BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Abu Hasan al-Syadzili merupakan
salah satu seorang pendiri tarekat yang dalam tarekatnya mempunyai ciri khusus
yang berbeda dengan tarekat-tarekat yang lain. Keberadaan tarekatnya di
Indonesia merupakan salah satu dari beberapa tarekat yang banyak pengikutnya
dan termasuk tarekat yang muktabarah. Selain itu, banyak sekali kitab-kitab
tasawuf yang dikajinya dan di ajarkan kepada murid-muridnya.
Sehingga peranan Abu al-Hasan
al-Syadzili dalam dunia tasawuf adalah termasuk seorang tokoh sufi yang
mengajarkan ketasawufan dalam bentuk tarekat. Keberadaannya sangat dikenal baik
dalam masalah tasawuf maupun masalah tarekat. Hal itu terbutkti dengan
tarekatnya dikenal dengan tarekat Syadiliyyah sesuai dengan nama dibelakangnya. Oleh karena itu,
semoga makalah ini mampu menambah wawasan tasawuf dan tarekat, baik dalam
tokoh, ajaran, dll.
B. Rumusan Masalah
1.
Biografi Abu al-Hasan al-Syadzili
2.
Ajaran Tarekat Syadziliyah
3.
Pengaruh Ajaran Tarekat Syadziliyah
4.
Perkembangan dan Aliran-aliran/Cabang-cabangnya
Tarekat Syadziliyah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Abu al-Hasan al-Syadzili dan
Lahirnya Tarekat Syadziliyyah
Tarekat Syadziliyyah tak dapat
dilepaskan hubungannya dengan pendirinya, yaitu Abu al-Hasan al-Syadzili.
Selanjutnya nama tarekat ini dinisbatkan kepada namanya Syadziliyah yang
mempunyai ciri khusus yang berbeda dengan tarekat-tarekat yang lain. Secara lengkap
nama pendirinya adalah ‘Ali bin Abdullah bin Abd. Al Jabbar Abu al-Hasan
al-Syadzili. Silsilah keturunannya mempunyai hubungan dengan orang-orang garis
keturunan Hasan bin Ali bin Abi Thalib, dan bearti keturunan siti Fatimah, anak
perempuan dari Rasulullah SAW. Al-syadzili sendiri pernah menuliskan silsilah
keturunannya sebagai berikut : Ali bin Abullah bin Abd. Jabar bin Yusuf bin
Ward bin Batthal bin ahmad bin Muhammad bin Isa bin Muhammad bin Hasan bin Ali
bin Abi Thalib[1].
Menurut Ibn Athaillah, ada
perbedaan pendapat mengenai nasab Abu al-Hasan al-Syadzili. Murid-murid dan
para pencintanya menasabkannya kepada orang-orang terhormat dan menyatukan
nasabnya kepada al-hasan bin Abi Thalib, meskipun mereka masih berbeda pendapat
tentang nama nenek moyangnya apakah al-hasan atau al-Husain?. Ada yang
menasabkannya kepada al-hasan. Al-jami’ misalnya, menasabkan al-Syadzili kepada
al-Husain bin Abi Thalib, dan bukan kepada al-Hasan bin Abi Thalib.
Beliau dilahirkan di desa Ghumara,
dekat Ceuta saat ini, di utara Maroko pada tahun 573 H, pada saat dinasti
al-muwahiddin mencapai titik nadinya. Adapun mengenai tahun kelahiran
al-Syadzili sebenarnya masih belum ada kesepakatan. Beberapa penulis berbeda
pendapat, antara lain sebagai berikut: Siraj al-Din al-Hafsh menyebut tahun
kelahirannya 591 H./1069 M., Ibn Sabbah menyebutnya 583 H./1187 M.,dan
J.Spencer Trimingham mencatat tahun kelahirannya al-Syadzili 593 H./1196 M. Pendidikan
Abu al-Hasan al-Syadzili dimulai dari kedua orang tuanya, dan kemudian dilanjutkan
kependidikan lebih lanjut, yang mana di antara guru kerohaniannya adalah ulama
besar Abd al-Salam Ibn Masyisy (w.628 H./1228 M.), yang juga dikenal sebagai
“Quthb dari Quthb para wali” seperti halnya Syekh Abd al-Qadir al-Jailani
(w.561 H./1166 M.). Setelah al-syadzili belajar lama di Tunis, ia pergi ke
negara-negara Islam sebelah timur, di antaranya mengunjungi Makkah dan
melaksanakan ibadah haji beberapa kali, kemudian dari sana ia bertolak ke Irak.
