BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akal adalah salah satu potensi rohani yang dimiliki oleh manusia. Di samping akal manusia mempunyai potensi rohani lain yang disebut dengan fitrah. Secara fitri, Allah SWT sebagai sang khalik telah menciptakan manusia sebagai suatu makhluk yang istimewa, yaitu makhluk yang memiliki berbagai macam kelebihan dibandingkan dengan makhluk-makhluk yang lainnya, baik itu kelebihan dari segi jasmani maupun rohani.
Dalam struktur jasmaniah dan rohaniah itu, Allah memberikan seperangkat kemampuan dasar yang memiliki kecenderungan berkembang, dalam psikologi disebut potensialitas atau disposisi, dan menurut aliran behaviourisme disebut prepotence reflexes (kemampuan dasar yang dapat berkembang). Oleh sebab itu, untuk mengatur fitrah atau potensi yang ada danagar dapat menggunakannya secara optimal, manusia dirasa perlu mengetahui hakekat dari fitrah itu sendiri.
BAB II
A. Konsep Fitrah Manusia
Dalam pengertian yang sederhana istilah definisi fitrah sering dimaknai suci dan potensi. Secara etimologis, asal kata fitrah / fitroh / pitrah berasal dari bahasa Arab, yaitu fitrah (فطرة) jamaknya fithar (فطر), yang suka diartikan perangai, tabiat, kejadian, asli, agama, ciptaan. Menurut Muhammad Quraish Shihab, istilah fitrah diambil dari akar kata al-fithr yang berarti belahan[1]. Dari makna ini lahir makna-makna lain, antara lain pencipta atau kejadian.
Dalam gramatika bahasa Arab, sumber kata fitrah wazannya fi'lah, yang artinya al-ibtida', yaitu menciptakan sesuatu tanpa contoh. Fi'lah dan fitrah adalah bentuk masdar (infinitif) yang menunjukkan arti keadaan. Demikian pula menurut Ibn al-Qayyim dan Ibnu Katsir, karena fiţir artinya menciptakan, maka fitrah berarti keadaan yang dihasilkan dari penciptaan itu. Menurut hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas, fitrah adalah awal mula penciptaan manusia. Sebab lafadz fitrah tidak pernah dikemukakan oleh al-Quran dalam konteksnya selain dengan manusia.
Fitrah manusia berbeda dengan watak atau tabi'at. Juga berbeda dengan naluri/garizah. Watak atau tabi'at adalah sifat dasar, seperti kalimat watak oksigen adalah mudah terbakar. Jadi watak adalah karakteristik yang terdiri dari pada bentuk, dan materi (mâddah). Inilah yang merupakan watak atau tabi'at suatu benda. Sedangkan naluri atau garizah adalah sifat dasar. Sifat dasar ini bukan muktasabah (bukan diperoleh). Misalnya, anak kuda begitu lahir langsung bisa berdiri. Semut, meskipun binatang kecil namun mampu mengumpulkan makanan. Inilah yang disebut naluri atau garizah. Dalam naluri tidak terdapat kesadaran yang penuh. Untuk binatang, fitrah ini disebut naluri. Fitrah sama dengan watak (tabi'at) dan naluri ini juga bukan diperoleh melalui usaha (muktasabah). Bukan pula karena khuduri (perolehan). Istilah fitrah lazimnya untuk manusia, naluri lazimnya untuk hewan, dan watak lazimnya untuk benda.
Penyebutan kata fitrah ini hanya satu ayat yang menunjukkan bentuk fitrah secara jelas, yaitu dalam surat al-Rûm ayat 30. Kata fitrah dalam ayat ini mempunyai beberapa arti. Dalam kamus Al-Munawwir, kata fitrah diartikan dengan naluri (pembawaan).[2]Kemudian Mahmud Yunus mengatakan, kata fitrah diartikan sebagai agama, ciptaan, perangai, kejadian asli[3]. Dalam Kamus Bahasa Indonesia (KBBI), kata fitrah diartikan dengan sifat asli, bakat, pembawaan perasaan keagamaan.[4]
Selain itu, Lusi Makluf mengatakan, kata fitrah diartikan dengan agama, sunnah, kejadian, tabiat. Kamus Indonesia-Inggris susunan John Echols dan Hasan Sadili, mengartikan fitrah dengan natural, tendency, disposition, character.[5]Dan Kamus Arab-Melayu mengartikan fitrah dengan agama, sunnah, mengadakan, perangai, semula jadi, kejadian (khilqatun).
