Pencarian

Tuesday, September 12, 2017

Makalah Ajaran Tarekat Syadziliyah



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Abu Hasan al-Syadzili merupakan salah satu seorang pendiri tarekat yang dalam tarekatnya mempunyai ciri khusus yang berbeda dengan tarekat-tarekat yang lain. Keberadaan tarekatnya di Indonesia merupakan salah satu dari beberapa tarekat yang banyak pengikutnya dan termasuk tarekat yang muktabarah. Selain itu, banyak sekali kitab-kitab tasawuf yang dikajinya dan di ajarkan kepada murid-muridnya.
Sehingga peranan Abu al-Hasan al-Syadzili dalam dunia tasawuf adalah termasuk seorang tokoh sufi yang mengajarkan ketasawufan dalam bentuk tarekat. Keberadaannya sangat dikenal baik dalam masalah tasawuf maupun masalah tarekat. Hal itu terbutkti dengan tarekatnya dikenal dengan tarekat Syadiliyyah sesuai  dengan nama dibelakangnya. Oleh karena itu, semoga makalah ini mampu menambah wawasan tasawuf dan tarekat, baik dalam tokoh, ajaran, dll.

B.     Rumusan Masalah
1.      Biografi Abu al-Hasan al-Syadzili
2.      Ajaran Tarekat Syadziliyah
3.      Pengaruh Ajaran Tarekat Syadziliyah
4.      Perkembangan dan Aliran-aliran/Cabang-cabangnya Tarekat Syadziliyah

 
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Abu al-Hasan al-Syadzili dan Lahirnya Tarekat Syadziliyyah
Tarekat Syadziliyyah tak dapat dilepaskan hubungannya dengan pendirinya, yaitu Abu al-Hasan al-Syadzili. Selanjutnya nama tarekat ini dinisbatkan kepada namanya Syadziliyah yang mempunyai ciri khusus yang berbeda dengan tarekat-tarekat yang lain. Secara lengkap nama pendirinya adalah ‘Ali bin Abdullah bin Abd. Al Jabbar Abu al-Hasan al-Syadzili. Silsilah keturunannya mempunyai hubungan dengan orang-orang garis keturunan Hasan bin Ali bin Abi Thalib, dan bearti keturunan siti Fatimah, anak perempuan dari Rasulullah SAW. Al-syadzili sendiri pernah menuliskan silsilah keturunannya sebagai berikut : Ali bin Abullah bin Abd. Jabar bin Yusuf bin Ward bin Batthal bin ahmad bin Muhammad bin Isa bin Muhammad bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib[1].
Menurut Ibn Athaillah, ada perbedaan pendapat mengenai nasab Abu al-Hasan al-Syadzili. Murid-murid dan para pencintanya menasabkannya kepada orang-orang terhormat dan menyatukan nasabnya kepada al-hasan bin Abi Thalib, meskipun mereka masih berbeda pendapat tentang nama nenek moyangnya apakah al-hasan atau al-Husain?. Ada yang menasabkannya kepada al-hasan. Al-jami’ misalnya, menasabkan al-Syadzili kepada al-Husain bin Abi Thalib, dan bukan kepada al-Hasan bin Abi Thalib.

Beliau dilahirkan di desa Ghumara, dekat Ceuta saat ini, di utara Maroko pada tahun 573 H, pada saat dinasti al-muwahiddin mencapai titik nadinya. Adapun mengenai tahun kelahiran al-Syadzili sebenarnya masih belum ada kesepakatan. Beberapa penulis berbeda pendapat, antara lain sebagai berikut: Siraj al-Din al-Hafsh menyebut tahun kelahirannya 591 H./1069 M., Ibn Sabbah menyebutnya 583 H./1187 M.,dan J.Spencer Trimingham mencatat tahun kelahirannya al-Syadzili 593 H./1196 M. Pendidikan Abu al-Hasan al-Syadzili dimulai dari kedua orang tuanya, dan kemudian dilanjutkan kependidikan lebih lanjut, yang mana di antara guru kerohaniannya adalah ulama besar Abd al-Salam Ibn Masyisy (w.628 H./1228 M.), yang juga dikenal sebagai “Quthb dari Quthb para wali” seperti halnya Syekh Abd al-Qadir al-Jailani (w.561 H./1166 M.). Setelah al-syadzili belajar lama di Tunis, ia pergi ke negara-negara Islam sebelah timur, di antaranya mengunjungi Makkah dan melaksanakan ibadah haji beberapa kali, kemudian dari sana ia bertolak ke Irak. Dengan demikian, al-Syadzili mempunyai dua guru spiritual, karena sebelumnya telah mendapatkan pendidikan dai Abdullah Ibn Kharazim (w.633 H./1236 M.).