Dengan demikian, al-Syadzili mempunyai dua guru spiritual, karena sebelumnya
telah mendapatkan pendidikan dai Abdullah Ibn Kharazim (w.633 H./1236 M.).
B. Ajaran Tarekat Syadziliyah
Tarekat berasal dai bahasa arab
“at-Thariqah” yang berarti jalan. Akantetapi tarekat yang dimaksud disini
adalah jalan yang ditempuh para sufi untuk dapat dekat dengan Allah. Sedangkan
menurut Syekh Muhammad Amin Kurdi
mendefinisikan tarekat sebagai berikut :
1.
Tarekat adalah pengamalan syari’at dan (dengan
tekun) melaksanakan ibadah dan menjauhkan (diri) dari (sikap) mempermudah pada
apa yang memang tidak boleh dipermudah.
2.
Tarekat adalah menjauhi larangan-larangan, baik
yang lahir maupun yang batin dan menjunjung tinggi perintah-perintah Tuhan
menurut kadar kemampuan. Sedangkan tarekat menurut Harun Nasution bahwa tarekat
yang berasal dari kata “thariqah” adalah jalan yang harus ditempuh oleh seorang
calon sufi agar ia berada sedekat mungkin dengan Allah. Thariqah juga
mengandung arti organisasi (tarekat), yang mempunyai Syekh, upacara ritual dan
bentuk dzikir tertentu[2].
Dengan
demikian, ada dua pengertian dua tarekat :
1.
Tarekat sebagai pendidikan kerohanian yang
dilakukan oleh orang-orang yang menjalani kehidupan tasawuf untuk mencapai
tingkat kerohanian tertentu. Tarekat dalam arti ini adalah dari sisi amaliah.
2.
Tarekat sebagai sebuah perkumpulan atau
organisasi yang di dirikan menurut aturan yang telah ditetapkan oleh seorang
Syekh yang menganut suatu aliran tarekat tertentu. Dalam organisasi itulah,
seorang Syekh mengajarkan amalan-amalan (tasawuf) menurut aliran tarekat yang
di anutnya, kemudian di amalkan oleh para muridnya secara bersama-sama disuatu
tempat yang disebut ribath, zawiyah atas taqiyah. Gurunya disebut mursyid atau
Syekh. Dan wakilnya disebut khalifah.
Tarekat Syadziliyah muncul di belahan dunia Islam barat menuju Mesir,
dan dari Mesir menyebar keberbagai macam penjuru kawasan Islam. Berdasarkan
sumber yang ada, tarekat ini mucul pada kurun ke 7 Hijriah tepatnya sekitar
tahun 642 H. dan cenderung beraliran Suni. Dalam buku Tasawuf Islam karya Abu
Wafa al-Ghanimi al-taftazani, bahwa tasawuf syadzili, Mursi dan Abu Athoillah
merupakan pondasi-pondasi madrasah Syadziliyah yang jauh dari pemikiran
madrasah Ibnu Arabi dan aliran tasawuf wahdatul wujud-nya. Tak satupun dari
ketiga orang tersebut yang mengatakan tentang pemikiran wahdatul wujud itu. Di
saatt mereka jauh dengan Ibnu Arabi, ternyata mereka sangat dekat dengan
tasawuf al-Ghazali yang berpegangan pada al-kitab dal al-sunnah.
Dalam buku tersebut juga dikemukakan perkataan-perkataan Syadzili dan
Mursi yang diriwayatkan oleh Ibnu Athoilah dalam Lataiful Manan untuk menjelaskan posisi al-Ghazali dalam
hati mereka semua, sebab mereka menyerukan kepada murid-muridnya untuk mengambil
pelajaran dari al-Ghazali. Salah stunya adalah perkataan Syadzali kepada
muridnya : “ Jika engkau ingin mengadukan kebutuhannmu kepada Allah, maka
berwasilah (mengambil perantara) menujunya melalui Imam Abu Hamid al-Ghazali”.