Al-Qur’an mempergunakan katak fathir dalam banyak ayat untuk memberi pengertian sang Pencipta. Ayat-ayat Al-Qur’an ini dihubungkan dengan langit dan bumi. Kata kerja fathara juga banyak digunakan. Dalam ayat-ayat ini, langit dan bumi digunakan sebagai obyek kata kerja, sedangkan manusia sebagai obyek yang lain. Tidak ada yang dapat menemukan pengertian hakikiah tentang makna fithrah yang sesungguhnya. Sebab kata fatharayang digunakan secara sederhana disini berarti makhluk yang diciptakan. Namun dalam salah satu ayat fithrah ini menegaskan makna agama (din). Dalam surat Al-Rum kita baca:
فَأَقِمۡ وَجۡهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفٗاۚ فِطۡرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِي فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيۡهَاۚ لَا تَبۡدِيلَ لِخَلۡقِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلۡقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ ٣٠
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”
Ayat diatas menghubungkan makna fithrah dengan agama Allah (din). Hubungan fithrah dengan din tidak bertentangan, malah sebaliknya saling melengkapi keduanya.
Penekanan mengenai hakikat makna fithrah yang sesungguhnya secara lebih terperinci lagi, berasal dari ayat dibawah ini yang menandai bahwa, Allah telah membuat perjanjian kesaksian (amanat) dengan manusia agar berlaku adil dan baik hati. Dalam QS Al-A’raf (17): 172, Allah berfirman:
وَإِذۡ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِيٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمۡ ذُرِّيَّتَهُمۡ وَأَشۡهَدَهُمۡ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ أَلَسۡتُ بِرَبِّكُمۡۖ قَالُواْ بَلَىٰ شَهِدۡنَآۚ أَن تَقُولُواْ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ إِنَّا كُنَّا عَنۡ هَٰذَا غَٰفِلِينَ ١٧٢
”Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)"
Ayat diatas membuktikan bahwa Allah menjanjikan kepada manusia agar mengakui Allah ini illahnya dan sesembahannya
Ada sebuah penafsiran yang membatasi makna fitrah kepada tauhid. Hal ini didasarkan atas satu riwayat yang dikaitkan dengan Abdullah bin Abbas yang mampu memahami makna fitrah yang sesuungguhnya. Sehingga dua orang Badui yang berselisih pendapat tentang fithrah ini diriwayatkan sebagai berikut: salah seorang dari mereka berpendapat, bahwa apa yang dia maksudkan itu benar. Maka salah seorang mengabarkan kepada Abdullah bin Abbas yang mengatakan bahwa dia memiiliki kata fathara yang pengertian yang paling baik, karena orang yang pertama itulah yang mulai mencari-cari pengertian itu. Mempertahankan pandangan akan makna fithrah atau fathara dan fathir dalam benaknya, dan bahwa tauhid merupakan pokok utama agama, maka fithrah dan tauhid mengandung makna persis dan keduanya adalah sinonim.
Fithrah menurut penafsiran lain mengakui bahwa fithrah berarti bentuk yang diberikan kepada manusia pada saat penciptaannya dahulu. Adapun manusia harus mengarahkan fithrah itu kepada Iman Billah. Pandangan ini didasarkan kepada alasan Al-Qur’an. Ibnu Qayyim menyelipkan sebuah pernyataan: manusia menerima Islam itu adalah sama dengan jalan yang ditempuh seorang anak kecil yang menerima dan mengakui ibunya. Sesuai dengan pandangan ini, manusia bukanlah sudah Muslim semenjak lahirnya, melainkan telah dibekali potensi-potensi yang memungkinkannya menjadi Muslim.
Konsep fithrah dalam Al-Qur’an juga bertentangan dengan teori yang menganggap, manusia itu sesungguhnya suci bersih. Pendukung aliran Behariorisme dalam psikologi memandang bahwa manusia itu ketika dilahirkan tidak mempunyai kecenderungan baik maupun jahat. Teori yang seperti ini yang kemudian disebut dengan “teori Tabula Rasa”, lingkunganlah yang memainkan peranan dalam membentuk kepribadiannya. Menurut Skinner, “lingkungan menentukan kehidupan manusia ketika manusia ini melibatkan dirinya dengan lingkungan sekitar”, maka manusia buka warisan yang lebih dari refleksi-refleksi. Agama sebagaimana aspek-aspek lain dari tingkah laku manusia dapat diwujudkan ke dalam terma-terma mengenai faktor-faktor lingkungan sekitar.
