BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Daerah Istimewa
Jogjakarta atau yang lebih dikenal dengan nama Yogyakarta, merupakan kota yang
terkenal dengan sejarah dan warisan budayanya, seperti keraton. Keraton
Yogyakarta didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I beberapa bulan pasca
perjanjian Giyanti di tahun 1755. Keraton sebagai pionir Yogyakarta mempunyai
pengaruh yang sangat penting bagi budaya masyarakat Jawa di Yogyakarta dan
merupakan bagian dari sejarah hidup dan tradisi masyarakat Jawa. Digunakan selain sebagai rumah sultan juga untuk acara
kebudayaan dan upacara penting Keraton Yogyakarta.
Masyarakat
percaya bahwa keraton merupakan referensi budaya mereka. Dengan fungsi yang
terbatas pada sektor informal namun keraton Yogyakarta tetap memiliki kharisma
tersendiri di lingkungan masyarakat Jawa khususnya di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta. Beberapa studi yang
dilakukan pada tahun 1990 menunjukkan bahwa kesetiaan masyarakat kepada keraton
sangat tinggi. Pengaruh tersebut makin meluas semenjak raja dapat menggabungkan
kepemimpinan yang karismatik dengan kepemimpinan yang rasional dan modern.
Salah seorang
raja tersebut adalah Sultan Hamengku Buwono IX. Ia adalah figur yang menonjol
pada masa perjuangan saat mendirikan Republik Indonesia. Hubungan erat antara
masyarakat Yogyakarta dan keraton tampak nyata dalam kesenian, ritual, dan
upacara adat mereka. Misalnya pada pernikahan tradisional, pengantin pria dan
wanita boleh mengenakan pakaian keluarga kerajaan yang disebut ‘basahan’.
Dahulu hanya keluarga kerajaan yang boleh memakai pakaian tersebut. Meski
dengan modernisasi yang dialami Yogyakarta namun Keraton Yogyakarta tetap
dihormati masyarakatnya. Bahkan hingga kini sultan masih dianggap sebagai
kepala budaya di Yogyakarta dan sangat dicintai oleh rakyatnya.
1.2 Perumusan Masalah
1.
Bagaimana sejarah Keraton Yogyakarta?
2.
Apa yang mempengaruhi Keraton Yogyakarta sebagai
ikon Yogyakarta?
3.
Mengapa Keraton Yogyakarta tetap mempertahankan
nilai-nilai kebudayaannya?
4.
Bagaimana hubungan masyarakat dengan keluarga
keraton?
5.
Bagaimana peranan sultan sebagai kepala
pemerintahan di Yogyakarta?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan yang hendak
dicapai dari penelitian kegiatan ini antara lain :
1.
Untuk mengetahui sejarah Keraton Yogyakarta
2.
Untuk mengenal keraton sebagai ikon Yogyakarta
3.
Untuk mengetahui budaya-budaya di Yogyakarta
4.
Untuk mengetahui peran keraton dalam masyarakat
5.
Untuk mengetahui pemerintahan di Yogyakarta yang
dipimpin oleh sultan
1.4 Metode Penelitian
Pembahasan suatu
masalah memerlukan data yang di dapat dari hasil penelitian secara umum untuk
mencari data yang di anggap perlu dan mendukung penelitian. Untuk itu metode
yang digunakan adalah :
1.
Observasi
Cara ini dilakukan dengan mengadakan pengamatan dengan terjun
langsung ke lokasi, yaitu Keraton Yogyakarta. Dengan cara ini dapat memberikan
data yang akurat dan dapat di pertanggung jawabkan kebenarannya yang dilakukan
pada hari rabu, tanggal 21 Februari 2014 di Keraton Yogyakarta.
2.
Studi Pustaka
Teknik
pengumpulan data ialah dengan menggali informasi dari buku – buku dan media
internet.
1.5 Sistematika Penulisan
[1] HALAMAN JUDUL
[2]
LEMBAR PENGESAHAN
[3]
KATA PENGANTAR
[4]
DAFTAR ISI
[5]
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2
Perumusan
Masalah
1.3
Tujuan
Penulisan
1.4
Metode
Penelitian
1.5
Sistematika
Penulisan
[6] BAB II LANDASAN TEORI
[7] BAB III PEMBAHASAN
3.1
Pengertian
Keraton Yogyakarta
3.2
Struktur
Bangunan Keraton Yogyakarta
3.2.1
Kompleks
Depan
3.2.2
Kompleks
Inti
3.2.3
Kompleks
Belakang
3.3 Filosofi Bangunan Keraton Yogya
3.4
Aspek-aspek
Sosial Budaya, dan Potensi Kraton Yogyakarta
3.4.1
Aspek
Sosial Budaya
3.4.2
Potensi
Kraton Yogyakarta
3.5
Fungsi
dan Manfaat Keberadaan Kraton Yogyakarta bagi Masyarakat
3.5.1
Fungsi
Kraton Yogyakarta
3.5.2
Manfaat
Kraton Yogyakarta
[8] BAB IV PENUTUP
4.1
Kesimpulan
4.2
Saran
[9] DAFTAR PUSTAKA
BAB II
LANDASAN TEORI
Keraton atau kraton (bahasa Jawa) adalah daerah tempat seorang penguasa (raja
atau ratu) memerintah atau tempat tinggalnya (istana). Dalam pengertian
sehari-hari, keraton sering merujuk pada istana penguasa di Jawa. Dalam bahasa
Jawa, kata kraton (ke-ratu-an) berasal dari kata dasar ratu yang berarti
penguasa. Kata Jawa ratu berkerabat dengan kata dalam bahasa Melayu;
datuk/datu. Dalam bahasa Jawa sendiri dikenal istilah kedaton yang memiliki
akar kata dari datu, di Keraton Surakarta istilah kedaton merujuk kepada
kompleks tertutup bagian dalam keraton tempat raja dan putra-putrinya tinggal.
