Pencarian

Tuesday, October 11, 2011

SEJARAH MASA ORDE BARU


A.       Masa Orde Baru
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama.
Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.
Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.
Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.

Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebut lustrasi - dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.
Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol).
Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.

B.       Eksploitasi Sumber Daya Masa Orde Baru
Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.
Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya. Konflik Perpecahan Pasca Orde Baru Di masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia.
Setiap hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan "persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya.
Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang sentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.
Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia (untuk lebih jelas lihat: Krisis finansial Asia), disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang meluas, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.

C.       Perkembangan Kekuasaan Orde Baru
Perkembangan Kekuasaan Orde Baru Diangkatnya Soeharto sebagai presiden menggantikan Soekarno  menjadi awal dari sejarah Orde Baru.  Pada hakikatnya, Orde Baru merupakan tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara yang diletakkan pada kemurnian pelaksanaan pancasila dan UUD 1945, atau sebagai koreksi terhadap penyelewengan- penyelewengan yang terjadi pada rezim Soekarno. Selain itu, rezim Orde Baru juga bertujuan untuk memperbaiki seluruh segi kehidupan masyarakat yang selama rezim Soekarno kian melemah. Salah satunya adalah dengan membangun kembali ekonomi Indonesia.
Hal ini senada dengan pendapat berikut, “Orde Baru berupaya untuk  menyusun kembali kekuatan bangsa untuk menumbuhkan stabilitas nasional  guna mempercepat proses pembangunan bangsa” (Bardika, 2006:3).
1.        Pelita I
Pemerintahan Orde Baru berusaha untuk menata kembali kehidupan politik pada awal tahun 1968 dengan penyegaran kembali DPR-GR. Tahap selanjutnya adalah penyederhanaan kehidupan kepartaian, keormasan, dan kekaryaan. Usaha ini dimulai pada tahun 1970. Akhirnya, hanya ada tiga kelompok di parlemen, yaitu:
a.         Kelompok demokrasi pembangunan penyempurnaan sistem irigasi dan transportasi. Hampir selruh target di sektor produksi berhasil dicapai, bahkan produksi beras meningkat 25%. Tujuan pelita I adalah menaikan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakan dasar-dasar yang kuat bagi pembangunan nasional dalam tahap-tahap berikutnya.
2.        Pelita II
Pelita II berlangsung pada tangggal 1 April 1974 - 31 Maret 1979. Pelita II menekankan pada peningkatan standar hidup bangsa Indonesia. Tujuan tersebut diwujudkan dengan menyediakan pangan, sandang, dan papan yang lebih baik, meningkatkan pemerataan kesejahteraan, dan menyediakan lapangan kerja.
3.        Pelita III
Pelita III dimulai tanggal 1 April 1979 - 31 Maret 1989. Pelita ini menekankan pada sektor pertanian untuk mencapai swasembada dan pemantapan industri yang mengolah bahan dasar atau bahan baku menjadi bahan jadi. Pelita II meningkat 274% dibanding pelita sebelumnya. Penduduk yang hidup d bawah garis kemiskinan tinggal 26,9 % dari jumlah penduduk tahun 1980.
4.        Pelita IV
Pelita IV dimulai 1 April 1984 - 31 Maret 1989. Pelita ini menekankan pada sektor pertanian untuk mempertahankan swasembada pangan sekaligus meningkatakan industri yang dapat memproduksi mesin-mesin untuk insustri ringan maupun berat. Penduuduk yang hidup d bawah garis kemiskinan tinggal 16,4% dari jumlah penduduk tahun 1987.
5.        Pelita V
Pelita V di mulai tanggal 1 April 1989 - 31 Maret 1994. Pelita ini menekankan pada sektor industri yang didukung oleh pertumbuhan yang mantap di sektor pertanian.
6.        Pelita VI
Pelita VI dimulai 1 April 1994 - 31 Maret 1999. Pelita VI merupakan awal pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua(PJPT II). Pada tahap ini bangsa Indonesia memasuki proses Tinggal Landas menuju Terwujudnya masyarakat maju, adil, dan mandiri. Pelita VI menitikberatkan pada bidang ekonomi dengan keterkaitan antara industri dan pertanian serta bidang pembangunan lainnya guna meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