Dalam pemikiran pendidikan Islam, fitrah penciptaan manusia merupakan diskursus yang banyak dibahas oleh para ahli, mengingat salah satu aspek pendidikan Islam adalah upaya menumbuhkembangkan potensi manusia yang dibawa sejak lahir. Potensi inilah yang dalam konteks pendidikan Islam disebut dengan fitrah. Ahmad Tafsir menegaskan bahwa fitrah adalah potensi. Potensi adalah kemampuan. Dalam hal ini fitrah dapat disebut sebagai pembawaan. Tafsir menghubungkan fitrah dengan hadits yang berbunyi:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةٍ, فَأَبَوَاهُيُهَوِّدَانِهِ أَوْيُنَصِّرَنِهِأَوْيُمَجِّسَانِهِ
Artinya: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua ayah dan ibunyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits Nabi diatas menekankan, bahwa fithrah yang dibawa semenjak lahir bagi anak itu sangat besar dipengaruhi oleh lingkungan. Fithrah itu sendiri tidak akan berkembang tanpa dipengaruhi kondisi lingkungan sekitar, yang mungkin dapat dimodifikasikan atau dapat diubah secara drastis manakala lingkungannya itu tidak memungkinkan menjadikannya lebih baik. Faktor-faktor eksteral bergabung dengan fitrah, sifat dasarnya bergantung pada sejauh mana interaksi eksternal dengan fitrah itu berperan. Sebaliknya, menurut pengamat behavioris, fitrah tidak mengharuskan manusia berusaha sekeras tenaga terhadap lingkungannya. Dua orang anak yang hidup dalam kondisi sama barngkali memberi respon terhadap setiap stimulus serupa dalam cara yang berbeda-beda atau dengan yang lain.
Teori yang menganggap manusia pada asalnya suci bersih seperti kertas putih, akan memberi peranan besar bagi pendidikan dan pengajaran. Pada mulanya anak kecil yang belum lahir itu tidak mempunyai unsur baik atau unsur jahat. Maka pengajaran yang efektiflah yang akan menghasilkan kepribadian sebagai mana dicita-citakan.
Konsep fithrah juga menuntut agar pendidikan Islam hanya bertujuan mengarahkan pendidikan demi terjalinnya ikatan kuat seorang manusia dengan Allah. Kendatipun para pelajar yang belajar di sekolah tidak bertentangan dengan prinsip mendasar ini. Percaya dan yakin bahwa manusia harus mengakui Allah karena fithrah manusia ini tidak dapat dipadukan dengan teori yang menganggap monoveisme sebagai suatu tingkatan perkembangan kepercayaan agama. Tauhid dengan demikian telah mempunyai esensi dari semua bentuk agama-agama yang ditunjukkan oleh Allah kepada manusia [6]
Berdasarkan beberapa pengertian tentang konsep fitrah sebagaimana tersebut di atas, maka secara umum makna fitrah bermacam-macam, di antaranya adalah: fitrah dalam artian kejadian awal, bentuk awal, kemampuan dasar, potensi dasar, suci, agama, ciptaan, dan perangai. Fitrah hanya diperuntukkan bagi manusia. Sedangkan bagi binatang, fitrah sama dengan naluri atau tabi'at.
al-Ghazali mengartikan bahwa fitrah merupakan dasar bagi manusia yang diperolehnya sejak lahir dengan memiliki keistimewaan-keistimewaan sebagai berikut:
- Beriman kepada Allah SWT;
- Kemampuan dan kesediaan untuk menerima kebaikan dan keturunan atau dasar kemampuan untuk menerima pendidikan dan pengajaran;
- Dorongan ingin tahu untuk mencari hakikat kebenaran yang berujud daya untuk berpikir;
- Dorongan biologis yang berupa syahwat, nafsu, dan tabiat;
- Kekuatan-kekuatan lain dan sifat-sifat manusia yang dapat dikembangkan dan dapat disempurnakan.
Sedangkan Ibnu Taymiyah sebagaimana dikutip oleh Muhaimin dan Abul Mujib menjelaskan pembagian fitrah manusia menjadi dua macam, yaitu:
- Fitrah al-Munāzzalah, yaitu fitrah luar yang masuk pada diri manusia. Fitrah ini berupa petunjuk al-Qur’an dan al-Sunnah yang digunakan sebagai kendali dan pembimbing bagi fitrah al-Garīzah.
