Pencarian

Monday, October 10, 2011

SEJARAH, PERKEMBANGAN DAN FILOSOFIS MUHAMMADIYAH

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum, W r. Wb.
Segala puji bagi Allah,atas berkat rahmat dan hidayahnya sehingga penulis menyelesaikan dan menyusun makalah ini. Makalah ini berjudul “ GERAKAN KEBANGKITAN DAN PEMBARUAN ISLAM DI INDIA DAN PAKISTAN ”. Makalah ini disusun dan dikembangkan sebagai bagian dalam rangka memenuhi salah satu tugas mata pelajaran agama.
Dalam pembuatan makalah ini, penulis telah banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu dalam kata pengantar ini penulis ingin menyampaikan  banyak terima kasih,  kepada pihak yang telah membantu baik bantuan yang berupa materi maupun bantuan yang berupa dukungan moril.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis harapkan kritik dan saran yang sangat penting demi kesempurnaan makalah ini dari para pembaca sekalian.
Akhir kata penulis mengharapkan semoga Allah SWT, membalas budi baik kepada kita semua. Amin Ya Rabbal Allamin.
Wassalamuailaikum, Wr. Wb.


     Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Bulan Dzulhijjah (8 Dzulhijjah 1330 H) atau November (18 November 1912 M) merupakan momentum penting lahirnya Muhammadiyah. Itulah kelahiran sebuah gerakan Islam modernis terbesar di Indonesia, yang melakukan perintisan atau kepeloporan pemurnian sekaligus pembaruan Islam di negeri berpenduduk terbesar muslim di dunia. Sebuah gerakan yang didirikan oleh seorang kyai alim, cerdas, dan berjiwa pembaru, yakni Kyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis dari kota santri Kauman Yogyakarta.

1.2    Pembahasan Masalah
Kelahiran dan keberadaan Muhammadiyah pada awal berdirinya tidak lepas dan merupakan menifestasi dari gagasan pemikiran dan amal perjuangan Kyai Haji Ahmad Dahlan (Muhammad Darwis) yang menjadi pendirinya. Setelah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan bermukim yang kedua kalinya pada tahun 1903, Kyai Dahlan mulai menyemaikan benih pembaruan di Tanah Air. Gagasan pembaruan itu diperoleh Kyai Dahlan setelah berguru kepada ulama-ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah seperti Syeikh Ahmad Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kyai Fakih dari Maskumambang; juga setelah membaca pemikiran-pemikiran para pembaru Islam seperti Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha.
Dengan modal kecerdasan dirinya serta interaksi selama bermukim di Ssudi Arabia dan bacaan atas karya-karya para pembaru pemikiran Islam itu telah menanamkan benih ide-ide pembaruan dalam diri Kyai Dahlan. Jadi sekembalinya dari Arab Saudi, Kyai Dahlan justru membawa ide dan gerakan pembaruan, bukan malah menjadi konservatif.
BAB II
SEJARAH, PERKEMBANGAN DAN FILOSOFIS MUHAMMADIYAH