Masyarakat Keraton pada umumnya memiliki gelar kebangsawanan.
Menurut Suparto Brata, Keraton Yogyakarta dikenal juga dengan beragam
kebudayaan khasnya yang masih dapat kita lihat sekarang walaupun sudah tergerus
oleh waktu. Permainan wayang, upacara adat, tarian dan musik khas Keraton
Yogyakarta menyimbulkan bagaimana keistimewaan budaya Jawa itu secara umum.
Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai salah satu objek wisata budaya
yang potensial di Yogyakarta, dinilai oleh wisatawan tetap menjadi daya tarik
saat mereka berlibur di Yogyakarta. “Pesona dan daya tarik di dalam Kraton
Ngayogyakarta itu sebenarnya masih banyak yang belum diekspos, baik oleh media
lokal maupun asing. Dengan demikian, sebagai ikon budaya Jawa yang adi luhung,
keberadaan Kraton Kasultanan ini sangat mendukung DIY sebagai daerah tujuan
wisata terkenal,” ujar Kepala Baparda DIY, Condroyo.
Kepala Badan Pariwisata Daerah (Baparda) Provinsi DIY Condroyo juga
mengatakan, Kraton Kasultanan Yogyakarta kini masih menjadi bagian dari
segitiga emas obyek wisata Yogyakarta bersama dua obyak wisata lain yakni :
Candi Prambanan dan Candi Borrobudur. Segitiga emas obyek wisata itu, bagi biro
perjalanan wisata sering ditawarkan sebagai paket wisata kepada wisatawan
khususnya yang berasal dari mancanegara, karena memiliki daya tarik untuk
dikunjungi.
Selain itu, menurut Condroyono,daya tarik Kraton Yogyakarta itu, antara
lain kehidupan di dalam Keraton, benda-benda pusaka, arsitektur bangunan
Keraton termasuk benda atau barang peninggalan almarhum Sri Sultan
Hamengkubuwono IX yang ditempatkan dalam museum. Selain itu menurut beliau
Keraton Yogyakarta Hadiningrat ini masih menjadi ikon pariwisata di DIY. Wisata
yang berkunjung di daerah ini merasa belum lengkap jika tidak mengunjungi
Keraton.
Menurut Putri Utami dalam makalah karyannya yang berjudul Contoh Makalah
Tentang Yogyakarta, walaupun dengan fungsi yang terbatas pada sektor informal
namun Keraton Yogyakarta tetap memiliki karisma tersendiri di lingkungan
masyarakat Jawa khususnya di Prov.DIY. Selain itu Keraton Yogyakarta juga
memberikan gelar kebangsawanan kehormatan (honoriscausa) pada mereka yang
mempunyai perhatian kepada budaya Jawa khususnya Yogyakarta disamping mereka
yang berhak karena hubungan darah maupun karena posisi mereka sebagai pegawai
(abdi-dalem) Keraton.
Anne Ahira mengatakan, bahwa banyak kepercayaan di dalam Keraton seperti
barang siapa yang berhasil melewati Beringin Kembang dengan kedua mata tertutup
maka keinginanya akan terkabulkan, menjadikan daya tarik tersendiri bagi para
wisatawan yang berkunjung ke Keraton Yogyakarta.
Selain itu, beliau juga mengatakan bahwa nilai sejarah dalam bangunan
Keraton Yogyakarta beserta alun-alun yang mengapitnya seperti menjadi daya
tarik tersendiri bagi Keraton Yogyakarta.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pengertian Keraton Yogyakarta
Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat atau Keraton Yogyakarta merupakan istana
resmi Kesultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat yang kini berlokasi di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta,
Indonesia. Walaupun kesultanan tersebut secara resmi telah menjadi bagian
Republik Indonesia pada tahun 1950, kompleks bangunan keraton ini masih
berfungsi sebagai tempat tinggal sultan dan rumah tangga istananya yang masih
menjalankan tradisi kesultanan hingga saat ini. Keraton ini kini juga merupakan
salah satu objek wisata di Kota Yogyakarta. Sebagian kompleks keraton merupakan
museum yang menyimpan berbagai koleksi milik kesultanan, termasuk berbagai
pemberian dari raja-raja Eropa, replika pusaka keraton, dan gamelan. Dari segi
bangunannya, keraton ini merupakan salah satu contoh arsitektur istana Jawa
yang terbaik, memiliki balairung-balairung mewah dan lapangan serta paviliun
yang luas.
Gambar 3.1 Bangunan
Keraton Yogyakarta
Keraton Yogyakarta
mulai didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I beberapa bulan pasca Perjanjian
Giyanti di tahun1755. Lokasi keraton ini konon adalah bekas sebuah
pesanggarahan yang bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini digunakan untuk
istirahat iring-iringan jenazah raja-raja Mataram (Kartasura dan Surakarta)
yang akan dimakamkan diImogiri. Versi lain menyebutkan lokasi keraton merupakan
sebuah mata air, Umbul Pacethokan, yang ada di tengah hutan Beringan. Sebelum
menempati Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan
Ambar Ketawang yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Gamping Kabupaten
sleman.
