Pencarian

Saturday, March 5, 2016

FILSAFAT DALAM PERPEKTIF ISLAM

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa:
1.      Sejarah munculnya pemikiran filsafat adalah dari Eropa, yang dalam hal ini adalah Yunani.
2.      Filsafat masuk dalam dunia Islam dengan cara penerjemahan karya-karya tersebut ke dalam bahasa Arab.
3.      Sebagian kaum muslimin menerima dan menyambut filsafat hingga muncullah filosof-filosof besar muslim seperti al-Farabi, Ibnu Sina dan Syuhrawardi serta Mulla Shadra.
4.      Sebagian kaum muslimin menolak Filsafat dan bahkan menganggapnya sebagai momok dan musuh Islam. Mereka mengatakan bahwa Filsafat adalah dari barat (orang kafir); Filsafat adalah produk akal sebagai lawan dari wahyu al-Qur’an. Tidak jarang keluar statemen-statemen yang memojokkan Filsafat seperti: “Siapa berfilsafat maka ia telah menjadi zindiq/kafir”. Atau cerita-cerita fiktif seperti “Ketika Nabi Isa as. menyeru para filosof, misalnya Aristo, mereka mengatakan “Kami sudah tahu Tuhan sebelum Anda ajari. Oleh karenanya, Anda tidak diutus Tuhan untuk kami (filosof), tapi untuk orang – orang awam”.


Saya pernah mendengar langsung perkataan Bapak Dr. Quraisy Syihab, sekitar tahun 1992, beliau mengatakan : “sewaktu kami kuliah di Mesir, salah satu materi pelajarannya adalah Filasafat. Pada pertemuan pertama pelajaran tersebut, Pak. Dosen mengatakan ‘semoga Anda tidak langsung paham penjelasan pertama saya tentang Filsafat ini. Karena kalau langsung faham berarti Anda memiliki bakat untuk berfilsafat, dan  itu berbahaya bagi Anda (bias kafir)’.” (cerita – cerita ini baru sekelumit kecil dari permusuhan sebagian kaum muslimin terhadap Filsafat.

Pada kesempatan ini izinkan kami, sedikit memberikan ulasan tentang Filasafat ini, baik dari segi esensi objek bahasan, tujuan, Islamisnya, fokus kajian (baca:contoh pengkajiannya) dan contoh – contoh bab bab serta pasal – pasalnya, sesuai dengan yang kami ketahui dari pelajaran-pelajaran kami tentang buku – buku master Filsafat, khususnya al-Asfar al-Arba’ah Mulla Shadra.


Esensi  dan  Batasan Filsafat

Sophia asal kata Filsafat adalah philo yang berarti cinta, dan yang berarti ilmu kebenaran. Jadi arti kata filosofos adalah cinta ilmu atau pecinta ilmu. Biasanya filosof atau orang – orang bijak, dikatakan kepada orang – orang yang mencintai berbagai ilmu pengetahuan. Seperti matematika, logika, kimia, perbintangan, ketuhanan, sastra, keberadaan, dan sebagainya.

Namun demikian istilah Filsafat berkembang menjadi “ilmu yang membahas tentang wujud dilihat dari sisi wujud”, bukan dari sisi tertentu seperti kesehatan yang menjadi ilmu kedokteran dari sisi berfikir benar yang menjadi ilmu logika, dari sisi kuantitas yang menjadi al – jabar atau matematika, dari sisi kimia yang menjadi ilmu kimia dan seterusnya.

Sebagaimana akan disebutkan contoh – contoh bahasannya melihat wujud dari sisi wujud, bukan dari sisi tertentu, adalah objek kajian filsafat. Seperti apa hakikat wujud itu ; apakah wujud itu bertingkat ; apakah satu wujud dengan wujud lain ; apakah wujud itu memiliki sumber dan juga tujuannya, dan seterusnya.

Objek Filsafat

Seirama dengan batasan lama dan baru mengenai Filsafat, maka objek Filsafat bagi batasan lama apa saja yang menjadi objek berbagai ilmu. Tapi objek Filsafat baru batasan baru yang sampai sekarang telah menjadi baku, adalah wujud itu sendiri.

Kerancuan Pengertian dan Objek Filsafat.