2.1    Sejarah Muhammadiyah
Muhammadiyah sering disebut sebagai gerakan pembaharuan sosio religius. Hal ini cukup beralasan, walaupun Muhammadiyah sendiri tidak merumuskan dirinya sebagai gerakan itu. Alasan utama bagi sebutan tersebut adalah karena Muhammadiyah telah banyak berperan penting dalam perubahan kehidupan sosial keagamaan di Indonesia sejak awal berdirinya.Persyarikatan Muhammadiyah sudah dikenal sejak bebarapa puluh tahun yang lalu, organisasi Muhammadiyah adalah salah satu organisasi Islam yang ada di Indonesia.
Muhammadiyah berdiri pada tanggal 18 November 1912 bertepatan dengan tanggal  Dzuhijjah 1330 Hijriah. Perintis berdirinya Muhammadiyah adalah K.H. Ahmad Dahlan, beliau lahir di kampong Kauman, Yogyakarta pada tahu 1868 Masehi dengan Nama Muhammad Darwis. Ayahnya adalah K.H Abu Bakar seorang khatib Masjid besar kesultanan Yogyakarta yang apabila di lacak silsilahnya sampai kepada Maulana Malik Ibrahim. Ibunya bernama Siti Aminah, putri K.H. Ibrahim, penghulu Kesultanan Yogyakarta. K.H. Ahmad Dahlan mendapat pendidikan Islam sejak kecil yang dididik oleh ayahnya sendiri yaitu, K.H. Abu Bakar. Pendidikan Dahlan mengikuti pola pendidikan tradisional yang diawali dengan mempelajari Al-Qur’an, kemudian dilanjutkan dengan cara mempelajari kitab-kitab fiqih, Nahwu, tafsir dan sebagainya di Lembaga-lembaga sekitar Yogyakarta.
Pada tahun 1980, K.H. Ahmad Dahlan mengerjakan haji ke Mekkah disamping itu beliau juga melanjutkan pelajaran dikota suci selama tiga tahun dengan dua kali kunjungan  pertama tahun 1890, sedangkan kunjungan kedua tahun 1902 M.21 Muhammadiyah sebagai kelompok ”Islamic-Modernism”, yang lebih terfokus bergerak membangun “Islamic society” (masyarakat Islam) daripada perhatian terhadap “Islamic state” (negara Islam); yang fokus gerakannya pada bidang pendidikan, kesejahteraan sosial, serta tidak menjadi organisasi politik kendati para anggotanya tersebar di berbagai partai politik. berdasarkan pengalaman pengetahuan Islam yang didapat K.H. Ahmad dahlan merupakan landasan pemikirannya untuk mendirikan organisasi yang bernafaskan Islam yang bernama Muhammadiyah.
Pada Mulanya Muhammadiyah hanyalah sebuah kelompok kecil yang mempunyai misi agak bertentangan dengan kebiasaan-kebiasaan penduduk bumiputera. Kelompok yang terdiri dari orang-orang yang penuh pengabdian serta mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi atas tersebarnya apa yang mereka yakini sebagai ajaran yang benar dari Nabi Muhammad SAW dan dalam rangka peningkatan kehidupan keagamaan mereka. Pandangan modernis tersebut berbeda dengan pandangan sekular yang memisahkan agama secara diametral dari negara atau sebaliknya pandangan fundamentalisme-Islam yang menghimpitkan secara sama sebangun antara agama dan negara.
Pandangan Muhammadiyah ini dalam konteks sejarah Indonesia menjadi penting selain ikut menyelesaikan ketegangan antara Islam dan negara sebagaimana terjadi pada awal kemerdekaan dalam peristiwa Piagam Jakarta, sekaligus memberikan solusi keagamaan dalam kenegaraan yakni menjadikan Indonesia sebagai format negara yang sah yang berdasarkan Pancasila dan memiliki legitimasi secara teologis dan sosiologis yang kuat untuk menjadi lahan persemaian baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur tanpa harus menjadi negara Islam sebagaimana butir terakhir pernyataan Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah dan salah satu poin dari Kepribadian Muhammadiyah.
Bagi kaum reformis-modernis tidak terbatas pada persoalan-prsoalan ritual-ubudiyah, tetapi juga meliputi semua aspek kehdupan sosal kemasyarakatan. Selain itu kaum reformis-modernis menerima perubahan berkaitan dengan persoalan-persoalan sosial; memiliki orientasi waktu ke depan serta menekankan progran jangka panjang; bersikap rasional dalam melihat persoalan; mudah menerim pengalaman baru; memiliki mobilitas tinggi; toleran; mudah menyesuaikan dengan lingkungan baru.
Pada awal abad keduapuluh sikap ini terlihat pada kaum modernis Muslim yang menerima sebagian unsur budaya Barat modern dalam program sosial dan pendidikan mereka. Mereka ini berkeyakinan bahwa dari manapun asalnya ide atau gagasan itu, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam, adalah diperbolehkan. Modernisme atau reformisme yang ditampilkan Muhammadiyah sedikit berbeda dari arus reformisme Islam atau gerakan kebangkitan Islam (al-sahawa al-Islamy) di dunia Islam sebelumnya yang cenderung mengeras dalam ideologi Salafiyah yang kaku muhammadiyah dalam pandangan Azyumardi Azra, kendati secara teologis atau ideologis memiliki akar pada Salafisme atau Salafiyah, tetapi watak atau sifatnya tengahan atau moderat yang disebutnya sebagai bercorak Salafiyyah Wasithiyyah.
Kesadaran berorganisasi khususnya dikalangan Intelektual Muslim Indonesia selain untuk meningkatkan mutu keagamaan, disisi lain muncul karena akibat pengaruh Ethische politiek (Politik Etis) karena itu, kendati sering diposisikan berada dalam matarantai gerakan pembaruan Islam di dunia muslim yang bertajuk utama al-ruju’ ila al-Quran wa al-Sunnah, Muhammadiyah tidak terlalu kental bercorak gerakan Timur Tengah, karena watak dan orientasi gerakannya lebih lentur dan tengahan.