Secara fisik istana
para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti Hinggil Ler
(Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan Utara), Sri Manganti,
Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti
Hinggil Kidul (Balairung Selatan). Selain itu Keraton Yogyakarta memiliki
berbagai warisan budaya baik yang berbentuk upacara maupun benda-benda kuno dan
bersejarah. Di sisi lain, Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat
lengkap dengan pemangku adatnya. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika
nilai-nilai filosofi begitu pula mitologi menyelubungi Keraton Yogyakarta.
3.2 Struktur Bangunan Keraton Yogyakarta
Keraton Yogya
terletak di sebuah kompleks luas yang terbagi dalam beberapa bagian. Secara
garis besar bangunan Keraton Yogya dapat dibagi menjadi tiga bagian utama
dengan kompleks dan bangunan di dalamnya.
Gambar 3.2 Denah bangunan Keraton Yogyakarta
3.2.1
Kompleks
Depan
Dalam bagian
kompleks depan Keraton, terdapat beberapa pembagian wilayah dan bangunan yaitu:
1.
Gladhag-Pangurakan
Gerbang utama
untuk masuk ke dalam kompleks Keraton dari arah utara merupakan gerbang
berlapis yaitu Gapura Gladhag dan Gapura Pengurakan. Gapura Gladhag dahulu
tedapat di ujung utara Jalan Trikora (di antara Kantor Pos Besar dan Bank BNI
46) namun saat ini sudah tidak ada lagi. Smentara di sebelah selatannya
terdapat Gapura Pangurakan Njawi yang saat ini menjadi gerbang pertama yang
dilewati bila masuk ke Keraton dari sisi utara.
Gambar 3.2.1.1 Gapura Pangurakan
2.
Alun-Alun Lor (Alun-Alun Utara)
Alun-alun Utara
adalah lapanan berumput yang terletak di sisi utara Keraton Yogya. Pinggiran
alun-alun ditanami dengan pohon beringin dan secara khusus di tengah alun-alun
terdapat dua pohon beringin bernama Kyai Dewadaru dan Kyai Janadaru.
Pada zaman dahulu
hanya Sultan dan Pepatih Dalem yang boleh berjalan di antara kedua pohon
beringin yang dipagari ini. Tempat ini juga menjadi lokasi rakyat bertatap muka
berkumpul untuk menyampaikan aspirasinya kepada Sultan saat terjadinya
Pisowanan Agung.
Gambar 3.2.1.2 Alun-alun Utara
3.2.2
Kompleks
Inti
1.
Kompleks Pagelaran
Bangunan utama
dari bagian ini adalah Bangsal Pagelaran, atau dikenal pula sebagai Tratag
Rambat. Zaman dahulu bagian ini digunakan sebagai tempat di mana punggawa
kesultanan menghadap Sultan dalam upacara resmi. Saat ini tempat ini masih
digunakan untuk upacara adat keraton, namun juga dimanfaatkan untuk acara-acara
pariwisata dan religi.
Gambar 3.2.2.1
Bangsal Pagelaran
Teradapat pula
sepasang Bangsal Pemandengan yang terltak di sisi sebelah timur dan barat dari
Pagelaran. Dahulu Bangsal Pemandengan digunakan Sultan untuk menyaksikan
latihan perang yang dilakukan tentara kesultanan di Alun-alun Utara.
Di dalam sayap
timur bagian selatan Pagelaran terdapat Bangsal Pengrawit. Bangsal ini
digunakan oleh Sultan sebagai tempat untuk melantik Pepatih Dalem. Saat ini
sisi selatan dari kompleks Pagelaran dihiasi dengan relief perjuangan Sultan HB
I dan Sultan HB IX. Kompleks Pagelaran ini juga memiliki nilai historis lain,
yaitu sebagai bagian keraton yang digunakan sebagai tempat perintisan
Universitas Gajah Mada di mana para mahasiswa dahulu belajar sebelum kampus UGM
yang sekarang di Bulak Sumur dibangun.
2.
Kompleks Siti Hinggil
Kompleks Siti
Hinggil merupakan kompleks utama yang digunakan untuk menyelenggarakan upacara
resmi kesultanan, terutama bila terjadi pelantikan sultan baru. Kompleks ini
terletak di sisi selatan Pagelaran. Pada 19 Desember 1949 di kompleks ini
dilaksanakan peresmian Universitas Gajah mada. Kompleks ini dibuat lebih tinggi
dari tanah di sekitarnya menggunakan dua jenjang untuk naik di sisi utara dan
selatannya.
Di kompleks Siti
Hinggil ini terdapat beberapa bangunan yaitu:
a)
dua Bangsal Pacikeran yang digunakan abdi dalem
mertolulut dan Singonegoro sampai sekitar tahun 1926.
b)
bangunan Tarub Agung yang berbentuk kanopi
persegi dengan empat tiang. Tempat ini befungsi untuk tempat singga sejenak
para pembesar menunggu romongannya masuk ke dalam istana
c)
Bangsal Kori, yaitu tempat yang digunakan para
abdi dalem Kori dan abdi dalem Jaksa untuk menyampaikan aspirasi rakyat kepada
Sultan.
d)
Bangsal Manguntur Tangkil, terletak di
tengah-tengah Siti Hinggil. Bangunan ini merupakan tempat Sultan duduk di atas
singgasananya saat acara-acara resmi kerajaan spert pelantikan Sultan maupun
Pisowanan Agung.
e)
Bangsal Witono, digunakan untuk menyimpan
lambang-lambang serta pusaka kerajaan pada saat ada acara resmi kerajaan
f)
Bale Bang sebagai tempat penyimpanan Gamelan
Sekati, KK Guntur Madu dan KK Naga WIlaga.
g)
Bale Angun-angun, sebagai tempat penyimpanan
tombak KK Suro Angun-Angun
3.
