikutnya di Karbala. Pasukan Ziyad membunuh Husen dan pengikutnya dengan cara yang sangat sadis. Kepala Husen diserahkan kepada pemimpinnya, Yazid ibn Abu Sufyan.
Kedua, peristiwa Hurrah dan penghalalan Madinah. Peristiwa ini terjadi karena Abdullah ibn Zubair tidak mau membait Yazid. Ibnu Zubair malah mengumumkan pencopotan Yazid di madinah dan membait dirinya sendiri sebagai pemimpin pemerintahan. Yazid pun mengirimkan pasukan untuk menumpas kelompok Ibnu Zubair. Ratusan sahabat Ibnu Zubair dan anak-anak meninggal dunia. Yazid menghalalkan pertumpahan darah untuk membasmi pemberontakan.
Yazid meninggal dunia pada tahun 64 H / 683 M dengan masa kepemimpinan selama dua tahun. Ia telah menjadi contoh buruknya moralitas seorang pemimpin pemerintahan islam.

3.      Muawiyah bin Yazid (64 H/683 M)
Khalifah ketiga Dinasti Umayyah ini tidak banyak diceritakan sejarah. Hal ini dikarenakan pemerintahannya yang sangat pendek. Ia menggantikan ayahnya sebagai raja. Namun ia mengundurkan diri karena sakit. Ia meninggal pada tahun pengangkatannya sebagai raja ketiga Dinasti Umayyah.

4.      Marwan ibn Hakam (64-65 H/683-684 M)
Marwan diangkat menjadi khalifah keempat setelah Muawiyah ibn Yazid mengundurkan diri. Ia memerintah hampir satu tahun. Pada saat pemerintahannya, posisinya goyah karena mayoritas masyarakat lebih mempercayai Abdullah ibn Zubair sebagai pemimpin yang sah. Sehingga hal ini menyebabkan dualisme kepemimpinan, yaitu kepemimpinannya yang berpusat di Suria, Damaskus dan kepemimpinan Abdullah ibn Zubair yang berpusat di daerah Hijaj (makkah dan Madinah).

5.      Abdul Malik ibn Marwan (73-86 H/ 692-702 M)
Setelah Yazid ibn Muawiyah diangkat oleh ayahnya sebagai khalifah, Abdullah ibn Zubair, salah satu tokoh yang menolak membait Yazid, lari ke Makkah dan membaiat dirinya sebagai Raja. Setelah Yazid meninggal dunia maka Ibnu Zubair semakin berkuasa, apalagi raja Muawiyah II yang ditunjuk menggantikan Yazid sakit-sakitan dan mengundurkan diri. Kekuasaa Ibnu Zubair semakin luas. Ia berkuasa dari tahun 64 sampai 73 H.
Di pihak Dinasti Umayyah sendiri, setelah kematian Marwan bin Hakam, putranya yang bernama Abdul Malik dibait menggantikan ayahnya pada tahun 65 H. Namun penggantian ini belum sepenuhnya legal, sebab Ibnu Zubair masih berkuasa. Oleh karena itu, seteleh Ibnu Zubair terbunuh pada tahun 73 H, maka sejak itu Abdul Malik resmi menjadi khalifah kelima Dinasti Umayyah.
Abdul Malik dianggap sebagai pendiri kedua Dinasti Umayyah. Hal ini disebabkan ia mampu membangun kembali kebesaran dinasti Umayyah setelah hampir punah pada jaman raja Muawiyah II sampai menjelang kematian Ibnu Zubair. Ia juga diberi gelar Abdul Muluk, karena empat putranya menjadi penerusnya sebagai raja dinasti Umayyah. Mereka adalah al-Walid II, Sulayman, Yazid II, dan Hisyam.
Beberapa kemajuan pada masa Abdul al-Malik adalah membangun nasionalisasi Arab dengan membuat mata uang sendiri dan menjadikan bahasa Arab menjadi bahasa resmi administrasi pemerintahan. Ia meninggal pada tahun 86 H/705 M dan memerintah secara resmi selama 13 tahun.