2. Fitrah al-Garīzah, yaitu fiţrah inheren dalam diri manusia yang memberi daya akal, yang berguna untuk mengembangkan potensi dasar manusia.[7]
Dalam pendapat lain dinyatakan bahwa jebis fitrah itu memilik banyak dimensi, antar lain
1. Fitrah agama; sejak lahir, manusia mempunyai naluri atau insting beragama, insting yang mengakui adanya Dzat Yang Maha Pencipta dan Maha mutlak, yaitu Allah SWT. Sejak di alam ruh, manusia telah mempunyai komitmen bahwa Allah adalah Tuhannya (QS. Al-A’raf:172), sehingga ketika dilahirkan, ia berkecenderungan pada al-hanif, yakni rindu akan kebenaran mutlak (Allah) (QS. Ar-Rum:30)
2. Fitrah intelek; intelek adalah potensi bawaan yang mempunyai daya untuk memperoleh pengetahuan dan dapat membedakan antar yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah. Allah SWT sering memperingatkan manusia untuk menggunakan fitrah inteleknya, misalnya dengan kalimat: afal ta’qilun, afala tatafakkarun, afala tubshirun, afala tadabbarun, dan sebagainya, karena daya fitrah intelek ini yang dapat membedakan antara manusia dan hewan.
3. Fitrah Sosial; kecenderungan manusia untuk hidup berkelompok yang didalamnya terbentuk suatu ciri-ciri yang khas yang disebut dengan kebudayaan. Kebudayaan ini merupakan cermin manusia dan masyarakatnya. Islam dapat disebut sebagai ide, sedangkan kebudayaan disebut dengan realita. Riealita yang ideal adalah realita yang terdekat dengan ide, sehingga membentuk kebudayaan masyarakat yang islami. Walaupun wujud kebudayaan bermacam-macam dan bervariasi substansinya tidak menyalahi Islam. Oleh karena itu, tugas pendidikan disini adalah menjadikan kebudayaan Islam sebagai proses kurikulum pendidikan Islam dalam seluruh peringkat dan tahapannya.
4. Fitrah susila; kemampuan manusia untuk mempertahankan diri dari sifat-sifat amoral, atau sifat-sifat yang menyalahi tujuan Allah yang menciptakannya. Fitrah ini menolak sifat-sifat yang menyalahi kode etik yang telah disepakati oleh masyarakat Islam. Manusia yang menyalahi fitrah susilanya, akibatnya menjadi hina (QS al-Anfal:55, Al-A’raf: 179)
5. Fitrah ekonomi (mempertahankan hidup); daya manusia untuk mempertahankan hidupnya dengan upaya memberikan kebutuhan jasmaniah, demi kelangsungan hidupnya. Fitrah ekonomi tidak menghendaki adanya matrealisme atau diperbudak oleh materi bagi manusia, atau mengeksploitasi kekaaan alam untuk kepentingan diri pribadi. Maksud fitrah ini adalah memanfaatkan kekayaan alam sebagai realisasi dari tugas-tugas kekhalifahan dalam rangka beribadah kepada Allah SWT.
6. Fitrah seni; kemampuan manusia yang dapat menimbulkan daya estetika, yang mengacu pada sifat al-jamal Allah SWT. Tugas pendidikan yang terpenting adalah memberikan suasana gembira, senang dan aman dalam proses belajar mengajar, karena pendidikan merupakan proses kesenian, yang karenanya dibutuhkan seni mendidik.
7. Fitrah kemajuan, keadilan, kemerdekaan, kesamaan, ingin dihargai, kawin, cinta tanah air, dan kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya.
Semua kebutuhan kehidupan manusia merupakan fitrahnya yang menuntu untuk dipenuhi. Sayyid Quthub mengemukakan kebutuhan pokok manusia yang terbagi atas 4 macam, yaitu (1) kebutuhan hati nurani setiap insan untuk memperoleh kepuasan, ketentraman dan ketenangan, (2) kebutuhan akal pikiran setiap insan untuk memperoleh kebebasan, kemerdekaan dan kepastian, (3) kebutuhan perasaan setiap insan untuk memperoleh rasa saling pengertian, kasih sayang dan perdamaian; dan (4) kebutuhan hak dan kewajiban setiap insan untuk memperoleh perundang-undangan, ketertiban dan keadilan.