Kamandhungan Lor
Di bagian selatan
dari Siti Hinggil terdapat sebuah lorong yang mebujur dari timur-barat. Pada
bagian selatan dinding lorong tersebut terdapat sebuah gerbang besar bernama
Regol Brojonolo yang menghubungkan Siti HInggil dengan Kamandhungan. Di sebelah
timur dan barat dari sisi selatan gerbang terdapat pos penjagaan. Gerbang ini
hanya dibuka saat ada acara resmi kerajaan.
Untuk memasuki
kompleks Kamandhungan sekaligus kompleks dalam Keraton sehari-hari bisa melalui
Gapura Keben di sisi barat dan timur kompleks Kamandhungan Lor yang menjadi
penghubung ke Rotowijayan dan Kemitbumen. Kompleks Kamandhungan Lor sering juga
disebut Keben karena banyak pohon keben di halamannya. Di bagian tengah
halaman, sebagai bangunan utama di kompleks ini, berdirilah Bangsal Ponconiti.
Sampai dengan 1812, bangsal ini digunakan untuk mengadili perkara yang secara
langsung dipimpin oleh Sultan dalam proses pengadilannya. Ada pula yang
mengatakan digunakan utuk mengadili perkara terkait keluarga kerajaan. Saat ini
bangsal tersebut digunakan untuk acara adat seperti sekaten atau garebeg. Di
selatan Ponconiti terdapat kanopi besar untuk menurunkan tamu dari kendaraan
mereka. Kanopi ini bernama Bale Antiwahana.
4.
Sri Manganti
Kompleks Sri
Manganti berada di sebelah selatan Kamandhungan Lor dan dihubungkan dengan
Regol Sri Manganti. Bangunan yang terdapat di kompleks ini yaitu:
a)
Pada sisi barat kompleks terdapat Bangsal Si
Manganti yang dahulu digunakan untuk menerima tamu penting kerjaan. Saat ini
bangsal ini digunakan untuk menyimpan beberapa pusaka keraton berupa gamelan
dan juga untuk kepentingan wisata keraton
b)
Bangsal Traju Mas, terletak di sisi timur,
dahulu merupaan tempat pejabat kerjaan mendampingi Sultan saat menyambut tamu.
Saat ini digunakan untuk menempatkan pusaka berupa tandu dan meja hias
c)
Di sebelah timur bangsal terdapat dua meriam
buatan Sultan HB II yang mengapit sebuah prasasti berbahasa Cina. Di sebelah
timurnya terdapat Gedhong Parentah Hageng Karaton, yaitu gedung administrasi
tinggi istana. Terdapat pula beberapa bangunan lainnya seperti Pecaosan Jaksa,
Pecaosan Prajurit, dan lain-lain.
5.
Kedhaton
Gambar 3.2.2.5
Regol Donopratopo
Dari sisi selatan
kompleks Sri Manganti berdiri Regol Donopratopo yang menghubungkannya denan
kopleks Kedhaton. Kompleks Kedhaton merupakan bagian inti dari keseluruhan
bangunan Keraton. Kompleks ini dapat dibagi menjadi tiga bagian halaman yaitu:
a)
Pelataran Kedhaton yang merupakan tempat tinggal
Sultan. Pada bagian ini terdapat Bangsal Kencono yang merupakan balairung utama
istana. Bangsal ini berfungsi untuk tempat pelaksanaan berbagai upacara khusus
keluarga kerajaan. Terdapat pula Tratag
Bangsa Kencana yang dulu digunakan sebagai tempat latihan tari; Ndalem Ageng
Proboyakso sebagai pusat dari istana secara keseluruhan yang menjadi tempat
disimpannya pusaka kerajaan, tahta sultan, serta lambang-lambang kerajaan
lainnya; Gedhong Kenen sebagai tempat tinggal resmi Sultan yang bertahta;
Gedhong Purworetno sebagai kantor resmi sultan; Bangsal Manis sebagai tempat
perjamuan resmi kerajaan dan tempat membersihkan pusaka pada bulan Suro; serta
masih ada banyak bangsal dan gedhong lainnya.
b)
Keputren yang merupakan tempat tinggal istri dan
para putri Sultan, secara khusus bagi putri Sultan yang belum menikah. Sejak
dahulu sampai sekarang tempat ini selalu tetutup untuk umum.
c)
Kesatriyan yang merupakan tempat tinggal para
putra Sultan, terutama yang belum menikah. Di dalamnya terdapat Pendapa
Kesatriyan, Gedhong Prignggadani, dan Gedhong Srikaton. Saat ini tempat ini
sering digunakan untuk menyelenggarakan acara-acara pariwisata.
6.
Kamagangan
Menghubungkan
kompleks Kedhaton dengan kompleks Kamagangan. Pada gerbang ini terdapat patung
dua ekor ular yang menggambarkan tahun berdirinya Keraton Yogyakarta. Kompleks
ini dahulu digunakan untuk penerimaan calon abdi dalem, tempat berlatih, tempat
ujian, dan apel kesetiaan para abdi dalem yang masih magang. Dalam kompleks ini
terdapat beberapa bagian yaitu:
a)
Bangsal Magangan sebagai tempat upacara Bedhol
Songsong, yaitu pertunjukan wayang kulit yang menandai selesainya seluruh
prosesi ritual di Keraton
b)
Pawon Ageng yang merupakan dapur istana, terdiri
dari Sekul Langgen di timur dan Pawon Ageng Gebulen di barat
c)
Panti Pareden, tempat pembuatan gubungan
menjelang upacara garebeg.