6.      Walid ibn Abdul Malik (86-96 H/705-714 M).
Walid terkenal sebagai seorang arsitektur ulung pertama dalam sejarah Islam. Dia banyak mendirikan bangunan-bangunan yang megah dalam sekala besar, diantaranya membangun Masjid Damaskus, membangun Qubbat al-Shakhrah di Yerusalem dan memperluas Masjid Nabawi.
Selain terkenal dengan membangun infrastruktur yang megah, pada masa pemerintahannya, penaklukan kawasan islam diperluas. Pasukannya berhasil menaklukan Sisilia dan Merovits, Afrika, dan Andalusia di bagian barat. Pada masa ini hidup seorang panglima besar islam asal Barbar, yang bernama Thariq ibn Ziyad. Ia berhasil menduduki Andalusia pada tahun 92 H / 710 M. Di kawasan timur, pasukan Walid berhasil menguasai Asia Tengah dengan panglimanya yang terkenal, yaitu Qutaibah ibn Muslim al-Bahili. Sind dan India pun berhasil ditaklukan di bawah pimpinan Muhammad ibn Qasim Ats-Tsaqafi. Penaklukan ini menjadikan wilayah islam semakin luas.
Walid berkuasa sampai tahun 96 H/ 714 M. Ia salah satu negarawan besar dinasti Umayyah. Ia dikenal dengan jasa-jasanya membangun peradaban islam yang ada sampai sekarang. Penerusnya tidak mampu melakukan apa yang telah dilakukannya.

7.      Sulayman ibn Abdul Malik (96-99 H/ 714-717 M).
Sulayman diangkat oleh ayahnya, Abdul Malik untuk menjadi pemimpin pemerintahan islam setelah Walid mangkat. Ia saudara laki-laki Walid. Namun, Walid telah bersekongkol untuk menurunkan Sulaeman dari jabatannya dan menggantikannya dengan anaknya, yaitu Yazid II. Namun Sulayman ternyata menunjuk anak pamannya, Umar ibn Abdul Aziz untuk menggantikanya. Tidak banyak yang bisa dijadikan sebagai bukti kemajuan pemerintahannya, kecuali keputusannya untuk menunjuk Umar bin Abdul Aziz sebagai penggantinya. Keputusannya itu menjadi karya Sulaeman yang paling hebat. Ia meninggal pada tahun 99 H/ 717 M.

8.      Umar  ibn Abdul Aziz (99-101 H/ 717-719 M)
Umar ibn Abdul Aziz adalah putra saudara Sulayman, yaitu Abdul Aziz. Umar pantas diberi gelar khalifah kelima khulafaur rasyidin karena kesholihan dan kemulyaannya. Sebelum ia diangkat menjadi khalifah Dinasti Umayyah kedelapan, ia seorang yang kaya raya dan hidup dalam kemegahan. Ia suka berpoya-poya dan menghambur-hamburkan uang. Namun setelah diangkat menjadi khalifah, ia berubah total menjadi seorang raja yang sangat sederhana, adil dan jujur. Karena kesholihannya, ia dianggap sebagai seorang sufistik pada jamannya. Ia juga disebut sebagai pembaharu islam abad kedua hijriyah.
Walaupun masa pemerintahnnya relatif singkat, yaitu sekitar tiga tahuan, namun banyak perubahan yang ia lakukan. Diantaranya, ia melakukan komunikasi politik dengan semua kalangan, termasuk kaum Syiah sekalipun. Ini tidak dilakukan oleh saudara-saudaranya sesama raja dinasti Umayyah. Ia banyak menghidupkan tanah-tanah yang tidak produktif, membangun sumur-sumur dan masjid-masjid. Yang tidak kalah pentingnya, ia juga melakukan reformasi sistem zakat dan sodaqoh, sehingga pada jamannya tidak ada lagi kemiskinan.
Pada masa pemerintahnnya, tidak ada perluasan daerah yang berarti. Menurutnya, ekspansi islam tidak harus dilakukan dengan cara imprealisme militer, tapi dengan cara dakwah. Oleh karena itu, ia mengirim para mubalig ke daerah kekuasaan islam, yang otoritas agamanya bukan islam. Umar mangkat dari jabatannya pada tahun 101 H/719 M dengan meninggalkan karakter pemerintahan yang adil dan bijaksana terhadap semua golongan dan agama. Penerusnya nanti justru berbanding terbalik dengan karakter kepemimpinannya.