Kemudian ia juga berkata dengan nada memberikan sebuah nasehat : “Kitab Ihya’
akan mewariskan kepadamu keilmuan kitab”Qut” (milik al-Makki) akan mewariskan
kepadamu sebuah cahaya. Abu Abas al-Mursi juga berkata tentang al-Ghazali: “Aku
menyaksikannya dalam ingatan kejujuran (shadiq) yang amat agung”.
Ajaran-ajaran dalam tarekat Syadzaliyah bisa diringkas di dalam lima
prinsip, yaitu:
1.
Takwa kepada Allah di dalam kerahasiaan maupun
di tempat terbuka.
2.
Mengikuti sunnah dalam perkataan dan perbuatan.
3.
Memalingkan diri dari makhluk di dalam
kerahasiaan maupun tidak.
4.
Ridla terhadap Allah dalam hal yang sedikit
maupun banyak.
5.
Kembali kepada Allah di saat senang maupun
susah.
Selain itu, salah satu ajaran-ajarannya yang terkemuka adalah
menghilangkan prediksi (tadbir). Ini merupakan dasar yang membangun keseluruhan
tarekat, dan sekaligus sebagai titik tolak yang dipahami secara mendalam oleh
Ibnu Athaillah dan dijadikannya alirannya dalam tasawuf[3]. Dalam buku karya Annemarie Schimmel dalam bukunya yang berjudul “Dimensi Misstik
dalam Islam” menjelaskan bahwa dalam tarekatnya, Syadzili tidak menekankan
perlunya tapabrata atau kehidupan menyendiri dan juga tidak menganjurkan
bentuk-bentuk dzikir tertentu yang disuarakan lantang. Setiap anggota tarekat
wajib mewujudkan semangat tarekat di dalam kehidupan dan lingkungannya sendiri.
Anggota tarekat Syadziliyah tidak diharapkan mengemis atau mendukung
kemiskinan.
Sebaliknya, sumber-sumber Mesir abad ke-14 dan ke-15 mengisahkan
bagaimana tiap anggota tarekat ini menonjol dalam kerapian pakaian mereka,
berbeda dengan sufi-sufi lainnya yang memenuhi jalan-jalan kairo. Syadziliyah
bahkan tidak memiliki sistim teori mistik yang mantap. Ciri Khas tarekat ini
adalah bahwa seorang anggota tarekat ini pasti ditakdirkan untuk menjadi
anggota tarekat ini sejak alam baka dan mereka percaya bahwa quth atau pemimpin
hirarki rohani akan senantiasa menjadi anggota tarekat ini.
Abu al-Hasan al-Syadzili sedikit sekali meninggalkan tulisan.
Kecenderungannya menulis surat-surat perintah rohani di ambil alih oleh para pengikutnya
yang kesohor. Doa besar yang disusunnya, berjudul Hizb al-Bahr, menjadi salah
satu tulisan pengabdian yang paling dikenal. Ibn Batuta menggunakan doa
tersebut di dalam perjalanan-perjalanan panjangnya dan tampaknya berhasil.[4]
Dalam buku Tarekat-tarekat Muktabarah karya Sri Mulyati menyatakan bahwa
al-Syadzili tidak menuliskan ajaran-ajarannya dalam sebuah kitab karya tulis,
di antara sebab-sebabnya adalah karena kesibukannya melakukan
pengajaran-pengajaran terhadap muridnya yang sangat banyak dan sesungguhnya
ilmu-ilmu tarekat itu adalah ilmu hakikat, oleh karena itulah akal manusia
tidak mampu menerimanya.
Ajaran-ajarannya dapat diketahui dari para muridnya misalnya tulisan
Ibn Athaillah al-Iskandari. Ketika al-syadzili ditanya perihal mengapa ia tak
mau menuliskan ajaran-ajarannya, maka ia menjawa, “Kutubi Ashabi” yang artinya
“kitab-kitabku adalah sahabatku.