7.
Kamandhungan Kidul
Dari selatan
kompleks Kamagangan terdapat gerbang Regol Gadhung Mlati yang menghubungkannya
dengan kompleks Kamandhungan Kidul. Di kompleks ini terdapat bangunan Bangsal
Kamandhungan, yang konon berasal dari pendopo desa Pandak Karang Nangka di
daerah Sokawati yang pernah menjadi tempat Sri Sultan HB I bermarkas saat
perang.
8.
Siti Hinggil Kidul
Siti Hinggil Kidul
dikenal juga sebagai Sasana Hinggil Dwi Abad terletak di seblah utara alun-alun
Kidul, dengan luas kurang lebih 500 meter persetgi. Dahulu di tengahnya
terdapat pendopo sederhana yang kemudian pada tahun 1956 dipugar menjadi
Gedhing Sasana Hinggil Dwi Abad untuk memperingati 200 tahun kota Yogyakarta.
Tempat ini dahulu
digunakan Sultan untuk menonton para prajurit Keraton yang melakukan gladi
resik upacara Garebeg, pertunjukan adu manias dengan macan, dan tempat latihan
prajurit perempuan Langen Kusumo. Tempat ini juga menjadi awal dari prosesi
perjalanan upacara pemakaman Sultan yang wafat menuju Imogiri. Sementara saat
ini, Siti Hinggil Kidul lebih sering digunakan untuk pertunjukan seni seperti
wayang kulit, pameran, dan lain-lain.
3.2.3
Kompleks
Belakang
Kompleks belakang
dari Keraton terdiri dari dua bagian yaitu:
1.
Alun-Alun Kidul (Alun-alun Selatan)
Alun-alun Kidul
sering disebut sebagai Pengkeran. Pengkeran berasal dari kata pengker yang
berarti belakang. Alun-alun ini dikelilingi tembok persegi dengan lima gapura,
satu di selatan dan masing-masing dua di timur dan barat. Berbeda dengan Alun-alun Utara, di Alun-alun
Selatan hanya ada dua pasang pohon beringin. Sepasang di tengah alun-alun yang
dinamakan Supit Urang dan sepasang lagi di kanan-kiri gapura sisi selatan yang
dinamakan Wok. Dari gapura sisi selatan Alun-alun terdapat jalan Gading yang menghubungkanya
dengan Plengkung Nirbaya.
2.
Plengkung Nirbaya
Gambar
3.2.3.1 Plengkung Nirbaya
Plengkung Nirbaya
merupakan ujung selatan dari poros utama Keraton. Tempat ini merupakan tempat
di mana Sultan HB I masuk ke Keraton Yogya untuk pertama kalinya saat terjadi
pemindahan pusat pemerintahan dari Kedhaton Ambar Ketawang. Gerbang ini menjadi
rute keluar prosesi pemakaman Sultan ke Imogiri. Oleh karena alasan inilah
tempat ini kemudian menjadi tertutup bagi Sultan yang sedang bertahta.
3.3 Filosofi Bangunan Keraton Yogya
Pembangunan
Keraton Yogya tidaklah sembarangan. Banyak aspek yang diperhitungkan, termasuk
aspek filosofi dan mitologi. Kedua aspek ini sangatlah kental karena memang
masyarakat Yogya sendiri masih memegang kuat tradisi dan kepercayaan tradisionalnya
sehingga dalam membangun keraton yang notabene merupakan pusat pemerintahan pun
kedua aspek ini sangat diperhatikan. Saat ini bila dilihat pada peta, maka akan
nampak bahwa posisi Keraton berada dalam satu poros garis lurus: Tugu – Keraton
– Panggung Krapyak. Poros garis lurus ini diapit oleh Sungai Winongo di sisi
barat dan Sungai Code di sisi timurnya. Jalan P. Mangkubumi, Jalan Malioboro,
dan Jalan Jenderal A. Yani merupakan suatu kawasan jalan lurus yang
menghubungkan dari Tugu sampai Keraton. Smentara Jalan D.I. Panjaitan merupakan
jalan lurus keluar dari Keraton, terus melewati Plengkung Nirboyo menuju
Panggung Krapyak. Susunan ini mengandung makna “sangkan paraning dumadi” yang
artinya adalah asal mula manusia dan tujuan akhir kehidupannya yang mendasar.
Selanjutnya dari
Panggung Krapyak menuju ke Keraton mengandung penggambaran asal mula
terciptanya manusia sampai dengan manusai tersebut mencapai kedewasaan.
Penggambaran ini ditunjukkan dengan:
1.
Keberadaan kampong di sekitar Panggung Krapyak
yang bernama kampung Mijen. Kata “mijen” sendiri berasal dari “wiji” yang
artinya benih, menunjukkan benih sebagai awal terbentuknya manusia
2.
Sepanjang jalan D.I. Panjaitan ditanami pohon
asam dan pohon tanjung yang melambangkan perjalanan dari masa anak-anak menuju
masa remaja
3.
Dari Tugu sampai Keraton menunjukkan tujuan
akhir hidup manusia yaitu menghadap sang Pencipta. Selain itu, adanya tujuh
gerbang dari Gladhag (yang saat ini sudah tidak dapat dilihat lagi) sampai
Donopratopo melambangkan tujuh gerbang menuju surga.