9.      Yazid ibn Abdul Malik atau Yazid II (101-105 H/719-723 M)
Konsepsi pemerintahan yang telah dibangun Umar “dihancurkan” oleh cara kepemimpinan Yazid II. Ia memperkaya diri dan suka menghambur-hambrukan uang untuk memenuhi hasrat duniawinya. Badri Yatim menjelaskan karakter khalifah kesembilan Dinasti Umayyah ini. Penguasa yang satu ini terlalu gandrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat. Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketentraman dan kedamaian, pada jamannya berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid bin Abdul Malik. Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan Khalifah berikutnya, Hisyam bin Abdul Malik.
Yazid memerintah selama hampir empat tahun. Kepemimpinannya  buruk dan diwarnai oleh adanya konfrontasi dari masyarakat. Tidak ada kemajuan yang layak dicatat dalam sejarah. Ia meninggal dunia pada tahun 105 H/742 M. Selanjutnya kepemimpinan dipegang oleh saudaranya, Hisyam ibn Abdul Malik.

10.  Hisyam ibn Abdul Malik (105-125 H/ 723-742 M)
Siapakah khalifah kesepuluh Dinasti Umayyah ini? Badri Yatim memasukan Hisyam sebagai salah satu dari lima khalifah besar Dinasti Umayyah, selain Muawiyah ibn Abu Sufyan, Abdul Malik ibn Marwan, Walid ibn Abdul Malik, dan Umar ibn Abdul Aziz. Hiiti memasukannya sebagai negarawan ketiga dan terakhir Dinasti Umayyah setelah Muawiyah ibn Abu Sufyan dan Abdul Malik. Hal ini karena pada masa pemerintahnnya, terjadi perbaikan-perbaikan administrasi dan menghidupkan tanah-tanah yang mati.
Kami kurang sependapat dengan pemikiran dua penulis tersebut. Kami tidak menemukan alasan atau data yang kuat dari para penulis tersebut dan tidak juga kami menemukan referensi yang mendukung. Malahan dikatakan oleh penulis lain bahwa selama hampir dua puluh tahun memerintah, negara mengalami kemorosotan dan melemah. Hal ini disebabkan banyaknya rongrongan dari luar dan perpecahan dari dalam pemerintahan. Rongrongan dari luar diantaranya pemberontakan oleh Zaid ibn Ali ibn Husen sebagai refresentasi dari kelompok Syiah Zaidiyah dan seruan pembentukan pemerintahan Abbasiyah. Dari dalam karena adanya konflik orang-orang Arab Selatan dan Arab Utara.

11.  Walid bin Yazid ibn Abdul al-Malik atau Walid II (125-126 H/ 742-743 M)    
Penerus Hisyam, Walid bin Yazid tidak mampu mengembalikan pemerintahan menjadi lebih baik. Malahan keadaan pemerintahan menjadi lebih buruk. Alasannya, selain musuh semakin kuat, ia juga meniru gaya hidup ayahnya, Yazid ibn Abdul Malik. Dia banyak menciptakan permusuhan. Oleh karena itu, saudara sepupunya, Yazid ibn al-Walid-yang kelak menjadi pengganti Walid-memerintahkan untuk mencopot Walid dari jabatannya. Setelah hampir tiga tahun memerintah, Walid pun dibunuh oleh pasukan Yazid ibn al-Walid dan ia mengantikan kedudukan Walid.

12.  Yazid bin Walid atau Yazid III (126 H/743 M)
Pada masa jabatannya, pemerintahan semakin kacau. Pemberontakan di mana-mana. Keluarga khalifah pun sudah terpecah. Akhirnya Yazid III meninggal dunia akibat penyakit tha’un setelah memerintah selama enam bulan.