Menurut Abd al-Rahman al-Bani yang dikutip al-Nahlawi, tugas pendidikan Islam adalah menjaga dan memelihara fithrah peserta didik, mengembangkan dan mempersiapkan segala potensi yang dimiliki, dan mengarahkan fitrah dan potensi tersebut menuju kebaikan dan kesempurnaan, serta merealisasikan program tersebut secara bertahap.
Pengembangan berbagai potensi manusia (fitrah) dapat dilakukan dengan kegiatan belajar, yaitu melalui berbagai institusi. Belajar yang dimaksud tidak terfokus melalui pendidikan di sekolah saja, tetapi juga dapat dilakukan di luar sekolah, baik dalam keluarga, masyarakat maupun lewat institusi sosial keagamaan yang ada. Menurut pendapat ahli sosiologi, institusi-institusi sosial itu dapat dikelompokkan menjadi delapan macam, yaitu kelluarga, keagamaan, pengetahuan, ekonomi, politik, kebudayaan, keolahragaan, dan media massa. Setiap institusi ini mempunyai simbol, identitas fisik, dan nilai-nilai hidup yang menjadi pedoman perilaku anggotanya[8]
Tidak jauh berbeda dengan pengertian fitrah menurut al-Qur'an, maka pengertian fitrah menurut Sunnah tidak lepas dari penafsiran terhadap al-Qur'an surat al-Rûm ayat 30. Dari ayat tersebut timbul interpretasi sunnah terhadap beberapa pengertian fitrah , yaitu sebagai berikut:
Pengertian pertama dari fitrah menurut Sunnah adalah fitrah dalam artian suci. Fitrah dalam artian ini sebagaimana dikatakan oleh al-Auza'iy bahwa fitrah adalah kesucian dalam jasmani dan rohani manusia. Kesucian yang dimaksud adalah sebagaimana Hadits Rasulullah Saw:
خَمْسٌ مِّنَ الْفِطْرَةِ الْخِتَانُ وَاْلاِسْتِحْدَادُ وَقَصُّ الشَّارِبِ وَتَقْلِيْمُ اْلاَظَافِرِ وَنَتْفُ اْلإِبْطِ. )متفق عليه عن أبى هريرة(
Lima macam dalam kategori kesucian, yaitu berkhitan, memotong rambut, mencukur kumis, menghilangkan kuku, dan mencabut bulu ketiak. (H.R. Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah r.a.).
Kesucian yang dimaksud dalam konteks pendidikan Islam adalah, kesucian manusia dari dosa waris, atau dosa asal, sebagaimana dikatakan oleh Isma‘il Raji al-Faruqi: Manusia diciptakan dalam keadaan suci, bersih, dan dapat menyusun drama kehidupannya, tak peduli di lingkungan, masyarakat, keluarga macam apa pun dia dilahirkan. Islam menyangkat setiap gagasan mengenai dosa asal, dosa waris, dan tanggung jawab penebusan, serta keterlibatannya dalam kesukuan nasional ataupun internasional. Jadi, pengertian pertama fitrah menurut Sunnah adalah kesucian (ţuhr), yakni kesucian manusia sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT sejak awal, sehingga manusia tidak dibebani dosa warisan atau dosa asal sebagaimana diyakini oleh kaum Nasrani.
Pengertian fitrah kedua menurut Sunnah adalah fitrah berarti Islam (Dîn al- Islâm). Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Abu Hurairah r.a. bahwa yang dimaksud dengan fitrah adalah agama, sebagaimana Hadits Rasulullah SAW:
اَلاَ اُحَدِّثُكُمْ بِمَاحَدَّ ثَنِيَ اللهُ فِى كِـتَابِهِ اَنَّ اللهَ خَلَقَ اٰدَمَ وَبَنِيْهِ حُنَفَآءَ مُسْلِمِيْنَ.)رواه عياض بن خمار عن ابى هريرة(
“Bukankah aku telah menceritakan kepadamu pada sesuatu yang Allah menceritakan kepadaku dalam Kitab-Nya bahwa Allah menciptakan Adam dan anak cucunya untuk berpotensi menjadi orang-orang Islam”.
Oleh karena itu, anak kecil yang meninggal dunia akan masuk surga, karena ia dilahirkan dengan dîn al-Islâm walaupun ia terlahir dari keluarga non muslim.