Tugu Yogakarta yang saat ini menjadi batas utara dari
wilayaj kota tua menyimbolkan “manunggaling kawulo gusti”, yaitu bersatunya
raja dengan rakyat. Simbo ini juga dapat ditafsirkan sebagai penyatuan antara
Sang Pencipta dengan makhluk ciptaannya. Pintu gerbang Keraton pun juga
memiliki maknanya sendiri. Pintu Gerbang Donopratopo dipercaya memiliki arti
“seseorang yang baik selalu memberi kepada orang lain dengan tulus dan bisa
mengendalikan hawa nafsu”. Patung raksasa Dwarapala juga terdapat di samping
gerbang. Balabuta menggambarkan kejahatan dan Cinkarabala menggambarkan
kebaikan. Penempatan kedua patung ini hendak menyampaikan makna bahwa manusia
harus dapat membedakan hal yang baik dan yang jahat.
Tidak hanya dari segi bangunannya, penanaman pohon di
kompleks keraton pun ternyata mengandung makna. 64 pohon beringin di Alun-Alun
Utara melambangkan usia Nabi Muhammad. Dua pohon beringin di tengahnya menjadi
lambang makrokosmos dan mikrokosmos. Hal ini dapat diketahui dari etimologi kedua
nama pohon beringin tersebut. Pohon pertama bernama Dewodaru, kata dewo sendiri
berarti Tuhan sebagai perlambang makrokosmos dan pohon kedua bernama Janadaru,
jana berarti manusia sebagai perlambang mikrokosmos. Ada pula yang menafsirkan
bahwa Dewodaru melambangkan persatuan antara Sultan dengan Sang Pencipta
sedangkan Janadaru melambangkan persatuan Sultan dengan rakyat. (Wikipedia: Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat)
Bila ditarik lebih jauh lagi, maka akan nampak bahwa
posisi Keraton Yogya, Pantai Parang Kusumo di Laut Selatan dan Gunung Merapi
berada dalam satu garis lurus dengan Tugu Yogya di tengah-tengahnya. Menuru
Guru Besar Filsafat UGM Prof. Damarjati Supadjar, posisi ini juga memiliki arti
khusus.
Pembangunan Keraton didasarkan akan pertimbangan keseimbangan
dan keharmonisan unsur alam. Keraton menjadi titik kesetimbangan antara air dan
api. Api dilambangkan oleh Gunung Merapi sedangkan air dilambangkan oleh Laut
Selatan. Keraton yang berada di titik tengahnya menjadi titik kesetimbangan
antara vertical dan horizontal. Maksudnya di sini adalah keseimbangan
horizontal dilambangkan dengan Laut Selatan yang mencerminkan hubungan manusia
dengan sesama manusia sedangkan Gunung Merapi melambangkan keseimbangan
vertical yaitu hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Bila dikaitkan dengan
situasi saat ini, Damarjati menyatakan bahwa filosofi ini juga bisa ditujukan
kepada pemerintah, bahwa pemerintah seharusnya bisa lebih peka terhadap letusan
Merapi yang terjadi di November 2010. Menurut Damarjati, magma dari Gunung
Merapi harus dilapangkan jalannya untuk bisa memuntahkan laharnya, tidak boleh
disumbat jalurnya. Bila jalurnya tersumbat maka bisa mengakibatkan letusan yang
luar biasa, sama seperti suara rakyat yang bila dihambat dapat menyebabkan
revolusi sosial.
3.4 Aspek-aspek Sosial Budaya, dan Potensi
Kraton Yogyakarta
3.4.1 Aspek Sosial Budaya
Kraton Yogyakarta
merupakan Istana Kesultanan yang masih bernuansa Jawa tradisional walaupun
ditengah-tengah proses modernisasi kota Jogja. Dalam hal ini, kraton tidak
hanya melaksanakan fungsinya sebagai wahana pelestarian budaya, tetapi juga
melakukan interaksi terhadap masyarakat sebagai wujud rasa sosial yang tinggi,
mengingat bahwa Kraton Yogyakarta merupakan kediaman gubernur Daerah Istimewa
Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwana X. Contoh nyatanya adalah hal- hal yang
terjadi belum lama ini, bahwa 40 ribuan warga melakukan pisowanan ageng ke
Kraton Yogyakarta. Pisowanan ageng tersebut bertujuan untuk meminta penjelasan
atau klarifikasi dari Sri Sultan HB X. Tradisi ini dilakukan ketika terjadi
kebuntuan informasi, sehingga rakyat mendatangi raja.
Mereka memohon
penjelasan langsung dari sang raja agar memperoleh kepuasan atas informasi yang
tengah beredar di masyarakat. Menurut Gregorius Sahdan, pisowanan ageng ini merupakan
tradisi baru dalam konteks hubungan kawula lan gusti di Daerah Istimewa
Yogyakarta. Dari semua ini terlihat jelas bahwa Kraton Yogyakarta melaksanakan
peran sosialnya. Sedangkan nilai-nilai budaya Kraton dapat dilihat dengan
melihat ritual semedi. Dimana Kraton meyakini bahwa siapa yang sedang bersemedi
maka ia selalu berada dalam keagungan Tuhan YME. Di dalam ritual ini, orang
yang bersemedi akan menghadapi berbagai rintangan. Contohnya, saat berada di
Pasar Beringharja, maka gambaran rintangannya adalah wanita-wanita cantik,
makanan lezat, minuman segar, kain bagus berwarna-warni dan bau-bauan yang
wangi dan sedap. Sedangkan dalam Kepatihan akan dijumpai rintangan yang berupa
kekuasaan, derajat, pangkat dan uang.
Kraton Yogyakarta
melakukan upacara ritual tiap tahunnya yang dikenal dengan nama upacara grebeg.