13.  Ibrahim ibn al-Walid ibn Abd al- Malik (127 H / 744 M)
Dia hanya memerintah selama 70 hari. Oleh karena itu, ada yang tidak memasukannya sebagai salah satu khalifah Dinasti Umayyah. Pada masanya, tanda-tanda kehancuran Dinasti Umayyah semakin jelas. Perpecahan diantara keluarga semakin terbuka. Ia dituntut oleh Marwan ibn Muhammad ibn Marwan untuk mempertanggung jawabkan kematian Walid II yang dibunuh oleh Yazid III, kakak Ibrahim. Ia melarikan diri dari Damaskus. Marwan sampai ke Damaskus dan dibaiat sebagai khalifah terakhir Dinasti Umayyah Jilid I.

14.  Marwan ibn Muhammad ibn Marwan atau Marwan II (127-132 H / 744 – 749 M)
Setelah dibait sebagai raja, ia mencoba memperbaiki keadaan pemerintahan yang sudah kacau balau. Ia mencoba menjalankan roda pemerintahan yang sudah lemah. Namun roda pemerintahan sudah sangat rusak, sehingga pemerintahan bukan menjadi baik, malah menjadi hancur. Pada masa ini kekuatan kaum pemberontak yang diantaranya diwakili oleh kaum khawarij dan keturunan Abbas ibn Abdul Mutholib semakin kuat. Malah kelompok Abbasiyah ini berani memproklamirkan berdirinya Dinasti Abbasiyah pada tahun 129 H/ 446 M, yang dipimpin oleh Ibrahim. Marwan berhasil menagkap dan membunuhnya. Namun pengganti Ibrahim, Abu al-Abbas as-Shaffah lebih kuat dan didukung oleh kaum  Syiah dan Khurasan.
Pada tahun 131 H / 748 M, terjadilah pertempuran besar antara pasukan as-Shoffah dan Marwan di sungai Zab. Marwan melarikan diri dan terbunuh pada tahun 132 H. Pada tahun ini pula, tepatnya hari Kamis, tanggal 30 Oktober, as-Shaffah dibait menjadi khalifah  pertama Bani Abbasiyah. Ia berhasil merebut kekuasaan pemerintahan dari tangan Dinasti Umayyah.
Dengan terbunuhnya Marwan, maka hancurlah kerajaan dinasti Umayyah jiid I. Namun, ada salah seorang keturunan Dinasti Umayyah jilid I yang berhasil melarikan diri dari kejaran pasukan Abbasiyah dan kelak ia membangun kerajaan besar dinasti Umayyah jilid II di Andalusia.

D.    Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Bani Umayah
Diantara faktor penyebab keruntuhan Dinasti Umayyah ini, menurut Hasan Ibrahim Hasan adalah :
1.      Pengkatan Dua Putera Mahkota
Perubahan sistero kekuasaan, dari sistem demokrasi kepada monarchi yang dirintis Muawiyyah bin Abu Sofyan, berakibat pada tumbuhnya bibit permusuhan dan persaingan diantara sesama anogota keluarga dinasti dan ditambah dengan langkah pengangkatan dua putera mahkota yang diberi mandat, agar putera mahkota yang kedua sebagai pelanjut sesudah yang pertama, hal itu dilakukan khalifah Marwan bin al Hakim dengan mengangkat Abdul Malik bin Marwan dan Abdul Aziz, berikutnya adalah Abdul Malik mengikuti jejak mendiang ayahnya dengan mengangkat puteranya, yatu al Walid dan Sulaiman. Langkah ini tidak hanya menjadi permusuhan dan persaingan diantara sesama anggota keluarga tetapi juga merembet masuk di lingkungan para panglima dan pejabat.