Belanda mempunyai kewajiban luhur dan tanggung jawab moral atas rakyat di Hindia Belanda. Dari pernyataan ini muncul istilah Politik Etis. Politik Etis adalah satu politik Kolonial Belanda yang intinya adalah keinginan untuk memajukan pendidikan bangsa Indonesia sebagai alasan keuntungan material yang mereka peroleh dari Indonesia. yang dilaksanakan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1901,dengan tujuan membangun pendidikan kolonial yang menjauhkan pelajaran – pelajaran agama dan mengganti pendidikan yang bersifat sekuler, disamping sebagai penyebar kebudayaan Barat, sehingga dari pendidikan ala kolonial tersebut melahirkan golongan – golongan intelektual yang memuja Barat dan menyudutkan tradisi nenek moyang serta kurang menghargai Islam, agama yang dianutnya.
Kedatangan bangsa – bangsa eropa terutama Belanda ke Indonesia, khususnya dalam aspek kebudayaan, peradaban dan keagamaan telah membawa pengaruh buruk terhadap perkembangan Islam di Indonesia. Lewat pendidikan model Barat yang mereka kembangkan, dengan ciri – ciri yang sangat menonjolkan sifat intelektualistik, elistis, diskriminatif, serta sama sekali tidak memperhatikan dasar – dasar dan asas – asas moral keagamaan.
Pada tanggal 20 Desember 1912 Organisasi Muhammadiyah mengajukan permohonan badan hukum (recthtspersoom) kepada pemerintah kolonial Belanda dengan dilengkapi Rancangan Anggaran Dasarnya, namun pemerintah Belanda Belum memberikannya, karena masih merasa keberatan atas teritorial yang meliputi Jawa dan Madura yang tercantum dalam Rancangan Anggaran Dasar itu. Nasehat Liefrinck—Resident kolonial Belanda di Yogyakarta dan Rinkes, seorang penasehat untuk urusan bumi, akhirnya Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengeluarkan Besluit No. 18, bertanggal 22 Agustus 1914 sebagai pengakuan secara legal atas berdirinya Muhammadiyah dengan wilayah operasionalnya terbatas pada residentsi Yogyakarta.
Setelah Muhammadiyah menerima Besluit tersebut selanjutnya organisasi itu merumuskan tujuannya sebagai berikut :
a.         Menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Kepada penduduk bumiputera didalam resideni Yogyakarta.
b.        Memajukan hal Agama kepada anggota – anggotanya.
Sampai pada tahun 1917 gerakan Muhammadiyah masih terbatas di kota Yogyakarta saja. Kegiatan yang dilaksanakan masih terbatas pada pengajian-pengajian dengan materi keagamaan dan keorganisasian. Bertepatan menjelang diselenggarakan Kongres ke–9 Budi Utomo pada tahun 1917, pembenahan administrasinyapun dimulai untuk menyongsong pengembangan Muhammadiyah ke luar Yogyakarta. Momentum yang sangat tepat telah diperoleh Muhammadiyah ketika K.H.Ahmad Dahlan mendapat kesempatan untuk bertabligh dalam kongres Budi Utomo. Tabligh K.H Ahmad Dahlan tersebut menarik para peserta kongres yang banyak diantara mereka datang dari luar Yogyakarta, sehingga kemudian Muhammadiyah banyak menerima permohononan yang datang dari beberapa daerah di Jawa untuk mendirikan cabangnya.
Setelah keluarnya izin pemerintah untuk mendirikan cabang – cabangnya diluar Yogyakarta dan Jawa pada tahun 1921, maka mulailah gerakan tersebut meluas hingga ke Surabaya, Serandakan, Imogori, Blora, Kepanjen, (cabang – cabangnya berdiri tahun 1921), Solo, Purwokerto, Pekalongan, Pekajangan, Banyuwangi, Jakarta dan Garut berdiri tahun (1922). Pada tahun 1925 berdiri Muhammadiyah di Kudus dan pada tahun itu juga, Muhammadiyah telah mendirikan cabang – cabangnya di Padang panjang, Sumatera Barat Hingga tahun 1938 cabang Muhammadiyah telah merata ke seluruh daerah di Hindia Belanda.
Pemberian nama Muhammadiyah oleh K.H. Ahmad Dahlan diharapkan warga Muhammadiyah dapat menyamakan dan mengikuti Nabi Muhammad SAW dalam segala tindakannya. Sedangkan Organisasi itu merupakan alat atau wadah dalam usaha melancarkan kegiatan sesuai tujuan. Hal ini dijelaskan K.H. Ahmad Dahlan yang terkenal dengan wasiatnya kepada organisasi Muhammadiyah yaitu bahwa: Hidup – hiduplah Muhammadiyah dan Tidak mencari penghidupan dalam Muhammadiyah
Organisasi Islam yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tahun 1912 di Kota Yogyakarta itu memiliki tempat dihati masyarakat anatara lain karena kepeloporannya dalam membangun institusi pendidikan dan amal–amal usaha, sosial kemasyarakatan yang terbilang moderen yang benar – benar dapat memajukan dan memenuhi hajat hidup masyarakat. Kepeloporan dan Amaliah yang konkret itu menjadi ciri khas dari gerakan Islam ini. Muhammadiyah menjadi Penting dan strategis karena telah menghadirkan Islam yang bercorak pembaru dan berorientasi Amaliah itu. Ditangan Muhammadiyah itulah Islam menunjukkan Transformasinya yang membumi pada awal abad 20.
Kelahiran Muhammadiyah tahun 1912 mendahului kelahiran bangsa (1920-an) dan negara (1945) Indonesia. Ungkapan nasionalisme memang tidak populer di kalangan Muhammadiyah, tetapi perbuatan yang bercorak nasionalistik telah menjadi wataknya sejak semula kebangkitannya. Muhammadiyah langsung bergerak untuk membenahi kultur umat terjajah melalui proses pencerahan dan kemanusiaan, sesuatu yang sangat mendasar bagi bangunan sebuah bangsa yang bakal lahir. Keterbukaannya terhadap gagasan-gagasan baru yang lebih responsif dan aktif telah menjadi sifat Muhammadiyah selama sekian dasawarsa.
Sesungguhnya sebagai gerakan sosial keagamaan yang sadar betul tentang keadaan umat yang miskin lahir-batin dan terjajah lagi, Muhammadiyah menemukan gagasan baru dalam format “Islam yang berkemajuan,” bukan Islam yang lumpuh di tangan umat yang lemah yang telah cukup lama menjadi mainan sejarah. Pada mulanya perumusan tujuan Muhammadiyah berangkat dari cita-cita sederhana dan lokal sifatnya, yang dalam Anggaran Dasar 1912 terbaca:
a.         menyebarkan pengajaran Igama Kanjeng Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wassalam kepada penduduk Bumiputera di dalam residensi Yogyakarta, dan