Adapu pemikiran-pemikran tarekat al-syadziliyah adalah sebagai
berikut:
1.
Tidak menganjurkan kepada murid-muridnya untuk
meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian,
makanan, dan kendaraan yang layak dalam kehidupan sederhana yang akan
menumbuhkan rasa syukur kepada Allah SWT. Dan mengenal rahmat ilahi.
Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur, dan
berlebih-lebuihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman.
2.
Tidak mengabaikan dalam menjalankan syariat
Islam. Ia adalah salah satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir
searah dengan al-Ghazali, yaitu suatu tasawuf yang berlandaskan kepada
al-Qur’an dan al-Sunnah, mengarah pada asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa
(tazkiyah al-nafs), dan pembinaan moral (akhlaq),suatu tasawuf yang di nilai
cukup moderat.
3.
Zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena
pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati dari selain Tuhan. Dunia yang
dibenci para sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia.
Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan yang tak
kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak kenal puas. Semua itu hanyalah permainan
(al-la’b),dan senda gurau (al-lahw) yang akan melupakan Allah.
4.
Tidak ada larangan bagi salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya,
asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimilikinya. Seorang
salik boleh tetap mencari harta kekayaan,namun
jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi hamba dunia, tiada
kesedihan ketika harta hilang dan tiada kesenangan berlebihan ketika harta
datang.
5.
Berusaha merespon apa yang sedang mengancam
kehidupan ummat, berusaha menjembatani antara kekeringan sepiritual yang
dialami oleh banyak orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap
pasif yang banyak dialami para salik. Al-syadzili menawarkan tasawuf positif
yang ideal dalam arti bahwa disamping berupaya mencari “langit”, juga harus
beraktifitas dalam realitas sosial di “bumi’’ ini. Beraktifitas sosial demi kemaslahatan umat
adalah bagian integral dari hasil
kontemlasi.
6.
Tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka
ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah SWT. Tasawuf memiliki
empat aspek penting yaitu, berakhlak dengan akhlak Allah SWT, senantiasa
melakukan perintah-perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsu serta berupaya
selalu bersama dan berkenalan dengan-Nya secara sungguh-sungguh.
7.
Dalam kaitannya dengan al-ma’rifah (gnosis),
al-Syadzili berpendapat bahwa ma’rifat adalah salah satu tujuan ahli tarekat
atau tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan. Pertama adalah mawahib atau
‘ain al-jud (sumber kemurahan Tuhan) yaitu tuhan memberikannya dengan tanpa
usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberikan anugerah
tersebut. Kedua, adalah imakasib atau badzi al-majhud yaitu ma’rifat akan dapat
diperoleh melalui usaha keras, melalui ar-riyadhah, mulazamah, al-dzikir,
mulazamah al-wudlu’, puasa, shalat sunnah dan amal shaleh lainnya.
Antara al-Ghazali dan al-Syadzili di samping memiliki beberapa
persamaan, juga memiliki sedikit perbedaan yaitu dalam hal upaya untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Apabila al-Ghazali lebih menekankan pada
riyadhah al-badan atau latihan yang berhubungan dengan fisik yang mengharuskan
adanya musyaqqah, misalnya bangun malam, lapar, dan lain-lain. Maka al-Syadzili
lebih menekankan pada riyadhah al-qulub tanpa menekankan senang (al-farh), rela
(al-ridla) dan selalu bersyukur (al-syukr) atas nikmat Allah.