Sebagian pengkaji Filsafat, khususnya yang ada di barat, yang kemudian menjadi metodologi dan sumber rujukan muslimin, mengira bahwa objek Filsafat adalah keberadaan metafisik, alias non materi. Jadi bagi mereka Filsafat adalah ilmu metafisika dan objeknya adalah wujud – wujud non fisik. Oleh karenanya mereka tidak menjadikannya sebagai ilmu atau science (sains) yang, dapat menjadi pedoman dan pegangan. Tapi menggolongkannya kepada knowledge atau pengetahuan saja. Karena itulah kepercayaan – kepercayaan kepada Tuhan, malaikat, ruh, dan semacamnya adalah tergolong pengetahuan yang tak pasti dan tidak ilmiah, lantaran tidak bisa dieksperimen.


Sebab Munculnya Kerancuan.

Sebagaimana tertulis dalam buku – buku master dan sejarah Filsafat yang kami pelajari selama belasan tahun di hauzah (pesantren) Qum di Iran, penyebab kerancuan trsebut bersumber pada pemberian sub judul pada karya aristoteles.

Aristoteles dalam bukunya, membahas banyak hal, dimana sesuai dengan batasan yang lama Filsafat adalah objek ilmu filsafat. Setelah ia membahas wujud dilihat dari sisi fisika, ia membahas wujud dilihat dari sisi wujud. Namun pada bahasannya ini ia tidak memberi judul. Penerjemah karya tersebut ke bahasa arab, memberikannya judul bahasan dengan nama “ma ba’da al tabi’ah”, yakni “pembahasan setelah pembahasan fisika”.

Karena dunia barat sampai akhir – akhir abad – 18 berkiblat pada keajuan Islam, mereka menerjemah buku terjemahan tersebut kedalam bahasa inggris. Pada sub judul “ma ba’da al thabi’ah” itu, diterjemah dengan “metaphysics”.

Sudah tentu, karena bahasan metaphysics ini adalah wujud dilihat dari sisi wujud, maka argumentasi yang digunakan adalah argumentasi – argumentasi akal. Artinya tidak melalui penelitian fisika atau panca idrawi sebagaimana ilmu –ilmu lainnya (sesuai batasan baru Filsafat), atau sebagaiman sub–sub judul lainnya (sesuai dengan batasan lama Filsafat). Akhirnya terjadilah kekeliruan dalam pahaman terhadap ilmu Fislsafat yakni dikiranya bahwa Filsafat itu adalah ilmu yang mempelajari tentang wujud – wujud non fisik. Terlebih lagi didalamnya terdapat pembahasan wujud-wujud non materi seperti Tuhan.

Tujuan Filsafat.

Ketika Filsafat (dalam makna barunya) adalah ilmu yang membahas keberadaan dari sisi adanya, maka tujuan mempelajarinya adalah mengenali wujud itu sendiri dan yang tertinggi adalah sumbernya, maka tujuan puncak mempelajari filsafat adalah mengenal Tuhan.
Pandangan Islam Terhadap Filsafat

Islam, dalam hal ini Qur’an dan Hadits, ternyata sangat mendukung Filsafat baik langsung atau tidak. Berikut ini kami sebutkan sebagian contoh-contohnya :

  1. “(Allah) menganugerahkan al-hikmah kepada yang Ia kehendaki. Dan barang siapa diberi hikmah maka ia telah diberikan kebaikan yang banyak”.
  2. “dan telah Kami berikan al-hikmah kepada Luqman”.
  3. “dan Kami berikan kepadanya (Daud) al-hikmah dan kekokohan kata”.

“… maka maknanya (hikmah) adalah semacam kekuatan dan kekokohan (argumen) atau sesuatu yang kuat dan kokoh yang tidak mengandungi kebatilan dan kebohongan sama sekali”.
  1. “Hikmah adalah kebenaran di selain kenabian”.
  2. “Kalimat yang kokoh adalah benda yang hilang dari kaum mukmin.” Maka kapan saja mereka temukan mereka lebih berhak terhadapnya”.
  3. “(Hikmah) adalah argumen atau penjelasan terhadap pernyataan.”
  4. “Dan sudah jelas bagi kami bahwa hikmah adalah ilmu yang tersifati dengan kekokohan”.
  5. “Hikmah disebut hikmah karena mencegah jiwa dari hawa nafsunya”.
Dengan demikian karena hikmah adalah statemen atau ilmu yang kokoh dan benar (sesuai kenyataan), maka filsafat adalah salah satu dari hikmha tersebut. Hal ini karena filsafat membahas keberadaan dengan pembuktian dan argumentasi akal yang kuat dan kokoh. Dengan kata lain, dengan dalil-dalil akal yang umumnya absolut.