Pengertian fitrah ketiga menurut Sunnah adalah fitrah berarti murni (al-ikhlaş). Hal ini sebagaimana dikatakan oleh al-Thabari bahwa manusia lahir dengan berbagai sifat, salah satu di antaranya adalah kemurnian (keikhlasan) dalam menjalankan suatu aktivitas. Pemkanaan ini didukung oleh Hadits Rasulullah SAW:
ثَلاَثٌ وَهِيَ الْمُنْجِيَاتُ اْلإِخْلاَصُ وَهِيَ فِطْرَةُ اللهِ الَّتِى فَطَرَالنَّاسَ عَلَيْهَا, وَالصَّلاَةُ وَهِيَ الْمِلَّةُ, وَالطَّاعَةُ وَهِيَ الْعِصْمَةُ.)رواه إبن حميدعن معاذ(
“Tiga perkara yang menjadikan selamat, yaitu ikhlash berupa fitrah Allah di mana manusia diciptakan darinya, shalat berupa agama, dan taat berupa benteng perniagaan. (H.R. Abu Hamid dari Mu'adz).”
Pengertian berikutnya dari fitrah menurut Sunnah adalah fitrah berarti ketetapan atau kejadian asal manusia mengenai kebahagiaan dan kesesatannya. Pendapat tersebut dipegangi oleh Ibnu Abbas, Ka‘ab bin Qurodli, Abu Sa‘id al-Khudriy dan Ahmad bin Hanbal. Pengertiannya adalah bahwa manusia lahir dengan ketetapannya, apakah ia nanti menjadi orang yang bahagia ataukah menjadi orang yang sesat. Semua itu bergantung pada ketetapan yang diperoleh sejak manusia itu lahir. Ketetapan manusia selanjutnya disebut dengan fitrah, yang tidak dapat dipengaruhi oleh kondisi eksogen apa pun termasuk pendidikan. Apabila ketetapan asalnya baik, proses kehidupannya akan selalu baik walaupun pada awal perbuatannya sesat. Demikian pula sebaliknya apabila ketetapan asalnya sesat, ia akan menjadi orang yang sesat walaupun ia beraktivitas seperti orang yang baik.
Selanjutnya Abu Sa‘id al-Khudriy menukil sebuah Hadits Rasulullah SAW yang artinya:
“Ingatlah bahwa anak cucu Adam tercipta atas enam tingkatan, yaitu: (1) Dilahirkan dalam keadaan mukmin, hidup sebagai seorang mukmin, dan matinya sebagai orang mukmin pula; (2) Dilahirkan dalam keadaan kafir, hidup sebagai orang kafir and matinya pun menjadi kafir; (3) Dilahirkan sebagai orang mukmin dan hidup menjadi seorang mukmin, tetapi matinya sebagai orang kafir; (4) Dilahirkan sebagai orang kafir, dan hidupnya menjadi orang kafir, tetapi matinya sebagai orang mukmin; (5) baik ketetapan hidupnya; dan (6) baik mata pencahariannya”. (HR. Abu Sa'id al-Khudriy).
Pengertian fitrah yang lainnya menurut Sunnah adalah berarti tabiat alami yang dimiliki manusia. Hal ini sebagaimana Hadits Rasulullah SAW:
لَيْسَ مِنْ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ حَتّىٰ يُعَبِّرَعَنْهُ لِسَانُهُ.)رواه مسلم عن معاوية(
“Tidaklah seorang anak dilahirkan kecuali tetap pada fitrahnya, sehingga lidahnya memalingkan padanya.” (HR. Muslim dari Mu'awiyah).
Dari hadits tersebut di atas dapat diketahui bahwa pengertian fitrah tersebut ialah suci atau potensi, bahwa manusia lahir dengan membawa perwatakan (tabiat) atau potensi yang berbeda-beda. Watak itu dapat berupa jiwa pada anak atau hati sanubarinya yang dapat menghantarkan pada ma'rifat kepada Allah. Sebelum mencapai usia baligh, seorang anak belum bisa membedakan antara iman dan kafir. Akan tetapi, dengan potensi fitrahnya, ia dapat membedakan antara iman dan kafir karena ujud fitrah adalah qalb (hati) dapat menghantarkan pada pengenalan kebenaran tanpa terhalang oleh apa pun, sedangkan syetan hanya dapat membisikkan kesesatan sewaktu anak telah mencapai usia akil balig.