C. Pengaruh Ajaran Tarekat Abu al-Hasan
al-Syadzil
Tarekat Syadziliyah mempunyai
pengaruh yang sangat besar dalam alam Islam. Ia tersebar luas di seluruh
kawasan, dan sampai hingga Andalusia. Tokoh-tokoh yang paling terkemuka adalah
Ibn Ibad Randi yang meninggal tahun 7 90 H., Ia merupakan komentator
al-Hikam Ibnu Athaillah. Di samping
Mesir sebagai basis pengikutnya, ajaran tarekat ini tersebar luas ke Timur
hingga mencapai Melayu, Afrika Barat, dan Negara-negara Islam lainnya. Al-Syadzili
tidak meninggalkan karya-karya dalam ilmu tasawuf, begitu juga dengan murinya
Abu Abas al-Mursi. Semua perkataan-perkataan keduanya tentang tasawuf, doa-doa,
hizib-hizib, dan juga wasiat-wasiatnya, dikumpulkan oleh Ibnu Athaillah dan
sekaligus ia adalah orang yang menulis biografi keduana. Sehingga dengan cara
begitu, terjagalah peninggalan tarekat Syadzaliyah[6].
Jadi tarekat Syadziliyah
berkembang dari bentuk yang sederhana, namun lebih ecstatik dibanding tarekat
Qadhariyah. Sempalan dari tarekat ini di antaranya tarekat Isawiyah. Dimana
tarekat Isawiyah terkenal karena zikirnya disertai latihan kekebalan, yaitu
dengan goresan pedang. Abu al-Hasan al-Syadzili hanya menulis kumpulan doa yang
berjudul hizb al Bahr. Namun amalan dan kehidupan para penganut tarekat ini
sangat mengutamakan pengendalian diri dan ketenangan batin. Hal ini nampak
karya dua orang guru penganut tarekat Syadziliyah ini, yaitu Tajudin ibnu
Atha’illah al-Iskandari (w.1309 M.) yang mengarang kitab al-Hikam dan Lathaif
al-Minan, Ibnu ‘Abbad dari Ronda yang jadi pensyarah kitab al-Hikam. Kitab
al-Hikam ini juga terkenal di pondok-pondok pesantren di Indonesia.
Kemudian bagi mereka yang
mempelajari tasawuf dan terbiasa dengan lagu-lagu penuh kata berbunga yang
mempesonakan dari penyair-penyairmistik Persia, akan menemukan bahwa di dalam
tulisan Syadzili terdapat suatu ketenangan yang merupakan kecenderungan penyair
baghdad. Hal ini dapat dimengerti apabila kita liat sumber yang dipacu oleh
anggota tarekat ini: Kitab ar-riya’ tulisan Muhasibi. Kitab ini berisi telaah
Psikologis mendalam mengenai Islam di masa awal. Acuan berikutnya adalah Quth
al-qulub karya Maki dan Ihya ‘ulum ad-din tulisan al-Ghazali. Ciri ketenangan
ini juga merupakan ciri dari dua orang guru tarekat ini, Ibn Athaillah al-Iskandariah
Ibn Abbad dari Ronda. Kedua guru ini kemudian hari menjadi tokoh menonjol dalam
sejarah tasawuf[7].
Mengenai pengaruh al-syadzili
kepada Ibn Athaillah, tampaknya dimungkinkan melalui duacara, yaitu melalui
al-Mursi dan hizb-hizb yang ditinggalkan al-Syadzili. Melalui dua cara inilah,
Ibn Athaillah mewarisi ajaran sepiritual al-Syadzili. Secar sederhana bis
adikatakan bahwa tulisan-tulisan Ibn Athaillah pada dasarnya adalah
ajaran-ajaran al-Syadzili karena ia adalah pengikut dan pewaris al Syadzili,
meski sudah tentu terdapat kekhasan tersendiri dala uraian-uraian atau
tulisan-tulisan Ibn Athaillah.
Para tokoh Syadziliyah pada awalnya
tidak hanya menaruh perhatian pada pengajaran dan praktik tasawuf tetapi juga
terhadap masalah –masalah akidah dan hukum Islam. Hal ini karena al-syadzili
sangat menekankan pentingnya pengetahuan agama bagi para pengikutnya. Mereka
bermadzhab Sunni dan sekalipun tasawuf sendiri tidak menaruh perhatian pada
dogma-dogma teologis, mereka cenderung untuk memilih madzhab Asy’ariyyah dalam
bidang ilmu kalam. Namun madzhab Asy’ariyyah yang mereka ikuti kemungkinan
besar yang sudah dipengaruhi oleh ajaran-ajaran al-Ghazali (w.505 H/1111 M.)yang turut memberikan
konstribusi pada madzhab itu dan
mengubah watak aslinya.