B.     Ajaran Tarekat Syadziliyah
Tarekat berasal dai bahasa arab “at-Thariqah” yang berarti jalan. Akantetapi tarekat yang dimaksud disini adalah jalan yang ditempuh para sufi untuk dapat dekat dengan Allah. Sedangkan menurut Syekh  Muhammad Amin Kurdi mendefinisikan tarekat sebagai berikut :
1.      Tarekat adalah pengamalan syari’at dan (dengan tekun) melaksanakan ibadah dan menjauhkan (diri) dari (sikap) mempermudah pada apa yang memang tidak boleh dipermudah.
2.      Tarekat adalah menjauhi larangan-larangan, baik yang lahir maupun yang batin dan menjunjung tinggi perintah-perintah Tuhan menurut kadar kemampuan. Sedangkan tarekat menurut Harun Nasution bahwa tarekat yang berasal dari kata “thariqah” adalah jalan yang harus ditempuh oleh seorang calon sufi agar ia berada sedekat mungkin dengan Allah. Thariqah juga mengandung arti organisasi (tarekat), yang mempunyai Syekh, upacara ritual dan bentuk dzikir tertentu[2].
Dengan demikian, ada dua pengertian dua tarekat :
1.      Tarekat sebagai pendidikan kerohanian yang dilakukan oleh orang-orang yang menjalani kehidupan tasawuf untuk mencapai tingkat kerohanian tertentu. Tarekat dalam arti ini adalah dari sisi amaliah.
2.      Tarekat sebagai sebuah perkumpulan atau organisasi yang di dirikan menurut aturan yang telah ditetapkan oleh seorang Syekh yang menganut suatu aliran tarekat tertentu. Dalam organisasi itulah, seorang Syekh mengajarkan amalan-amalan (tasawuf) menurut aliran tarekat yang di anutnya, kemudian di amalkan oleh para muridnya secara bersama-sama disuatu tempat yang disebut ribath, zawiyah atas taqiyah. Gurunya disebut mursyid atau Syekh. Dan wakilnya disebut khalifah.