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik benang merahnya, bahwa fitrah merupakan potensi dasar manusia yang memiliki sifat kebaikan dan kesucian untuk meneriman rangsangan (pengaruh) dari luar untuk mencapai kebenaran dan kesempurnaan. Walaupun fitrah manusia ini bukan satu-satunya potensi yang dimiliki, karena manusia juga memiliki potensi nafsu yang memiliki kecenderungan pada kejahatan, akan tetapi fitah ini perlu dikembangkan dan dilestarikan. Fitrah manusia ini dapat tumbuh dan berkembang secara wajar, apabila mendapat suplay yang dijiwai oleh wahyu. Hal ini tentu harus didorong dengan pemahaman terhadap Islam secara kaffah. Maka benar apa yang dikatakan oleh Abdullah, semakin tinggi tingkat interaksi seseorang kepada al-Islam, maka semakin baik pula perkembangan fitrahnya.[9]
C. Fitrah Manusia dari Perspektif Beberapa Agama
1. Agama Islam
Al-Qur’an menyebut manusia dengan tiga macam istilah, yaitu insan, basyar, dan bani Adam. Dua istilah yeng pertama yaitu insan dan basyar menunjukkan fitrah atau naluri manusia, yaitu pelupa dan memiliki perasaan. Sedang istilah ketiga, yakni bani Adam menunjukkan asal-usul kejadian manusia, yaitu dari Nabi Adam[10]
Manusia pertama yang dihidupkan di atas muka bumi ini oleh Allah SWT ialah Adam AS. Dalam Islam, manusia dikatakan berasal daripada tanah dan roh di mana unsur jasad dan roh telah disatukan untuk memberi nyawa kepada Adam AS. Zuriat bagi keturunan Adam AS pula bermula daripada nutfah. Nutfah bermaksud percantuman air mani lelaki di dalam rahim wanita. Yaitu percantuman daripada ovum dan sperma dimana dalam berjuta-juta sperma lelaki, sperma yang terkuat sahaja akan dapat memasuki ke dalam ovum wanita. Proses ini juga juga di kenali sebagai survival of the fittest. Dengan demikian dari pendapat di atas, dapat di ketahui bahwa agama islam lebih menekankan pada proses penciptaan manusia.
2. Agama Hindu
Dalam agama Hindu pada umumnya, konsep yang dipakai adalah monoteisme. Konsep tersebut dikenal sebagai filsafat Adwaita Wedanta yang bererti "tak ada duanya". Konsep ketuhanan dalam agama monoteistik lainnya, Adwaita Wedanta menganggap bahawa Tuhan merupakan pusat segala kehidupan di alam semesta, dan dalam agama Hindu, Tuhan dikenal dengan sebutan Brahman. Brahman merupakan pencipta sekaligus pelebur alam semesta. Brahman berada dimana-mana dan mengisi seluruh alam semesta. Brahman merupakan asal mula dari segala sesuatu yang ada di dunia. Segala sesuatu yang ada di alam semesta tunduk kepada Brahman tanpa kecuali. Menurut pendapat dari agama hindhu, fitrah lebih menekankan pada proses pengaturan alam semesta dan Tuhan (Brahman) yang mengaturnya.
3. Agama Budha
Konsep tentang kejadian bumi dan manusia menurut Buddha Dhamma agak unik. Di alam semesta ini bukan hanya ada bumi ini. Telah banyak bumi yang muncul dan hancur (kiamat). Manusia yang muncul pertama kali di bumi kita ini tidak seorang, tetapi banyak, dan mereka muncul bukan kerana kemahuan satu makhluk tertentu. Di dalam Agama Sutta, Digha Nikaya, Sutta Pitaka, Tipitaka, dapat dibaca bahawa bumi kita ini semuanya terdiri dari air dan gelap gelita. Makhluk-makhlukpun tidak dibedakan lelaki atau perempuan. Namun, mereka memiliki tubuh yang bercahaya dan hidup melayang-layang di angkasa. Setelah waktu lama sekali, tanah dengan sarinya muncul dari dalam air dan rasanya seperti madu tawon mumi. Makhluk-makhluk yang serakah (tamak) mulai mencicipi tanah itu, dan tergiur akan sari tersebut. Makhluk-makhluk yang lain juga mengikuti. Akibat kelakuannya itu, maka cahaya tubuh mereka lenyap, dan tampaklah matahari, bulan, bintang. Setelah masa yang lama sekali, tubuh mereka memadat dan bentuknya ada yang indah dan ada yang buruk sesuai dengan takaran mereka makan sari tanah. Mereka yang indah memandang rendah kepada orang yang bentuk tubuhnya jelek. Lama kelamaan sari tanah pun lenyap dan muncullah tumbuhan dari tanah. Sementara mereka sombong dan bongkak, tumbuhan ini lenyap dan muncul tumbuhan menjalar, dan demikian seterusnya setelah tumbuhan menjalar lenyap, muncullah tanaman padi. Setelah waktu yang lama sesuai dengan takaran mereka makan, maka tubuh mereka lebih memadat dan perbedaan bentuknya tampak lebih jelas. Dari kaca mata agama budha,lebih menjelaskan tentang proses kejadian langit dan bumi serta proses kejadian manusia.