b.                memajukan hal Igama kepada anggauta-angautanya.32
Dua tahun kemudian, dalam Anggaran Dasar 1914, sifat lokalnya berubah secara dramatis dalam rumusan:
a.        Memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran Igama Islam di Hindia Nederland, dan
b.        Memajukan dan menggembirakan kehidupan (cara hidup) sepanjang kemaunan agama (Igama?)Islam kepada lid-lidnya.
Untuk mencapai tujuan itu, Muhammadiyah mendirikan sekolah, menggerakkan pengajian, dan menggalakkan penerbitan dalam berbagai bentuk. Dengan cara ini, Muhammadiyah ingin menebus kelumpuhan umat melalui proses pencerdasan dan pencerahan. Adapun gagasan tentang bagaimana menolong kesengsaraan umum ( seperti orang sakit ) baru muncul tahun 1923, sebagai embrio PKO ( Penolong Kesengsaraan Oemoem ), dipelopori oleh Kiyai Sudja’ dengan persetujuan Ahmad Dahlan.
Nama Hindia Nederland dalam AD Muhammadiyah baru diubah menjadi Indonesia dalam Kongres ke-28 di Medan bulan Nopember 1941, beberapa bulan menjelang invasi Jepang untuk mengusir Belanda, sedangkan tujuan dan upaya mencapainya belum mengalami perubahan yang berarti. Rumusan tujuan secara mendasar baru terjadi pada Muktamar Muhammadiyah ke-31 di Jogjakarta, 21-26 Desember 1950 yang berbunyi: “Maksud Persyarikatan ini akan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.”
Salah satu ciri gerakan yang bernuansa Islam baru dapat disebut “Modern”. Manakala gerakan keagamaan tersebut menggunakan metode “Organisasi”. Muhammadiyah sejak kelahirannya juga telah menggunakan metode organisasi, maka Muhammadiyah dengan sendirinya sebagai sebuah gerakan keagamaan Islam yang modern.
Muhammadiyah sejak awal didirikannya secara tegas mengikrarkan diri sebagai gerakan sosial keagamaan dengan memfokuskan diri pada kerja–kerja sosial seperti halnyapendidikan, kesehatan, dan sebagainya,karena gerakan Islam yang berwajah Kultural dan Transformatif itu, maka Muhammadiyah menjadi suatu gerakan Islam yang cepat diterima dan kemudian meluas dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang tengah mendambakan kemajuan pembaharuan. Muhammadiyah kemudian menjadi ideologi pergerakan bagi perubahan masyarakat.
Bagian ini dimulai dari sebuah pesan KH Ahmad Dahlan yang mengatakan, "Hendaklah kamu jangan sekali-kali menduakan pandangan Muhammadiyah dengan perkumpulan lain." Pesan ini menjadi penting dan harus dicamkan oleh seluruh jajaran Persyarikatan dan AUM, tanpa kecuali, mengingat KH Ahmad Dahlan (1868-1923) adalah tipe man of action, pencari kebenaran haqiqi dan pencerah akal. Sedikitnya ada tiga kalimat kunci yang menggambarkan tingginya minat Kyai dalam pencerahan akal, yaitu:
a.      Pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan tentang kesatuan hidup yang dapat dicapai dengan sikap kritis dan terbuka dengan mempergunakan akal sehat dan istiqomah terhadap kebenaran akali dengan di dasari hati yang suci;
b.     Akal adalah kebutuhan dasar hidup manusia;
c.      Ilmu mantiq atau logika adalah pendidikan tertinggi bagi akal manusia yang hanya akan dicapai hanya jika manusia menyerah kepada petunjuk Allah SWT.
Berdasarkan kutipan atas apa yang dipesankan KH Ahmad Dahlan, ideologi Muhammadiyah harus senantiasa menjadi pedoman warga Muhammadiyah. Pendidikan Muhammadiyah harus menjadi model lembaga pendidikan yang mampu mengakomodasi ideologi Muhammadiyah. Tidak dapat disangkal, sekolah-sekolah Muhammadiyah mulai dari tingkat TK, SD, SMP dan SMA hingga tingkat perguruan tinggi (PT) sudah mengakomodasi materi ke-Muhammadiyahan. Namun demikian, bobot kredit yang diberikan sangat sedikit dan cenderung hanya formalitas untuk memenuhi kekhasan sebagai lembaga Muhammadiyah. Kenyataannya, masih banyak siswa atau mahasiswa yang belum paham atau kenal bahkan mengimplementasikan apa yang menjadi matan dan kepribadian Muhammadiyah. Sedemikian lemahnya ideologi Muhammadiyah pada diri siswa dan mahasiswa sehingga menyebabkan rasa memiliki Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam “amar ma’ruf nahi munkar” tidak muncul dalam kepribadiannya sehari-hari.
Saat ini banyak ideologi-ideologi lain yang memberikan nuansa yang berbeda dan memiliki daya tarik tersendiri kepada masyarakat dalam bentuk model lembaga pendidikan. Untuk mengantisipasi kemungkinan lembaga pendidikan Muhammadiyah ditinggalkan, ada beberapa cara yang lebih inovatif agar lembaga pendidikan diminati masyarakat tanpa meninggalkan ideologi Muhammadiyah itu sendiri, di antaranya:
Pertama, menyelenggarakan pendidikannya dengan sistem full day school (waktu pembelajaran hingga sore hari) dan menggunakan metode-metode baru dalam pembelajaran.
Kedua, melakukan perumusan filsafat dan pengembangan kurikulum pendidikan alternatif serta modifikasi kurikulum.
Ketiga, melakukan tafsiran Al-Qur’an dengan pendekatan sistem, atau Tafsir Sistem. Satu konsep kunci yang harus dirumuskan, yakni ide fitrah berupa tauhid. Artinya, orientasi filsafat dan kurikulum pendidikan bertitik tolak dari konsep Tauhid.
Keempat, menggunakan paradigma pendidikan Islam dengan mengaksentuasikan nilai-nilai tauhid sebagai tujuan yang paling prinsipil dan substansial.
Dan kelima, berikhtiar membangun kurikulum berbasis tauhid (KBT) sebagai program khusus pada tingkat SD.
Selain lima butir di atas, Perlu pengaktifan siswa dan mahasiswa dalam rangka mewujudkan ukhuwah Islamiyah demi pemantapan syariat Islam bagi umat Islam dan keaktifan dalam kegiatan dakwah dan organisasi Muhammadiyah.