Tarekat Syadziliyah muncul di belahan dunia Islam barat menuju Mesir, dan dari Mesir menyebar keberbagai macam penjuru kawasan Islam. Berdasarkan sumber yang ada, tarekat ini mucul pada kurun ke 7 Hijriah tepatnya sekitar tahun 642 H. dan cenderung beraliran Suni. Dalam buku Tasawuf Islam karya Abu Wafa al-Ghanimi al-taftazani, bahwa tasawuf syadzili, Mursi dan Abu Athoillah merupakan pondasi-pondasi madrasah Syadziliyah yang jauh dari pemikiran madrasah Ibnu Arabi dan aliran tasawuf wahdatul wujud-nya. Tak satupun dari ketiga orang tersebut yang mengatakan tentang pemikiran wahdatul wujud itu. Di saatt mereka jauh dengan Ibnu Arabi, ternyata mereka sangat dekat dengan tasawuf al-Ghazali yang berpegangan pada al-kitab dal al-sunnah.
Dalam buku tersebut juga dikemukakan perkataan-perkataan Syadzili dan Mursi yang diriwayatkan oleh Ibnu Athoilah dalam Lataiful Manan  untuk menjelaskan posisi al-Ghazali dalam hati mereka semua, sebab mereka menyerukan kepada murid-muridnya untuk mengambil pelajaran dari al-Ghazali. Salah stunya adalah perkataan Syadzali kepada muridnya : “ Jika engkau ingin mengadukan kebutuhannmu kepada Allah, maka berwasilah (mengambil perantara) menujunya melalui Imam Abu Hamid al-Ghazali”. Kemudian ia juga berkata dengan nada memberikan sebuah nasehat : “Kitab Ihya’ akan mewariskan kepadamu keilmuan kitab”Qut” (milik al-Makki) akan mewariskan kepadamu sebuah cahaya. Abu Abas al-Mursi juga berkata tentang al-Ghazali: “Aku menyaksikannya dalam ingatan kejujuran (shadiq) yang amat agung”.
Ajaran-ajaran dalam tarekat Syadzaliyah bisa diringkas di dalam lima prinsip, yaitu:
1.      Takwa kepada Allah di dalam kerahasiaan maupun di tempat terbuka.
2.      Mengikuti sunnah dalam perkataan dan perbuatan.
3.      Memalingkan diri dari makhluk di dalam kerahasiaan maupun tidak.
4.      Ridla terhadap Allah dalam hal yang sedikit maupun banyak.
5.      Kembali kepada Allah di saat senang maupun susah.