Grebeg adalah upacara keagamaan yang dilakukan 3 kali dalam setahun. Bertepatan
pada lahinya Nabi Muhammad SAW (grebeg Maulud), hari raya idul fitri (grebeg
Syawal) dan pada hari raya idul adha (grebeg Besar). Pada hari itu, Sri Sultan
berkenan memberi sedekah berupa gunungan-gunungan berisikan makanan dan lain-
lain kepada rakyat. Dan tak kalah nilai budayanya adalah pertunjukan seni.
Kraton Yogyakarta sering menggelar seni pertunjukan. Acara ini menjadi ritual
fungsional dari istana. Di antaranya, adalah pertunjukan Tari Bedoyo yang
disucikan, pertunjukan wayang kulit, wayang wong dan lain-lain. Gambaran dari
wayang wong adalah suatu drama tarian berdasarkan cerita Mahabharata dan
Ramayana. Pada zaman dahulu, wayang ini hanya ditarikan di Kraton atau di
tempat tinggal para ningrat. Hanya orang yang khusus yang dapat membawakan
drama tari ini. Drama ini hanya ditarikan pada acara khusus seperti pada ulang
tahun raja atau pangeran, peringatan penobatan raja, atau pada penyambutan tamu
agung.
Dari semua contoh
di atas, sudah terlihat jelas bahwa Kraton Yogyakarta yang memiliki
bangunan-bangunan, lapangan-lapangan, halaman –halaman serta acara-acara seni
yang mengandung unsur budaya dapat melestarikan nilai-nilai sosio kultural
bangsa Indonesia secara turun temurun.
3.4.2
Potensi
Kraton Yogyakarta
Kraton Yogyakarta
merupakan tempat yang mengandung warisan kebudayan Nasional yang wajib
dilestarikan. Kraton Yogyakarta ini merupakan kerajaan yang masih eksis
keberadaannya dalam melaksanakan aktivitas pemerintahan kepada rakyatnya
ditengah era modernisasi dan globalisasi yang sedang meningkat ini. Kemenarikan
bangunan Kraton Yogyakarta bukan hanya terletak pada sofistikasi arsitektur
Jawa, tetapi lebih-lebih pada kandungan nilai-nilai kultural-edukatif yang
visualisasinya nampak dalam simbol-simbol. Melalui bangunan kraton nilai-nilai
luhur yang telah tersaring dari berbagai rekaman sejarah dan budaya secara
non-verbal divisualisasi dan disosialisasikan agar menjadi sumber inspirasi
yang tidak pernah kering bagi setiap generasi dalam memperjuangkan keluhuran
martabat manusia.
Nilai kebudayaan
yang dimiliki oleh Kraton Yogjakarta sudah sepatutnya dikenal oleh orang
banyak, baik itu secara Nasional ataupun Internasional, sehingga akan menarik
wisatawan mancanegara ataupun domestik untuk datang dan mengunjungi Kraton
Yogyakarta. Hal ini tentunya akan menjadi magnet untuk bidang pariwisata di
wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Potensi Kraton Yogyakarta dalam kepariwisataan
tentunya sangat tinggi, bahkan rencananya Kraton Yogyakarta akan dijadikan BCB
(Bangunan Cagar Budaya) bertaraf Internasional, walaupun hal itu masih dalam
tahap pengajuan. Kepariwisataan di DIY khususnya untuk wisata ke Kraton
Yogyakarta tentunya akan sangat potensial dan menguntungkan banyak pihak, baik
itu dari golongan atas seperti para pengusaha penginapan dan pengrajin, maupun
dari kalangan bawah yakni para penjual cindramata, oleh-oleh khas jogja dan
lain-lain.
Apabila Kraton
Yogyakarta ini dimanfaatkan secara maksimal, misalnya dengan meningkatkan
infrastruktur dan prasarana, tentunya akan lebih banyak membuat wisatawan baik
lokal maupun mancanegara tertarik dan datang mengunjungi Kraton Yogyakarta ini.
Dengan begitu, selain dapat mempertahankan budaya Nasional, dari satu bidang
kepariwisataan ini, DIY bisa mendapatkan pendapatan lebih untuk daerahnya.
3.5 Fungsi dan Manfaat Keberadaan Kraton
Yogyakarta bagi Masyarakat
3.5.1
Fungsi
Kraton Yogyakarta
Fungsi Kraton
dibagi menjadi dua yaitu fungsi Kraton pada masa lalu dan fungsi Kraton pada
masa kini. Pertama- tama, kami akan menjelaskan mengenai fungsi Kraton pada
masa lalu. Pada masa lalu keraton berfungsi sebagai tempat tinggal para raja.
Kraton didirikan pada tahun 1756, selain itu di bagian selatan dari Kraton ini,
terdapat komplek kesatriaan yang digunakan sebagai sekolah putra-putra sultan.
Sekolah mereka dipisahkan dari sekolah rakyat karena memang sudah merupakan
aturan pada Kraton bahwa putra- putra sultan tidak diperbolehkan bersekolah di
sekolah yang sama dengan rakyat. Sementara itu, fungsi Kraton pada masa kini
adalah sebagai tempat wisata yang dapat dikunjungi oleh siapapun baik turis
domestik maupun mancanegara. Selain sebagai tempat untuk berwisata, tidak
terlupakan pula fungsi Kraton yang bertahan dari dulu sampai sekarang yaitu
sebagai tempat tinggal Sultan.