4. Agama Kristianai
Kejadian manusia (Adam) menurut Pentateuch (Torah) Dalam Kitab Genesis, didapati manusia bukan ciptaan Tuhan yang pertama. Jika dirujuk teliti di dalam Kitab Genesis, didapati manusia bukan ciptaan Tuhan yang pertama. Secara umum, proses kejadian makhluk sebagaimana yang diuraikan dalam Kitab Genesis merangkumi enam hari.
Hari pertama Tuhan mencipta siang dan malam. Hari kedua tuhan mencipta air. Hari ketiga Tuhan mencipta tumbuhan. Hari keempat Tuhan mencipta makhluk-makhluk di daratan dan juga di lautan. Hari kelima Tuhan mencipta bintang di angkasa. Pada hari keenam, Tuhan mencipta manusia sebagaimana yang diungkapkan di dalam Genesis (1:26): “The God said, “Let Us make humankind in our image, according to our likeness and let them have dominion over the fish of the sea and over the birds of the air and over the cattle and over all the wild animals of the earth and over every creeping things that creeps upon earth”. Sedangkan pendapat dari agama kristiani, lebih menekankan pada penciptaan manusia.[11]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Fitrah merupakan potensi dasar manusia yang memiliki sifat kebaikan dan kesucian untuk meneriman rangsangan (pengaruh) dari luar untuk mencapai kebenaran dan kesempurnaan. Konsep fitrah menurut beberapa agama yaitu: 1) dari agama Islam lebih menekankan pada proses penciptaan manusia. 2) Menurut pendapat dari agama hindhu, fitrah lebih menekankan pada proses pengaturan alam semesta dan Tuhan (Brahman) yang mengaturnya. 3) Dari kaca mata agama budha,lebih menjelaskan tentang proses kejadian langit dan bumi serta proses kejadian manusia. 4) Sedangkan pendapat dari agama kristiani, lebih menekankan pada penciptaan manusia.
B. Saran
Sesungguhnya setiap orang mempunyai potensi yang berbeda, tinggal bagaimana diri kita mengaplikasikan potensi tersebut agar menjadi hal yang bermanfaat bagi perkembangan diri kita dan lingkungan sekitar. Kembangkanlah potensi-potensi yang dianugrahkan oleh Allah SWT kepada kita agar nantinya potensi tersebut bisa berkembang dengan baik
[2]Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawir, Kamus Arabi-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), ed. ke-2, hlm.1063
[3]Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Penafsir Al-Qur'an, 1393/1973), cet. ke-1, hlm. 319
[4]WJS Purwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), cet. ke-12, hlm. 202.
[5]John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Indonesia-Inggris (Jakarta: Gramedia, 1994), cet. ke-1, hlm.164.
[6] Abdurrahman, Saleh Abdullah, Teori-teori pendidikan berdasarkan Al-Qur’an,(Jakarta:Rineka Cipta, 2005) hal. 64
[7]http://kuliahnyata.blogspot.com.au/2013/07/konsep-fitrah-dalam-al-quran_8004.html di akses pada tanggal 1 oktober 2015 pada pukul 20.26
[8] Mujib, Abdul& Mudzakir, Yusuf, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup), 2008. Hal. 55
[9]http://kuliahnyata.blogspot.com.au/2013/07/konsep-fitrah-dalam-al-quran_8004.html di akses pada tanggal 1 oktober 2015 pada pukul 20.26
[10] Alim, Muhammad, Pendidikan Agama Islam, Upaya Pembentukan Pemikiran Dan Kepribadian Muslim (Bandung: Remaja Rosdakarya), 2006, hal. 68
[11] http://baihaqi-annizar.blogspot.co.id/2015/03/fitrah-manusia.html diakses pada tanggal 1 oktober 2015 pada jam 20.27
No comments:
Post a Comment