Selain itu, salah satu ajaran-ajarannya yang terkemuka adalah menghilangkan prediksi (tadbir). Ini merupakan dasar yang membangun keseluruhan tarekat, dan sekaligus sebagai titik tolak yang dipahami secara mendalam oleh Ibnu Athaillah dan dijadikannya alirannya dalam tasawuf[3]. Dalam buku karya Annemarie Schimmel  dalam bukunya yang berjudul “Dimensi Misstik dalam Islam” menjelaskan bahwa dalam tarekatnya, Syadzili tidak menekankan perlunya tapabrata atau kehidupan menyendiri dan juga tidak menganjurkan bentuk-bentuk dzikir tertentu yang disuarakan lantang. Setiap anggota tarekat wajib mewujudkan semangat tarekat di dalam kehidupan dan lingkungannya sendiri. Anggota tarekat Syadziliyah tidak diharapkan mengemis atau mendukung kemiskinan.
Sebaliknya, sumber-sumber Mesir abad ke-14 dan ke-15 mengisahkan bagaimana tiap anggota tarekat ini menonjol dalam kerapian pakaian mereka, berbeda dengan sufi-sufi lainnya yang memenuhi jalan-jalan kairo. Syadziliyah bahkan tidak memiliki sistim teori mistik yang mantap. Ciri Khas tarekat ini adalah bahwa seorang anggota tarekat ini pasti ditakdirkan untuk menjadi anggota tarekat ini sejak alam baka dan mereka percaya bahwa quth atau pemimpin hirarki rohani akan senantiasa menjadi anggota tarekat ini.
Abu al-Hasan al-Syadzili sedikit sekali meninggalkan tulisan. Kecenderungannya menulis surat-surat perintah rohani di ambil alih oleh para pengikutnya yang kesohor. Doa besar yang disusunnya, berjudul Hizb al-Bahr, menjadi salah satu tulisan pengabdian yang paling dikenal. Ibn Batuta menggunakan doa tersebut di dalam perjalanan-perjalanan panjangnya dan tampaknya berhasil.[4] Dalam buku Tarekat-tarekat Muktabarah karya Sri Mulyati menyatakan bahwa al-Syadzili tidak menuliskan ajaran-ajarannya dalam sebuah kitab karya tulis, di antara sebab-sebabnya adalah karena kesibukannya melakukan pengajaran-pengajaran terhadap muridnya yang sangat banyak dan sesungguhnya ilmu-ilmu tarekat itu adalah ilmu hakikat, oleh karena itulah akal manusia tidak mampu menerimanya.
Ajaran-ajarannya dapat diketahui dari para muridnya misalnya tulisan Ibn Athaillah al-Iskandari. Ketika al-syadzili ditanya perihal mengapa ia tak mau menuliskan ajaran-ajarannya, maka ia menjawa, “Kutubi Ashabi” yang artinya “kitab-kitabku adalah sahabatku.
Adapu pemikiran-pemikran tarekat al-syadziliyah adalah sebagai berikut:
1.        Tidak menganjurkan kepada murid-muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan, dan kendaraan yang layak dalam kehidupan sederhana yang akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah SWT. Dan mengenal rahmat ilahi. Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur, dan berlebih-lebuihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman.
2.        Tidak mengabaikan dalam menjalankan syariat Islam. Ia adalah salah satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir searah dengan al-Ghazali, yaitu suatu tasawuf yang berlandaskan kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, mengarah pada asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs), dan pembinaan moral (akhlaq),suatu tasawuf yang di nilai cukup moderat.
3.        Zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati dari selain Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak kenal puas. Semua itu hanyalah permainan (al-la’b),dan senda gurau (al-lahw) yang akan melupakan Allah.
4.        Tidak ada larangan bagi salik  untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimilikinya. Seorang salik  boleh tetap mencari harta kekayaan,namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi hamba dunia, tiada kesedihan ketika harta hilang dan tiada kesenangan berlebihan ketika harta datang.
5.        Berusaha merespon apa yang sedang mengancam kehidupan ummat, berusaha menjembatani antara kekeringan sepiritual yang dialami oleh banyak orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik. Al-syadzili menawarkan tasawuf positif yang ideal dalam arti bahwa disamping berupaya mencari “langit”, juga harus beraktifitas dalam realitas sosial di “bumi’’ ini.  Beraktifitas sosial demi kemaslahatan umat adalah  bagian integral dari hasil kontemlasi.
6.        Tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah SWT. Tasawuf memiliki empat aspek penting yaitu, berakhlak dengan akhlak Allah SWT, senantiasa melakukan perintah-perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsu serta berupaya selalu bersama dan berkenalan dengan-Nya secara sungguh-sungguh.
7.        Dalam kaitannya dengan al-ma’rifah (gnosis), al-Syadzili berpendapat bahwa ma’rifat adalah salah satu tujuan ahli tarekat atau tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan. Pertama adalah mawahib atau ‘ain al-jud (sumber kemurahan Tuhan) yaitu tuhan memberikannya dengan tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberikan anugerah tersebut. Kedua, adalah imakasib atau badzi al-majhud yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh melalui usaha keras, melalui ar-riyadhah, mulazamah, al-dzikir, mulazamah al-wudlu’, puasa, shalat sunnah dan amal shaleh lainnya.

Antara al-Ghazali dan al-Syadzili di samping memiliki beberapa persamaan, juga memiliki sedikit perbedaan yaitu dalam hal upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Apabila al-Ghazali lebih menekankan pada riyadhah al-badan atau latihan yang berhubungan dengan fisik yang mengharuskan adanya musyaqqah, misalnya bangun malam, lapar, dan lain-lain. Maka al-Syadzili lebih menekankan pada riyadhah al-qulub tanpa menekankan senang (al-farh), rela (al-ridla) dan selalu bersyukur (al-syukr) atas nikmat Allah.