2.      Munculnya Fanatisme Suku
Setelah Yazid bin Muawiyyah meninggal, fanatisme suku menyebar di tengah-tengah kabilah Arab namun belum sampai membahayakan kekuatan Bani Umayyah dari rongrongan kakuatan lain yang menginginkan kehancurannya sebagai pemegang supremasi politik umat Islam.
Kondisi tersebut masih dapat dikendalikan terlebih dengan tampilnya Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah, ia seorang yang saleh dan adil. Dalam masa pemerintahannya diisi dengan memperbaiki kerusakan yang dilakukan oleh para khalifah Bani Umayyah sebelumnya, sehingga legalitas kepemimpinannya diakui dan diterima oleh semua pihak yang tidak mengakui pemerintahan Bani Umayyah. la terbebas dari fanatisme suku, karena ia tidak mengangkat seorang menjadi gubernur melainkan berdasarkan kecakapan dan keadilan yang dimiliki oleh yang bersangkutan.
Namun ketika Umar bin Abdul Aziz wafat, dan kekhalifahan dipegang Yazid bin Abdul Malik, saat itu fitnah dan perselisihan diantara bangsa Arab utara (Arab Mudhar) /suku Qais dengan Arab selatan (Arab Yaman)  /bani Kalb memanas, yang kemudian terjadi perang Murj Rahith, yang mengkibatkan terbunuhnya al Mulahhab bin Abu Shufrah dari Arab Yaman, ia seorang yang telah mengabdi seluruh hidup dan potensinya pada Bani Umayyah, yaitu pembelaannya dalam perang al Azariqah menghadapi kaum khawarij, berjuang memerangi penduduk Khurasan dan al Khazar serta orang-orang Turki. Sepeninggal al Mulahhab, tampillah puteranya yang menjadi perhatian dan tumpuhan pihak Arab Yamani untuk merongrong kedaulatan Dinasti Umayyah. Namun demikian Bani Umayyah sekali waktu berpihak kepada Arab Qais dan dilain waktu kepada Arab Yaman.
Fanatisme suku dapat dilihat ketika Yazid bin Abdul Malik mengangkat saudaranya yaitu Maslamah sebagai gubernur wilayah setelah mereka berjasa menumbangkan pemberontakan putera al Mulahhab, dan juga mengangkat Umar bin Kubairah yang berasal dari suku Qais.
Ketika Yazid wafat dan saudaranya yaitu Hisyam naik tahta maka khalifah baru menilai bahwa posisi orang-orang Qais dalam pemerintahan sudah terlalu kuat, dan hal ini, menurut Hisyam adalah membahayakan kelangsungan pemerintahan Bani Umayyah, kemudian ia mengambil tindakan dengan cara mengenyahkan orang-orang Qais dari kekuasaan dan balik berpihak kepada unsur Yamani, ini dimaksudkan agar kadua unsur tersebut berimbang. Untuk itu ia mengangkat Khalid bin Abdullah al Qasari sebagai gubernur Irak, dan juga mengangkat saudara Khaiid yaitu Asad sebagai gubernur Khurasan. Dengan demikian kekuatan unsur Yamani kembali berperan dan kekuatan unsur Qaisi melemah, kemudian orang-orang dan unsur Yamani berkesempatan menumpahkan balas dendam mereka kepada orang-orang dari unsur Qaisi.
Demikianlah fanatisme suku yang telah mencabik-cabik Dinasti Umayyah. sehingga negara menjadi ajang bagi tumbuhnya beragam fitnah dan kerusuhan dan kemudian keruntuhan dinasti ini teriadi.

3.      Terlena Dalam Kemewahan
Pola hidup sebagian khalifah Dinasti Umayyah yang sangat mewah dan senang berfoya-foya sebagai warisan pola hidup para penguasa Bizantium adalah faktor lain yang telah menanam andil besar bagi keruntuhan dinasti ini. Yazid bin Muawiyyah adalah seorang khalifah dari Dinasti Umayyah sangat terkenal sebagai pengagum berat wanita, memelihara para penyanyi wanita, memelihara burung buas, singa padang pasir dan seorang  pecandu minuman karas.
Prilaku Yazid bin Abdul Malik juga tidak lebih baik dari Yazid bin Muawiyyah, ia adalah pemuja wanita dan penggemar pesta pora. Begitu pula dengan puteranya yaitu al Walid, ia seorang khalifah yang sangat senang dengan kehidupan serba mewah dan terlena dengan romantika asmara.