D. Perkembangan dan
Aliran-aliran/Cabang-cabangnya Tarekat Syadziliyah
Dalam perkembangannya, selanjutnya
muncul cabang-cabang dalam tarekat Syadzilyah. Pada abad ke-8 H./14 M. di Mesir
muncul sebuah cabang yang akhirnya dinamakan Wafaiyyah, yang di dirikan oleh
Syams al-Din Muhammad bin Ahmad Wafa (w.760 H./1359 M.) yang juga dikenal
dengan Bahr al-Shafa, ayah dari tokoh terkenal Ali Ibn Wafda (w.807 H/1404 M.
Disamping cabang itu, muncul
cabang-cabang lainnya yaitu hanafiyyah, Jazuliyyah, Isawiyyah, Tihamiyyah,
Darqawiyyah, dan sebagainya. Mereka muncul akibat penyesuaian dan adptasi
kembali pesan-pesan asli tarekat Syadziliyyah. Kemunculan mereka seringkali
disebabkan oleh tuntutan lingkungan sosial yang membutuhkan respons dalam
hubungannya dengan para sufi[8].
Berdasarkan ajaran yang diturunkan
al-Syadzili kepada muridnya, kemudian terbentuklah tarekat yang dinisbatkan
kepadanya, yaitu tarekat Syadziliyah. Tarekat ini berkembang pesat antara lain
di Tunisia, Mesir, Al-jazair, Sudan, Suriah dan Semenanjung Arabia, juga di
Indonesia (khususnya) di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tarekat
Syadziliyah memulai keberadaannya dibawah salah satu dinasti al-Muwahhidun,
yaitu Hafsiyyah di Tunisia. Tarekat ini kemudian berkembang dan tumbuh subur di
Mesir dan Timur Dekat di bawah kekuasaan dinasti Mamluk.
Dalam hal ini yang menarik,
sebagaimana dicatat oleh Victor Danner-peneliti Tarekat Syadziliyyah-adalah
bahwa meskipun tarekat ini berkembang pesat di daerah Timur (Mesir), namun awal
perkembangannya adalah dari Barat (Tunisia). Dengan demikian, peran daerah
maghrib dalam kehidupan spiritual tidak sedikit. Menurut Danner, perannya sejak
abad ke-7 H./13 M. Sangatlah jelas.
Banyak tokoh sufi yang sezaman
dengan al-Syadzili yang menetap di Timur, misalnya Abu Madyan Syu’aib
al-Maghribi (w. 594 H./1197 M.), Ibn al-Arabi (w.638 H./1240 M.) Abd as-Salam
Ibn Masyisy (w. 625 H./1228 M.) Ibn Sab’in (w. 669 H./1271 M.) dan as-Syusyturi
(w. 688 H./1270 M.) itu berasal dari daerah Maghrib. Walaupun dasar-dasar tasawuf Maghribi itu
berasal dari Timur sebagai asal muasal Islam itu sendiri, namun kecerdasan
muslim daerah Barat, gaya hidupnya, seni kaligrafinya, arsitektur masjidnya,
juga madzhab Malikinya, telah ada sejak generasi Islam awal. Ciri umum ini
mendapat penguatan bersamaan dengan berdirinya dinasti Abasiyyah pada abad ke-2
H./8 M. Dan mulai mengembangkan kebiasaannya sendiri. Inilah atsmosfir yang
melatarbelakangi berdirinya tarekat Syadziliyah pada abad ke-7 H/13 M., yang
mengembangkan kebebasan berpikir, kemajuan ilmu pengetahuan, peradaban dan
perekonomian.
Kemudian pergerakan tarekat
Syadziliyah dari maghribi ke Timur merupakan sebuah uapaya penguatan kembali
semangat tasawuf di daerah Timur, khususnya di wilayah Arab. Ini berartitarekat
Syadziliyah memerankan peranan penting di tengah kemunduran umat Islam. Oleh
karena itu, tarekat ini tumbuh dan berkembang di wilayah perkotaan (Tunisia dan
Alexandria) tetapi kemudian juga memilki pengikut yang luas di daerah pedesaan.