C.    Pengaruh Ajaran Tarekat Abu al-Hasan al-Syadzil
Tarekat Syadziliyah mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam alam Islam. Ia tersebar luas di seluruh kawasan, dan sampai hingga Andalusia. Tokoh-tokoh yang paling terkemuka adalah Ibn Ibad Randi yang meninggal tahun 7 90 H., Ia merupakan komentator al-Hikam  Ibnu Athaillah. Di samping Mesir sebagai basis pengikutnya, ajaran tarekat ini tersebar luas ke Timur hingga mencapai Melayu, Afrika Barat, dan Negara-negara Islam lainnya. Al-Syadzili tidak meninggalkan karya-karya dalam ilmu tasawuf, begitu juga dengan murinya Abu Abas al-Mursi. Semua perkataan-perkataan keduanya tentang tasawuf, doa-doa, hizib-hizib, dan juga wasiat-wasiatnya, dikumpulkan oleh Ibnu Athaillah dan sekaligus ia adalah orang yang menulis biografi keduana. Sehingga dengan cara begitu, terjagalah peninggalan tarekat Syadzaliyah[6].
Jadi tarekat Syadziliyah berkembang dari bentuk yang sederhana, namun lebih ecstatik dibanding tarekat Qadhariyah. Sempalan dari tarekat ini di antaranya tarekat Isawiyah. Dimana tarekat Isawiyah terkenal karena zikirnya disertai latihan kekebalan, yaitu dengan goresan pedang. Abu al-Hasan al-Syadzili hanya menulis kumpulan doa yang berjudul hizb al Bahr. Namun amalan dan kehidupan para penganut tarekat ini sangat mengutamakan pengendalian diri dan ketenangan batin. Hal ini nampak karya dua orang guru penganut tarekat Syadziliyah ini, yaitu Tajudin ibnu Atha’illah al-Iskandari (w.1309 M.) yang mengarang kitab al-Hikam dan Lathaif al-Minan, Ibnu ‘Abbad dari Ronda yang jadi pensyarah kitab al-Hikam. Kitab al-Hikam ini juga terkenal di pondok-pondok pesantren di Indonesia.
Kemudian bagi mereka yang mempelajari tasawuf dan terbiasa dengan lagu-lagu penuh kata berbunga yang mempesonakan dari penyair-penyairmistik Persia, akan menemukan bahwa di dalam tulisan Syadzili terdapat suatu ketenangan yang merupakan kecenderungan penyair baghdad. Hal ini dapat dimengerti apabila kita liat sumber yang dipacu oleh anggota tarekat ini: Kitab ar-riya’ tulisan Muhasibi. Kitab ini berisi telaah Psikologis mendalam mengenai Islam di masa awal. Acuan berikutnya adalah Quth al-qulub karya Maki dan Ihya ‘ulum ad-din tulisan al-Ghazali. Ciri ketenangan ini juga merupakan ciri dari dua orang guru tarekat ini, Ibn Athaillah al-Iskandariah Ibn Abbad dari Ronda. Kedua guru ini kemudian hari menjadi tokoh menonjol dalam sejarah tasawuf[7].
Mengenai pengaruh al-syadzili kepada Ibn Athaillah, tampaknya dimungkinkan melalui duacara, yaitu melalui al-Mursi dan hizb-hizb yang ditinggalkan al-Syadzili. Melalui dua cara inilah, Ibn Athaillah mewarisi ajaran sepiritual al-Syadzili. Secar sederhana bis adikatakan bahwa tulisan-tulisan Ibn Athaillah pada dasarnya adalah ajaran-ajaran al-Syadzili karena ia adalah pengikut dan pewaris al Syadzili, meski sudah tentu terdapat kekhasan tersendiri dala uraian-uraian atau tulisan-tulisan Ibn Athaillah.
Para tokoh Syadziliyah pada awalnya tidak hanya menaruh perhatian pada pengajaran dan praktik tasawuf tetapi juga terhadap masalah –masalah akidah dan hukum Islam. Hal ini karena al-syadzili sangat menekankan pentingnya pengetahuan agama bagi para pengikutnya. Mereka bermadzhab Sunni dan sekalipun tasawuf sendiri tidak menaruh perhatian pada dogma-dogma teologis, mereka cenderung untuk memilih madzhab Asy’ariyyah dalam bidang ilmu kalam. Namun madzhab Asy’ariyyah yang mereka ikuti kemungkinan besar yang sudah dipengaruhi oleh ajaran-ajaran al-Ghazali  (w.505 H/1111 M.)yang turut memberikan konstribusi  pada madzhab itu dan mengubah watak aslinya.