4.      Fanatik Arab
Dinasti Umayyah adalah muni daulat Arab, sehingga ia sangat fanatik kepada bangsa Arab dan kearabannya. Mereka memandang orang non Arab (mawali) dengan pandangan sebelah mata, sehingga menimbulkan fitnah diantara sesama kum Muslimin, disamping itu pula telah membangkitkan nasionalisme di dalam Isiam. Bibit daripada geraka tersebut adalah anggapan bahwa bangsa Arab adalah bangsa yang paling utama dan mulia dan bahasa Arab adalah bahasa yang paling tinggi dibanding dengan yang lain.
Tindakan diskriminatif tersebut telah membangkitkan kebencian kaum mawali kepada Bani Umayyah, akhirnya sebagai kaum tertindas mereka selalu mencari waktu yang tepat untuk melampiaskan kebenciannya. Mereka menggabungkan diri dengan al Mukhtar dan kaum khawarij untuk bersekutu dan ditambah dengan propagandis kaum abassi untuk memberontak dan menggulingkan Dinasti Umayyah.
Sekutu tersebut melakukan gerakan oposisi terhadap Dinasti Umayyah dengan pimpinan Muhammad bin Ali dan kemudian dilanjutkan kedua puteranya yaitu ibrahim dan Abu Abbas yang didukung oleh masyas-akat pendukung Ali di Khurasan. Di bawah pimpinan panglimanya yang tangkas, yaitu Abu Muslim al Khurasani, gerakan ini dapat menguasai wilayah demi wilayah kekuasaan Dinasti Umayyah dan bahkan dalam partempuran di Zab Hulu sebelah Mosul, Marwan II. khalifah terakhir Dinasti Umayyah dapat dikalahkan, Marwan II di bunuh di Mesir pada bulan Agustus 750 M dan berakhirlah kekuasaan Dinasti Umayyah di Damaskus.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dinasti umayyah diambil dari nama Umayyah Ibn ‘Abdi Syams Ibn ‘Abdi Manaf, Dinasti ini sebenarnya mulai dirintis semenjak masa kepemimpinan khalifah Utsman bin Affan namun baru kemudian berhasil dideklarasikan dan mendapatkan pengakuan kedaulatan oleh seluruh rakyat setelah khalifah Ali terbunuh dan Hasan ibn Ali yang diangkat oleh kaum muslimin di Irak menyerahkan kekuasaanya pada Muawiyah setelah melakukan perundingan dan perjanjian. Bersatunya ummat muslim dalam satu kepemimpinan pada masa itu disebut dengan tahun jama’ah (‘Am al Jama’ah) tahun 41 H (661 M).
Sistem pemerintahan Dinasti Bani Umayyah diadopsi dari kerangka pemerintahan Bizantium, dimana ia menghapus sistem tradisional yang cenderung pada kesukuan. Pemilihan khalifah dilakukan dengan sistem turun temurun atau kerajaan, hal ini dimulai oleh Umayyah ketika menunjuk anaknya Yazid untuk meneruskan pemerintahan yang dipimpinnya pada tahun 679 M.
Pada masa kekuasannya yang hampir satu abad, dinasti ini mencapai banyak kemajuan. Dintaranya adalah: kekuasaan territorial yang mencapai wilayah Afrika Utara, India, dan benua Eropa, pemisahan kekuasaan, pembagian wilayah kedalam 10 provinsi, kemajuan bidang administrasi pemerintahan dengan pembentukan dewan-dewan, organisasi keuangan dan percetakan uang, kemajuan militer yang terdiri dari angkatan darat dan angkatan laut, organisasi kehakiman, bidang sosial dan budaya, bidang seni dan sastra, bidang seni rupa, bidang arsitektur, dan dalam bidang pendidikan.
Kemunduran dan kehancuran Dinasti Bani Umayyah disebabkan oleh banyak faktor, dinataranya adalah: perebutan kekuasaan antara keluarga kerajaan, konflik berkepanjagan dengan golongan oposisi Syi’ah dan Khawarij, pertentangan etnis suku Arab Utara dan suku Arab Selatan, ketidak cakapan para khalifah dalam memimpin pemerintahan dan kecenderungan mereka yang hidup mewah, penggulingan oleh Bani Abbas yang didukung penuh oleh Bani Hasyim, kaum Syi’ah, dan golongan Mawali.

B.     Saran
Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pemakalah dan seluruh pembaca. Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan maka dari itu saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kemajuan dan kesempurnaan di masa mendatang.
























DAFTAR PUSTAKA

5.      http://kisahmuslim.com/ringkasan-sejarah-daulah-umayyah-bagian-1










No comments:

Pencarian isi Blog