2.1.1   Perkembangan Secara Vertikal
Perkembangan organisasi Muhammadiyah secara vertikal yaitu perluasan organisasi Muhammadiyah ke seluruh penjuru tanah air yang diorganisasikan dari tingkat Pusat, wilayah, daerah, cabang, dan ranting Muhammadiyah. Pertumbuhan ini dimulai sejak masa pemerintahan Hindia Belanda yang telah memberikan izin kepada Muhammadiyah untuk berdiri di luar Yogyakarta. Dengan izin tersebut cabang – cabang organisasi Muhammadiyah bermunculan di Pulau Jawa, tetapi juga menyeberang ke Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.
Di pulau Jawa antara lain Jawa Timur yang memiliki dua cabang yaitu Surabaya dan Kapajen, daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki dua cabang yaitu Sradakan dan Imogiri, Jawa Tengah yang memiliki enam cabang yaitu Blora, Surakarta, Sala, Purwokerto, Pekalongan, dan Pekajangan. Selain itu berdiri pula cabang di Jakarta, Garut dan Sungai Liat Bangka.

2.1.2        Perkembangan Secara Horizontal.
Perkembangan secara horizontal yaitu perkembangan dan perluasan amal usaha organisasi Muhammadiyah yang meliputi bidang agama, pendidikan, sosial Amal usaha dan organisasi Muhammadiyah diamalkan pada setiap cabang organisasi Muhammadiyah. Hal ini disesuaikan dengan kondisi zamannya dan kemampuan masing – masing daerah,konsep amal usaha menurut organisasi Muhammadiyah mengandung dua aspek yaitu aktivitas persyarikatan Muhammadiyah yang merupakan pengamalan kepada masyarakat yang dilandasi dengan iman yang islam yang kuat, sedangkan aspek kedua merupakan aspek amal usaha dibidang sosial, pendidikan, dan kesehatan.
Sesuai dengan maksud dan tujuannya, maka dibentuklah kesatuan-kesatuan kerja yang berkedudukan sebagai badan pembantu pimpinan pesyarikatan. Kesatuan-kesatuan tersebut berupa majelis-majelis dan badan-badan lainnya, antaranya :
a.       Majelis Tarjih
Majelis ini bertugas memperdalam penyelidikan ilmu agama Islam untuk mendapatkan kemurnian dan kebenarannya, selanjutnya untuk dijadikan pedoman dan tuntutan bagi pinjaman dan anggota - anggota Muhammadiyah.
b.      Majelis Tabligh
Majelis ini bertugas :
1)      Mempergiat dan menggembirakan dakwah Islamiyah amar mak’ruf nahi mungkar.
2)      Memperteguh iman, menggembirakan dan memperkuat ibadah serta mempertinggi akhlak mulia.