Bergabungnya tokoh terkenal daerah Maghribi pada abad ke-10 H./16 M., Ali
al-Shanhaji dan Muridnya Abd al-rahman al Majdzub adalah bukti dari pernyataan
tersebut. Sejak dahulu tarekat ini telah di ikuti oleh sejumlah intelektual
terkenal, misalnya ulama terkenal abad ke-9 H./15 M., Jalal al-Din al-Suyuti.
Sepeninggalal al-Syadzili, kepemimpinan
tarekat in i di teruskan oleh Abu al-Abbas al-Mursi yang ditunjuk langsung oleh
al-Syadzili. Nama lengkapnya adalah Ahmad Ibn Umar ibn Ali al-Anshari al-Mursi,
terlahir di Murcia, Spanyol pada 616 H./1219 M. Dan meninggal pada 686 H./1287
M., di Alexandria.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Abu Hasan al-Syadzili adalah salah
seorang tokoh sufi yang garis nasabnya sampai kepada Rasulullah SAW.
Pendidikannya Beliau mulai dari kedua orang tuanya, kemudian kepada tokoh-tokoh
sufi yang kemudian menjadikan namanya terkenal dalam alam Islam khususnya dalam
aliran Tasawuf. Ajaran Tasawufnya,
beliau lakukan melalui tarekat yang merupakan jalan bagi seorang Sufi dapat
dekat dengan Allah SWT. Tarekat yang beliau ajarkan dikenal dengan tarekat
Syadziliyah yang tersebar luas di seluruh dunia Islam, baik Barat maupun Timur
dan bahkan di Indonesia.
Ajaran dari tarekat Syadziliyah
ini tidaklah berbelit-belit, kepada setiap murid, kecuali meninggalkan
perbuatan maksiat, mereka diwajibkan memelihara kewajiban ibadah dan
melaksanakan ibadah-ibadah sunnah sekuat-kuatnya. Tarekat ini juga terkenal
dengan hizbnya, di antaranya adalah Hizb al-Mubarak, Hizb al-Syifa’, Hizb
al-Hujb.
Tarekat ini berkembang pesat di
Tunisia, Mesir, Aljazair, Sudan dan Semenanjung Arabia. Juga di Indonesia
khususnya di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Thariqoh Syadzilliyah ini
terkenal dengan hizib-hizibnya yang dipercayai mempunyai kekuatan magic, dan di
antara hizib-hizibnya ada beberapa hizib yang terkenal. Salah satunya hizb
al-bahr, dan daerah kekuasaannya meliputi Afrika Utara, Mesir, Kenya, Tunisia
Tengah, Sri Lanka, Indonesia dan beberapa tempat di Amerika Utara.
B. Saran
Segala kekurangan tentunya terdapat
dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami mengharapkan kepada teman-teman
koreksi dan sarannya terhadap makalah ini. Harapan kami semoga dengan adanya
koreksi dan saran dari teman-teman, kedepannya makalah kami lebih baik dan
lebih bermanfaat. Amin yaa Robbal ‘Aalamin.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Rabi, Ibrahim M. The Mystical Teachings of al-Shadzili. New York:
State University of New York Press, 1993.
al-Taftazani, Abu al-Wafa al-Ghanimi. Al-Madkhal ila al-Tasawwuf
al-Islam. Sufi dari Zaman ke Zaman. Terj. Ahmad Rofi Usman. Jakarta: Penerbit
Pustaka, 1985.
Arberry, A.J. Sufism an Account of The Mystics of Islam. London:
George Allen and Unwin Ltd., 1979.
Haeri, Syekh Fadhlalla. The Elements of Sufism. New York: Element Inc,
1993.
Ibn al-Sabbagh. The Mystical Teaching of al-Syadzili, Durrat al-Asrar
wa Tuhfat al-Abrar. Terj. Elmer H. Douglas. New York: State University of New
York Press.
Lings, Martin. Syekh Ahmad Alawy, A Sfi Saint of the Twentieth
Century. London: George Allen and Unwin Ltd., 1971.
No comments:
Post a Comment