D.    Perkembangan dan Aliran-aliran/Cabang-cabangnya Tarekat Syadziliyah
Dalam perkembangannya, selanjutnya muncul cabang-cabang dalam tarekat Syadzilyah. Pada abad ke-8 H./14 M. di Mesir muncul sebuah cabang yang akhirnya dinamakan Wafaiyyah, yang di dirikan oleh Syams al-Din Muhammad bin Ahmad Wafa (w.760 H./1359 M.) yang juga dikenal dengan Bahr al-Shafa, ayah dari tokoh terkenal Ali Ibn Wafda (w.807 H/1404 M. Disamping cabang  itu, muncul cabang-cabang lainnya yaitu hanafiyyah, Jazuliyyah, Isawiyyah, Tihamiyyah, Darqawiyyah, dan sebagainya. Mereka muncul akibat penyesuaian dan adptasi kembali pesan-pesan asli tarekat Syadziliyyah. Kemunculan mereka seringkali disebabkan oleh tuntutan lingkungan sosial yang membutuhkan respons dalam hubungannya dengan para sufi[8].
Berdasarkan ajaran yang diturunkan al-Syadzili kepada muridnya, kemudian terbentuklah tarekat yang dinisbatkan kepadanya, yaitu tarekat Syadziliyah. Tarekat ini berkembang pesat antara lain di Tunisia, Mesir, Al-jazair, Sudan, Suriah dan Semenanjung Arabia, juga di Indonesia (khususnya) di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tarekat Syadziliyah memulai keberadaannya dibawah salah satu dinasti al-Muwahhidun, yaitu Hafsiyyah di Tunisia. Tarekat ini kemudian berkembang dan tumbuh subur di Mesir dan Timur Dekat di bawah kekuasaan dinasti Mamluk.
Dalam hal ini yang menarik, sebagaimana dicatat oleh Victor Danner-peneliti Tarekat Syadziliyyah-adalah bahwa meskipun tarekat ini berkembang pesat di daerah Timur (Mesir), namun awal perkembangannya adalah dari Barat (Tunisia). Dengan demikian, peran daerah maghrib dalam kehidupan spiritual tidak sedikit. Menurut Danner, perannya sejak abad ke-7 H./13 M. Sangatlah jelas.
Banyak tokoh sufi yang sezaman dengan al-Syadzili yang menetap di Timur, misalnya Abu Madyan Syu’aib al-Maghribi (w. 594 H./1197 M.), Ibn al-Arabi (w.638 H./1240 M.) Abd as-Salam Ibn Masyisy (w. 625 H./1228 M.) Ibn Sab’in (w. 669 H./1271 M.) dan as-Syusyturi (w. 688 H./1270 M.) itu berasal dari daerah Maghrib.  Walaupun dasar-dasar tasawuf Maghribi itu berasal dari Timur sebagai asal muasal Islam itu sendiri, namun kecerdasan muslim daerah Barat, gaya hidupnya, seni kaligrafinya, arsitektur masjidnya, juga madzhab Malikinya, telah ada sejak generasi Islam awal. Ciri umum ini mendapat penguatan bersamaan dengan berdirinya dinasti Abasiyyah pada abad ke-2 H./8 M. Dan mulai mengembangkan kebiasaannya sendiri. Inilah atsmosfir yang melatarbelakangi berdirinya tarekat Syadziliyah pada abad ke-7 H/13 M., yang mengembangkan kebebasan berpikir, kemajuan ilmu pengetahuan, peradaban dan perekonomian.
Kemudian pergerakan tarekat Syadziliyah dari maghribi ke Timur merupakan sebuah uapaya penguatan kembali semangat tasawuf di daerah Timur, khususnya di wilayah Arab. Ini berartitarekat Syadziliyah memerankan peranan penting di tengah kemunduran umat Islam. Oleh karena itu, tarekat ini tumbuh dan berkembang di wilayah perkotaan (Tunisia dan Alexandria) tetapi kemudian juga memilki pengikut yang luas di daerah pedesaan. Bergabungnya tokoh terkenal daerah Maghribi pada abad ke-10 H./16 M., Ali al-Shanhaji dan Muridnya Abd al-rahman al Majdzub adalah bukti dari pernyataan tersebut. Sejak dahulu tarekat ini telah di ikuti oleh sejumlah intelektual terkenal, misalnya ulama terkenal abad ke-9 H./15 M., Jalal al-Din al-Suyuti.
Sepeninggalal al-Syadzili, kepemimpinan tarekat in i di teruskan oleh Abu al-Abbas al-Mursi yang ditunjuk langsung oleh al-Syadzili. Nama lengkapnya adalah Ahmad Ibn Umar ibn Ali al-Anshari al-Mursi, terlahir di Murcia, Spanyol pada 616 H./1219 M. Dan meninggal pada 686 H./1287 M., di Alexandria.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Abu Hasan al-Syadzili adalah salah seorang tokoh sufi yang garis nasabnya sampai kepada Rasulullah SAW. Pendidikannya Beliau mulai dari kedua orang tuanya, kemudian kepada tokoh-tokoh sufi yang kemudian menjadikan namanya terkenal dalam alam Islam khususnya dalam aliran Tasawuf.  Ajaran Tasawufnya, beliau lakukan melalui tarekat yang merupakan jalan bagi seorang Sufi dapat dekat dengan Allah SWT. Tarekat yang beliau ajarkan dikenal dengan tarekat Syadziliyah yang tersebar luas di seluruh dunia Islam, baik Barat maupun Timur dan bahkan di Indonesia.
Ajaran dari tarekat Syadziliyah ini tidaklah berbelit-belit, kepada setiap murid, kecuali meninggalkan perbuatan maksiat, mereka diwajibkan memelihara kewajiban ibadah dan melaksanakan ibadah-ibadah sunnah sekuat-kuatnya. Tarekat ini juga terkenal dengan hizbnya, di antaranya adalah Hizb al-Mubarak, Hizb al-Syifa’, Hizb al-Hujb.
Tarekat ini berkembang pesat di Tunisia, Mesir, Aljazair, Sudan dan Semenanjung Arabia. Juga di Indonesia khususnya di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Thariqoh Syadzilliyah ini terkenal dengan hizib-hizibnya yang dipercayai mempunyai kekuatan magic, dan di antara hizib-hizibnya ada beberapa hizib yang terkenal. Salah satunya hizb al-bahr, dan daerah kekuasaannya meliputi Afrika Utara, Mesir, Kenya, Tunisia Tengah, Sri Lanka, Indonesia dan beberapa tempat di Amerika Utara.