c.       Majelis Pendidikan dan Kebudayaan
Majelis ini bertugas, memajukan kebudayaan dan memperbaharui pendidikan, pengajaran dan kebudayaaan serta memperluas ilmu pengetahuan menurut tuntutan Islam.
d.         Majelis Pembina Kesejahteraan Umat
Majelis ini bertugas, menggerakkan dan menghidup-suburkan amal, tolong menolong dalam kebaikan dan takwa.
e.       Majelis Pembina Ekonomi
Majelis ini bertugas, membimbing kearah perbaikan kehidupan dan penghidupan yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.
f.        Majelis Wakaf dan Kehartabendaan
Majelis ini bertugas :
1)      Mendirikan, menggembirakan dan memelihara tempat-tempat ibadah dan wakaf.
2)      Mengurusi masalah tanah dan hak milik Muhammadiyah sebagai barang amanat yang harus dipergunakan sebagaimana mestinya.
g.       Majelis Pustaka
Majelis ini bertugas :
1)      Mengadakan dan menyelenggarakan penentuan siaran-siaran dalam menyebarluaskan cita-cita dalam perjuangan Muhammadiyah.
2)      Menyelenggarakan adanya perpustakaan yang cukup lengkap untuk memenuhi kebutuhan pendidikan dan dokumen Persyarikatan.
h.       Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang)
Majelis ini bertugas membina perguruan tinggi Muhammadiyah serta memperluas ilmu pengetahuan, teknologi dan penelitian menurut tuntutan Islam.
Dalam perkembangan selanjutnya, Muktamar Yogyakarta ke 42 yang berlangsung pada tahun 1993 di Yogyakarta memandang untuk menyempurnakan kelembagaan baik yang berupa majelis, atau badan ataupun lembaga demi menampung aspirasi dan amalan yang berkembang ditengah-tengah persyarikatan Muhammadiyah. Penyempurnaan tersebut sebagai pemecahan tugas majelis yang dipandang terlalu jauh cakupan kerjanya ataupun bersifat baru.