D.      Kelemahan Rezim Orde Baru
Di balik segala kemerlap kesuksesan rezim Orde Baru, terdapat  banyak sekali penyelewengan dan pelanggaran hukum dan HAM.  Contohnya, dalam upaya menyederhanakan kehidupan politik di indonesia presiden Soeharto menyatukan partai partai politik. Namun pada proses itu, Golkar (Golongan Karya), partai politik presiden, berkembang menjadi golongan penguasa yang selalu memenangkan pemilu semasa Orde Baru. Dibawah presiden Soeharto, oposisi dihilangkan, dan kekuatan masyarakat melemah.
Tekanan akan kebebasan politik belakangan menjadi keluhan masyarakat terhadap presiden soeharto dan rezim Orde Baru. Jauh sebelum reformasi 1998, protes masyarakat sebenarnya sudah mulai muncul. Dalam peristiwa malapetaka 15 Januari 1974 (Malari), massa turun ke jalan menentang masuknya modal asing, salah satu pilar program ekonomi Orde Baru. Tapi aksi massa justru disambut kekerasan aparat. Inilah salah satu demonstarsi jalanan terbesar sebelum reformasi 1998.  Semenjak itu, masyarakat menganggap bahwa presiden Soeharto bersama rezimnya merupakan penguasa yang otoriter dan anti demokrasi.

E.       Krisis Ekonomi, Politik, dan Sosial Rezim Orde Baru
Keberadaan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dianggap tidak mampu lagi memenuhi aspirasi politik masyarakat. Perkembangan ekonomi dan pembangunan nasional dianggap telah menimbulkan ketimpangan ekonomi yang lebih besar.
Masyarakat menuntut reformasi atau perubahan dalam segala  bidang. Masyarakat juga menuntut dilakukannya demokratisasi dalam  kehidipan sosial, ekonomi dan politik, ditegakkannya aturan hukum yang  sebenarnya, serta dihormatinya hak asasi manusia.
Di tengah perkembangan tersebut, pertikaian politik dalam tubuh PDI berubah menjadi peristiwa tragis pada tanggal 27 Juli 1996. Peristiwa tersebut di kenal dengan nama Kudatuli (kerusuhan 27 Juli). Pertikaian sosial dan kekerasan politik terjadi di berbagai daerah, antara lain di Situbondo, Tasikmalaya, Singkawang, dan Pontianak.
Dalam siding umum MPR bulan Maret 1998. Jendral Purnawirawan Soeharto kembali terpilih sebagai presiden dan B.J Habibie terpilih sebagai wakil presiden. Terpilihnya kembali Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia mendapat reaksi keras dari masyarakat. Kabinet Pembangunan VII yang dibentuk setelah sidang MPR bulan Maret 1998 dianggap masih bercirikan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Berbagai tekanan dan kritik terhadap kepemimpinan Soeharto makin meluas terutama di lakukan oleh para mahasiswa dan kalangan intelektual. Larangan mengkritik dan mengontrol pemerintah menyebabkan terjadinya berbagai penculikan terhadap aktivis demokrasi, terutama dari kalangan mahasiswa dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Sejak bulan Juli 1997, bangsa Indonesia mulai terkena imbas krisis moneter yang menerpa dunia, khususnya di wilayah Asia Tenggara. Hal itu di sebabkan pertumbuhan ekonomi selama Orde Baru dibangun di atas hutang luar negeri dan banyaknya pejabat yang korup. Krisis moneter yang melanda Indonesia menyebabkan bangkrutnya sektor perbankan. Krisis moneter juga berdampak pada bangkrutnya banyak perusahan. Harga barang-barang mulai tidak terkendali, dan biaya hidup makin tinggi.
Gelomgang aksi mahasiswa menuntut pergantian kepemimpinan nasional dan reformasi tidak dapat di bendung. Bentrokan antar mahasiswa dan aparat keamanan tidak dapat lagi terelakan. Di antaranya empat mahasiswa dari Universitas Trisakti yang tewas tertembak dalam peristiwa 12 Mei 1998 di jembatan Semanggi. Keempat mahasiswa tersebut adalah Elang Mulya Lesmana, Herry Hartanto, Hendriawan dan Hafidin Royan.





F.        Mundurnya Soeharto: Akhir dari Rezim Orde Baru
Gelombang demonstrasi masyarakat dan mahasiswa yang terus  menerus secara progresif menyebabkan keadaan stabilitas nasional semakin kacau. Kerusuhan, penjarahan, dan kekerasan terjadi di mana-mana. Posisi presiden semakin terpojok. Orang-orang dekatnya yang dulu mendukungnya, kini berbalik melawannya. Sampai akhirnya, pada hari Kamis, tanggal 21 mei 1998, presiden Soeharto akhirnya memutuskan untuk berhenti dari jabatannya.


No comments:

Pencarian isi Blog