B.     Saran
Segala kekurangan tentunya terdapat dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami mengharapkan kepada teman-teman koreksi dan sarannya terhadap makalah ini. Harapan kami semoga dengan adanya koreksi dan saran dari teman-teman, kedepannya makalah kami lebih baik dan lebih bermanfaat. Amin yaa Robbal ‘Aalamin.

DAFTAR PUSTAKA


Abu Rabi, Ibrahim M. The Mystical Teachings of al-Shadzili. New York: State University of New York Press, 1993.

al-Taftazani, Abu al-Wafa al-Ghanimi. Al-Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islam. Sufi dari Zaman ke Zaman. Terj. Ahmad Rofi Usman. Jakarta: Penerbit Pustaka, 1985.

Arberry, A.J. Sufism an Account of The Mystics of Islam. London: George Allen and Unwin Ltd., 1979.

Haeri, Syekh Fadhlalla. The Elements of Sufism. New York: Element Inc, 1993.

Ibn al-Sabbagh. The Mystical Teaching of al-Syadzili, Durrat al-Asrar wa Tuhfat al-Abrar. Terj. Elmer H. Douglas. New York: State University of New York Press.

Lings, Martin. Syekh Ahmad Alawy, A Sfi Saint of the Twentieth Century. London: George Allen and Unwin Ltd., 1971.

No comments:

Pencarian isi Blog