2.2    Filosofis Muhammadiyah
“Saya mesti bekerja keras, untuk meletakkan batu pertama dari pada amal yang besar ini. Kalau saya lambatkan dan saya hentikan karena sakitku ini, tidak ada orang yang akan meletakkan dasar itu. Saya sudah merasa bahwa umur saya tidak akan lama lagi. Maka jika saya kerjakan lekas yang tinggal sedikit ini, mudahlah yang datang kemudian menyempurnakannya
Petikan di atas merupakan ucapan langsung K.H. Ahmad Dahlan yang tertera di bawah potretnya yang dimuat dalam buku “tuntunan hizbul wathan”, Sesungguhnya petikan di atas merupakan sepenggal dari pembicaraan Kyai dan istrinya, Nyi Dahlan, pada bulan-bulan akhir hayat pendiri Muhammadiyah. Ini terkait dengan permintaan murid-murid Kyai Ahmad Dahlan, agar Nyi Dahlan meminta Kyai untuk istirahat sehubungan dengan sakitnya yang bertambah keras. Dan itulah kata-kata yang keluar dari lubuk jiwanya.
Penggal ucapan pendiri Muhammadiyah menarik untuk diambil kembali dalam pembicaraan kita kali ini guna menarik benang merah bagaimana kegigihan dan komitmen seorang pembaharu terhadap perjuangan yang dirintis dan diretasnya itu perlu melintasi bentangan waktu ke depan, menjangkau hitungan kesinambungan generasi Kalau kata-kata di atas diucapkan oleh K.H. Ahmad Dahlan mendekati tahun 1923, yakni tahun kewafatannya, dan sekarang sudah akhir tahun 2010, maka suara hati beliau dibuktikan oleh sejarah. Generasi demi generasi penerus Muhammadiyah telah memperoleh maupun mengenyam kemudahan itu dengan bentuk-bentuk amal usaha nyata maupun pranata-pranatanya yang takaran jumlah dan jenisnya terus bertambah.
Menurut Munir Mulkhan, Muhammadiyah mengembangkan keterbukaan, menghargai perbedaan, toleransi dan semacamnya kepada para anggotanya melalui berbagai macam aktivitas atau forum seperti pengajian, training, dan pertemuan pengurus-anggota di berbagai tingkatan (Muktamar, Musyawarah Wilayah, Musyawarah Daerah,Cabang dan Musyawarah Ranting). Lebih lanjut lagi, beberapa organisasi otonom Muhammadiyah seperti Aisyiah, Nasyiatul Aisyiah dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah terlibat langsung dalam penyelenggaraan demokrasi dalam pengertian partisipasi masyrakat dalam politik formal, misalnya pendidikan untuk pemilih; monitoring pemungutan suara,pendidikan anti korupsi dan pengembangan sensivitas gender.
Kiprah Muhammadiyah sejak awal kehadirannya, baik sebelum terbentuknya Bangsa Indonesia dan Negara Republik Indonesia maupun sesudah Indonesia merdeka secara konsisten memposisikan dan memerankan diri sebagai organisasi gerakan dakwah Islam yang berwawasan “kemajuan” (tajdid). Dalam hal ini Muhammadiyah mengembangkan tabligh sebagai kegiatan awal terpenting organisasi.
Bagi Muhammadiyah tabligh merupakan sarana transmisi pengetahuan dan wawasan agama secara terencana. Sebagai kekuatan non politik pada permulaan abad ke-20 tabligh dapat dipandang sebagai unsur baru43 Dan inilah salah satu bentuk maupun cara “gerakan civil society” yang ditempuh Muhammadiyah yang dalam perkembangannya kini telah mewujud dalam berbagai perwujudan gerakan dakwah.
Maka kiprah dan peran Muhammadiyah dalam dinamika kebangsaan dan gerak melintasi zaman dapat dilihat dari beberapa unsur atau pilar, antara lain:
a.       Idiil, yang secara filosofis dan normatif terangkum dalam serangkaian landasan dan pandangan persyarikatan dari masa ke masa.
b.      Strukturil, yang secara organisasi dan kelembagaan menjadi wahana gerakan civil society .
c.       Amal Usaha, yang secara riil menjadi pengejewantahan gerakan dakwah keragaman, sosial dan kemasyarakatan.
d.      Tokoh, yang secara lokal, nasional, dan internasional memainkan peran kepemimpinan.
e.       Kader, yang secara berkesinambungan menjadi kekuatan penerus gerakan dakwah melintasi zaman.