Pada saat kita
akan memasuki halaman kedua dari Kraton, terdapat gerbang dimana di depannya
terdapat dua buah arca. Setiap arca ini memiliki arti yang berlawanan. Arca
yang berada di sebelah kanan disebut Cingkorobolo yang melambangkan kebaikan,
sementara itu arca yang terletak di sebelah kiri disebut Boloupotu yang
melambangkan kejahatan. Selain itu kami juga mendapatkan sedikit informasi
tentang Sultan Hamengku Buwono IX. Sultan ke IX dari Kraton Yogyakarta ini
lahir pada tanggal 12 April 1940 dan wafat dalam usianya yang ke 48 yaitu pada
tanggal 3 Oktober 1988. Ia memiliki berbagai macam hobi, diantaranya adalah
menari, mendalang, memainkan wayang, dan yang terakhir memotret. Sultan ini
memiliki suatu semboyan yang terkenal yaitu, “ Tahta untuk rakyat”.
3.5.2
Manfaat
Kraton Yogyakarta
1.
Sebagai tempat tinggal Sultan dan lambang pusat
pemerintahan Yogyakarta
Sejak Sultan HB I
pindah ke Keraton pada tahun 1756, tempat ini memang difungsikan sebagai tempat
tinggal Sultan sekaligus pusat pemerintahan. Sultan sendiri bekerja di
lingkungan Keraton dan dalam kesempatan-kesempatan tertentu seperti misalnya
saat Pisowanan Agung Sultan berinteraksi dengan rakyatnya.
2.
Sebagai tempat penyimpanan pusaka kerajaan
Keraton Yogya
memiliki berbagai pusaka yang dipercaya memiliki kekuatan gaib, seperti
misalnya gamelan, tombak, kereta, dan barang-barang lainnya. Barang-barang
pusaka ini disimpan di berbagai ruang di dalam Keraton dan secara berkala
dibersihkan dan dicuci, biasanya menjelang bulan Suro setiap tahunnya.
3.
Sebagai tempat terjadinya beberapa peristiwa
bersejarah Indonesia
Keraton Yogyakarta
juga menjadi tempat terjadinya beberapa peristiwa bersejarah di Indonesia. Hal
ini bisa terjadi karena pada masa awal kemerdekaan Indonesia, Yogyakarta sempat
dijadikan ibu kota sehingga Keraton pun dimanfaatkan dalam beberapa kesempatan.
Contohnya adalah pemanfaatan Kompleks Pagelaran sebagai cikal bakal Universitas
Gadjah Mada dan pemanfaatan Siti Hinggil Lor sebagai tempat pelantikan Soekarno
menjadi presiden RIS pada 17 Desember 1949.
4.
Sebagai objek wisata budaya
Keraton Yogyakarta saat
ini juga telah menjadi salah satu objek wisata budaya paling popular di
Yogyakarta. Turis domestik maupun mancanegara memadati Keraton setiap hari
libur. Keraton Yogyakarta sendiri memanfaatkan hal ini dengan cara mengubah
beberapa bagian Keraton menjadi ruang pamer benda-benda bersejarah atau
benda-benda budaya, menyelenggarakan pertunjukan seni, membangun restoran dan
toko cinderamata, serta mengorganisir tur bagi para turis. Meskipun demikian,
Keraton Yogyakarta tetap mempertahankan beberapa tradisi yang tidak dibiarkan
terpengaruh aktivitas pariwisata tersebut, misalnya sampai dengan saat ini
kompleks Keputren masih tertutup bagi umum, hanya boleh dimasuki oleh orang
lingkungan dalam Keraton saja.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Keraton
Yogyakarta merupakan salah satu simbol utama dari Yogyakarta. Pembangunan
Keraton Yogyakarta sendiri tidaklah sembarangan tetapi diperhitungkan dengan
matang dan dipengaruhi banyak filosofi serta kepercayaan mitologis yang
mencerminkan kuatnya tradisi masyarakat Yogyakarta. Keraton juga menunjukkan
kuatnya akulturasi antara tradisi Jawa tradisional dengan budaya Islam melalui
berbagai simbolisasi yang tersebar di banyak bagian kompleks Keraton.
Keraton
Yogyakarta juga tidak hanya menjadi bangunan yang penting bagi keluarga
kesultanan dan masyarakat Yogya, namun juga memiliki peranan dalam sejarah
nasional bangsa Indonesia. Pemanfaatan Keraton Yogyakarta pada masa sekarang
memang sudah sangat berkembang dan mengalami berbagai perubahan. Salah satu
yang paling mencolok adalah pembukaan Keraton sebagai objek wisata. Meskipun
demikian, di tengah arus modernisasi tersebut, Keraton masih dapat
mempertahankan tradisi kehidupan Keraton sehingga nilai-nilai kehidupan Keraton
masih dapat terpelihara dengan baik.
4.2 Saran
Berdasarkan hasil
penelitian di atas, saran kami adalah terus lestarikan Keraton Yogyakarta
dengan cara menjaga dan merawat bangunan dan tata ruang serta benda - benda
peninggalan sultan-sultan. Karena Keraton Yogyakarta ialah sebuah istana yang
mengandung banyak arti, arti keagamaan, arti filsafat dan arti kultural (
kebudayaan ). Yang masih menjunjung tinggi nilai - nilai filosofinya.
Oleh sebab itu, maka
warisan budaya Indonesia yang harus dilindungi dan dipertahankan dari klaim
pihak asing. Serta tetap melestarikan dan menjaga warisan – warisan kebudayaan
yang ada di negara kita, khususnya warisan – warisan kebudayaan yang berasal
dari Keraton Yogyakarta sebagai pionir Yogyakarta adalah salah satu kiblat
kebudayaan Jawa, sekaligus penjaga nyala kebudayaan tersebut
DAFTAR PUSTAKA
No comments:
Post a Comment