Keberatan Terhadap Keabsolutan Akal
Sebagian orang mengatakan bahwa akal itu tidak absolute, dan hanya al-Quranlah yang absolute. Dengan alas an ini mereka menolak filsafat.
Mereka tidak menyadari bahwa pernyataannya ini menentang isinya. Hal ini disebabkan oleh, kalau pernyataannya itu benar secara absolute berarti ada keabsolutan yang bisa dicapai akal. Dan kalu pernyataannya itu tidak absolut, maka pernyataannya yang menyatakan bahwa akal itu tidak absolute itu salah. Ini berarti bahwa bisa mencapai dan memiliki keabsolutan.

Pusat Kajian Filsafat dan Kitab-kitabnya
Pusat kajian filsafat yang sangat terkenal sejak dahulu kala adalah Iran, baik pada abad-abad terdahulu di Isfahan, atau masa kini di kotaQum.
Di Pesantren, yang biasa disebut Hauzah (ilmiah), kajian filsafat ditempuh dengan tahapan sebagai berikut:
1.                     Pelajaran Muqaddimah: pelajaran ini berisikan pelajaran bahasa Arab (Tashrif, Nahwu Jurumiyah, Qathru al-Nadah, Nahwu Syarh Alfiyyah Ibnu Malik, Nahwu Mughni al-Labib, Sastra Balaghatu al-Wadhihah, Sastra Syarh Mukhtashr al-Ma’ani) dan Logika (Khulashatu al-Mantiq dan Mantiq al-Mudhaffar). Biasanya pelajaran Muqaddimah ini ditempuh selama 4 tahun.
2.                     Setelah Muqaddimah kemudian pelajaran tengah yang intinya adalah fikih berdalil (al-Lum’ah dan al-Makasib) dan Ushulu al-Fiqhi (al-Ma’alim, al-Mudhaffar, al-Rasail dan al-Kifayah). Tingkatan tengah (shuthuh) ini biasanya ditempuh 8 – 9 tahun.
3.                     Setelah pelajaran tengah, memasuki jenjang akhir yang dikenal dengan al-Bahtsu al-Kharij, pelajaran luar, yakni keluar dari teks. Hal itu karena pelajarannya adalah ijtihad guru yang mengajarnya. Artinya, sudah tidak menggunakan buku (kitab) lagi. Dan seorang murid di sini sudah dibolehkan mendebat (tidak setuju) dengan ijtihad gurunya.
Pelajaran ini ditempuh secara beraneka ragam sesuai kemampuan murid dalam mencapai ijtihad. Dimulai dari standar rata-rata 10 – 20 tahun.
4.                     Untuk jurusan filsafat, maka setelah pelajaran Muqaddimah mereka mempelajari:
a.       Kalam (al-Babu al-Hadi ‘Asyr dan Syarhu al-Tajarid). Biasanya ditempuh ± 3 tahun.
b.      Filsafat Ringkas (bisa Bidayatu al-Hikmah dan bisa al-Manzhumah). Biasanya ditempuh selama 2 tahun.
c.       Filsafat Sedang (Ilahiyatu al-Syifa’ dan al-Isyarah wa al-Tanbihat yang keduanya karangan Ibnu Sina). Biasanya ditempuh 2 – 3 tahun.
d.      Filsafat Tinggi  (al-Asfaru al-Arba’ah karangan Mulla Shadra, 9 jilid). Biasanya ditempuh 9 – 18 tahun.
e.       Setelah itu masuk Irfan (Gnosis) dengan mempelajari al-Tamhidu al-Qawaid dan Fushushu al-Hikmah. Biasanya memerlukan waktu 3 tahun.

No comments:

Pencarian isi Blog