Untuk menghasilkan seseorang yang demokratis, Muhammadiyah menanamkan nilai-nilai keadaban secara intensif seperti menghargai orang lain; serta berpikir kritis dan konstruktif kepada masyarakat dan komunitas secara umum. Diakui oleh Haedar Nasir bahwa Muhammadiyah belum memformulasikan pendidikan demokrasi secara khusus, meski Muhammadiyah telah menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dalam (a) mencapai konsensus, membuat keputusan, mencari jalan keluar untuk menengahi persoalan publik dan organisasi, (b) berinteraksi sosial. Dalam Muhammadiyah, demokrasi ditunjukan dengan pemikiran rasional dalam mengatasi masalah social.

Prinsip-prinsip pendidikan demokrasi juga diterapkan dalam pemilihan pimpinan dari tingkatan bawah-ranting, cabang, daerah dan propinsi. Selain itu, pendidikan demokrasi, menurut Bustomi adalah proses mewujdkan warga negara yang baik, yaitu mengajarkan manusia memahami dirinya atau identitasnya. Warga negara yang baik adalah mereka yang mencintai negaranya, karena cinta negara merupakan perwujudan dari keimanan. Hizbul Wathan, pramuka Muhammadiyah, merupakan salah satu satu wadah yang memfasilitasi para siswa menerapkan prinsip demokrasi, seperti mengenal sistem pemerintahan, cinta negara, menghargai orang lain, dan sikap terbuka.
Satu abad Muhammadiyah, banyak orang mengenal pendidikan sebagai ikon gerakan, tapi sedikit yang mengenal gagasan besar pendirinya, Kiai Ahmad Dahlan bidang pendidikan. Dalam dokumen yang dikenal sebagai transkrip pidato Konggres 1922, berkali-kali Kiai Ahmad Dahlan menyebut Quran suci, hati suci, akal suci sebagai fondasi proyek kemanusiaan Islam. Pendidikan digagas sebagai lembaga pembelajaran kesatuan kemanusiaan berbasis pada kitab suci, dikelola dengan akal dan hati suci. Selain dari beberapa dokumen, gagasan itu bisa dibaca dari kesaksian murid-murid Kiai Dahlan antara lain seperti Kiai Syuja’, Farid Ma’ruf, dan Kiai Hadjid.
Pada masa awal, pendidikan Muhammadiyah merupakan proyek besar spiritual learning sebagai praksis pembaharuan Kiai Ahmad Dahlan yang menyatukan Islamic Studies dan Secular Studies. Dari sini tumbuh tradisi masyarakat pembelajar (learning society) setelah satu abad setelah gerakan Muhammadiyah itu didirikan. Pengembangan tradisi masyarakat pembelajar demikian mendasari berbagai kebijakan pendidikan masa Kemerdekaan Republik Indonesia terutama bagi warga muslim. Oleh karena itu seharusnya organisasi muhammadiyah bisa mengembangkan pendidikan Muhammadiyah di dalam satu nafas dalam dinamika negara bangsa.
Basis teoritik pembelajaran dicari dalam God Spot (titik-tuhan) spiritual quotiens-nya Danah Zohan & Ian Marshal, akar historis konversi hidayah makrifat sahabat atau sirah nabawi dan generasi perintis Muhammadiyah. Metodologi pembelajaran dikembangkan dari John P Miller, Paulo Freire dan sejarah pembelajaran generasi awal Muhammadiyah. Seluruh ilmu dan puncak pengalaman bangsa-bangsa ditempatkan sebagai materi ajar disinari kesadaran tentang Tuhan atau tauhid. Isi pokok spiritual learning ialah kesadaran ketuhanan (Islamic Studies), dasar pembelajaran mengelola dan mengolah alam (Secular Studies) dalam hidup sosial dengan seperangkat nilai kesediaan belajar dan mengajar secara terus-menerus.
Dalam perkembangannya Muhammadiyah memiliki konsepsi tentang demokrasi sebagai suatu sistem politik dan sosial muhammadiyah memahami demokrasi dari dua dimensi; prosedural dan subtantif, pertama menyangkut bagaimana lembaga demokratis seperti trias politica dan partisipasi masyarakat dalam politik formal seperti pemilihan umum, berjalan secara efektif, dan Warga Muhammadiyah berpendapat bahwa demokrasi harus diterapkan dalam kerangka menciptakan kesejahteraan bagi semua warga negara terlepas dari latar belakang mereka. Setiap orang harus diperlakukan secara adil agar ia dapat mengakses pendidikan, pekerjaan, dan layanan kesehatan yang lebih baik dan semacamnya.
Demokrasi subtantif, menurut warga Muhammadiyah adalah menanamkan nilai-nilai inti demokrasi seperti menghargai perbedaan atau pluralitas, hak individu, kebebasan, keadilan, keterbukaan, toleransi, kritik, kemerdekaan, amanah dan nilai-nilai keadaban lainnya kepada masyarakat luas, termasuk di Indonesia. Adapun beberapa warga Muhammadiyah saat diwawancarai menyatakan menerima demokrasi dengan setengah hati. Masyarakat yang meragukan demokrasi Barat lebih berpegang teguh pada konservatisme atau paham kelompok salafi dan cenderung literalis.
Selain itu, sebagian warga Muhammadiyah menolak gagasan kesesuaian Islam dengan demokrasi (Barat) karena Islam tidak mengenal kedaulatan rakyat (teokrasi); konsep kebebasan dibatasi oleh peran Tuhan; kelompok ini yakin betul bahwa Islam mengandung nilai-nilai yang sesuai dengan demokrasi, namun gagasan demokrasi Islam tersebut berbeda dari gagasan demokrasi Barat. Tujuan demokrasi Barat adalah untuk mencapai kebahagiaan materi saja, yang berbeda dengan konsep Islam, yakni kebahagiaan material dan spiritual; dunia dan akhirat. Lebih lanjut, umat Islam harus menempatkan wahyu sebagai otoritas utama, sehingga kebebasan individu tersebut tidak bertentangan dengan wahyu (teks suci). Dan individu harus bertanggung jawab atas tindakan mereka, termasuk kepemimpinan, di depan publik di dunia dan di hadapan Tuhan di akhirat.


2.3    Daftar Pimpinan Muhammadiyah
Dalam pendiriannya, Muhammadiyah telah berganti kepemimpinan, diantaranya adalah :
No
Nama
Awal Jabatan
Akhir Jabatan
  1.
KH Ahmad Dahlan
1923
2.
1932
3.
1936
4.
1936
1942
5.
1953
6.
1953
1959
7.
1959
1962
8.
1962
1968
9.
1968
1971
10.
1971
1990
11.
1990
1995
12.
1995
2000
13.
Ahmad Syafi'i Ma'arif
2000
2005
14.
2005
2010
15.
2010
2015









































BAB III
PENUTUP


3.1    Kesimpulan
Dalam pembentukannya, Muhammadiyah banyak merefleksikan kepada perintah perintah Al Quran, diantaranya surat Ali Imran ayat 104 yang berbunyi: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. Ayat tersebut, menurut para tokoh Muhammadiyah, mengandung isyarat untuk bergeraknya umat dalam menjalankan dakwah Islam secara teorganisasi, umat yang bergerak, yang juga mengandung penegasan tentang hidup berorganisasi. Maka dalam butir ke-6 Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah dinyatakan, melancarkan amal-usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi, yang mengandung makna pentingnya organisasi sebagai alat gerakan yang niscaya.

3.2    Saran
Kami selaku penyusun, menyadari masih banyak kekurangan dari isi   makalah ini. Oleh karena itu, penyusun berharap kritik dan saran dari  semua pembaca, demi kesempurnaan makalah ini.









DAFTAR PUSTAKA






No comments:

Pencarian isi Blog